Waktu yang dihabiskan oleh beberapa orang, dalam satu ruang dan waktu yang sama, kondisi dan keadaan yang serupa, dan mungkin frekuensi yang hampir selaras dapat menjadi alasan tentang keakraban yang perlahan terjalin. Tanpa terasa, beberapa minggu telah dijalani oleh penghuni asrama 544 ini.
Meskipun tidak selalu bersama di mana pun, setidaknya mereka tidak segan untuk berbincang dan bercanda di dalam atau di luar kamar. Bahkan, tak jarang mereka bertiga—kecuali Dendra—berangkat dan makan siang bersama. Kalau untuk kembali ke kamar asrama, mereka memiliki waktunya masing-masing.
Hari itu, Taka kembali ke asrama lebih dulu. Ia memilih untuk mengerjakan PR-nya hari ini sembari mendengarkan musik dari earpods. Selain untuk mendistraksi keheningan, ia mendengarkan musik juga untuk mencegah suara-suara yang tak ingin ia dengar masuk ke dalam telinganya dan mengacaukan fokusnya. Apalagi, tinggal di tempat ini beberapa minggu rupanya membuat penghuni ‘tak kasat mata’ mulai sadar kalau dirinya bisa melihat mereka.
Saat sedang fokus itu, perhatiannya mendadak teralihkan dengan pintu yang dibuka perlahan. Taka menoleh dan mendapati Elhan yang masuk dengan agak sempoyongan. Melihat itu, Taka segera berlari dan menghampiri remaja itu.
“Kamu kenapa? Eh, ini berdarah?”
Pandangan Taka mendadak teralihkan pada sudut bibir Elhan yang sobek dengan sedikit lebam di pipinya. Elhan menggeleng pelan. Ia tersenyum tipis sembari menyentuh tangan Taka yang memegangi tubuhnya.
“Aku nggak apa-apa, kok. Tadi aku kepeleset di tangga, jatuh. Jadinya agak sedikit luka. Sekarang, aku mau ke kamar mandi dulu. Mau buang air kecil. Udah, lepasin aja, Tak”
Taka merasa ada yang aneh. Selama ini, Elhan selalu berbicara dengan agak gagap. Hanya saja, tiba-tiba remaja itu bisa berbicara lancar, lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Taka yang merasa tidak nyaman akhirnya memilih untuk menutup bukunya. Ia mematikan musik yang ia dengarkan, lalu memasukkanya kembali ke dalam wadahnya. Setelahnya, Taka memilih untuk mengeluarkan kotak P3K miliknya di atas kasur Elhan, lalu ia duduk di sebelahnya.
Elhan keluar dari kamar mandi dengan wajah dan baju yang basah. Taka baru menyadari kalau baju putihnya cukup kotor dengan beberapa jejak cokelat yang tadi tertutupi blazer. Taka hanya menatap remaja yang berantakan itu.
“Serius deh. Kamu nggak apa-apa? Mau dibawa ke UKS?” Taka memastikan lagi. Ia bahkan melihat Elhan yang sedikit tertatih. Melihat itu, dada Taka terasa berdesir, merasakan perasaan tidak enak. Ia segera menyambut tubuh Elhan dan memapahnya ke kasur.
“Aku nggak apa-apa, Taka. Aku baik-baik aja,” jawab Elhan dengan napas yang terdengar berat. Ia juga beberapa kali meringis saat berjalan.
Taka ingin memaksa Elhan untuk mengaku. Hanya saja, ia masih merasa sungkan. Taka merasa kalau ia mencecar Elhan dengan lebih banyak pertanyaan, remaja itu malah akan semakin menutup diri dan Taka lebih kesulitan lagi untuk kedepannya.
Taka menghela napas. Ia mendudukkan Elhan di kasurnya, lalu remaja itu ikut duduk di sebelah Elhan. Ia membuka kotak P3K dan mengambil obat antiseptik dan plaster untuk luka. Rupanya, tidak hanya di ujung bibir saja yang terluka. Taka juga melihat siku Elhan berdarah, luka yang tadi tidak ia lihat saat Elhan masih memakai blazer-nya.
Ia mengobati Elhan tanpa banyak tanya lagi. Elhan juga tidak mengeluarkan satu patah kata pun kecuali ringisan saat lukanya bersentuhan dengan antiseptik. Selesai mengobati, Taka merapikan lagi obat-obatannya, lalu beranjak untuk kembali ke kasur. Ia sempat melihat Elhan yang menggigit bibirnya dengan pandangan yang kosong.
“Kalau ada apa-apa, jangan lupa cerita. Jangan sampe terlambat!” ucap Taka. Elhan menatap remaja di depannya, mengangguk sembari tersenyum tipis.
“Ganti baju sana. Bajumu kotor. Ada cadangan, nggak?”
Elhan menatap bajunya yang sudah kotor. Ia terdiam, lalu menggeleng pelan. Hari ini masih hari Senin. Besok masih mengenakan seragam yang sama. Tentunya Elhan tidak memiliki uang untuk membeli seragam cadangan, karena seragam yang ‘diberi’ dari beasiswanya hanya akan diserahkan setiap awal tahun.
Melihat Elhan yang kebingungan, Taka membuka lemarinya untuk memasukkan kotak P3K-nya, sekalian dengan mencari sebuah baju seragam. Ia mengeluarkan seragam putihnya, lalu diberikan pada Elhan.
“Pake dulu punya aku! Aku ada cadangan ini. Agak kena tinta dikit tapi, nggak apa-apa lah ya. Soalnya ini yang bersih. Ukuran kita juga nggak beda jauh. Aku cuma lebih tinggi aja dari kamu.” Taka menyerahkan bajunya ke Elhan.
“E-enggak u-usah. Aku n-nggak apa-apa.” Remaja itu mencoba menolak.
Taka berjalan ke Elhan, diraihnya tangan remaja itu, lalu diletakkan baju yang masih dalam lipatan itu ke tangan Elhan.
“Nggak usah nolak! Kamu dapet poin nanti karena enggak rapi. Dah, sekarang ganti baju, taro baju kotormu di keranjang, terus istirahat. Nanti aku bangunkan kalo udah waktunya makan malam!” putus Taka bulat.
Elhan tidak berani menolak lagi. Ia menuruti semua perintah Taka dan meletakkan baju yang dipinjami Taka di dalam lemarinya. Ia kembali ke kamar mandi, berganti baju dengan baju santai, lalu tidur di kasurnya. Taka yang melihat Elhan sudah tidur memilih untuk kembali ke mejanya. Merampungkan pekerjaannya yang tadi tertunda.
***
Kejadian Elhan kembali dengan tubuh lusuh dan terluka tidak hanya terjadi sekali. Setidaknya, dalam dua minggu terakhir, sudah ada empat kali Elhan masuk ke kamar dalam keadaan sempoyongan. Taka sendiri sudah berusaha mengorek informasi dari pihak mana pun. Namun nihil.
Malam itu, Taka akhirnya memaksa Elhan untuk mengatakan apa yang terjadi.
“Kamu jujur sama aku, Elhan! Kamu kenapa? Kamu dibully?” tanya Taka. Remaja itu mendekati Elhan yang tiduran dengan menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia belum tidur, hanya memejamkan mata.
Seperti biasa, di dalam kamar, di bawah jam malam asrama—pukul 21.30, seringkali hanya ada Elhan dan Taka yang berdiam di kamar. Cakra masih sibuk dengan ekstrakurikuler-nya, sedangkan Dendra jelas berkutat dengan segala macam les yang disediakan sekolah, atau mungkin menjadi penjaga perpustakaan sampai diusir pengurus perpustakaan.
Merasakan kasurnya bergerak karena Taka duduk di sebelahnya, Elhan memilih untuk membelakangi remaja itu. Ia tidak menjawab apa pun. Tetap bungkam dengan berpura-pura tidur.
“Elhan. Aku baru kali ini ngeliat kamu keras kepala gini. Biasanya kamu bisa diajak kerja sama, loh! Aku perlu tahu apa masalahmu. Kalau bisa, bakal aku bantu sebisaku. Jadi, bicaralah.” Taka masih mencoba untuk membujuknya. Firasat Taka memburuk sejak kemarin. Ia merasa, Elhan akan pergi jauh kalau ia tidak bisa memeganginya dengan benar.
Desakan Taka membuat Elhan merasa dadanya bergemuruh. Sudah terlalu banyak hal yang ia pikirkan. Pikirannya berisik, tubuhnya sakit semua, kini ia harus didesak dengan pertanyaan dari Taka yang terasa mengusik ruang pribadinya.
“Aku kan udah bilang, aku nggak apa-apa, Taka!” Elhan menoleh, menatap lurus ke mata Taka dengan sorot mata yang belum pernah Taka lihat sebelumnya. “Kamu butuh berapa banyak lagi jawaban dari aku? Pergi! Aku nggak butuh rasa kasihanmu itu!” Remaja itu mengatakannya dengan nada tinggi.
Taka terperanjat mendengarkan jawaban Elhan. Taka berdiri, menatap balik Elhan dengan tatapan terluka. “Aku nggak lagi ngasihani kamu, Elhan! Aku peduli sama kamu. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa!” Taka menjawab nada tinggi Elhan dengan nada yang sama tingginya. Napas Taka mendadak terasa tercekat, pendek-pendek. Ia merasakan udara dingin berputar di sekelilingnya. Dadanya terasa sesak oleh rasa kelu di hatinya, dengan perasaan yang tidak bisa ia jabarkan. Taka merasa seolah pijakannya saat ini tidak berpijak dengan benar. Ia merasa bentakan Elhan menghancurkan tali rapuh yang sedang ia pijak di atas jurang kesendirian ini.
Elhan duduk. “Bicaralah sana sendiri! Semua orang kaya itu sama! Yang paling baik ya memandang orang miskin dan lemah dengan pandangan kasihan, yang paling buruk ya menjadikan mereka mainan. Menjijikkan!” Napas Elhan memburu. Bahkan wajah remaja itu memerah. Ia meremas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya dengan erat. Giginya terkatup rapat, rasa marah dan emosi negatif lainnya yang sudah tersimpan sejak kemarin mendadak meluap begitu saja, bak banjir rob yang meluluhlantakkan. Sayangnya, luapannya menyapu arah yang salah. Elhan menyadarinya, namun dia terlanjur lepas kendali.
Taka terdiam. Ia menaruh sedikit harapan pada Elhan untuk bisa menjadi temannya. Sayangnya, ucapan Elhan tadi benar-benar mematahkan harapannya itu. Remaja itu tak lagi sanggup menjawab. Ia menarik napas panjang, lalu diembuskannya perlahan. Menenangkan gejolak hatinya yang terasa membahayakan. Ia bahkan mengabaikan sosok-sosok yang tertarik dengan resonansi energi negatif mereka berdua dan berkumpul di sekitar.
“Oke. Fine. Itu maumu? Maaf kalau orang kaya ini mengecewakan kamu dan mengasihani orang miskin yang tidak ingin dikasihani. Terserah.”
Taka berbalik. Ia kembali tidur di kasurnya, membelakangi Elhan. Elhan sendiri tidak menyangka dirinya akan mengatakan semua itu, dan dibalas dengan kekecewaan oleh Taka. Ia menatap punggung Taka tanpa berani berkata lagi, ikutan membelakangi Taka, lalu menangis dalam diamnya.
Elhan hanyalah seorang pengecut. Ia tahu itu. Ia tidak bisa mengatakan apa yang harus dikatakan dan malah menyakiti orang yang begitu baik padanya. Ia menyesali semua ucapannya. Sayangnya, ucapan adalah salah satu hal yang tidak bisa ditarik kembali setelah dikeluarkan.
Di luar, Dendra dan Cakra yang tak sengaja bertemu di depan kamar 544 itu saling berpandangan. Baru kali ini mereka mendengar pertengkaran antara Taka dan Elhan yang selama ini seperti perangko, saling menempel satu sama lain. Sampai sebuah bantingan terdengar dan membuat mereka berdua masuk ke kamar dengan tergesa-gesa. Khawatir akan adanya pertumpahan darah. Mereka menghela napas saat melihat tidak ada dari keduanya yang sedang dalam mode siap tempur. Cakra dan Dendra memilih untuk membersihkan diri mereka dalam diam.
Rupanya, suara tadi berasal dari tumbler milik Taka yang ia banting ke arah balkon. Elhan yang masih menangis mendadak terdiam, menoleh ke arah Taka yang kembali membelakanginya.
Dari sudut pandang Taka, sejak pertengkaran mereka tadi, ia merasa ada sepasang mata yang terus memperhatikan mereka. Sayangnya, Taka tidak bisa memastikan siapa itu. Tatapan mata itu begitu mengganggu Taka. Terasa panas dan tidak mengenakkan, meskipun tidak diisi dengan dendam atau amarah. Maka dari itu Taka memilih untuk melempar tumblernya ke arah pandangan itu dan membuat tumbler minum itu pecah. Untungnya, tidak banyak air di dalamnya. Untungnya lagi, lemparan itu tidak mengenai kaca dan memecahkannya.
“Pergilah. Tatapanmu mengganggu,” bisik Taka lirih. Di heningnya kamar ini, Elhan masih bisa mendengarkan meskipun tidak jelas apa yang dibicarakan Taka. Ia tidak tahu, untuk siapa bisikan itu. Apakah untuk orang lain, atau … dirinya?
Entahlah. Elhan tidak mengerti ia harus melakukan apa. Ia hanya memejamkan matanya yang masih basah itu. Dadanya terasa sesak. Ia ingin beristirahat dengan benar.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir ini ia kembali ingin menghilang.