Semua mata tertuju padanya saat ia berdiri di ambang pintu.
Wajahnya dingin. Tatapannya tajam. Luka memar di pipinya belum sepenuhnya pudar, justru menambah kesan kokoh pada sosoknya siang itu. Di tangannya, ia menggenggam sebuah map—erat, seperti menggenggam kebenaran itu sendiri.
Perlahan, Sophia melangkah masuk ke dalam ruangan.
“Permisi, Pak Jafar. Saya Sophia,” ucapnya tenang, namun mantap. “Maaf kalau saya tiba-tiba masuk ke pembicaraan ini. Saya ingin bicara… sebagai pihak korban.”
Tatapannya menancap lurus ke arah Ratna.
Bumi, yang berdiri tak jauh dari meja guru, hanya bisa menatapnya tanpa berkedip.
Bukan karena luka di wajahnya. Tapi karena sorot matanya.
Itu bukan Sophia yang ia kenal.
Bukan gadis pemalu yang sering ragu dan menunduk.
Gadis di depannya kini adalah seseorang yang berbeda. Percaya diri. Tegas. Seolah tak ada apa pun yang bisa menghalangi langkahnya.
Sophia melangkah mendekat ke arah meja pertemuan, lalu melempar map yang digenggamnya ke atas permukaan meja—suara berdebamnya menggema.
Ia kembali menatap Ratna. Suaranya terdengar jelas, bahkan terlalu jernih di tengah keheningan ruangan.
“Saya Sophia. Siswi yang kemarin ditarik ke dalam kelas dan dipukuli oleh anak Anda, Raka, dan teman-temannya.”
Tangan Ratna mengejang di pangkuan.
“Di dalam map itu,” lanjut Sophia, “ada hasil visum dan laporan polisi. Saya siap membawa kasus ini ke ranah hukum dan menuntut anak Anda atas tindak penganiayaan.”
Ruangan seketika hening.
Beberapa guru saling berpandangan. Kepala sekolah menelan ludah. Bahkan Rajasa, yang tadi duduk santai bersedekap, kini mulai menegakkan tubuhnya.
Tapi Ratna… justru mendengus keras.
Ia berdiri, posturnya tinggi dan congkak, menatap Sophia dengan sorot penuh tantangan.
“Silakan saja,” katanya ketus. “Kami juga siap kalau kamu mau bawa ini ke jalur hukum.”
Ia melirik ke arah suaminya, lalu menoleh ke Bumi. “Tapi itu berarti kami juga akan membawa anak ini...”—ia mengangguk ke arah Bumi—“...ke ranah hukum.”
Bumi mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras. Tapi sebelum ia sempat bicara, Sophia tersenyum.
Senyum yang tidak sekadar tenang—tapi penuh persiapan. Seolah ia sudah tahu kalimat itu akan keluar.
“Saya belum selesai, Bu Ratna,” katanya pelan. “Saya tidak cuma akan membawa polisi ke kasus ini…”
Senyumnya bertambah lebar.
“...tapi juga media.”
Kali ini, mata Ratna dan Rajasa melebar.
Ratna melangkah mundur satu langkah tanpa sadar, sementara Rajasa kini benar-benar duduk tegak. Ketegangannya terpancar jelas.
Sophia menyilangkan tangan di depan dada. Wajahnya tak tergoyahkan.
“Mungkin Bu Ratna belum tahu,” ucapnya pelan, “nenek saya adalah mantan jurnalis media nasional. Beliau punya koneksi ke banyak redaksi, bahkan internasional. Dan siang ini, beliau sedang ‘reuni’ dengan salah satu temannya di ruang redaksi media nasional.”
Sophia mengangguk ke arah map di atas meja.
“Semua yang ada di dalam map itu… sedang beliau pegang.”
Ratna menoleh ke map dengan ragu. Perlahan, ia mengambilnya dan membuka halaman pertama.
Tangan yang biasanya tegas kini sedikit gemetar.
Di dalamnya, tersusun rapi: salinan laporan visum, foto-foto luka lebam yang mengerikan di tubuh Sophia, salinan surat keterangan kepolisian, salinan kronologi kejadian lengkap dengan nama-nama pelaku, serta catatan detail siapa melakukan apa—ditulis tangan oleh Sophia.
Dan di bagian belakang, lembaran cetak foto-foto Raka, diambil dari akun Friendsternya, dalam berbagai pose yang tidak membantu citranya.
Sophia mengeluarkan sesuatu lagi dari saku roknya—sebuah flash disk.
Ia meletakkannya di meja. Suara kecil tuk terdengar nyaring.
“Itu adalah rekaman audio. Isinya pernyataan para saksi, dan korban-korban lain… dari anak Anda.”
Sophia menatap Ratna lurus-lurus.
“Iya, Bu Ratna. Anak Anda adalah pelaku perundungan. Dan korbannya bukan cuma saya.”
Ratna mengambil flash disk itu perlahan. Wajahnya mulai pucat.
Sophia kembali menambahkan, suaranya masih datar namun tajam, “Tenang saja. File yang sama juga sedang dipegang nenek saya sekarang.”
Ratna membeku. Matanya membelalak.
Rajasa memalingkan wajah, rahangnya mengatup.
Bumi, di sudut ruangan, hanya bisa memandang gadis itu.
Matanya tak bisa lepas dari sosok Sophia yang berdiri di tengah ruangan, dengan luka di tubuh tapi kepala tegak.
Dan untuk pertama kalinya…
Mulut Bumi sedikit terbuka.
Dalam diam, ia terkesima.
***
Wanita berambut keriting dengan uban yang telah sepenuhnya menguasai kepalanya. Ia menyesap kopi hitamnya perlahan. Wajahnya dikerut usia, tapi sorot matanya masih tajam. Tak ada yang berubah dari tatapannya—sama seperti saat ia dulu duduk di ruangan ini, di meja yang sama, puluhan tahun lalu.
Di hadapannya, sebuah map terbuka. Ia mengeluarkan isinya satu per satu dengan gerakan pelan namun pasti. Rapi. Terencana.
Salah satu lembarannya adalah tulisan tangan cucunya—Sophia. Sebuah laporan kronologis yang detail, nyaris seperti laporan investigasi seorang wartawan muda. Lengkap dengan nama, waktu, lokasi, hingga peran masing-masing pelaku.
Omma Maya tersenyum kecil.
Anak pintar, pikirnya.
Di sampingnya, sebuah flash disk tergeletak. Di dalamnya, rekaman suara para siswa lain—korban-korban lama dari seorang anak bernama Raka. Suara-suara yang selama ini hanya berani berbisik, kini terang dan terdokumentasi.
Ketika tahu siapa ayah Raka. Seorang polisi. Bukan polisi biasa—berpangkat, punya koneksi.
Ia tahu, kemungkinan menang di jalur hukum tidak besar.
Tapi cucunya tidak takut.
Sophia tidak hanya menyusun bukti yang bisa menekan di pengadilan.
Ia menyusun narasi yang bisa mengguncang opini publik.
Omma Maya mengangguk pelan, memasukkan kembali dokumen-dokumen itu ke dalam map. Lalu ia melirik ke arah satu map lain—berisi dokumen hasil penyelidikan dari koneksinya di dinas dan kepolisian tentang kasus yang cucunya minta ia selidiki. Tangannya belum sempat meraihnya ketika suara langkah cepat terdengar mendekat.
Seorang pria berkacamata muncul tergopoh-gopoh dengan senyum lebar. Di lehernya tergantung ID card besar bertuliskan Editor-in-Chief.
“Waduh... Omma! Kok tumben ke sini? Udah ngopi belum?” sapanya ceria.
Omma Maya melambai santai ke arah secangkir kopi hitam yang masih mengepul di meja.
“Memangnya kenapa? Masa saya nggak boleh datang ke sini?” jawabnya enteng sambil membalik-balik lembaran dokumen di tangannya.
“Ng–nggak gitu juga, sih...” pria itu tergelak kecil, salah tingkah. Tangannya mengusap tengkuk.
Ia tahu persis siapa wanita di hadapannya.
Ini bukan hanya seorang nenek yang mampir reuni. Ini adalah Maya Reksaningtyas—nama yang melegenda di dunia jurnalistik. Perempuan yang pernah mengungkap skandal pejabat, korupsi BUMN, dan jaringan perdagangan manusia di wilayah perbatasan.
Kehadirannya bukan main-main. Dan bila ia muncul dengan map tebal dan senyum tipis seperti sekarang...
…maka seseorang, di luar sana, akan segera kehilangan tidurnya.
suka dengan bagaimana kamu ngebangun ketegangan di awal, adegan di toilet itu intens, tapi tetap terasa realistis. Dialog antar karakter juga hidup dan natural, terutama interaksi geng cewek yang penuh nostalgia masa SMA; kaset AADC dan obrolan ringan itu ngena banget.
Comment on chapter Pandangan Pertama