“Sumpah sih, Dirga bakal jadi saingan lo, Ghe!”
Ucapan itu terlontar dari mulut Shafa, teman sebangkunya yang juga seorang artis selebgram. Ghea mengalihkan pandang dari ponselnya dan melihat cewek berambut bergelombang itu. Mata Shafa berbinar-binar memandang Dirga lalu beralih menatap Ghea dengan penuh harapan. Seragamnya sengaja dipermak dan dibuat mengepas ke badannya, menampilkan lekuk tubuh body goals yang memang sengaja dibanggakannya.
Shafa lantas mendekatkan kepalanya ke telinga Ghea dan berbisik. “Lo tau? Katanya, keluarga Dirga Dokter semua.”
Ghea melirik sekilas ke arah Dirga yang asik bercanda dengan anak-anak cowok. Ia segera mengalihkan pandang lagi, takut dikira mengintip. “Iya kah?” timpalnya santai. Berpura-pura seolah berita ini baru pertama kali didengarnya.
Shafa berdecak kecil. “Lo sih nggak masuk seminggu jadi kehilangan banyak berita.”
“Heh! Gue keracunan sampe mau sekarat ya.” Ghea tertawa kecil, tidak habis pikir.
Akibat insiden risol udang itu, Ghea harus dilarikan ke IGD dan berakhir terbaring lemas di rumah selama seminggu. Akibatnya pula, ia absen saat hari pertama Dirga masuk sekolah. Keluarga Dirga, bahkan ayah dan ibu Dirga meminta maaf pada Ghea secara langsung, akibat kelalaian anak semata wayang mereka. Ayah Dirga, Pak Tirta, bahkan sampai memastikan secara langsung agar Ghea bisa mendapatkan penanganan cepat. Ghea mengakui semua itu masih privilege kecil yang dimiliki keluarga dokter turun menurun itu.
Jujur, semua perlakuan itu menurutnya terlalu berlebihan. Sangat berlebihan untuknya yang tidak pernah menerima perhatian sebanyak itu. Rasanya asing. Ghea sendiri juga meminta maaf, merasa bersalah karena mengacaukan acara syukuran keluarga Dirga dan membuat heboh seluruh komplek. Kalau memang ini takdir, kenapa pula ia harus disiksa?
Shafa memandang Dirga seolah habis terkena ramuan cinta ala Harry Potter. Cewek berhidung mancung itu jelas menahan senyumnya sekuat tenaga agar tidak melebar. Tapi untuk Ghea yang menjadi teman sebangkunya sejak kelas satu, perilaku abnormalnya itu sangat terlihat jelas.
Ghea lantas mengulum senyumnya dan memandang Shafa dengan tatapan jahil. Ia menyikut pinggang cewek itu pelan. “Kenapa sih excited banget? Lo suka ya?” godanya.
“Ih, apasih! Enggak kok!” Shafa memekik kaget lalu bibirnya mengerucut.
“Shaf, gue tuh udah kenal lo dari kelas satu ya. Gue tau tipe yang lo suka,” ujar Ghea dengan suara lirih. Ia lalu menekankan ucapannya sekali lagi. “Nggak usah bohong, gue tau.”
"Keliatan banget ya?" Shafa meringis dengan wajah sok polos. “Tapi nggak mungkin nggak sih, dia nggak punya pacar? Ganteng, pinter, keluarga berada pula. Kalo nggak pacar, kemungkinan udah ada tunangan.”
Ghea hampir saja keceplosan bilang. ‘Nggak kok, Tante Ratih bilang nggak ada.’ Ia hampir saja, sedikit lagi, akan membocorkan informasi kalau dirinya dan Dirga adalah tetangga sekaligus teman masa kecil. Wah, bisa kacau!
Ghea sedikit menggigit bibir bawahnya gerogi. Ia sudah cukup aman menyembunyikan fakta itu selama tiga bulan ini. Satu-satunya yang tahu, Elang sedang sibuk-sibuknya latihan untuk kejuaraan dan Dirga juga tidak mengatakan apapun. Jika sampai tesebar, teman-temannya akan mengusilinya setiap hari.
Waktu Riki, seorang kakak kelas yang mengejar-ngejarnya saat kelas satu, Ghea direcoki hampir setiap hari oleh teman sekelasnya. Digoda terus-terusan sampai rasanya Ghea malu sendiri dan ingin membuang mukanya ke sungai ciliwung, supaya hanyut diterpa banjir sekalian!
Kalau tahu Dirga ‘teman masa kecil’ pasti akan lebih heboh!
Ghea mendengkus dan menetralkan ekspresinya. Bibirnya melebar membentuk senyum kecil. “Shafa yang gue kenal nggak trust issue sama hal-hal kecil kayak gini. Ke mana perginya manifestasi girlboss itu? Semangat dong!”
Shafa sontak tertawa sambil mengibaskan rambutnya centil. “Makasih loh pujiannya, tapi gue lagi nggak punya duit.”
“Selebgram kok miskin,” canda Ghea yang langsung mendapat geplakan dari Shafa. Ghea lalu mengedip. “Bisa lah abis gini modus minta ajarin fisika ke crush.”
Shafa sontak mengangguk bersemangat. Setuju dengan ide Ghea. Mereka berdua lantas mencari updatean pickup line terbaru dari Tiktok.
Kadang memang ada hal-hal yang harus disimpan saja karena bisa membebani orang lain. Dan dalam kasus ini, Ghea juga terbebani dengan godaan teman sekelasnya.
Ghea suka diperhatikan tapi tidak dengan menjadi spotlight yang membuatnya gerah.
***
Ting!
Suara notifikasi pesan masuk berdenting kecil, menggema di headphone Ghea. Sedetik kemudian muncul sebuah jendela pesan WhatsApp di sisi kanan bawah laptopnya. Dari sudut mata, Ghea melirik pesan itu sekilas. Memastikan dulu apa pesan itu cukup penting untuk dibalas atau tidak?
Dirga : Bunda bikin spongecake, gue ke sana lima menitan lagi.
Nah, ini harus dibalas. Kalau tidak, ia bisa kena omel Wina. Ghea lantas mengarahkan cussornya ke jendela pesan itu dan mengetik balasan.
Okay, bilang aja klo udah di bawah.
Tidak sampai lima menit, notifikasi pesan masuk muncul lagi, berdenting di teliga Ghea.
Dirga : Gue udah di bawah.
Ghea tidak membalas pesan itu tapi langsung bangkit sambil melepas headphonenya. Cewek itu berlari kecil menuruni tangga. Tidak sampai tiga sampai tiga menit sudah sampai di lantai satu. Begitu ia membuka pintu, tampaklah Dirga sudah menunggu. Bersandar pada tembok teras sambil menenteng paperbag. Bajunya terlihat sangat santai, dengan kaos putih tipis dan celana selutut. Sepertinya cowok itu akan tidur, sebelum direcoki oleh Tante Ratih untuk mengirim spongecake.
Saat mendengar suara pintu dibuka, cowok itu mendongak, mengalihkan pandang dari ponsel. Dirga langsung berjalan dan menyodorkan paperbag berisi spongecake pandan kesukaan Wina. Wah, ibunya pasti akan semakin getol memuji Dirga.
"Thanks," ujar Ghea.
"My pleasure," balas cowok itu.
Beginilah keseharian Dirga dan Ghea, mereka sering diminta oleh orang tua masing-masing untuk mengirim makanan atau bingkisan ke satu sama lain. Layaknya burung hantu. Pasalnya rumah mereka kan bersebrangan. Tidak mungkin mengacuhkan satu sama lain setiap hari seperti di sekolah. Mereka seolah sepakat untuk menuruti kemauan orang tua meski tanpa ada diskusi sebelumnya. Mereka juga tidak mempunyai pilihan lain selain menurut dan melakukan pertemanan kasual.
Ghea merasa Dirga juga sama-sama menyadari, jika kedekatan mereka tidak akan seperti dulu. Dulu mereka masih lah bocah kecil yang hidupnya hanya di seputar permainan. Kini mereka sudah remaja, dengan ambisi dan sifat yang jauh berubah.
Saat Dirga hendak berbalik, suara Ghea menahannya.
“Eh, Ga! Tunggu sebentar!” ujar Ghea sebelum buru-buru masuk.
Gerakan Dirga langsung terhenti. Tapi tidak lama, Ghea muncul kembali sambil membawa dua buah susu kotak rasa cokelat kemudian menyodorkannya pada Dirga. “Nih!”
Sudut bibir Dirga terangkat kecil, membentuk senyum tipis. “Thanks,” ujarnya. “Ujian Fisika kemarin, pilihan ganda nomor tujuh, lo jawab apa?”
Ghea bersedekap, mencoba mengingat-ngingat. “C.”
Kepala Dirga mengangguk-angguk mendengar jawaban Ghea. Apakah itu berarti jawaban mereka sama betul atau sama salah?
“Oke.”
Hah? Gimana? Dahi Ghea mengerut mendengar jawaban ambigu cowok itu.
“Gue balik dulu,” pamitnya sebelum berbalik dan berjalan kembali ke rumahnya.
Ghea memiringkan kepalanya, merasa bingung dengan sikap Dirga yang terkadang aneh dan tidak bisa ditebak. Yah, people changes. Tapi ia tidak menyangka Dirga bisa serandom itu. Ghea lantas bedecak. Biarlah, kenapa pula ia harus overthinking? Cewek itu berbalik dan masuk ke rumah.
Tapi jawabannya betul kan? Atau salah? Duh, udah! Gue mo tidur aja.