"Ikan lelenya lucu?” tanya suara rendah di belakang Ghea. Sedetik kemudian Dirga muncul dan langsung duduk di undakan air mancur.
Ghea menurunkan tangannya dan menetralkan ekspresi. “Nggak kok. Gue lagi nguap aja makanya nutup mulut,” jawabnya ngawur.
Kepala Dirga menunduk, melihat ikan-ikan kecil yang berenang dalam kolam di bawah air mancur. Sebelah sudut bibirnya terangkat mendengar jawaban asal-asalan Ghea. Ia kemudian beralih melihat Ghea dan bertanya. “Lo di kelas berapa?”
Sebelah alis Ghea terangkat naik. “11 MIPA 1.”
“Gue juga 11 IPA 1.”
Gue nggak nanya padahal? Aneh banget tiba-tiba ngajak ngobrol. Harus banget sekelas nih? batin Ghea. “Oh,” balasnya singkat lalu menenggal es jeruknya lagi.
Pembicaraan pun berhenti.
Duh, gue harus gimana nih?!
Ghea rasanya mati kutu. Matanya berpura-pura mengamati ikan lele itu terus. Bukannya ia tidak suka berbicara atau tidak suka berbicara pada Dirga tapi … masih terasa aneh saja untuk berbicara dengan cowok itu lagi. Toh ia juga tidak punya hal penting untuk dibicarakan.
Tapi ia pun tidak suka dengan keheningan yang seolah menekannnya seperti ini. Dari gelagatnya pun, sepertinya cowok itu tidak punya niat untuk pergi. Malah ia membuka satu bungkusan risol dan melahapnya. Harus banget makan sekarang? Di sini? Di depan air mancur? Dengan Ghea yang berdiri diam membisu bak penikmat patung ikan lele dadakan.
Ngomong-ngomong, Ghea baru sadar jika cowok itu sudah berganti pakaian dan tidak bau matahari lagi. Kaos oversized warna hijau tua berlengan pendek. Sekilas Ghea mencium bau lembut khas parfum beraroma woody dan powdery. TUNGGU-KENAPA GHEA BISA TAHU?
"DIRGA!"
Kedua orang itu seketika menoleh mendengar teriakan keras. Elang berlari ke arah mereka sambil melambaikan tangan dengan bersemangat. Dirga buru-buru melahap satu suapan risolnya dan bangkit. Kedua cowok itu pun otomatis saling berpelukan. Harusnya memang seperti ini ya situasi seorang teman yang sudah lama tidak bertemu? Penuh kehangatan dan nostalgia.
"Gimana kabarmu, Woi? Kenapa nggak pernah berkabar kalau mau balik lagi?" tanya Elang.
"Baik-baik, Lang. Sori-sori gue sibuk banget ngurus ini itu," jawab Dirga.
Elang mencebik. "Alah, alasan aja," balasnya.
Dirga terkekeh kecil. “Lo gimana kabarnya?”
“Baik lah—“ Kemudian pandangan Elang beralih ke arah Ghea yang diam mengamat. "Eh, Ghea. Mau peluk juga?" tanya Elang sambil kembali membuka kedua tangannya lebar-lebar.
Ghea tersenyum tipis. "Coba aja kalo berani," ujarnya sambil mengacungkan bogem pada Elang.
"Bercanda gais, galak banget jadi cewek," cibir Elang sambil memeletkan lidah ala jamet di Tiktok. Ghea lantas bergidik.
Dirga mengernyit. “Kalian udah akur?”
Ghea dan Elang melihat Dirga dengan pandangan bingung. Ghea lantas bertukar pandang dengan Elang. Mungkin bagi Dirga situasi ini masih aneh. Dulu waktu kecil, Ghea dan Elang sering bertengkar. Cowok jangkung itu sangat jahil dan suka merebut permainan di taman seenaknya. Pertengkaran paling besar saat Elang merebut ayunan dan entah bagaimana sampai Ghea tersungkur. Ghea tidak terima dong! Terjadilah baku hantam sampai harus dipisahkan oleh Dirga.
Elang tertawa. “Waktu lo berhenti di delapan tahun lalu sih. Sekarang kita mah udah bestfriend, ya nggak, Ghe?” Cowok itu hendak melingkarkan tangan ke bahu Ghea tapi langsung urung saat dipelototi. “Sorry, bestie.”
“Dih? Bestie-bestie, sok deket banget jamet.” Ghea memeluk tubuh dan bergidik geli. Tangannya lantas menunjuk rambut Elang. “Benerin tuh cat rambut lo yang nggak jelas.”
Elang tidak membalas ejekan itu, malah melihat Ghea dengan pandangan dan senyum jahil. Kemudian melihat Dirga. “Lo tau nggak Ga kalo Ghea pernah di obsesin anak komplek sebelah?”
“Elang, diem,” ancam Ghea.
Dirga menaikkan sebelah alis dengan ekspresi penasaran. “Iyakah?”
Elang menautkan jari telunjuk dan jari tengahnya. “Rill, gue saksi kunci lihat dia sampe dikejar pas di sekolah. Trus lo tau gong—“
Ghea memukul lengan Elang keras. Matanya melotot. “Diem, gak?!”
“Nggak mau,” balas Elang menantang. “Dia di—hmmph“
Ghea buru-buru menghamburkan diri dan membekap mulut Elang paksa dengan satu tangan. Sedang tangannya yang lain mencubit pinggang cowok itu. “Elang!” teriaknya kesal.
Elang memekik karena cubitan itu tapi langsung bisa melepaskan tangan Ghea dengan mudah. Tapi Ghea tidak menyerah membekap cowok itu lagi. “Dia ditembak—hmmph—di depan rumahnya!” Elang melepaskan melepaskan bekapan Ghea dengan paksa dan mengunci tangan cewek itu. “Lo bisa bunuh gue, Ghe, buset. Santuy, jangan salting.”
“Elang!” Ghea memekik kesal. Dahinya berkerut kesal, bahunya naik turun cepat karena marah.
Dirga tiba-tiba tertawa yang membuat Ghea dan Elang serempak menoleh. Cowok itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Waktu gue nggak berhenti delapan tahun yang lalu. Nih, buktinya kalian masih berantem.”
Ghea menyentakkan tangannya kasar dan bersedekap. Ia melirik kedua cowok itu dengan pandangan sinis.
"Berarti lo sekolah di Tri Tunggal juga?" tanya Dirga.
Elang mengangguk cepat. Matanya melebar antusias. “Iya, lah. Lo juga? IPA atau IPS?”
Dirga tertawa renyah. "IPA1."
"Gue IPS 3," balas Elang. “Lah sekelas sama Ghea nih?"
Demi apapun, Ghea tetap bisa menangkap nada menggoda dari nada bicaraa Elang. Seolah cowok itu terang-terangan mengejeknya. Ghea bahkan bisa melihat cowok itu menggulum senyum dan meliriknya.
"Lo masih mau jadi dokter?” tanya Elang kemudian.
Dirga mengangguk pelan. “Lo masih basket juga?” tanyanya balik.
Dari sudut mata Ghea memperhatikan kedua orang itu asik mengobrol berdua. Tiba-tiba ia seolah menjadi orang ketiga. Tapi tidak apa, ini lebih baik daripada ia yang harus jadi topik pembicaraan. Cewek itu sedikit tersentak saat Dirga menyolek lengannya dan menyodorkan risol. Ghea menerimanya, lalu cowok itu juga memberi satu untuk Elang. “Makan, guys. Lagi acara syukuran ini.”
"Thanks!" ujar Elang lalu kembali berbicara heboh dengan Raga sambil membuka bungkus risol. “Tapi ya, gue ngerasa kalian aneh,” celetuknya.
Dirga memiringkan kepala. "Aneh kenapa?" tanyanya tidak paham.
Dahi Ghea juga berkerut, ia menunggu jawaban Elang sambil mengunyah risolnya.
“Kenapa kalian diem-dieman? Gue nggak ngeliat kalian ngobrol daritadi,” ucapan itu dilontarkan Elang sesantai mungkin tapi Ghea jelas menangkap kerlingan jahil di mata cowok itu. Terus aja, terus! Awas ya, Lang!
"Ngobrol kok tadi." Dirga menimpali santai.
Elang menyipitkan mata. "Hawanya kayak ada yang aneh gitu ...." ujarnya mengambang, masih bersikeras mencari celah.
Sebelah alis Ghea terangkat. Matanya menatap Elang dengan pandangan mengancam. "Ngobrol kok tadi. Emangnya gue sering ngobrol sama lo?”
Elang meringis di tengah-tengah kunyahannya, tapi tiba-tiba cowok itu terdiam. Kepalanya menunduk, melihat risol di tangannya dengan seksama lalu sontak mendongak dan melihat Ghea dengan pandangan horror. Cowok itu merampas risol dari tangan Ghea. "Jangan dimakan, ada udangnya!"
Kunyahan Ghea sontak berhenti. Tubuhnya mematug, tangannya terangkat ke atas untuk membungkam mulutnya sendiri. Cewek itu seketika bergerak-gerak panik, menolehkan kepalanya ke segala arah sambil mengibas-ngibaskan tangan. Mencari selokan.
"Di sana!" Elang ikut panik, mengarahkan tangannya ke selokan di belakang rumah Dirga lalu mengikuti Ghea yang berlari tunggang langgang.
Ghea sontak memuntahkan segalanya. Sebelah tangannya bertopang pada Elang agar tidak jatuh. Tubuhnya membungkuk. Tenggorokannya mulai terasa panas hingga tanpa sadar air matanya mengalir dan ia mulai merintih. Seseorang menepuk-nepuk punggungnya. Awalnya Ghea mengira itu Elang, tapi saat ia mendongak sekilas pandangannya langsung bertubrukan mata Dirga yang melebar kaget.
Lalu seluruh tubuhnya mati rasa dan semuanya gelap.