Tamparan keras membangunkan Taka dari ketidaksadarannya. Dengan kepala yang masih terasa berdenyut dan telinga berdenging, remaja itu membuka matanya dan dihadapkan pada Papanya yang menatap dengan muka memerah karena emosi. Ia menarik kerah anaknya yang baru sadar, lalu menamparnya lagi. Saat ia hendak mendaratkan tamparan ketiganya, tangan lelaki itu ditahan oleh seorang yang memakai jas putih. Dokter sekaligus penjaga UKS ini, Dokter Arga.
“Sudah, Pak. Hentikan! Bagaimana pun dia anak Bapak!” Dokter Arga mencengkeram tangan Pak Eddy, ayah Taka.
Pak Eddy menghempaskan tangan Dokter Arga yang mencengkeram tangannya sembari menatapnya tajam. Ia yang marah akhirnya melempar tubuh Taka yang kerahnya ia tarik.
“Kamu jangan ikut campur, ya! Ini urusan keluarga saya! Bukan urusan kamu!” berang Pak Eddy.
Di atas ranjang, Taka menatap Papanya dengan mata yang memerah. Bahkan, dengan kesadaran yang dipaksa untuk kembali ke tubuhnya dengan segera tanpa waktu beradaptasi, Taka sudah bisa membaca arah kemarahan Papanya. Hal ini karena ia yang dianggap sebagai aib dan kotoran, berbuat ulah di sekolah dan menunjukkan kegilaannya di depan umum. Jelaslah Papanya luar biasa marah.
Dokter Arga yang mendengar ucapan Pak Eddy itu berdiri tegak di dekat Taka. Ia memang berusaha menjauhkan Pak Eddy dari anaknya. Pandangan Dokter Arga lurus ke depan, tepat di mata Pak Eddy tanpa rasa takut.
“Memang benar, urusan Anda dengan Taka adalah urusan keluarga. Tapi, jangan pernah lupa di mana Anda berdiri saat ini. Anda berada di bawah yurisdiksi saya. Seluruh bagian dari UKS ini berada dalam otoritas saya sebagai dokter.
“Kalau Anda tidak terima dengan apa yang saya lakukan, silakan keluar. Tapi biarkan Taka tetap di sini sampai pulih. Dia adalah pasien saya, dan selama statusnya masih pasien, keselamatan serta keamanannya adalah tanggung jawab saya sepenuhnya.”
Dokter Arga menunjuk ke pintu keluar. Senyumnya tampak sopan, tapi sorot matanya dingin.
“Silakan. Pintu keluar masih tetap di sana. Tidak akan berpindah.”
Pak Eddy tidak menjawab. Ia hanya menatap balik tatapan dingin milik Dokter Arga dengan tatapan yang sama dinginnya. Ia merasa agak tersinggung dengan ucapan dokter di hadapannya. Akan tetapi, ia merasa jika ucapan itu benar adanya. Pak Eddy beralih menatap putranya yang tak bereaksi banyak. Ia hanya menatap dengan tatapan tajam. Tidak ada senyuman dalam wajahnya. Ia kemudian berbalik badan, berjalan ke arah pintu keluar, lalu keluar dari ruang UKS tanpa berbicara sepatah kata pun. Ia bahkan menutup pintu UKS dengan agak dibanting.
Melihat apa yang dilakukan Papanya, Taka menatap Dokter Arga yang masih fokus pada pintu keluar itu.
“Maafkan Papaku ya, Dok. Beliau memang begitu. Aku juga salah udah bikin Papa jadi malu dan kesini.”
Dokter Arga mengalihkan pandangannya ke Taka yang masih di ranjang pasien. Ia berusaha membantu Taka saat remaja itu ingin duduk.
“Kenapa kamu yang minta maaf?” Dokter Arga bertanya dengan nada lembut. Senyuman tipis yang mencetak lesung pipit di pipi dokter muda itu merekah, terasa seperti memberikan rasa aman untuk Taka yang baru menghadapi hal traumatis. “Nggak masalah, Taka. Lagian yang salah kan Papamu, bukan kamu. Itu pipi pasti sakit sekali. Sebentar, saya ambilkan kompresan dulu. Kamu tidak perlu berpikir banyak.”
Taka tak menjawab, hanya mengangguk saat Dokter Arga mengambil kompresan dari lemari obat. Taka melirik, melihat jam dinding. Ia pingsan lumayan lama. Sebentar lagi jam istirahat kedua, jam 12. Ia menarik napasnya, lalu kembali merebahkan tubuhnya ke kasur. Rasa nyeri barulah terasa menyerang pipinya yang sejak tadi tidak ia rasakan. Mungkin, tadi tubuhnya menyamarkan rasa nyeri itu karena rasa takut akan Papanya itu? Kini, setelah semua ketegangan itu hilang, semua rasa sakit yang ada di tubuhnya dapat ia rasakan dengan benar.
Dokter Arga kembali mendekati Taka dengan kompresan dingin di tangannya. Ia mengompreskan memar bekas tamparan di pipi Taka. Remaja itu meringis karena rasa dingin yang menjalar di pipinya dan menekan rasa nyeri bekas tamparan itu.
“Tahan, ya. Ini dikompres biar tidak bengkak, dan mengurangi lebam juga. Sakit, ya?”
Taka mengangguk tipis.
Saat ini, Dokter Arga memegangi kompresan dingin yang diletakkan di pipi Taka, dengan sesekali diangkat. Merasa tidak nyaman, Taka mengambil alih kompresan dan mengatakan semua baik-baik saja jika ia sendiri yang melakukannya.
“Oke. Saya kembali ke meja saya lagi. Masih ada yang harus dikerjakan. Nanti, kalau ada apa-apa, kamu panggil saya saja.”
Taka kembali mengangguk. “Iya, Dok. Nanti kalo saya mau ada sesuatu, saya panggil dokter. Ini tapi habis istirahat kedua, saya bisa balik ke kelas?”
Dokter Arga menyentuh dahi Taka. Tidak demam.
“Bisa iya, bisa tidak. Kita lihat saja nanti. Kamu pingsan tadi karena kelelahan dan dehidrasi. Kamu tadi pagi tidak sarapan?”
“Sarapan, Dok,” jawab Taka cepat.
“Tapi kenapa kamu bisa sampai kehabisan tenaga seperti orang yang tidak makan?”
Taka terdiam. Ia tiba-tiba teringat sesuatu. Merasa jawabannya tidak masuk akal, Taka menjawab dengan tawa kecil. “Mungkin kurang banyak, Dok.”
Hanya itu yang bisa ia katakan. Ia tidak mungkin menjawab kalau energinya habis diambil entitas tak kasat mata, kan?
Dokter Arga berdecak. “Dasar anak muda … Kamu ini masih masa pertumbuhan. Makanlah lebih banyak! Jangan sampai pingsan hanya karena kurang makan. Sudah, istirahat saja dulu. Karena kamu sudah sadar, saya tidak jadi menginfusmu. Tapi, kalau kutemui kamu pingsan lagi, siap-siap kamu bangun dalam keadaan terinfus.”
Taka tertawa tidak enak.
“Ya sudah. Saya kembali ke meja saya lagi. Sudah waktunya makan siang juga. Hubungi kawanmu yang bisa kamu mintai tolong untuk membawakan makanan. Bilang ke ibu kantin untuk pasien atas arahan Dokter Arga, agar diberikan makanan khusus untuk pasien.”
Dokter Arga menepuk bahu Taka beberapa kali sebagai ‘pamitan’ kecil, lalu kembali ke mejanya.
Menuruti ucapan Dokter Arga, Taka menghubungi orang yang paling mungkin bisa datang menolongnya, Elhan. Hanya dialah yang mungkin dihubungi Taka untuk dimintai tolong.
Selain Elhan? Taka tak yakin. Ia belum terlalu akrab dengan Cakra.
Dendra? Apalagi.
Kalau di luar teman sekamarnya? Sangat tidak mungkin. Jangan lupakan kalau Taka adalah anak buangan.
Tak lama kemudian, Elhan datang dengan membawakan sebuah tas berwarna biru. Ia masuk dengan postur tubuhnya yang agak membungkuk itu. Ia bahkan sempat menoleh ke sana kemari, seolah memastikan ruang UKS aman, barulah masuk ke dalam dan kembali menutup pintunya. Ia masuk ke dalam, kembali celingukan. Bedanya, kali ini ia mencari seseorang. Saat ia melihat orang yang ia tuju berada di salah satu bilik bertirai di UKS, ia kemudian berjalan pelan dan menghampiri orang itu.
“I-ini makanannya, Taka. T-tadi kata ibu kantin, kamu dapat makanan buat orang sakit. Jadi, jadi menu kamu beda sama yang lain.” Elhan menyerahkan tas birunya ke Taka.
“Terima kasih banyak. Kamu udah makan? Kok cepet banget ke sininya.”
Elhan menggeleng pelan. Ia menunduk makin dalam. “Aku nggak pernah makan siang,” bisiknya lirih.
“Gimana? Ngomong yang kenceng, dong! Jangan bisik-bisik gitu,” ucap Taka.
Elhan menggeleng. Ia tersenyum tipis.
“K-kamu aja yang makan. Aku udah tadi.”
Taka menatap Elhan dengan tatapan intens. Ia tahu, remaja di depannya ini berbohong. Merasa sia-sia menggali jawaban, Taka memilih untuk membiarkannya. Ia membuka dalam kotak bekal yang ternyata di dalamnya adalah bubur dengan daging dan sayur yang lumayan banyak, dipotong cincang bersamaan dengan buburnya. Taka langsung merasa tak selera. Ia kurang suka makanan seperti bubur tanpa tekstru begini.
“Dok, boleh saya nambah kerupuk?” teriak Taka tiba-tiba.
Dokter Arga yang mendengar pertanyaan Taka itu sontak menjawab dengan nada yang sama kencangnya. “Tidak!”
“Cih.” Taka berdecih.
Untungnya, UKS sepi. Hanya ada dirinya sebagai pasien, Elhan yang menjenguk, dan Dokter Arga selaku penjaga UKS.
“Han, jujur aku nggak terlalu suka sama bubur. Mau bagi dua, nggak? Makan bareng. Aku nggak suka makanan tanpa tekstur gini, plis. Kalo beli bubur ayam aja aku minta kedelai gorengnya dibanyakin.”
Elhan kebingungan. “Eh, anu, itu. Apa boleh? K-kan Taka yang sakit. M-masa aku ikut makan?”
Taka menghela napas. “Toh kamu juga belum makan, kan? Aku nggak terlalu suka bubur. Pasti nggak abis juga. Dan aku nggak mungkin kasih kamu bekasan. Mau dibagi dua juga nggak ada wadahnya. Udahlah, ayo bantuin aku.”
Elhan yang tidak bisa menolak akhirnya mengangguk.
Taka yang melihat Elhan menyetujuinya itu tersenyum lebar. Ia celingukan mencari sesuatu.
“Tapi nggak ada sendok lain. Kamu jijikan nggak? Kalo nggak, barengan aja udah. Aku nggak punya penyakit menular, kok! Ngeliat setan juga nggak nularin.”
“E-eh. Aku nggak masalah. Di-di rumah, aku biasa makan pakai satu sendok buat barengan sa-sama adek-adekku. J-jadi, nggak masalah.”
Taka tersenyum. “Bagus. Kalo sendoknya dua juga nanti ketahuan aku nggak ngabisin sendirian. Malah kamu juga kena marah nanti.”
Elhan mengangguk cepat. Mereka berdua mulai makan bubur yang memang diberikan porsi jumbo itu. Taka sebenarnya memang berniat memberi Elhan makan apa pun alasannya. Bahkan, meskipun yang dibawa Elhan adalah nasi goreng, makanan favoritnya, atau makanan dengan porsi kecil, Taka tetap berpikiran untuk membagi dua dengan Elhan.
Karena Taka tahu, selama ini, Elhan hampir tidak pernah menginjakkan kakinya di kantin saat jam makan siang. Taka tahu karena ia juga orang yang tidak pernah makan siang di kantin kalau tidak kepepet. Mungkin, setelah ini, ia akan rutin makan siang di kantin sambil menarik Elhan. Karena, Taka melihat betapa kurusnya Elhan. Ia merasa tarikan aneh setiap bersama Elhan. Rasanya, seperti sedang melindungi seorang adik yang pernah hampir ia miliki dulu. Padahal, dari usia, mereka sama. Bahkan justru sedikit lebih tua Elhan daripada dirinya.
Lucunya, remaja itu tidak sadar kalau dirinya sama kurusnya dengan Elhan.