Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Bawah Langit Bumi
MENU
About Us  

Di dalam kubikel toilet yang sempit, Bumi berdiri diam. Tatapannya mengunci wajah Farid yang berdiri membeku di depannya. Wajah Farid pucat, napasnya tersengal tak beraturan.

Bumi perlahan menurunkan tangannya dari mulut Farid.

Anak itu buru-buru menarik napas dalam, tapi sorot mata Bumi yang tajam dan tak berkedip masih membuatnya merasa sesak.

“Jadi… ada yang mau lo kasih tahu ke gue, Farid?” bisik Bumi pelan.

Nada suaranya tenang. Tapi tajam, seperti pisau yang baru saja disayatkan ke kulit.

Farid menatap Bumi dengan mata membesar. Bibirnya bergetar sebelum akhirnya berbisik tergesa, “Gue… gue cuma disuruh! Sumpah, Bumi. Gue cuma disuruh! Gue juga enggak mau ngambil baju lo…”

Bumi mengerutkan alisnya.

“Siapa yang nyuruh?”

Farid belum sempat menjawab. Tapi firasat Bumi sudah menangkap arah jawabannya.

“Ra… Raka… Gue dipaksa… Gue… ta–takut…”

Bumi mendengus kecil.

“Lo takut sama Raka?” ucapnya pelan.

Ia tertawa. Tawa pendek dan dingin, tanpa sedikit pun humor.

Tiba-tiba, tangannya bergerak cepat, mencengkeram rahang Farid. Tidak menyakitkan, tapi cukup untuk membuat anak itu tercekat karena terkejut.

“Gue enggak peduli lo ngelakuinnya karena terpaksa atau sukarela,” ucapnya, mata menatap lurus dan tajam.

“Yang jelas… kalau lo coba-coba ngerjain gue lagi…”

Bumi mendekatkan wajahnya, hanya sejengkal dari wajah Farid yang kini mulai gemetar.

“…lo bakal sadar… kalau selama ini, lo takut sama orang yang salah.”

Sebuah seringai dingin muncul di wajah Bumi. Farid menahan napas.

“Sekarang… lo balikin baju gue,” kata Bumi datar.

“Kalau sampai gue balik ke kelas dan baju gue belum ada di atas meja…”

Suara Bumi semakin merendah.

“…lo bakal gue tarik lagi ke sini.”

Farid mengangguk cepat.

Bumi belum melepas cengkeramannya. Ia menekan sedikit lebih dalam ke rahang Farid.

“…dan kalau sampai lo harus gue tarik lagi ke sini…” suaranya nyaris berbisik,

“…jangan harap gue bakal berbaik hati lagi.”

Farid menelan ludah. Panik. Ia mengangguk lagi, kali ini lebih cepat.

Bumi akhirnya melepas tangannya.

“Pergi.”

Farid tidak perlu diperintah dua kali. Dengan tangan gemetar, ia meraih kunci, memutarnya dengan panik, dan membuka pintu. Ia keluar terburu-buru, nyaris tersandung kakinya sendiri.

Sementara itu, Bumi tetap berdiri di tempatnya. Tenang. Tak bergerak.

Raka.

Nama itu berputar di benaknya.

Lo mau main-main sama gue?

Ok. Gue kasih tahu lo... caranya bermain di permainan kayak gini.

 

***

Bel istirahat makan siang berdentang nyaring, disambut sorak riang dari sudut-sudut sekolah. Dari kelas XII IPS 3, empat orang cewek melangkah keluar dengan langkah santai, masing-masing membawa bekal tawa dan topik obrolan yang tak ada habisnya.

“Eh, kaset AADC gue mana? Belom lo balikin, Gin!” omel Karla sambil memicingkan mata ke arah sahabatnya.

“Yaelah… besok deehh…” jawab Gina santai, memasukkan tangan ke saku rok abu-abunya. “Baru juga berapa hari gue pinjem.”

“Jangan sampe ilang lagi kaya waktu itu lo ilangin kaset Christina Aguilera gue!”

“Kalo ilang mah lo tinggal minta beliin Nora,” seloroh Gina sambil tertawa.

Nora, yang sejak tadi melamun sambil jalan, tersentak. “Dihh, kenapa gue??”

Tawa mereka pecah lagi. Nora memang paling tajir di antara mereka—anak orang berada yang sering jadi sponsor tak resmi untuk kebutuhan geng kecil mereka. Entah itu kaset, lip gloss, atau bando lucu dari mal.

Namun saat tawa mereda, Karla menoleh ke arah satu orang yang sejak tadi diam. “Lo kenapa, Rik?”

Rika menatap layar ponselnya. Jempolnya sempat menggantung sebelum ia mendesah. “Si Raka… ngotot banget. Udah berapa kali gue bilang putus…”

“Sini liat,” kata Gina sambil langsung menyambar ponselnya. Dalam sekejap, ketiganya membungkuk mengintip isi SMS itu.

“Ihh… maksa bangeet,” gumam Karla dengan alis naik.

“Gue aja deh yang ngomong sama dia. Biar dia kapok,” ucap Gina. Suaranya santai, tapi sorot matanya tajam. Di antara mereka, Gina memang yang paling tomboy, dan paling siap berantem.

Rika tersenyum kecil. “Udahlah… biarin aja…”

“RIKA, AWAS!!!”

Semuanya terjadi dalam satu detik. Sebelum Rika sempat menyelesaikan kalimatnya, sebuah bola sepak melesat cepat dari arah lapangan, mengarah lurus ke wajahnya.

Jeritan pecah. Rika membeku. Ia tak sempat menghindar.

Namun sebelum bola itu menyentuh kulitnya, sebuah tangan terangkat dengan tenang dan plak!—menangkisnya keras. Bola memantul jauh, jatuh entah ke mana.

Semua orang terdiam.

Rika mendongak. Di depannya, berdiri seorang cowok hanya memakai kaos putih tipis dengan kemeja putih disampirkan asal di salah satu bahunya. Kaos itu nyaris transparan dan menampakkan garis-garis otot di bawah lengan yang masih menegang karena menangkis bola tadi.

Wajah cowok itu datar tanpa emosi dan matanya yang hitam pekat terlihat sangat misterius. 

Rika dan ketiga temannya terpaku. Entah karena kaget, kagum, atau… campuran keduanya.

Cowok itu hanya melirik sekilas ke arah Rika. Tatapannya singkat, tapi cukup untuk membuat jantung gadis itu berdegup tak karuan.

Tanpa berkata apa-apa, ia berjalan melewati Rika, seolah insiden barusan hanyalah gangguan kecil di antara napasnya.

Keheningan masih menggantung.

Rika masih diam di tempat, mencoba mengatur napasnya yang tiba-tiba tak beraturan. 

Lalu terdengar suara Nora pelan, polos, lirih, “Gue… enggak bisa napas.”

 

***

Kantin siang itu riuh seperti biasa. Meja-meja penuh, suara tawa terdengar dari segala arah, dan aroma gorengan bercampur dengan teriakan pemesanan minuman.

Bumi berdiri di depan salah satu kios, memegang botol air mineral dingin. Ia sudah memakai kembali kemeja putihnya yang sekarang kusut dan kotor, sisa peluh dari pelajaran olahraga tadi. 

Saat membalikkan badan dan mulai berjalan pergi, tawa cekikikan meledak dari arah kanan.

Geng Raka.

“Heh, anak baru! Lo abis olahraga atau abis nyangkul, hah? Kotor bener, kayak orang habis panen!”

Tawa mereka meledak. Keras. Meremehkan.

Bumi mendengarnya. Ia menghentikan langkahnya.

Tanpa ekspresi, ia meneguk air dari botolnya. Lama. Pelan.

Kemudian menarik napas panjang, dan perlahan, berbalik.

Tawa di meja itu mulai mengendur.

Geng Raka tidak menyangka Bumi akan benar-benar menoleh. Apalagi melangkah ke arah mereka.

Langkahnya santai. Tidak terburu-buru. Tidak menantang.

Tapi di wajahnya muncul senyum kecil. Senyum yang tidak membawa kehangatan.

Hanya ancaman.

“Lucu?” suara Bumi datar, nyaris ramah.

Tak ada yang menjawab. Satu-dua anak geng itu mulai menunjukkan gelagat waspada.

Tatapan Bumi lalu beralih ke Raka.

“Harus gue akui… nyali lo boleh juga, mau mulai permainan kayak gini sama gue.”

Raka menyeringai kecil, mengangkat dagunya.

“Jujur aja… gue mulai menikmati permainan ini. Apalagi ini baru permulaan.”

Senyum Bumi melebar sedikit, miring, nyaris seperti ejekan.

“Gue juga.”

Ia meneguk airnya sekali lagi, lalu menatap Raka lurus-lurus.

“Dan asal lo tau… sekali lo mulai permainan ini sama gue, pilihan lo cuma dua.”

Sorot mata Raka menajam.

“Kalah memalukan… atau hancur.”

Bumi mengangkat botol plastiknya yang nyaris kosong.

Meneguknya sampai habis.

Lalu dengan satu tangan, meremasnya sampai penyok tak berbentuk.

Dan melemparnya keras ke atas meja mereka. Tepat di tengah.

Geng Raka tersentak. 

“Sialan!”

Salah satu dari mereka nyaris berdiri, tangannya mengepal.

Tapi—

“Tahan.”

Raka hanya perlu satu kata. Suaranya tidak keras, tapi cukup tajam untuk menghentikan pergerakan.

Tatapannya tak lepas dari Bumi.

Bumi hanya tersenyum tipis. Lalu berbalik.

Langkahnya tenang saat meninggalkan meja itu.

Tak satu pun dari mereka menyusul. Tak satu pun yang berani bersuara.

Raka duduk diam, matanya mengamati punggung Bumi yang menjauh di antara kerumunan siswa.

Napasnya mengembus pelan. Tatapannya mengeras.

Dia akan pastikan satu hal, hidup anak baru itu tidak akan pernah benar-benar tenang di sekolah ini.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • linschq

    suka dengan bagaimana kamu ngebangun ketegangan di awal, adegan di toilet itu intens, tapi tetap terasa realistis. Dialog antar karakter juga hidup dan natural, terutama interaksi geng cewek yang penuh nostalgia masa SMA; kaset AADC dan obrolan ringan itu ngena banget.

    Comment on chapter Pandangan Pertama
  • adiatamasa

    Semangat, ya, kak.

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
MANITO
1363      934     14     
Romance
Dalam hidup, terkadang kita mempunyai rahasia yang perlu disembunyikan. Akan tetapi, kita juga butuh tempat untuk menampung serta mencurahkan hal itu. Agar, tidak terlalu menjadi beban pikiran. Hidup Libby tidaklah seindah kisah dalam dongeng. Bahkan, banyak beban yang harus dirasakan. Itu menyebabkan dirinya tidak mudah berbagi kisah dengan orang lain. Namun, ia akan berusaha untuk bertahan....
Kisah Alya
333      236     0     
Romance
Cinta itu ada. Cinta itu rasa. Di antara kita semua, pasti pernah jatuh cinta. Mencintai tak berarti romansa dalam pernikahan semata. Mencintai juga berarti kasih sayang pada orang tua, saudara, guru, bahkan sahabat. Adalah Alya, yang mencintai sahabatnya, Tya, karena Allah. Meski Tya tampak belum menerima akan perasaannya itu, juga konflik yang membuat mereka renggang. Sebab di dunia sekaran...
Sebelah Hati
1050      659     0     
Romance
Sudah bertahun-tahun Kanaya memendam perasaan pada Praja. Sejak masih berseragam biru-putih, hingga kini, yah sudah terlalu lama berkubang dengan penantian yang tak tentu. Kini saat Praja tiba-tiba muncul, membutuhkan bantuan Kanaya, akankah Kanaya kembali membuka hatinya yang sudah babak belur oleh perasaan bertepuk sebelah tangannya pada Praja?
Dandelion
910      469     0     
Short Story
Sepasang gadis kembar, menjalani masa muda mereka dengan saling mengisi. Lika-liku kehidupan menjadikan mereka gadis-gadis yang berani layaknya bunga dandelion.
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
1259      776     0     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...
Gareng si Kucing Jalanan
10928      3542     0     
Fantasy
Bagaimana perasaanmu ketika kalian melihat banyak kucing jalanan yang sedang tertidur sembarangan berharap ketika bangun nanti akan menemukan makanan Kisah perjalanan hidup tentang kucing jalanan yang tidak banyak orang yang mau peduli Itulah yang terjadi pada Gareng seekor kucing loreng yang sejak kecil sudah bernasib menjadi kucing jalanan Perjuangan untuk tetap hidup demi anakanaknya di tengah...
Penerang Dalam Duka
928      521     2     
Mystery
[Cerita ini mengisahkan seorang gadis bernama Mina yang berusaha untuk tetap berbuat baik meskipun dunia bersikap kejam padanya.] Semenjak kehilangan keluarganya karena sebuah insiden yang disamarkan sebagai kecelakaan, sifat Mina berubah menjadi lebih tak berperasaan dan juga pendiam. Karena tidak bisa merelakan, Mina bertekad tuk membalaskan dendam bagaimana pun caranya. Namun di kala ...
Paint of Pain
1080      732     33     
Inspirational
Vincia ingin fokus menyelesaikan lukisan untuk tugas akhir. Namun, seorang lelaki misterius muncul dan membuat dunianya terjungkir. Ikuti perjalanan Vincia menemukan dirinya sendiri dalam rahasia yang terpendam dalam takdir.
Monokrom
113      93     1     
Science Fiction
Tergerogoti wabah yang mendekonstruksi tubuh menjadi serpihan tak terpulihkan, Ra hanya ingin menjalani kehidupan rapuh bersama keluarganya tanpa memikirkan masa depan. Namun, saat sosok misterius bertopeng burung muncul dan mengaku mampu menyembuhkan penyakitnya, dunia yang Ra kenal mendadak memudar. Tidak banyak yang Ra tahu tentang sosok di balik kedok berparuh panjang itu, tidak banyak ju...
Regrets
1068      578     2     
Romance
Penyesalan emang datengnya pasti belakangan. Tapi masih adakah kesempatan untuk memperbaikinya?