Loading...
Logo TinLit
Read Story - Mimpi & Co.
MENU
About Us  

“Co. di Mimpi & Co. itu company, kan? Kenapa di sini cuma ada Pak Guska?” tanya Pasha seraya mengamati tulisan besar Mimpi & Co. di sisi belakang ruang.

Pak Guska yang tengah membaca koran berbahasa Prancis, menyempatkan untuk menurunkan korannya sebentar dan menjawab, “Saya hanya pegawai. Para petinggi memang nggak di sini, tapi sebenarnya … ada banyak barang di sini yang bisa mendengar dan mengamati.”

Pasha mengangguk mengerti seraya melihat sekeliling.

“Kata mimpi itu cuma ada di bahasa Indonesia, kan? Apa Mimpi & Co. dibuat sama orang indo?” tanya Aidan di tengah permainan monopoli bersama Ami, Axel, Ron dan Je.

“Nama perusahaan akan menyesuaikan bahasa negara yang dikunjungi. Saat mengunjungi Inggris, kami akan beralih nama menjadi Dream & Co.; di Prancis, kami bernama Rêve & Co.; di Italia, Sogno & Co.; di Korea, Kkum & Co.; di Jepang, Yume & Co.”

“Dari style ruangnya juga udah kelihatan kalau bikinan lokal. Desainnya klasik, agak gothic, banyak ornamen. Kalau boleh nebak, mungkin pendirinya orang Eropa?” pikir Pasha seraya memandang sekeliling ruang.

Seraya menghitung uang monopoli yang ia miliki dalam permainan, Axel melontarkan pertanyaan konyol, “Pak Guska dulu dapat info lowongan dari mana, Pak? Kok bisa kerja di sini?”

“Asal kalian tahu, saya kerja di sini sejak usia sebelas tahun,” jawab Pak Guska.

“Muda banget. Punya orang dalam ya, Pak?” tanya Je.

“Kalau beneran gitu sih mending buka lowongan, Pak. Negara ini penganggurannya bejibun soalnya pemerintahnya nggak pinter buka lapangan kerja,” celetuk Ron seraya memperhatikan Ami yang mengocok dadu lalu menjalankan pionnya sesuai jumlah titik di permukaan dadu.

“Oke! Akhirnya Ami mampir ke kompleks gue,” seru Axel. “Nggak usah bayar nggak apa-apa, Ami. Tapi kamu jangan pulang, ya? Aku udah kaya. Tenang aja.” Ia memamerkan setumpuk uang monopoli miliknya.

Aidan mencibir. “Apa sih? Orang cuma game.”

“Liver sama Rian beli martabak kok nggak balik-balik, ya?” tanya Pasha seraya mengintip keluar kaca pintu. “Wah! Langitnya pink.”

Ami menoleh. “Bukan periwinkle?”

“Campuran, Ami. Ada gradasinya. Kayaknya yang warna pink itu senja deh.”

Karena penasaran, Ami beranjak dari duduk dan ikut melihat keluar kaca pintu. Ami membuka pintu dan pergi keluar untuk melihat lebih jelas. Pasha benar. Ada warna merah muda di ufuk barat seperti senja. Aidan segera menyusul keluar dan melihat pemandangan yang sama.

“Jangan-jangan Liver sama Rian nggak balik-balik gara-gara ngelihat senja?” pikir Aidan.

“Jangan-jangan martabaknya disambar mereka semua?” pikir Axel.

Je membanting dadu ke papan monopoli. “Nggak bisa dibiarin!”

“Susul aja, yuk?” Ron beranjak dari kursinya lalu Axel dan Je mengikuti.

Semuanya keluar dari Mimpi & Co. termasuk Pasha. Mereka pamit kepada Pak Guska untuk pergi sejenak. Beramai-ramai mereka melewati gang lalu kembali menemukan keanehan di jalan raya. Ada banyak sekali kendaraan yang berhenti di tengah jalan. Di sana ternyata macet total–sangat panjang sampai tak terlihat ujungnya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa di jalan raya itu, pemandangan senja merah muda terlihat sangat indah. Matahari terbenam menebarkan warna merah muda sehingga membentang nyaris memenuhi langit. Perpaduan periwinkle dan merah muda pun tampak memesona.

Ron tiba-tiba naik ke atap salah satu mobil yang terjebak macet. Banyak yang mengira Ron hanya ingin melihat senja. Namun sebenarnya, dia sedang mencari tahu penyebab kemacetan.

Pasha menegur. “Bang, nggak sopan. Di dalam mobil ada orang lho.”

“Lagian ini mimpi. Nggak apa-apa,” kata Ron.

“Kosong, Sha,” kata Je yang diam-diam mengintip ke dalam mobil.

Ami dan Aidan ikut mengintip ke satu mobil dan mobil lain di sekitarnya. Hasilnya, semuanya kosong. Lagi-lagi Mimpi & Co. memberikan sesuatu yang tak terduga.

Seraya menunjuk sesuatu, Ron berkata, “Di perempatan kayaknya ada yang aneh.” Lalu dia berjalan melewati mobil dan melompat ke mobil yang lain.

Ron berjalan melewati mobil-mobil kosong yang terjebak macet sedangkan yang lainnya berjalan di antara mobil. Setibanya mereka di perempatan yang ternyata cukup lengang, Oliver dan Rian sedang duduk di sana–di atas tikar dan dengan dua kotak martabak. Mereka piknik di tengah jalan hanya untuk memandang senja sore ini–merekalah penyebab kemacetan sangat panjang. Mereka menoleh setelah mendengar suara langkah kaki.

Rian menawari tanpa merasa bersalah, “Oh, kalian di sini? Sini-sini mari makan.”

Tiba-tiba, mereka mendengar suara aneh yang berasal dari langit. Semuanya menengadah menatap langit untuk mencari sumber suara. Ami menjadi yang pertama menemukannya dan segera menunjuk ke atas.

“Ikan paus!” seru Ami.

Semuanya terpana. Ada ikan paus besar berwarna ungu yang terbang dengan indah di langit sore. Paus itu bersuara seolah menyapa. Ia terbang lembut seolah mengikuti gelombang langit tak kasat mata dan seperti memancing mereka ke suatu tempat.

Ami tidak bisa menahan langkahnya untuk tidak mengejar. Ami berlari lalu semuanya mengikuti–Oliver dan Rian berlari sambil membawa masing-masing satu kotak martabak. Mereka melewati trotoar yang sepi mengikuti seekor paus yang terbang di langit. Langkah Ami berhenti setelah menemukan gerbang besar yang tampak familiar dengan beberapa wahana megah di baliknya. Dia menatap Je lalu keduanya serentak berseru.

“MC Amusement Park!”

“Jadi MC itu kepanjangan dari Mimpi & Co., ya?” pikir Je seraya mengangguk-angguk kecil.

Aidan bertanya, “Itu tempat apa?”

Ami menjawab, “Mimpiku pas ketemu Kak Je. Dulu pas kesini sih pengunjungnya Pak Guska semua kecuali Kak Je.”

“Iya juga, ya? Kok sekarang aku baru sadar?” pikir Je.

Perlahan pintu gerbang terbuka dan menampilkan banyak wahana di dalamnya. Teriakan Rian tiba-tiba mengejutkan semuanya.

“WAAAAAAA … AYO MAIN!!”

Rian menyeret tangan Pasha dan Axel–mengajak mereka masuk ke taman bermain itu. Semuanya menyusul, tapi langkah Ami masih tertahan karena dia kembali menengadah menatap ikan paus yang terbang tinggi.

“Ami, ayo!”

Ami melihat Aidan masih menunggunya dan mengulurkan tangan. Ami menerima uluran tangan itu dan menggenggamnya. Mereka pun memasuki taman bermain seraya bergandengan tangan.

Taman bermain itu tak berpenghuni. Setiap wahana otomatis berjalan saat ada penumpang. Rian mengajak siapapun untuk mencoba setiap wahana dan Je akan kabur setiap Rian mendekat. Oliver pergi ke stand popcorn dan membuat popcorn-nya sendiri. Axel pergi ke rumah hantu tapi berakhir kesal karena tidak ada hantu yang menakutinya. Sedangkan Ami hanya menatap sekeliling dengan takjub. Taman bermain yang ia kunjungi tampak sangat cantik dihiasi lampu warna-warni. Saat berkeliling bersama Aidan, mereka menemukan wahana tambahan yang sebelumnya tidak ada. Dia menemukan tempat semacam pendaratan pesawat luar angkasa dengan satu pesawat futuristik di tengah-tengahnya.

“Menurut Kak Ai, apa kita bisa terbang ke luar angkasa dengan pesawat itu?” tanya  Ami.

“Kayaknya kamu yang lebih tahu deh, Ami,” kata Aidan.

Ami menoleh ke belakang dan memanggil seseorang, “Kak Liver!”

Seraya menggendong seember popcorn, Oliver segera datang menghampiri setelah dipanggil. Sepasang matanya sontak membulat setelah melihat pesawat luar angkasa lalu dia segera memanggil yang lain. Oliver mengajak semuanya untuk naik ke pesawat. Tentu saja semuanya tidak ragu karena merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan–karena semua ini hanya mimpi. Di pesawat itu sudah tersedia delapan kursi yang berderet dalam satu barisan depan. Tidak ada papan kemudi, yang artinya pesawat itu terbang secara otomatis setelah semuanya duduk mengenakan sabuk pengaman.

Mereka takjub setelah melewati atmosfer–bahkan Ami dan Oliver meskipun pernah merasakannya. Mereka tiba di luar angkasa lalu mereka kembali menemukan paus ungu yang kali ini terbang di angkasa–meliuk indah di antara bintang-bintang.

“Gue jadi ingat Whale 52. Mungkin alasannya udah nggak pernah ditemukan lagi, soalnya dia udah berenang di luar angkasa,” kata Pasha.

Lalu hening lagi. Ada suasana sedih yang tiba-tiba datang.

“Kita bakal ngelupain semua ini, kan?” tanya Aidan. Dia menoleh ke arah Ami yang duduk di sampingnya lalu mengulangi pertanyaannya, “Nanti aku bakal ngelupain kamu lagi, ya?”

Ami tidak menjawab. Semuanya sudah tahu jawabannya, tapi tak ada yang sanggup menyampaikan.

“Gimana kalau nggak usah bayar?” tanya Ron. “Biar kita bisa ngerasain ini selamanya?”

Ami menggeleng. “Kalau artinya aku harus nyakitin kalian selamanya, aku nggak mau.”

“Kamu nggak keberatan kalau Aidan bakal ngelupain kamu?” tanya Axel.

Ami menjawab, “Memang berat, tapi mimpi ini bukan kehidupan aku yang sebenarnya. Kalau aku tetap di sini, rasanya kayak … aku kabur dari hidup aku sendiri.”

[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Best Gift
39      37     1     
Inspirational
Tidak ada cinta, tidak ada keluarga yang selalu ada, tidak ada pekerjaan yang pasti, dan juga teman dekat. Nada Naira, gadis 20 tahun yang merasa tidak pernah beruntung dalam hal apapun. Hidupnya hanya dipenuhi dengan tokoh-tokoh fiksi dalam  novel-novel dan drama  kesukaannya. Tak seperti manusia yang lain, hidup Ara sangat monoton seakan tak punya mimpi dan ambisi. Hingga pertemuan dengan ...
Mahar Seribu Nadhom
4936      1718     7     
Fantasy
Sinopsis: Jea Ayuningtyas berusaha menemukan ayahnya yang dikabarkan hilang di hutan banawasa. Ketikdak percayaannya akan berita tersebut, membuat gadis itu memilih meninggalkan pesantren. Dia melakukan perjalanan antar dimensi demi menemukan jejak sang ayah. Namun, rasa tidak keyakin Jea justru membawanya membuka kisah kelam. Tentang masalalunya, dan tentang rahasia orang-orang yang selama in...
Let's Play the Game
309      264     1     
Fantasy
Aku datang membawa permainan baru untuk kalian. Jika kalian menang terima hadiahnya. Tapi, jika kalah terima hukumannya. let's play the game!
HAMPA
410      283     1     
Short Story
Terkadang, cinta bisa membuat seseorang menjadi sekejam itu...
Negasi
155      117     2     
Fantasy
"Manusia nggak bisa lihat jin?" Zoya terkekeh. "Periksa mata, sih. Buta kali." Dahi Rayna tampak berkerut. Dunia macam apa ini? Manusia di depannya ini waras atau tidak, sih? Sejak kesadarannya kembali, Rayna merasa seperti terbangun di dunia yang asing. Dunia aneh di mana jin terlihat berseliweran bebas tanpa bisa melihat manusia, justru dianggap normal. Terdampar di dunia asing tanpa ...
Tanda Tangan Takdir
158      134     1     
Inspirational
Arzul Sakarama, si bungsu dalam keluarga yang menganggap status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai simbol keberhasilan tertinggi, selalu berjuang untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Kakak-kakaknya sudah lebih dulu lulus CPNS: yang pertama menjadi dosen negeri, dan yang kedua bekerja di kantor pajak. Arzul, dengan harapan besar, mencoba tes CPNS selama tujuh tahun berturut-turut. Namun, kegagal...
Aku Ibu Bipolar
46      39     1     
True Story
Indah Larasati, 30 tahun. Seorang penulis, ibu, istri, dan penyintas gangguan bipolar. Di balik namanya yang indah, tersimpan pergulatan batin yang penuh luka dan air mata. Hari-harinya dipenuhi amarah yang meledak tiba-tiba, lalu berubah menjadi tangis dan penyesalan yang mengguncang. Depresi menjadi teman akrab, sementara fase mania menjerumuskannya dalam euforia semu yang melelahkan. Namun...
Resonantia
323      280     0     
Horror
Empat anak yang ‘terbuang’ dalam masyarakat di sekolah ini disatukan dalam satu kamar. Keempatnya memiliki masalah mereka masing-masing yang membuat mereka tersisih dan diabaikan. Di dalam kamar itu, keempatnya saling berbagi pengalaman satu sama lain, mencoba untuk memahami makna hidup, hingga mereka menemukan apa yang mereka cari. Taka, sang anak indigo yang hidupnya hanya dipenuhi dengan ...
Solita Residen
1457      806     11     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...
Matahari untuk Kita
694      402     9     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...