Seorang remaja laki-laki memasuki sebuah kamar asrama dengan tas berisi baju yang ia gendong di pundaknya dan kardus berisi buku yang ia bawa dengan kedua tangannya. Ia melangkahkan kakinya dengan sedikit ragu. Pindah tempat berarti penyesuaian kembali. Menyesuaikan dirinya dengan tempat barunya, baik itu dengan yang terlihat maupun yang tak terlihat. Seperti yang saat ini ia lakukan. Ia berdiri diam setelah maju beberapa langkah dari pintu asrama. Matanya ia pejamkan sejenak, lalu coba untuk mengatur napasnya yang sedikit tercekat.
Remaja itu menunduk, menatap buku paling atas di tumpukan dalam kardus yang bertuliskan namanya: Nara Taka Atharya.
Setelah ia selesai menguatkan hatinya, Taka melangkahkan kakinya mantap. Di dalam asrama yang berbentuk persegi panjang ini berisi dua ranjang tingkat dengan empat kasur, lemari empat pintu, empat meja dan kursi untuk belajar, dan sebuah kamar mandi yang berada di dekat pintu masuk. Kedua ranjang itu diletakkan di sisi kanan dan kiri, menempel tembok. Di sebelah ranjang itu, dua lemari dengan dua pintu dijejer berhadap-hadapan yang mana keduanya sama-sama menempel tembok, segaris dengan ranjang tersebut. Di sisa ruangan sebelah lemari, terdapat empat meja belajar yang saling membelakangi. Terakhir, di ujung, di balik tembok dan jendela, terdapat balkon kecil yang dapat mereka gunakan untuk menjemur pakaian.
Sebenarnya, bentuk asrama ini persis dengan asramanya sebelumnya, tidak ada yang berbeda. Jarak antara dua ranjang pun tidak luas, hanya sekitar satu setengah meter. Yang membedakan adalah, asrama ini terletak di lantai teratas, lantai lima, dan paling ujung. Jauh dari tangga untuk turun.
Aroma apak yang menandakan hampir tidak pernah ada kehidupan selama setidaknya setengah tahun di dalam kamar ini segera menerjang hidung Taka. Ia yang memilih ranjang bawah di kanan pintu masuk itu langsung mengusap hidungnya setelah mendapati debu yang berada di ranjang terbang ke udara karena hantaman dari kardus Taka yang membubarkannya. Karenanya, Taka terbatuk beberapa kali.
Merasa sesak, ia mengarah ke jendela, mencoba membuka jendela untuk mengatur sirkulasi udara yang ada di dalam. Saat remaja itu menggenggam pegangan jendela, tubuhnya mendadak membeku. Tangannya gemetaran tanpa berhasil ia tahan. Taka tak berani bereaksi saat mendapati sebuah kepala yang melayang di hadapannya, tanpa badan, dengan mulut menyeringai. Sosok itu melayang di luar kaca jendelanya, tapi hanya berjarak beberapa senti dari kaca yang tembus pandang itu. Sehingga, antara Taka dan sosok itu, hanya dibatasi kaca yang tak seberapa tebal itu.
Saat itu, Taka tak berani bereaksi. Jika ia berteriak, maka secara otomatis sosok-sosok yang sudah ada di dalam mengetahui tentangnya yang bisa melihat mereka. Hal itu tidak baik untuk kehidupan asramanya di tempat baru ini. Meskipun sebenarnya, dapat ia pastikan kebanyakan sosok di asrama ini sudah tahu tentang kemampuan Taka.
Saat ia masih mematung itulah suara pintu mendadak dibuka dengan kencang. Taka melihat adanya kesempatan untuk bereaksi. Ia menjerit keras dan meloncat ke belakang hingga terduduk. Orang yang baru masuk itu menatap Taka dengan tatapan bingung.
“Lebay amat, lo! Gua cuma buka pintu, reaksi lo udah kaya ngeliat setan aja.”
Remaja laki-laki dengan rambut yang nyaris menyentuh bahu dan telinga ditindik itu menatap Taka yang terjatuh. Ia mengangkat alisnya, merasa aneh dengan kelakuan Taka.
Taka sendiri segera bangun, membersihkan celananya yang terkena debu, lalu berdehem sebentar.
“M-maaf. Aku gampang kaget soalnya,” jawabnya mencoba menanggapi ucapan remaja yang baru masuk itu.
Remaja itu tak menjawab lagi. Ia hanya menutup pintunya, lalu memilih ranjang yang akan ia tempati. Setelah beberapa kali memilah, mengabaikan satu kasur yang sudah diletakkan kardus di atasnya, remaja itu akhirnya memilih ranjang satunya di bagian paling atas. Ia meletakkan tasnya di salah satu meja, lalu menaiki bagian paling atas melalui tangga yang ada di pinggir ranjang. Ia mengibaskan tempat tidurnya beberapa kali, lalu merebahkan dirinya dan menutup matanya dengan lengan.
Taka sendiri kembali menoleh ke arah jendela yang kini sudah tidak ada apa pun lagi. Gemetar di tubuhnya telah menghilang. Ia juga merasa napasnya telah kembali normal. Setelah itu, Taka membuka jendela itu lebar-lebar, berharap udara bersih bisa masuk dan menggantikan udara kotor. Selesai dengan urusan jendela, Taka membersihkan keempat meja belajar yang di dalam lacinya penuh dengan sampah itu. Untungnya, saat ia memeriksa lemari, bagian dalamnya masih cukup bersih, sehingga Taka tak melakukan apa pun. Ia kemudian merapikan baju dan bukunya di lemari dan meja belajarnya sendiri, lalu kembali ke tempat tidurnya yang sudah ia bersihkan, merebahkan dirinya. Ia melihat beberapa sosok masih ada di kamar ini. Hanya saja, energinya cukup kecil untuk bisa mengganggunya, sehingga Taka bisa dengan mudah mengabaikannya. Bahkan, di antara empat ranjang itu, sosok yang mendiami tempatnya adalah sosok dengan energi terlemah. Karena itulah ia memilih ranjang itu.
Ia mulai memejamkan mata, sampai sebuah suara pintu dibuka terdengar. Hari ini memang hari pertama kembali ke asrama. Sebagai sekolah dengan asrama, sekolah mewajibkan muridnya untuk tinggal di asrama. Di semester awal, mereka diwajibkan untuk seasrama dengan orang yang sudah ditentukan oleh pihak asrama. Setelah semester satu selesai, di semester akhir tahap evaluasi, apabila ada dalam satu kamar asrama, tiga orang di dalamnya meminta untuk ‘mengusir’ salah satu anggota di dalamnya, mau tak mau pihak asrama akan meletakkan anak itu ke kamar di paling ujung dan sering disebut sebagai kamar buangan. Tidak mudah untuk ‘mengusir’ orang karena alasannya harus masuk akal. Sehingga, apabila alasannya masuk akal menurut pihak asrama, maka anak yang dimaksud akan diletakkan di asrama ini.
Itulah yang kiranya terjadi dengan Taka dan tiga anak lainnya, kalau memang kamar ini penuh terisi.
Lalu, sepertinya, hal itu benar-benar terjadi. Pintu kembali dibuka setelah orang ketiga, yang langsung disambut dengan ocehan.
“Astaga. Ini kenapa kamar udah kaya kandang sapi, sih! Debu di mana-mana. Nggak ada kah dari kalian yang ngerasa sesak?” Suara orang yang baru datang itu menggelegar memenuhi ruangan. Taka yang memejamkan matanya tanpa tertidur itu dengan perlahan membuka matanya, menatap ke arah orang yang baru masuk.
Belum sempat ada yang membalas, remaja itu masuk ke dalam dan melihat kedua ranjang yang hanya sisa satu kasur di atas Taka itu. Melihat dirinya kebagian di paling atas, suara dengusan terdengar dengan jelas oleh Taka. Taka sendiri tak banyak bicara. Ia hanya melihat saja apa yang dilakukan orang itu.
Setiap gerakannya berisi suara dan bantingan. Remaja itu terus mengomel tentang betapa kotor dan berdebunya kamar ini, juga tentang ketiga remaja yang tidak membersihkan kamar terlebih dahulu dan langsung tidur.
Remaja yang masuk urutan ketiga itu bangun dari kasurnya. Dengan sedikit gugup, ia mengambil sapu dan pengki di pojok kamar dan mulai menyapu kamar.
“M-maaf, ya. Ak-aku kira, aku bisa istirahat dulu baru bersih-bersih. T-ternyata kamu nggak bisa, ya?” cicit remaja itu.
“Iya, lah! Emang kalian bisa tinggal di tempat kumuh begini? Kurang ajar memang. Kenapa juga aku yang diusir dari kamar itu? Padahal mereka anak-anak bodoh yang seharusnya keluar dari kamar itu. Setiap hari hanya bermain, berisik! Aku kesulitan belajar karena anak-anak dungu itu.”
“Woi! Lo bisa diem? Berisik! Dateng-dateng ngacau. Nggak tahu orang lagi capek, apa?” Suara sahutan itu terdengar dari ranjang sebelah Taka bagian atas. Remaja yang rambutnya gondrong tadi duduk dengan mata yang terlihat memerah karena bangun tidur. Remaja itu menyisir keadaan sekitar. Seorang remaja dengan tinggi sekitar 157 cm sedang menyapu lantai dengan agak menunduk. Remaja itu berdecih. Ia mendapati Taka yang masih duduk di kasurnya dan balik memandangnya. Remaja itu kemudian membuang muka dan melihat seseorang yang baru masuk tadi. Seorang remaja laki-laki yang memakai kemeja, lengkap dengan rambut yang ia pomade rapi. Remaja ber-pomade itu duduk di kursi tanpa melakukan apa pun.
“Lo berisik! Yang kumuh lah, berdebu lah, kaya kandang sapi lah, tapi kenapa lo mandorin anak itu? Harusnya lo bantuin dia! Lo mau tinggal enaknya, masuk kamar langsung bersih gitu?” Remaja gondrong itu nyolot.
“Jaga omongan lo! Yang gua bilangin juga fakta kalo tempat ini kumuh banget. Emangnya gua salah?” Remaja ber-pomade itu membalas dengan sengit.
“Ya kalo tahu kotor, bersihin! Jangan nyocot! Gua sama si anak baju hijau itu memang nunggu semua sampe, baru bersihin bareng-bareng. Lagian dia juga udah bersihin sampah bagian meja, termasuk punya lo juga. Sekarang, lo diem, bantuin tuh bocah pendek buat bebersih. Nanti gua yang buang sampahnya!”
Remaja ber-pomade itu berdecih. “Enak amat lo tinggal buang sampah. Gampang amat.”
Remaja gondrong yang tadinya sudah kembali memejamkan matanya itu kembali membuka mata dan duduk, lalu menatap orang yang tadi mengajaknya bertengkar dengan tatapan nyalang.
“Gampang? Yaudah silakan! Gua kalo cuma ngepel, nyapu, kecil! Lo mau buang sampah dari lantai lima ini, ke lantai bawah, terus lanjut ke belakang asrama? Asal lo tahu, sampah yang ada di kamar ini banyak! Lo liat pojok sana! Itulah yang nanti bakal lo bawa nurunin tangga. Mau?” Remaja gondrong itu menunjuk sebuah kardus besar yang di dalamnya terdapat banyak barang yang sudah dibereskan Taka dari meja-meja. Seolah penghuni sebelumnya memang sengaja mewariskan sampah untuk mereka buang, yaitu buku-buku bekas yang tak bisa lagi dipakai, botol-botol baik plastik maupun beling, dan berbagai sampah lain yang cukup berat. Melihat hal itu, remaja ber-pomade itu terdiam.
Melihat hal ini sepertinya tidak akan selesai, Taka turun dari ranjangnya, lalu menatap remaja gondrong dan yang lainnya.
“Sekarang, turun dulu. Kita kenalan dulu. Habis itu, ayo bagi tugas. Mumpung masih sore. Biar nanti pas malem, kita bisa langsung istirahat. Berantem nggak bakal nyelesaiin apa-apa.” Taka mencoba untuk memediasi. Ia sendiri sebenarnya tidak yakin bisa menjadi mediator yang baik, mengingat dirinya selama ini tidak dianggap orang lain. Akan tetapi, jika tidak ada yang berinisiatif, Taka ragu semuanya akan selesai hari ini.
Mereka semua mengangguk. Ketiganya berkumpul di bawah, tepatnya di sebelah ranjang Taka. Bahkan, remaja gondrong itu memilih untuk turun dari kasurnya dan ikut berkumpul dengan sedikit malas.
“Dimulai dari aku. Namaku Nara Taka Atharya, dipanggil Taka. Dari kelas X MIPA 5. Pindah dari asrama nomor 312. Diusir dengan alasan ‘orang gila yang mengganggu ketentraman’.”
Mereka terdiam. Perkenalan ini dibuka dengan hal mengejutkan. Orang gila? Kalau memang gila, bukankah seharusnya dibawa ke rumah sakit jiwa untuk pengobatan? Bukannya malah dipindah asrama. Akan tetapi, mereka mencoba untuk tidak memikirkannya lagi karena mereka sendiri juga sama buangannya.
Remaja gondrong itu berdehem sebentar, lalu mulai memperkenalkan diri. “Kalau gua, nama gua Hari Cakra Natta. Panggil Cakra aja. Dari asrama nomor 405, kelas X IPS 3. Alasan diusir? Yah, kaya yang lo semua liat. Gua nih tipikal anak yang bakal dibuang sama masyarakat.”
Remaja yang terakhir masuk itu kemudian menyambung, “Oh, pantes. Kelihatan.” Cakra menatapnya tajam, tapi ia tidak peduli. “Gua Dendra Alban Noar. Manggilnya Den atau Dendra aja. Gua nih pinter, cerdas, nggak banyak buat masalah. Tapi, kayanya temen seasrama gua pada iri sama gua, sampe gua diusir gini. Yah, gua harap lo semua nggak iri. Gua dari kamar 105 kelas X MIPA 1.”
Cakra berdecih. Kini, seorang remaja yang disebut pendek tadi yang memperkenalkan diri.
“A-aku, anu, namaku Elhan Faza Syafi. Biasa dipanggilnya Elhan. A-anu. Aku dari kamar nomor 209, kelas X MIPA 4. A-aku diusir karena a-aku, itu, katanya aku terlalu sampah buat di sana.”
Mereka terdiam. Ternyata benar, orang-orang yang diusir ini memang dianggap ‘sampah’ bagi orang lain hanya karena berbeda.