Malam minggu kelabu…
Siapa lagi yang habis ini bakal gue sakitin?
Itu adalah bait pertama pada tulisan di halaman buku diari Ami malam ini. Katanya, jurnaling dapat membantu mengelola stres dan emosi. Jadi, Ami sering melakukannya. Di tengah menulis, ponsel Ami berbunyi pertanda pesan–ternyata dari Aidan.
Dari: Kak Ai
Ami, aku di minimarket hehe
Ami hanya membacanya tanpa membalas karena masih sedih. Dia tahu Aidan sedang berharap dia akan datang menemuinya. Namun, dia benar-benar sedang butuh ruang untuk sendiri. Ami kembali menulis dan menumpahkan perasaannya pada sebuah buku. Dia merasa cukup lega setelah menulis dua halaman. Setelah menutup buku, dia melihat Aidan mengirimnya pesan lagi.
Dari: Kak Ai
Aku beli jajan buat kamu. Cek depan pintu
Ami pun bergegas keluar rumah. Ia pikir, Aidan masih di sana. Namun, yang Ami temukan hanya sekantung jajan yang tergantung di gagang pintu. Ami membawanya ke kamar lalu segera menelepon Aidan.
“Halo. Snack-nya udah diambil?” tanya Aidan.
“Kak … makasih udah repot-repot beliin aku. Kenapa Kak Ai nggak bilang? Harusnya jangan langsung pulang. Mampir dulu.”
Aidan berterus terang, “Kamu aku chat, nggak bales.”
Ami diam sesaat. “Maaf.”
“Itu hak kamu kok–dan aku nggak berhak marah ke kamu gara-gara itu.”
“Sebenarnya … hari ini aku ngehindarin banyak orang.”
“Oh. Nggak apa-apa. Nggak salah kok.”
“Kak Ai beneran nggak marah?”
“Beneran, tapi aku jadi khawatir. Lain kali, mungkin ada baiknya kamu ngasih tahu aku kalau emang lagi nggak mau ketemu siapapun. Kalau kamu cuma nge-read chat aku, aku jadi kepikiran dan malah bikin aku pengen nyamperin kamu. Aku nggak bermaksud bikin kamu tersinggung, Ami. Maksud aku, nggak apa-apa kalau kamu mau sendiri. Tapi tolong inget, ya? Ada aku di sini yang selalu mikirin kamu.”
Kalimat Aidan membuat getaran kelabu malam ini nyaris pekat. Malam ini, setelah panggilan berakhir, Ami kembali menangis seraya memakan makanan ringan yang dibelikan Aidan. Tengah malam ini, Ami kembali mendapat pesan otomatis dari Mimpi & Co. Sedih pun semakin menjadi.
Dari: Pesan otomatis Mimpi & Co.
Halo, Pelanggan Terpilih.
Ini adalah pesan otomatis dari Mimpi & Co. Waktu sudah mulai dihitung mundur lho. Tiga hari ke depan, paket mimpi Anda akan berakhir. Terima kasih sudah mempercayai Mimpi & Co.
Salam hangat,
Mimpi & Co.
Kesedihan Ami berlangsung sampai esok hari. Hari minggu, Ami ingin menghabiskan waktu di tempat yang tidak bisa ditemukan orang lain, Mimpi & Co. Dia duduk di kursi pengunjung, melipat tangan di atas meja, lalu merebahkan kepala di atasnya. Ami hanya menyapa saat datang lalu tidak bicara lagi–dan Pak Guska tidak keberatan dengan itu. Tampaknya Pak Guska sudah biasa menghadapi klien yang sedih saat mimpinya hampir berakhir. Jadi, dia menyibukkan diri dengan mengelap setiap barang antik di rak belakang counter.
“Tiga hari lagi Pak Guska juga bakalan pergi?” tanya Ami akhirnya–tanpa mengubah posisi duduknya.
Seraya mengelap barang-barang antik, Pak Guska menjawab, “Tentu. Saya selalu ikut kemanapun Mimpi & Co. pergi.”
“Bakal pergi ke tempat lain buat ngabulin mimpi lagi ya, Pak?”
“Betul. Tapi nanti bakal ada sehari pasca-mimpi kok. Dalam satu hari itu, Mimpi & Co. bakal menyerap semua mimpi yang tersebar di dunia nyata kamu–termasuk memori semua orang yang terlibat.”
Ami tiba-tiba mengangkat kepalanya dan menatap Pak Guska. “Tapi Pak Guska nggak akan lupa, kan? Pak Guska bakal tetap ingat saya, kan?”
Pak Guska bergeming sejenak. Itu adalah pertanyaan yang jarang ia dengar. Dia memandang Ami dengan senyum di wajah. “Tentu saja saya tidak akan melupakan setiap pelanggan yang pernah ada di sini.”
Ami akhirnya tersenyum meskipun tipis. “Syukurlah. Seenggaknya ada satu orang yang percaya kalau saya pernah bermimpi di realita.”
Pak Guska tersenyum haru. “Wajar kalau kamu sedih–hampir semua pelanggan begitu. Tapi menurut data statistik Mimpi & Co., banyak pelanggan yang akhirnya lebih berani mengekspresikan diri setelah mimpi berakhir. Karena mimpi yang diberikan oleh toko ini menggunakan dunia nyata sebagai latarnya, maka saat mimpi berakhir, rasanya tidak jauh beda. Yang membedakan hanyalah … memori orang-orang yang hilang. Sedangkan si pemilik mimpi, sebagian besar justru menemukan dirinya sendiri. Mereka menjadi lebih terbuka, lebih berani menghadapi realita, dan lebih mudah menerima. Apa kamu merasa begitu juga?”
Ami tidak menjawab. Dia membenamkan wajahnya di lipatan tangan–dia menangis lagi. Tangisnya reda sejenak saat Pak Guska membawakannya cokelat panas dan kue. Ami menghabiskannya sebelum pulang.
Senin pagi, saat memeriksa ponsel setelah bangun tidur, Ami mendapat pesan otomatis dari Mimpi & Co. yang dikirim pada tengah malam ini.
Dari: Pesan otomatis Mimpi & Co.
Halo, Pelanggan Terpilih.
Ini adalah pesan otomatis dari Mimpi & Co. Dua hari dari sekarang, mimpi Anda akan diakhiri. Terima kasih telah menggunakan jasa kami.
Salam hangat,
Mimpi & Co.
Di kampus, Ami datang ke fakultas teknik. Bukan untuk menemui Rian, tapi Ron. Dia ingat kalau Ron bisa membaca pikirannya. Jika dia membiarkan Ron berada dalam radarnya, apakah Ron akan datang? Ami menunggu di lobi–persis seperti Je saat menunggunya. Sebelum mimpinya berakhir, Ami ingin menemui setiap mimpinya untuk meminta maaf sekaligus berterima kasih. Dan rasanya, sudah lama sekali dia tidak bertemu Ron.
Terdengar suara langkah kaki yang kasar dan terburu-buru. Ami melihat Ron berlari menuruni tangga dan menghampirinya–dia tampak panik.
“Kenapa nemuin gue di sini? Takut kepergok pacar lo?” tanya Ron.
Ami menggeleng.
Ron semakin mendekat dan berkata, “Gue bisa ngerasain apa yang lo rasain. Lo tahu, kan?”
Ami tidak menyangka Ron akan seterus terang itu. Dari mata Ron saat ini, ternyata dia juga terlihat kesedihan. Suasana saat ini benar-benar sangat mendukung untuk mengeluarkan air mata. Sepasang mata Ami pun mulai berkaca.
Ron kembali bertanya, “Gue bisa ngerasain apa yang lo rasain, tapi lo nggak bisa tahu apa yang lagi gue rasain. Iya, kan?”
Ami mengangguk sehingga air mata yang terkumpul di pelupuk mata berhasil menitik ke pipi karena terguncang.
“Lo mau tahu nggak apa yang gue rasain sekarang?” tanya Ron.
Ami mengangguk dan air mata pun menitik lagi. Entah kenapa dia merasa harus mempersiapkan diri sebelum Ron benar-benar mengungkapkan isi perasaannya.
Ron berkata, “Gue ngerasa bakal ada yang pergi jauh setelah ini. Entah itu lo … atau gue.”
Tangis Ami meledak. Dia sudah tak kuasa menahannya lagi. Tidak ada rasa malu lagi seperti sebelum mimpinya ada. Ami berani menumpahkan seluruh air matanya di hadapan Ron–ini adalah luka yang telah ia pendam sejak beberapa hari yang lalu. Tidak ada penghakiman dari Ron saat Ami menangis di tempat. Ron hanya berani mengulurkan tangan untuk menepuk bahu Ami beberapa kali dan kembali bicara setelah tangis Ami mulai reda.
“Kalau gue minta kesempatan buat jadi pacar lo sehari aja, lo mau?”
Ami menggeleng seraya mengusap air mata.
“Kalau gitu gue minta kesempatan buat ngabisin waktu sama lo. Hari ini gue mau bawa lo pergi. Gue janji jam tujuh malem lo udah sampai rumah.”
Ami mengangguk.
Ron mengajak Ami pergi ke pantai. Di sana, Ron meminta Ami menangis lagi jika masih ingin–karena suara ombak akan meredam suara tangisannya. Sementara Ami menangis di tepi pantai dan berhadapan dengan senja, Ron meninggalkan Ami sebentar untuk mencari makanan. Di tepi jalan dekat pantai, ada sederet penjual yang menjual banyak jenis makanan: baby crab, cumi-cumi, udang dan lainnya. Ron membelikan Ami beberapa beserta minuman. Begitu Ron kembali dan memberikan apa yang telah dibeli, Ami berseru menyambutnya.
“Aku suka cumi. Makasih, Kak.”
Ron tersenyum tipis. Dia senang karena Ami sudah bisa tersenyum. Di tepi pantai yang beranjak sunyi, Ron duduk di sampingnya. Saat Ami sibuk makan dan memandang senja, Ron justru memandangnya–dengan mata teduh seakan takut kehilangan. Saat Ami menoleh, Ron tidak membuang pandangannya.
“Kenapa?” tanya Ami.
Ron tidak menjawab dan terus menatap Ami dalam diam.
“Kak!” tegas Ami karena mulai tidak nyaman terus dipandang.
Ron akhirnya bersuara, “Gimana kalau pas lo pergi, gue ngejar lo?”
“Nggak mungkin. Perasaan Kak Ron ke aku kan bakal hilang?”
“Kata siapa?”
“Ya emang gitu aturannya.”
“Aturan dari mana?”
Amin menjawab lirih sambil berpaling muka, “Mimpi & Co.”
“Mimpi … apa?” Ron mengerutkan kening karena tidak jelas mendengar.
Ami menatap Ron lagi dan melontarkan pertanyaan lain untuk mengalihkan pembicaraan, “Kak Ron kenapa nggak galak lagi sama aku?”
“Kapan juga gue galak sama lo?” kata Ron. “Gue cuma gemes.”
Ami tidak percaya dan hanya tertawa. Ron kemudian beranjak dari duduknya saat senja hampir habis. Ron mengajak pulang karena sudah janji untuk memulangkan Ami sebelum jam tujuh malam. Begitulah pertemuan terakhir ini … akhirnya … berakhir.
[]