Loading...
Logo TinLit
Read Story - Mimpi & Co.
MENU
About Us  

Dari: Pesan otomatis Mimpi & Co.

Halo, Pelanggan Terpilih.

Ini adalah pesan otomatis dari Mimpi & Co. Kami ingin mengingatkan bahwa hari ini adalah hari terakhir Anda. Mari buat hari ini menjadi hari yang paling berarti. Terima kasih sudah bersedia mewujudkan mimpi tidak permanen melalui toko kami.

 

Salam hangat,

Mimpi & Co.

 

Pagi ini, setelah membaca pesan dari Mimpi & Co., Ami bertekad bahwa seluruh waktunya pada hari ini akan ia serahkan kepada Aidan. Maka, pada saat itu juga, dia mengirim pesan kepada Aidan.

 

Kepada: Kak Ai

Kak Ai, ayo nanti ketemu. Aku mau ngasih jawaban.

 

Setelah Aidan membalas, mereka pun sepakat untuk bertemu pada pukul dua siang di minimarket.

Siang ini, Ami merasa antusias ingin bertemu Aidan. Ami selesai kuliah pada pukul satu dan dia masih punya waktu sejam lagi untuk bertemu Aidan. Dimana dia harus menunggu? Ami tidak bingung lagi saat bertemu Oliver yang ternyata telah menunggunya di depan pintu kelas.

Annyeong!” sapa Oliver seraya mengangkat satu tangan. “Tahu nggak, Ami? Annyeong artinya halo. Bahasa Kanada kalau nggak salah.”

“Korea!” Ami mengoreksi.

“Oh–lo tahu ternyata?” Oliver murung sesaat lalu tiba-tiba semringah lagi. “Ami, ikut gue bentar, yuk? Gue pernah bilang kan kalau gue mau ngajak lo jalan-jalan ke langit.”

Ami menatap Oliver dengan memiringkan kepala. “Serius bisa?” tanyanya.

“Gue bisa buktiin.”

Oliver menarik satu tangan Ami lalu Ami diajak berlari. Ami pun bersedia mengikuti tanpa penolakan. Lagipula bertemu Aidan masih sejam lagi. Mungkin hari ini, Ami memang sengaja diberi kesempatan oleh takdir untuk mengatakan salam perpisahan kepada Oliver sebelum mimpinya berakhir.

Mereka menuju ke halaman belakang kampus. Di halaman itu, ada pesawat mungil yang unik yang menyerupai UFO. Ami seketika terpana melihatnya.

“Habis ketemu Sablikuk kemarin, gue sekalian pre-order ini. Baru dateng hari ini. Gue beli cuma biar kita bisa terbang bareng lho, Ami. Yuk naik, yuk?”

Ami perlahan melangkah mendekati pesawat yang hanya berkapasitas dua orang itu. Oliver naik lebih dulu kemudian mengulurkan tangan kepada Ami. Ami meraih uluran tangan itu lalu dirinya ditarik oleh Oliver lalu mereka berdua masuk ke pesawat.

Oliver menekan salah satu tombol pada flight control kemudian munculah dinding transparan yang mengelilingi mereka dan menutupi mereka. Ami melihat Oliver memakai sabuk pengaman lalu Ami mengikuti.

“Ami, siap-siap, ya?” kata Oliver yang mulai memegang kemudi.

Ami mengangguk mantap dan mulai bersiap menatap ke depan. Ami sudah sangat siap, sampai Oliver berkata–

“Yang mana dulu, ya?” pikir Oliver seraya terus mengamati flight instrument dan flight control yang ada pada dashboard.

Ami bertanya dengan sedikit khawatir, “Lo … bisa kendarain pesawat ini, Kak?”

Oliver menjawab, “Bisa kok–dikit. Tadi kan udah? Lumayan lancar kok–cuman salah mendarat di pohon aja.”

Ami pun mulai mengkhawatirkan nasibnya setelah ini. Namun, setelah menyadari ini masih mimpi, Ami berusaha santai lagi. Oliver menekan salah satu tombol lagi, kemudian pesawat mulai bergerak dan melayang. Ami menatap ke sekitar dengan kagum lalu menatap Oliver sekadar untuk memujinya.

“Keren, Kak!”

Saat pesawat yang mereka tumpangi telah melayang melebihi tingginya gedung kampus, Oliver seolah-olah memberi Ami tantangan baru.

“Siap ngerasain roller coaster, Ami?”

“Hah? Gi-gi-gimana, Kak?”

Oliver dengan tangkas menekan tombol yang tampak terlarang karena berwarna merah dan paling besar. Setelah menekannya, Oliver menghitung mundur. Ami merasa itu bukan pertanda baik. Maka, dia pun siap-siap berpegangan pada apapun.

“Tiga … dua … Satu!”

WUSSSSSSSSSHHH!!!!!!!!

Pesawat melesat jauh ke angkasa. Ami tidak bisa menahan teriakannya karena kecepatan pesawat yang luar biasa.

“AAAAAAAAAA … !!”

Teriakan Ami terhenti setelah dia menembus galaksi. Ami batuk-batuk sebentar, lalu Oliver memberi Ami sebuah kantung plastik saat Ami merasa ingin muntah–Ami benar-benar menggunakan kantung itu untuk muntah. Setelah itu, Oliver mengikat kantung itu seperti balon lalu ia biarkan melayang ke sekitar. Benar, ini luar angkasa. Ami juga bisa merasakan dirinya melayang, namun tertahan karena memakai sabuk pengaman. Kemudian … Ami terpana melihat keluar jendela.

Ami dan Oliver terbang menembus galaksi di tengah hamparan semesta. Tubuh mereka serasa dibalut oleh cahaya Mimpi & Co. yang melindungi mereka dari kehampaan luar angkasa. Di sekeliling mereka, bintang-bintang berkedip seperti mata jutaan penjaga kosmos, sementara spiral galaksi tampak seperti pusaran raksasa yang anggun. Semesta ternyata terlalu luas sampai tak terlihat detailnya. Terlalu indah sampai Ami tidak ingin pulang.

“Jadi gimana nih? Nggak mau pulang, apa kangen bumi?” tanya Oliver.

Ami telah menitikkan air mata karena menatap indahnya bumi. Dia menyeka air matanya yang kemudian lolos ke udara. “Kata Pak Guska, ada saatnya kita harus bangun dari mimpi. Kita pulang aja ya, Kak?”

Oliver pun mengendari pesawat agar kembali ke bumi–sebuah titik biru mungil di samudra kegelapan. Dari kejauhan, planet itu tampak damai, rapuh, dan penuh kenangan. Saat mereka menembus atmosfer, langit berubah dari hitam pekat lalu menjadi biru yang familiar. 

Pesawat UFO milik Oliver mendarat di lokasi semula. Langkah Ami mendarat di bumi dengan keheningan yang berat namun penuh makna. Dia bukan lagi orang yang sama–jiwanya telah menyimpan luasnya semesta dan sunyinya bintang-bintang. Saat merasakan angin berhembus, dia merasa telah menemukan kembali detak dunia … dan detak hatinya sendiri. Pulang bukan hanya soal kembali ke tempat asal, tapi juga menemukan kembali siapa dirinya.

“Kak, lo tahu nggak? Lo itu mimpi gue yang paling indah,” tanya Ami setelah menyeka air mata yang tidak berakhir melayang lagi.

Oliver tersanjung. Dia senang, tapi dia merasa ada yang kurang. “Tapi gue nggak mau kalau cuma jadi mimpi. Bisa nggak sih direalisasiin aja? Gue maunya kita jadian.”

Ami tidak tega menolak. Dia pun menemukan keputusan paling kejam yang pernah ada: berbohong.

“Gue jawab besok, boleh?” tanya Ami. Dia berencana menggantung Oliver sampai pria itu sendiri yang lupa akan hari ini.

Oliver tersenyum polos seperti anak kecil yang tak pantas disakiti. “Boleh kok. Gue kasih waktu sampai besok, ya? Besok gue bakal nyamperin lo lagi kayak tadi. Kalau gue diterima, gue bakal bawa lo terbang lagi buat nyari pelangi. Kalau ditolak, lo bakal tetep gue ajak terbang–gue culik. Ini pesawat udah dapat izin satpam kampus buat parkir di sini.”

Ami mengangguk seraya tersenyum haru. “Kalau gitu sampai jumpa besok ya, Kak? Gue pulang duluan.”

Ami menelusuri jalan pulang dengan memikirkan hari ini–sedih, tapi keren. Mana yang lebih dominan? Tidak ada. Keduanya melebur dan menyatu dalam mewarnai hati Ami. Dia mengeluarkan ponsel untuk melihat waktu, tapi dia tiba-tiba terpikirkan hal lain: AIDAN! Tidak disangka dia akan melupakan janji yang seharusnya ia tepati empat jam yang lalu.

Sulit dipercaya, Aidan masih menunggu di teras minimarket. Namun, suasana hatinya tampak tidak menyenangkan. Saat Ami datang, Aidan justru beringsut masuk ke minimarket. Ami segera mengejarnya.

“Kak Ai …,” panggil Ami yang mengikuti Aidan berjalan di antara rak.

“Eh–udah balik?” tanya Aidan–ramah tapi pahit.

“Kak, tadi–”

Aidan menyela, “Aku udah tahu dari teman-teman kamu. Katanya, kamu pergi sama cowok yang jemput kamu ke kelas? Ternyata aku bukan satu-satunya yang kamu kasih kesempatan ya, Ami?”

Ami ingin mengatakan sepatah kata lagi, tapi lagi-lagi Aidan mendahuluinya.

“Aku bayar dulu, ya? Kamu tunggu depan aja. Atau kalau mau pulang juga nggak apa-apa kok.”

Sekarang Ami paham. Aidan sedang marah. Ami sadar, dia yang membuat janji, tapi dia juga yang tidak menepati. Ami mengikuti saran Aidan untuk menunggu di luar. Namun, saat Aidan selesai berurusan dengan kasir dan mendapati Ami menunggunya di teras, Aidan kembali bertanya sarkas.

“Lho? Masih di sini?”

Ami tidak suka pertanyaan itu. Dia menunjukkan wajah cemberutnya kepada Aidan, tapi pria itu tetap tidak peduli.

“Aku mau balik kost, ya? Tadi ada yang nitip jajan soalnya,” kata Aidan.

Ami melirik kantung belanjaan Aidan yang berisi banyak susu pisang. Pasti Rian, pikir Ami.

“Nanti balik sini, ya? Aku tungguin,” kata Ami.

“Emang kamu masih mau ketemu aku?”

“Masih!”

“Masih kurang sama yang tadi?” tanya Aidan menyampaikan kemarahannya.

“Makanya balik sini biar aku jelasin!” tegas Ami.

“Kalau aku nggak mau balik?”

“Tetep aku tungguin–” pungkas Ami kemudian melanjutkan dalam hati: sampai mimpi ini berakhir.

“Oke,” ucap Aidan santai.

Ami kecewa karena Aidan benar-benar pergi meninggalkannya. Meskipun begitu, Ami tetap bertekad menunggu Aidan sampai mimpi dari Mimpi & Co. berakhir. Kira-kira pukul berapa semua mimpinya akan sirna?

Setelah dua jam menunggu, Aidan benar-benar kembali menemuinya. Ami yang awalnya duduk pun lekas berdiri menyambutnya. Namun, kalimat pertama yang Aidan lontarkan justru membuat Ami kecewa.

“Ayo aku anterin pulang.”

Seketika ekspresi Ami berubah. “Mau ngapain mampir ke rumah aku? Ini udah malam." tanyanya.

“Bukan mampir. Aku cuma mau nganterin kamu.”

“Kalau cuma pulang sih aku bisa pulang sendiri,” ketus Ami seraya duduk kembali.

“Ya udah. Sana pulang! Kenapa malah duduk lagi?”

“Nggak mau pulang sampai Kak Ai nggak marah lagi!”

“Aku nggak marah, Ami.”

“Tapi kesel, kan?” tegas Ami. Dia beranjak dari kursi dan berdiri di hadapan Aidan. “Aku minta maaf! Maaf kalau kesannya aku maksa, tapi Kak Ai harus maafin aku soalnya hari ini kesempatan terakhir aku!”

“Kesempatan terakhir apa?”

“Kesempatan terakhir buat nerima Kak Ai!”

Aidan diam. Dalam hatinya, ada sedikit rasa senang saat mendengarnya. Namun, ada sisa rasa tak terima karena Ami sempat mengingkari janji dengan memilih pergi bersama pria lain. Aidan yang sempat sangat menginginkan Ami, kini ia berada dalam dilema. Mungkin memang tidak ada jalan lain selain mendengarkan penjelasan Ami. Aidan akhirnya menumpahkan isi hatinya.

“Ini nggak cuma tentang kamu yang ngingkarin janji kamu ke aku. Aku nggak masalah kalau kamu memang nggak sempet atau ada hal lain yang memang harus kamu lakuin. Tapi karena kamu perginya sama cowok lain, makanya aku ngerasa sakit. Kamu punya janji sama aku! Dan aku suka kamu! Wajar kalau aku sakit hati–apalagi aku udah excited nungguin kamu!”

Ami mengangguk seraya menatap Aidan dengan penuh rasa bersalah.

“Aku udah maafin kamu,” ujar Aidan yang kemudian buru-buru ia tambahkan, “–tapi jujur, sakit hati aku nggak bisa hilang gitu aja. Aku mau tahu tadi kamu ngapain aja. Maksud aku, itu cowok sampai jemput ke kelas kamu. Kamu sespesial itukah buat dia sampai dia jemput kamu?”

Ami berterus terang, “Dia suka aku. Percaya atau enggak, ada enam cowok yang suka aku. Beberapa udah aku tolak. Sisanya belum–soalnya belum ada kesempatan.”

“Nggak semua kesempatan harus dicari! Kamu bisa kok nyiptain kesempatan sendiri kalau kamu mau. Minta waktu mereka sebentar buat ngomongin keputusan kamu! Jujur aku senang kamu udah mau nerima aku, tapi kalau kamu punya urusan yang belum selesai sama cowok lain, aku nggak suka.”

Ami mengangguk lagi. “Maaf,” ucapnya sekali lagi.

“Oke. Masalah kita sudah selesai, kan? Kamu sekarang pacar aku.”

Ami terpaku sebentar. Dia butuh waktu untuk akhirnya mengangguk yang dibersamai senyuman malu-malu.

“Sekarang aku anterin pulang, ya? Ini udah malam.”

Senyuman Ami pun pudar. Dia memeriksa jam di ponselnya yang menunjukkan pukul sembilan malam–yang itu berarti mimpi Mimpi & Co. akan berakhir tiga jam lagi. Haruskah ia meminta Aidan untuk tetap bersamanya sampai tiga jam kedepan? Atau haruskah ia menghormati keputusan Aidan yang ingin mengantarnya pulang? Ami dengan berat hati mengangguk.

“Ya udah. Ayo,” kata Ami yang kali ini disertai senyum pasrah.

[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
No Life, No Love
1032      792     2     
True Story
Erilya memiliki cita-cita sebagai editor buku. Dia ingin membantu mengembangkan karya-karya penulis hebat di masa depan. Alhasil dia mengambil juruan Sastra Indonesia untuk melancarkan mimpinya. Sayangnya, zaman semakin berubah. Overpopulasi membuat Erilya mulai goyah dengan mimpi-mimpi yang pernah dia harapkan. Banyak saingan untuk masuk di dunia tersebut. Gelar sarjana pun menjadi tidak berguna...
Resonantia
325      281     0     
Horror
Empat anak yang ‘terbuang’ dalam masyarakat di sekolah ini disatukan dalam satu kamar. Keempatnya memiliki masalah mereka masing-masing yang membuat mereka tersisih dan diabaikan. Di dalam kamar itu, keempatnya saling berbagi pengalaman satu sama lain, mencoba untuk memahami makna hidup, hingga mereka menemukan apa yang mereka cari. Taka, sang anak indigo yang hidupnya hanya dipenuhi dengan ...
Metanoia
46      39     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiri—dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...
Maju Terus Pantang Kurus
918      584     2     
Romance
Kalau bukan untuk menyelamatkan nilai mata pelajaran olahraganya yang jeblok, Griss tidak akan mau menjadi Teman Makan Juna, anak guru olahraganya yang kurus dan tidak bisa makan sendirian. Dasar bayi! Padahal Juna satu tahun lebih tua dari Griss. Sejak saat itu, kehidupan sekolah Griss berubah. Cewek pemalu, tidak punya banyak teman, dan minderan itu tiba-tiba jadi incaran penggemar-penggemar...
Is it Your Diary?
161      127     0     
Romance
Kehidupan terus berjalan meski perpisahan datang yang entah untuk saling menemukan atau justru saling menghilang. Selalu ada alasan mengapa dua insan dipertemukan. Begitulah Khandra pikir, ia selalu jalan ke depan tanpa melihat betapa luas masa lalu nya yang belum selesai. Sampai akhirnya, Khandra balik ke sekolah lamanya sebagai mahasiswa PPL. Seketika ingatan lama itu mampir di kepala. Tanpa s...
Trust Me
58      51     0     
Fantasy
Percayalah... Suatu hari nanti kita pasti akan menemukan jalan keluar.. Percayalah... Bahwa kita semua mampu untuk melewatinya... Percayalah... Bahwa suatu hari nanti ada keajaiban dalam hidup yang mungkin belum kita sadari... Percayalah... Bahwa di antara sekian luasnya kegelapan, pasti akan ada secercah cahaya yang muncul, menyelamatkan kita dari semua mimpi buruk ini... Aku, ka...
Late Night Butterfly
29      27     0     
Mystery
Maka sejenak, keinginan sederhana Rebecca Hahnemann adalah untuk membebaskan jiwa Amigdala yang membisu di sebuah belenggu bernama Violetis, acap kali ia memanjatkan harap agar dunia bisa kembali sama meski ia tahu itu tidak akan serupa. "Pulanglah dengan tenang bersama semua harapanmu yang pupus itu, Amigdala..." ucapnya singkat, lalu meletupkan permen karet saat langkah kakinya kian menjauh....
Cinta Pertama Bikin Dilema
5017      1383     3     
Romance
Bagaimana jadinya kalau cinta pertamamu adalah sahabatmu sendiri? Diperjuangkan atau ... diikhlaskan dengan kata "sahabatan" saja? Inilah yang dirasakan oleh Ravi. Ravi menyukai salah satu anggota K'DER yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP. Sepulangnya Ravi dari Yogyakarta, dia harus dihadapkan dengan situasi yang tidak mendukung sama sekali. Termasuk kenyataan tentang ayahnya. "Jangan ...
Kisah Cinta Gadis-Gadis Biasa
833      481     1     
Inspirational
Raina, si Gadis Lesung Pipi, bertahan dengan pacarnya yang manipulatif karena sang mama. Mama bilang, bersama Bagas, masa depannya akan terjamin. Belum bisa lepas dari 'belenggu' Mama, gadis itu menelan sakit hatinya bulat-bulat. Sofi, si Gadis Rambut Ombak, berparas sangat menawan. Terjerat lingkaran sandwich generation mengharuskannya menerima lamaran Ifan, pemuda kaya yang sejak awal sudah me...
Sahara
22611      3409     6     
Romance
Bagi Yura, mimpi adalah angan yang cuman buang-buang waktu. Untuk apa punya mimpi kalau yang menang cuman orang-orang yang berbakat? Bagi Hara, mimpi adalah sesuatu yang membuatnya semangat tiap hari. Nggak peduli sebanyak apapun dia kalah, yang penting dia harus terus berlatih dan semangat. Dia percaya, bahwa usaha gak pernah menghianati hasil. Buktinya, meski tubuh dia pendek, dia dapat menja...