Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Bawah Langit Bumi
MENU
About Us  

Bumi melihat jam tangannya. Pelajaran olahraga akan dimulai sebentar lagi. Ia tak punya waktu untuk mencari baju olahraganya yang hilang.

Rahangnya mengeras. Dengan tetap mengenakan seragam putih abu-abu, ia turun ke lapangan.

Di lantai satu, ia melihat Sophia berjalan paling belakang di barisan anak-anak perempuan. Bumi menajamkan pandangannya. Lalu bergerak cepat.

Ia menarik tangan Sophia. Gadis itu tersentak. Tanpa peringatan, Bumi meraih lengannya dan menariknya ke bawah tangga. Tubuh Sophia tertahan di dinding beton, dan Bumi berdiri di depannya, cukup dekat untuk membuat gadis itu tak punya ruang mundur.

Mata Sophia membulat. "Bu—"

"Baju olahraga gue ada yang ngambil." Suara Bumi dingin. "Lo tau siapa?"

Sophia menggeleng cepat. "Gue… enggak tahu."

Bumi diam sesaat. Tatapannya mengunci wajah Sophia. Sorot matanya tak hanya melihat, tapi menelanjangi.

Ia mencermati alis yang terangkat gugup, bibir yang bergerak ragu tanpa ada upaya menyembunyikan kebohongan. Napas Sophia pendek dan bergetar di dada—tanda shock, bukan rekayasa. Matanya bergerak cepat tapi tidak melirik ke arah tertentu, tidak seperti orang yang sedang mengarang jawaban.

Dagunya sedikit menunduk, bukan menantang. Sorot matanya membesar, tapi bukan karena menyembunyikan sesuatu, lebih seperti seseorang yang baru saja diseret ke dalam badai tanpa tahu alasannya.

Semua reaksi itu… terlalu alami untuk disebut sandiwara.

“Lo di mana waktu istirahat tadi?” tanya Bumi, tetap dingin.

“Di kelas…”

“Di meja?”

Sophia mengangguk pelan.

“Lo liat ada orang yang nyentuh tas gue?”

Sophia menggeleng. “Enggak.”

Bumi menyipitkan mata. “Kalau gitu siapa lagi yang ngambil kalau bukan lo? Lo ada di sana terus, kan?”

Sophia panik. “Bu-bukan gue! Gue enggak pernah ngambil!”

Tangan Bumi bergerak ke dinding di sebelah kepala Sophia, membuat jarak mereka semakin mengecil. Wajahnya hanya sejengkal dari wajah gadis itu.

“Terus? Siapa lagi kalau bukan lo?”

Sophia menarik napas pendek. “Gue emang di kelas pas istirahat. Tapi pas anak-anak cowok masuk buat ganti baju, gue keluar. Gue ke toilet cewek di lantai satu. Habis itu gue enggak balik ke atas lagi.”

Bumi kembali memperhatikan ekspresinya. Tidak ada keraguan. Tidak ada jeda yang terlalu lama. Dan yang paling penting, tidak ada rasa bersalah di matanya.

Tapi ia tetap mencondongkan tubuhnya, sorot matanya menajam.

“Satu celah aja gue temuin di cerita lo…” katanya pelan, “…siap-siap terima konsekuensinya.”

Sophia menelan ludah mendengar ancaman itu. 

Tanpa kata, Bumi mundur selangkah, lalu berbalik dan pergi, seolah Sophia tak pernah ada di sana.

Sophia masih membeku di tempatnya. Napasnya kembali, tapi jantungnya masih berdetak kacau, dadanya naik turun cepat. Tatapan Bumi… masih menggantung di benaknya, seperti bayangan yang masih menghantui.

 

***

Kelas X-A dan X-E memiliki jadwal olahraga yang sama, tepat setelah jam istirahat pertama. Begitu menjejakkan kaki di lapangan, hal pertama yang terpikir oleh Dirga adalah mencari saudara kembarnya, Bumi.

Begitu menemukannya, jantung Dirga langsung mencelos. Bumi berjalan santai ke arah barisan kelasnya… dengan masih mengenakan seragam putih abu-abu.

Ngapain dia? Kenapa dia enggak pakai baju olahraga?

“Bumi!” panggilnya panik.

Bumi hanya melirik sekilas, mengangkat alis, lalu kembali berjalan seolah tak mendengar. Dirga mengumpat pelan, buru-buru mengejar.

“Ke mana baju olahraga lo?” tanya Dirga begitu berhasil menyamai langkahnya. Napasnya masih terengah ketika ia mulai ikut bergabung dengan barisan kelasnya sendiri.

“Ada yang ngambil,” jawab Bumi santai.

“HAH?!” Dirga terperanjat. Beberapa siswa di sekitar mereka menoleh heran.

Bumi mengerutkan alis. “Lo berisik.”

Dirga menurunkan volume suaranya, bergeser sedikit lebih dekat. “Siapa yang ngambil?” bisiknya cepat.

Bumi hanya mengangkat bahu.

Dirga mulai panik. “Apa jangan-jangan… Raka? Kan bener! Dia pasti udah mulai ngerjain lo!”

Bumi memutar mata, kesal. “Gue enggak tahu Raka di balik ini atau enggak. Yang jelas, ini kerjaan orang dalem. Anak kelas gue yang ngambil.”

“Lo tahu dari mana?” Dirga mengerutkan dahi.

Bumi melipat lengannya di dada. Wajahnya kini serius, dingin seperti biasa saat dia sedang menganalisis sesuatu.

“Istirahat pertama mulai jam sepuluh. Gue keluar kelas buat keliling sekolah. Temen sebangku gue kemungkinan masih duduk di meja sampai sekitar 10.20, sepuluh menit sebelum olahraga mulai. Kalau ada yang nyentuh tas gue di waktu itu, dia pasti liat. Gue balik ke kelas lima menit sebelum jam mulai. Artinya, siapapun yang ngambil baju cuma punya waktu sekitar lima sampai sepuluh menit. Kalau dia anak kelas lain, mana sempat dia nyari tahu posisi tas gue kecuali ada yang ngasih tahu. Jadi, pasti anak kelas gue terlibat.”

Dirga tertegun. “Wah… lu udah kayak detektif.”

Bumi tidak menggubris pujian itu.

“Kalaupun ini kerjaan Raka, kaki tangannya pasti ada di kelas gue. Dan gue bakal nemuin siapa.”

Penampilan Bumi yang lain sendiri mulai menarik perhatian beberapa anak. Di antara mereka mulai melirik ke arah Bumi kemudian berbisik. Bumi tidak terlalu peduli dengan perhatian itu. Ia tetap berdiri tenang di barisannya, sambil maju selangkah demi selangkah menunggu gilirannya untuk melakukan lompat kangkang.

Di barisan anak perempuan, Sophia maju dengan langkah ragu. Gerakannya canggung, seperti tidak yakin harus melangkah atau mundur.

Begitu peluit ditiup, ia mulai berlari—namun terhenti tepat di depan peti lompat. Ia membeku, tidak berani melompat. Beberapa murid di sekitar langsung tertawa.

Sophia mundur, mencoba lagi. Kali ini, ia berusaha melompat. Tapi kakinya kurang terangkat. Tubuhnya menghantam peti lompat dan jatuh bersama matras yang terguncang, membuat peti ikut rubuh.

Tawa di sekitar lapangan terdengar semakin keras.

“Itu anak kelas lo?” tanya Dirga, meringis. “Kasian banget. Kayaknya sakit…”

Sophia berusaha berdiri. Wajahnya menunduk dalam-dalam menahan malu, sementara tangannya mengusap lututnya yang perih. Ia buru-buru kembali ke barisan, mencoba menghindari tatapan.

Bumi hanya melirik sekilas, lalu kembali menatap ke depan dengan wajah datar dan bosan. 

“Hei kamu! Mana baju olahraga kamu??” teriak Pak Simon, guru olahraga mereka ke Bumi.

Dirga terlihat cemas dengan apa yang akan dijawab Bumi. Tapi mendengar pertanyaan itu mendadak Bumi mendapat ide.

“Hilang, Pak…” jawabnya dengan suara tenang namun jelas terdengar ke seluruh murid di lapangan. Dan saat dia mengatakan itu, matanya langsung menyapu sekeliling. Memindai. Mencari. Mencari jejak reaksi yang tidak seharusnya. Gerakan gelisah, wajah yang dipalingkan terlalu cepat. 

“…ada yang ngambil, Pak,” tambah Bumi sambil tetap memperhatikan sekeliling. Lalu matanya yang tajam tiba-tiba terfokus ke satu titik.

Bumi tersenyum. Senyum dingin seorang predator yang akhirnya menemukan mangsanya.

“Ketangkep juga,” gumam Bumi sambil menyeringai kecil.

Mendengar itu Dirga mengerutkan kening. “Siapa?” tanya Dirga penasaran.

Tapi Bumi tidak menjawab. 

“Heh, lo enggak bakal apa-apain tu anak kan?” tanya Dirga khawatir.

Bumi menyeringai lebih lebar, “Tenang aja, gue bakal berbaik hati… untuk kali ini.” 

Dirga bergidik ngeri. Masalahnya versi Bumi tentang ‘berbaik hati’ bisa berarti apa saja. 

Pak Simon menghela napas panjang, “Untuk kali ini enggak apa-apa. Tapi minggu depan udah harus pakai baju olahraga ya.” 

“Iya, Pak…”

“Ayo, sekarang giliran kamu.” 

Mereka berdua baru sadar kalau sekarang sudah berdiri di barisan paling depan. Anak-anak yang sudah melakukan lompat kangkang sudah pindah ke barisan di seberang mereka.

Bumi menghela napas pelan, lalu membuka kancing kemejanya satu per satu. Gerakannya santai, tapi entah kenapa membuat mata para cewek di lapangan terpaku. Begitu kaos putih tipis di baliknya terlihat, beberapa dari mereka menahan napas, satu bahkan buru-buru menghirup inhaler.

Dengan tenang, Bumi melemparkan kemejanya ke Dirga yang tergagap menangkapnya. Ia maju ke depan, sinar matahari memperjelas siluet tubuhnya yang berkeringat di balik kaos tipis.

Setelah sedikit merenggangkan tubuh, Bumi berlari. Lompatan ringannya nyaris melawan gravitasi. Ia menapak peti lompat, lalu mendarat dengan presisi dan berdiri tegak, elegan.

Seluruh lapangan terdiam sesaat.

Tanpa menoleh, Bumi berjalan santai ke barisan, menarik ujung kaosnya untuk mengelap keringat di wajah.

Desisan inhaler kembali terdengar.

Dirga hanya mendengus datar. “Pamer.”

 

***

Farid berjalan menyusuri lorong kecil menuju toilet anak laki-laki. Keringat membanjiri pelipisnya, tangannya dingin, dan napasnya tersengal.

Apa dia tahu?

Wajah Bumi terlintas di benaknya, tatapan kosong yang sempat singgah padanya di lapangan tadi. Tatapan yang terlalu tajam untuk disebut kebetulan.

Apa dia tahu kalau gue yang ngambil bajunya? pikirnya panik.

Langkahnya terhenti. Bulu kuduknya berdiri. Ada sesuatu… perasaan aneh menyusup ke tulang belakangnya. Ia menoleh cepat. Kosong. Lorong itu sunyi. Tidak ada siapa-siapa.

Farid menelan ludah. Ia buru-buru masuk ke toilet, mendorong pintunya terbuka, kemudian menghampiri wastafel, dan membasuh wajahnya. Tangannya masih gemetar, tapi ia mencoba mengatur napas.

“Enggak… enggak mungkin,” gumamnya lirih. “Paling cuma kebetulan aja mata kita ketemu…”

Ia menarik napas dalam-dalam, menatap bayangannya sendiri di cermin. Matanya terlihat lelah, kacau, seperti menyembunyikan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan.

Setelah beberapa detik, ia berbalik dan melangkah menuju pintu keluar.

Ia menekan gagangnya.

Terkunci.

Farid mengerutkan kening. Mencoba lagi—dua kali, tiga kali. Tetap tidak bisa.

Panik mulai menjalari tubuhnya. Ia mengangkat tangan, hendak menggedor pintu dan berteriak minta tolong, tapi…

Sesuatu menekap mulutnya dari belakang.

Tangan, besar dan kuat, menyeretnya ke salah satu kubikel.

Tubuhnya tersentak ketika punggungnya membentur dinding sempit di belakangnya.

Klik. Kunci pintu diputar dari dalam.

Farid menelan ludah, udara seketika terasa hilang dari paru-parunya. 

Di depannya… Bumi.

Wajahnya datar. Tangan kirinya masih menekap mulut Farid, sementara mata hitamnya menatap dingin, menusuk.

Bumi mengangkat satu jari, menempelkannya ke bibirnya sendiri.

“Sst…”

Kemudian… Bumi tersenyum. Senyum tipis yang dingin dan mengerikan, seperti milik seseorang yang tahu ia memegang kendali penuh. Senyum yang membuat lutut Farid terasa lemah dan goyah.

“Mau ke mana, Farid?” bisiknya lembut. Terlalu lembut. Seolah baru saja bertemu teman lama di lorong sekolah.

Farid membeku. Punggungnya masih terasa berdenyut akibat benturan. Tapi yang paling ia rasakan adalah ketakutan.

Bumi tahu.

Dan kini, tak ada jalan keluar.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • linschq

    suka dengan bagaimana kamu ngebangun ketegangan di awal, adegan di toilet itu intens, tapi tetap terasa realistis. Dialog antar karakter juga hidup dan natural, terutama interaksi geng cewek yang penuh nostalgia masa SMA; kaset AADC dan obrolan ringan itu ngena banget.

    Comment on chapter Pandangan Pertama
  • adiatamasa

    Semangat, ya, kak.

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Lost & Found Club
437      348     2     
Mystery
Walaupun tidak berniat sama sekali, Windi Permata mau tidak mau harus mengumpulkan formulir pendaftaran ekstrakurikuler yang wajib diikuti oleh semua murid SMA Mentari. Di antara banyaknya pilihan, Windi menuliskan nama Klub Lost & Found, satu-satunya klub yang membuatnya penasaran. Namun, di hari pertamanya mengikuti kegiatan, Windi langsung disuguhi oleh kemisteriusan klub dan para senior ya...
Matahari untuk Kita
1059      547     9     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...
Kemana Perginya Ilalang
713      460     0     
Short Story
bukan hanya sekedar hamparan ilalang. ada sejuta mimpi dan harapan disana.
Kisah Alya
334      237     0     
Romance
Cinta itu ada. Cinta itu rasa. Di antara kita semua, pasti pernah jatuh cinta. Mencintai tak berarti romansa dalam pernikahan semata. Mencintai juga berarti kasih sayang pada orang tua, saudara, guru, bahkan sahabat. Adalah Alya, yang mencintai sahabatnya, Tya, karena Allah. Meski Tya tampak belum menerima akan perasaannya itu, juga konflik yang membuat mereka renggang. Sebab di dunia sekaran...
Kepak Sayap yang Hilang
118      111     1     
Short Story
Noe, seorang mahasiswa Sastra Jepang mengagalkan impiannya untuk pergi ke Jepang. Dia tidak dapat meninggalkan adik kembarnya diasuh sendirian oleh neneknya yang sudah renta. Namun, keikhlasan Noe digantikan dengan hal lebih besar yang terjadi pada hidupnya.
Can You Hear My Heart?
539      323     11     
Romance
Pertemuan Kara dengan gadis remaja bernama Cinta di rumah sakit, berhasil mengulik masa lalu Kara sewaktu SMA. Jordan mungkin yang datang pertama membawa selaksa rasa yang entah pantas disebut cinta atau tidak? Tapi Trein membuatnya mengenal lebih dalam makna cinta dan persahabatan. Lebih baik mencintai atau dicintai? Kehidupan Kara yang masih belia menjadi bergejolak saat mengenal ras...
Communicare
12334      1746     6     
Romance
Menceritakan 7 gadis yang sudah bersahabat hampir lebih dari 10 tahun, dan sekarang mereka dipersatukan kembali di kampus yang sama setelah 6 tahun mereka bersekolah ditempat yang berbeda-beda. Karena kebetulan mereka akan kuliah di kampus yang sama, maka mereka memutuskan untuk tinggal bersama. Seperti yang pernah mereka inginkan dulu saat masih duduk di sekolah dasar. Permasalahan-permasalah...
Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
586      259     11     
Humor
Didaftarkan paksa ke Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa oleh ayahnya, Kaur Majalengka--si OCD berjiwa sedikit feminim, harus rela digembleng dengan segala keanehan bin ajaib di asrama Kursus Kilat selama 30 hari! Catat, tiga.puluh.hari! Bertemu puding hidup peliharaan Inspektur Kejam, dan Wilona Kaliyara--si gadis berponi sepanjang dagu dengan boneka bermuka jelek sebagai temannya, Kaur menjalani ...
Unframed
702      474     4     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...
Rumah yang Tak Pernah Disinggahi Kembali
468      335     0     
Short Story
Tawil namanya. Dia berjalan hingga ke suatu perkampungan. Namun dia tidak tahu untuk apa dia berada di sana.