Tanpa sepengetahuan ayahnya, Ami diam-diam keluar dari rumah setelah mengambil jaket. Dia buru-buru menuju Mimpi & Co. untuk mencari jawaban atas kebingungannya malam ini. Setibanya di Mimpi & Co., dia mendapati Pak Guska tengah duduk di lantai menghadap pecahan vas bunga beserta dua tangkai bunga mawar yang berserak di lantai–itu bunga pemberian Axel yang Ami jadikan sebagai alat pembayaran Mimpi & Co.
Pak Guska menoleh dan bertanya, “Bisa kamu ceritakan soal bunga ini?”
Ami menjawab jujur, “Bunganya dari Kak Axel.”
“Bunga ini … hadiah dari mimpi?”
Ami mengangguk.
“Kamu menggunakan ini untuk membayar Mimpi & Co.?”
Ami mengangguk lagi.
“Ah, ini bukan miskomunikasi, tapi sepertinya memang tidak disampaikan padamu. Membayar dengan hadiah dari mimpi itu tidak diizinkan–karena itu bukan barang yang nyata. Mungkin karena inilah Mimpi & Co. menghukum.”
“Menghukum?” tanya Ami. “Siapa yang dihukum? Saya? Gara-gara bayar pakai bunga dari Kak Axel? Saya disalahin karena saya nggak tahu? Kalau memang sakti, harusnya Mimpi & Co. tahu! Kalau nggak boleh jadi alat pembayaran, kenapa diterima?”
Pak Guska bangkit dan mencoba menenangkan Ami yang tampak kesal. “Yang Mimpi & Co. timbang kemarin bukan dari mana asal barangnya, tapi seberapa dalam perasaan kamu terhadap barang itu. Yang begini jarang terjadi, tapi karena sudah terjadi, nanti saya akan mencari cara.”
“Terus nasib saya gimana? Mereka semua sudah ingat saya lagi, tapi sekarang mereka saling kenal. Kalau udah begini, harusnya Mimpi & Co. yang tanggung jawab, kan? Toko magis macam apa yang bisa ngelakuin kesalahan kayak gini? Saya nggak bisa bohong kalau sekarang saya kesal! Mimpi & Co. sialan!”
Lantai bergetar. Barang-barang tiba-tiba berjatuhan. Gempa bumi. Pak Guska buru-buru menyeret Ami bersembunyi ke bawah meja. Saat melihat keluar lewat kaca pintu Mimpi & Co., di luar sana ternyata tidak ada gempa.
Setelah getaran berhenti, Ami berkata kepada Pak Guska yang duduk di sampingnya, “Kayaknya yang gempa cuma di sini deh, Pak. Di luar baik-baik aja tuh?”
Pak Guska menjelaskan, “Begini, saat kamu disebut ‘perempuan sialan’, kamu pasti akan marah, kan? Mimpi & Co. juga begitu.”
“Hah? Mimpi & Co. nggak terima?” tanya Ami. Dia menatap sekeliling ruang itu lalu berseru, “Saya ini customer! Harusnya Mimpi & Co. yang minta maaf ke saya! Saya yang harusnya minta ganti rugi! Saya yang harusnya nuntut Mimpi & Co.! Katanya toko sihir, tapi gitu aja masa bisa salah? Hei, Mimpi & Co.! Apa kamu bodoh?”
Lantai bergetar lagi. Ami dan Pak Guska kembali panik.
Pak Guska menegur, “Saya mengerti kalau kamu marah, tapi bisakah kamu berhenti membuat Mimpi & Co. jadi tantrum?”
“Mimpi & Co. bodoh! Bodoh! Bodoh!”
Ruang Mimpi & Co. kembali bergetar semakin kuat sampai langit-langit pecah dan reruntuhannya mengotori lantai. Ami berteriak terkejut saat ada lampu gantung yang jatuh dan pecah di samping meja tempatnya bersembunyi. Setelah getaran berhenti, Ami mengulangi perkataannya sekali lagi.
“Mimpi & Co. bodoh!”
Gempa Mimpi & Co. pun kembali terjadi. Semakin kencang sampai salah satu kursi ambruk.
Seraya memegangi kaki meja agar tidak bergeser, Pak Guska berteriak, “Ami, saya minta tolong. Nyawa saya bisa dipertaruhkan dalam hal ini.”
Ami menoleh padanya dan berkata, “Maaf. Cuma mau mastiin aja kok, Pak–gempanya beneran gara-gara saya katain atau nggak? Lagian Mimpi & Co. sensi banget. Dikatain gitu aja tantrum. Ini mimpi saya udah diobrak-obrik pokoknya saya mau minta tanggung jawab!”
Pak Guska menarik napas dalam-dalam. “Oke. Oke! Kita bicarain itu setelah kita keluar dari bawah meja ini. Di sini sempit, tahu?”
Setelah gempa berakhir, Pak Guska meminta tolong kepada Ami agar tidak mengatai Mimpi & Co. lagi. Setelah Ami berjanji, mereka pun keluar dari bawah meja dan duduk berhadapan di kursi pengunjung. Dari gestur Ami, Pak Guska menebak bahwa gadis itu pasti akan tetap meminta pertanggungjawaban atas mimpi dari Mimpi & Co. yang tiba-tiba kembali dan menjadi berantakan. Pak Guska meminta Ami untuk menyampaikan keluhannya.
“Semuanya ingat saya!” tegas Ami. “Barusan ada tiga yang nyamperin saya ke rumah. Semuanya minta penjelasan!”
Pak Guska mengangguk-angguk seolah-olah dia mengerti. “Saya tinjau dulu, ya?”
Pak Guska beranjak dari kursi dan berjalan melewati reruntuhan menuju counter. Ami segera mengikuti karena dia butuh jawaban segera. Pak Guska mengeluarkan sebuah bola kristal dari dalam laci lalu ia letakkan di atas meja di antara dirinya dan Ami. Pak Guska meminta Ami menyentuh bola kristal itu dengan tangannya lalu di dalam bola kristal itu muncul petir-petir kecil bercahaya yang berganti-ganti warna. Lewat warna-warna yang muncul, Pak Guska tampaknya dapat membaca situasi mimpi Ami saat ini.
Pak Guska bicara dengan serius, “Memori mimpi-mimpi kamu memang kembali.”
“Ya saya memang nggak bohong, Pak,” kata Ami yang satu tangannya masih ditahan agar tetap menyentuh bola kristal.
Pak Guska melanjutkan, “Tapi yang sekarang bukan mimpi.”
Ami tertegun. “Maksudnya, Pak?”
“Kalau mimpi kamu yang kemarin adalah mimpi yang menyelubungi dunia nyata, maka yang kali ini beda. Yang terjadi kali ini adalah: mimpi yang menyusup ke dunia nyata dan ingin menetap di sana.”
Ami semakin bingung sekaligus khawatir sampai tangannya yang menyentuh bola kristal gemetar.
“Kok sekarang jadi tangan kamu yang gempa?” tanya Pak Guska.
“Pak, tujuh orang lho, Pak! Gimana saya nggak takut? Itu tujuh orang kalau nyamperin ke rumah saya semua udah kayak orang demo. Salah satunya udah jadi pacar saya terus yang enam sisanya itu temennya semua.”
“Gimana kalau … putusin aja biar fair?”
“Mana bisa gitu!” ketus Ami. “Kak Ai itu tulus suka sama saya. Dia bukan mimpi. Tapi karena dia terlibat di mimpi saya, memorinya jadi ikut hilang.”
“Terus mau kamu gimana? Macarin semuanya?”
Ami melepas tangannya dari bola kristal lalu menggebrak meja. BRAK! Pak Guska nyaris terperanjat karena terkejut.
Ami bicara seraya menggertakkan gigi karena kesal, “Saya minta tanggung jawab! Kalau Mimpi & Co. nyalahin saya, saya juga bisa nyalahin balik–soalnya sumber kesalahan saya itu dari Mimpi & Co.! Saya nggak mau tahu! Cariin jalan keluar atau saya kata-katain nih toko sihir sialan! Sok-sokan mau ngehukum padahal dianya sendiri yang mistreatment ke customer-nya. Mimpi & Co. playing victim banget deh heran. Saya kasih bintang satu nanti biar tahu rasa–”
“Ssstt … !” Pak Guska memberi isyarat Ami agar segera diam seraya melihat sekeliling ruang karena Ami sudah terlanjur mengatai Mimpi & Co. lagi.
Mereka sama-sama diam sekadar untuk menantikan apakah akan ada gempa susulan atau tidak. Karena tidak ada yang terjadi, Pak Guska kembali bicara mengusir sunyi.
“Sebagai pegawai tetap Mimpi & Co., saya terima keluhan kamu. Tapi karena saya juga pusing–kita sama-sama pusing–tolong beri saya waktu untuk mencari jalan keluar. Saya butuh ketenangan untuk memikirkan solusi. Kamu silakan pulang dulu,” Pak Guska menunjuk pintu lalu tiba-tiba terdiam setelah melihat seseorang yang berdiri depan pintu Mimpi & Co. “Itu siapa? Kok bisa ngelihat Mimpi & Co.?” tanyanya.
Ami menoleh lalu terkejut melihat Pasha telah berdiri di depan pintu dan melambaikan tangan padanya. Kepada Pak Guska, dia memberitahu, “Itu Kak Pasha. Presma di kampus saya. Dia salah satu mimpi saya. Apakah mimpi memang bisa datang ke Mimpi & Co.?”
Pak Guska menggeleng. “Harusnya sih cuma customer yang bisa. Kalau sudah begini, itu artinya mereka bukan lagi sekadar mimpi.”
“Terus?”
“Mereka adalah mimpi yang sebentar lagi akan beralih menjadi customer.”
“Katanya Mimpi & Co. cuma nerima satu customer?”
“Namanya juga lagi error. Sana temui dia, tapi tolong jangan sampai masuk kesini, ya? Saya belum bisa melayani karena harus mengurus masalah kamu.”
[]