Ami segera berhadapan dengan Pasha begitu keluar dari Mimpi & Co. Namun, pria itu selalu tersenyum seolah-olah itu adalah sapa terhangat yang bisa ia berikan.
“Kamu nggak bohong ternyata,” kata Pasha di depan pintu Mimpi & Co. setelah Ami keluar menemuinya. “Aku selalu kepikiran Mimpi & Co. sama semua kata-kata kamu di hari terakhir sebelum kita mutusin buat jaga jarak. Tapi dari yang kamu bilang waktu itu, ternyata ada yang nggak bener. Katanya perasaan aku ke kamu bakal hilang. Dan anehnya, di kafe Bang Axel tadi, aku bener-bener nggak tahu kamu itu siapa. Dan begitu pulang, aku tiba-tiba ingat kamu. Makanya aku nyamperin kamu karena super penasaran sama apa yang terjadi. Ternyata Mimpi & Co. itu ini ya?” Pasha mengamati pintu Mimpi & Co. “Pasti ada alasannya kan kenapa perasaan suka aku ke kamu malah balik? Aku boleh tahu?”
Ami diam menatap Pasha. Pria itu selalu bisa menuntut penjelasan tanpa penghakiman, namun justru sikap itulah yang membuat Ami semakin merasa bersalah. Bisa-bisanya dirinya menyakiti perasaan seorang pria sebaik ini?
Dengan sepasang mata berkaca-kaca, suara Ami bergetar karena menahan tangis. Dia memberitahu, “Tadi ada Kak Ai, Kak Axel sama Kak Ron datang ke rumah.”
Pasha mengangguk. “Aku tahu. Aku lagi jalan lewat gang ke rumah kamu pas Ron datang pakai motor, tapi dia nggak ngelihat aku. Aku sembunyi di kejauhan biar nggak nambah beban kamu. Sampai ayah kamu muncul, sampai mereka pulang, terus aku nunggu agak lama–tadinya mau telpon, tapi nggak jadi. Pas mau cabut, kamu malah lari keluar rumah. Aku ikutin deh.”
Pasha kemudian memberitahu bahwa dirinya sedikit menyimak percakapan Ami dan Pak Guska tadi. Dia menanyakannya kepada Ami sekadar untuk mengkonfirmasi kebenarannya sehingga Pasha mendapatkan beberapa kesimpulan: Pertama, perasaannya kepada Ami tidaklah nyata karena merupakan manipulasi Mimpi & Co.; Kedua, yang menjadi korban tidak hanya dirinya, tapi juga para sahabatnya; Ketiga, Mimpi & Co. menjadi tidak terkendali karena Ami membayar dengan barang pemberian Axel yang merupakan salah satu mimpi.
Pasha mendapati Ami menyeka air mata lalu berkata, “Yang terakhir itu memang bukan kamu yang salah kok. Mimpi & Co. mungkin lupa ngasih tahu soal itu. Lagian jasa Mimpi & Co. emang ditujukan buat orang-orang yang punya mimpi, kan? Yang jadi masalah di sini adalah aku sama temen-temen yang balik naksir sama kamu, terus kamu takut disalahin sama kita, apalagi sekarang kamu pacarnya Aidan–gitu, kan?”
Ami mengangguk.
“Kamu takut?” tanya Pasha lagi.
Ami mengangguk lagi. Kali ini suaranya sudah parau. “Aku nggak cuma takut disalahin. Aku takut bakal lebih nyakitin kalian. Apalagi sekarang jalan keluarnya belum ketemu. Aku nggak tahu harus gimana kalau ketemu kalian.”
Ponsel Ami berbunyi pertanda notifikasi pesan dan Ami segera memeriksanya.
“Siapa?” tanya Pasha.
Ami menjawab setelah membaca pesan. “Kak Ai. Masih di depan minimarket, katanya.”
Pasha mengangguk mengerti. “Kalau gitu aku pulang, ya? Kamu temuin Aidan dulu. Dia pasti bakal kaget kalau kamu datang sama aku.”
“Tapi … aku takut. Aku nggak tahu harus jelasin gimana.”
Maka, dengan berat hati, Pasha bersedia menemani. Setibanya di halaman minimarket, sesusai dugaan, Aidan tampak kecewa melihat Ami yang datang bersama pria lain.
“Kenapa sama Pasha? Setelah Bang Axel sama Bang Ron, sekarang Pasha juga terlibat? Nanti siapa lagi?” tanya Aidan.
Karena suasana hati Ami semakin tidak stabil setelah pertanyaan itu, Pasha mencoba menengahi dengan menceritakan apa yang ia lihat berdasarkan persepsinya. Dia mengakui bahwa dia menyaksikan kejadian Aidan yang mendatangi rumah Ami bersama Axel dan disusul Ron; memberitahu bahwa Ami keluar diam-diam dari rumahnya lalu dirinya pergi mengikuti; dan menceritakan tentang gempa di toko aneh bernama Mimpi & Co. yang berada di sela-sela bangunan, tapi memiliki ruang bergaya klasik yang lebih luas dari itu. Aidan tentu saja sulit percaya. Namun, memikirkan bagaimana dirinya sempat melupakan Ami, ia pun mencoba mempercayai bahwa Mimpi & Co. adalah sumber keanehan di hari ini dan hari-hari sebelumnya yang tanpa ia sadari.
Aidan bertanya kepada Ami, “Kamu kenapa ke toko itu segala? Biar apa?”
Ami menjawab jujur dengan suara lirih, “Biar punya pacar.”
“Aku aja nggak cukup emang? Sampai temen-temenku juga kena?” tanya Aidan kecewa.
Ami menggeleng. Saat ia ingin menjelaskan, Pasha menyela.
“Gue ditolak kok. Ami udah nolak gue. Dia jujur ke gue kalau gue bisa jatuh cinta sama dia gara-gara toko itu. Waktu itu gue juga bingung dan nggak percaya. Tapi setelah gue lihat sendiri, ternyata bener. Gue yakin nggak cuma gue yang ditolak.”
Aidan diam sebentar mendengar penjelasan itu. Dia memandang Ami lagi lalu bertanya sekali lagi, “Pacar kamu cuma aku, kan?”
Ami mengangguk.
“Terus kenapa tadi diem aja? Kenapa nggak jawab gitu pas aku datang sama Bang Axel?”
Kali ini Ami tidak bisa menahan rasa bersalahnya. Dia bicara seraya menahan air mata yang nyaris tumpah, “A-aku takut. Aku malu. Aku takut Kak Ai bakal nuduh kalau aku bukan perempuan baik-baik. Aku kaget Kak Ai tiba-tiba datang sama mereka padahal harusnya kalian nggak inget sama aku. Seharian aku udah nahan sakit karena bakal dilupain selamanya sama Kak Ai dan semuanya, tapi tiba-tiba ingatan kalian malah balik terus tiba-tiba dateng ke rumah. Aku bingung jelasinnya. Aku takut …”
Pasha tertegun saat Aidan beringsut merengkuh Ami yang menangis. Hatinya teriris cemburu, tapi dia menyadari bahwa memang Aidanlah yang patut memeluk Ami. Aidan berulangkali menenangkan Ami dan meyakinkan bahwa dirinya telah percaya. Setelah melepas pelukan, dengan lembut Aidan menanyakan alasan Ami yang memilih menggunakan jasa Mimpi & Co. Ami pun menjawab bahwa dia melakukan itu karena dia ingin punya pendukung juga seperti teman-temannya yang memperlakukannya secara buruk–dan Aidan tampaknya tahu.
“Temen-temen kamu yang pernah dorong kamu sampai jatuh dari tangga?” tanya Aidan.
Ami mengangguk.
“Didorong di tangga? Sumpah?” tanya Pasha tak percaya.
Aidan mengangguk. “Gue pernah liat pakai mata kepala gue sendiri. Terus besoknya, Ami masih dikejar terus buru-buru gue samperin.”
Kemudian Pasha bertanya kepada Ami dengan khawatir, “Tapi kamu nggak apa-apa kan, Ami?”
Ami menjawab, “Tubuh aku sampai biru-biru, tapi disembuhin Mimpi & Co.”
“Sekarang aku mau tahu. Selain aku, Pasha, Bang Axel sama Bang Ron, masih ada siapa yang suka sama kamu?” tanya Aidan.
Ami menjawab seraya menunduk takut, “Semua temen-temen Kak Ai yang datang ke Kafe Dandelion malam ini.”
Aidan mencoba menanggapi tanpa protes sedikitpun. “Kamu yang milih sendiri atau–”
“Semuanya dari Mimpi & Co. Aku cuma ditanya soal kriteria, tapi aku nggak tahu bakal siapa aja yang datang. Aku juga kaget pas tahu kalau semuanya ternyata temenan. Tapi Kak Ai bukan mimpi kok. Kak Ai nggak suka aku gara-gara Mimpi & Co.”
“Tahu dari mana soal itu?” tanya Pasha.
Ami menjawab seraya memandang Aidan dan Pasha bergiliran, “Yang dari Mimpi & Co., mereka absurd, tapi Kak Ai nggak gitu–cuma Kak Ai yang normal.”
Dengan cukup tersinggung, Pasha bertanya seraya memicingkan mata, “Nggak normalnya aku dimana?” Dia memikirkan kenangannya bersama Ami lalu dia menemukan jawabannya sendiri. “Ah, aku ingat pernah robohin tiang listrik sampai ganggu lalu lintas,” lalu menunduk malu.
“Serius bisa gitu?” tanya Aidan lalu menertawai Pasha. Dia menepuk lengan Pasha lalu berkata, “Bro, takdir Ami tuh emang gue, Bro!”
Ponsel Ami kembali berbunyi–dia mendapat pesan dari Pak Guska.
“Siapa?” tanya Aidan.
“Pak Guska. Katanya, sebagai bentuk tanggung jawab, besok dia mau undang semua mimpi ke Mimpi & Co. termasuk Kak Ai.”
“Pak Guska tuh siapa sih?”
“Yang jaga Mimpi & Co.”
“Mimpi & Co. yang toko aneh?”
Ami menangguk.
“Ami, kamu nggak usah khawatir. Aku sama Aidan yang bakal bantuin kamu ngomong ke temen-temen,” kata Pasha.
Aidan berseru, “Beneran, ya? Lo bantuin gue? Pokoknya kalau mereka ngamuk, lo di pihak gue.”
Pasha menggeleng. “Gue di pihak Ami.”
Aidan hanya membalas dengan lirikan sadis.
[]