Loading...
Logo TinLit
Read Story - Mimpi & Co.
MENU
About Us  

Hari sabtu hanya ada satu mata kuliah. Namun, jika tidak ada keperluan, Ami tidak ingin bertemu siapapun. Dia bahkan diam-diam menghindari Aidan saat nyaris berpapasan. Bahkan saat melihat Je duduk di lobi, Ami menahan langkahnya sebelum akhirnya pergi lewat jalan lain. Ami merasakan ponselnya bergetar lalu mengeluarkannya dari saku celana. Rian ternyata menghubunginya.

“Halo?”

“Kak, malming nih. Jalan, yuk?”

“Lo nggak mau pura-pura jatuh dulu sebelum ngajak gue pergi?”

“Oh, masih marah? Masa gitu doang marah? Sebagai permintaan maaf, hari ini gue yang traktir deh.”

“Nggak mau. Bye.”

Beberapa saat setelah memutus panggilan, ponsel Ami kembali bergetar–kali ini Oliver yang menghubunginya.

“Ami, malam ini jalan, yuk? Mumpung malam minggu.”

“Sorry, Kak. Gue nggak bisa. Lagi pusing.”

“Lo sakit?”

“Enggak sih. Puyeng aja. Lagi banyak pikiran.”

“Jalan sama gue aja makanya. Dijamin semua beban lo bakal ilang.”

“Nggak mau ah. Terakhir jalan sama lo, kita ketemu alien, Kak.”

Meskipun masih sedih, mungkin tidak ada salahnya Ami pergi jalan-jalan. Hanya saja, dia tidak ingin bersama siapapun. Dia lebih memilih pergi sendirian ke kota tua. Namun ternyata, di sana pun dia bertemu mimpi. Dia menemukan Pasha duduk sendirian seraya membaca buku di salah satu kafe dengan secangkir kopi dan sepotong kue di mejanya. Ami pun segera berpindah ke sisi lain agar Pasha tidak menemukannya–dia pergi ke kafe mungil paling ujung lalu memesan donat dan lemon tea.

Ami menghabiskan waktunya hanya dengan makan, minum dan mengambil banyak foto dengan ponsel. Dia juga menikmati pemandangan luar yang ramai. Banyak orang bersepeda, anak-anak yang berlarian serta orang dewasa dan lansia yang sekadar duduk beralas tikar. Tempat itu benar-benar tidak pernah sepi–masih ramai sampai hampir senja. Kemudian pada sore itu, Ami melihat Pasha yang masuk ke kafe yang sama, melambaikan tangan padanya lalu menghampirinya. Ami pura-pura antusias atas kedatangannya.

“Lho? Kak Pasha di sini?” Ami berbohong lagi.

Pasha tersenyum. “Aku tadi lagi makan sendirian juga di kafe sebelah sana. Habis itu aku lewat sini terus nggak sengaja lihat kamu. Aku boleh duduk?”

Ami segera mengangguk dan mempersilakan Pasha agar duduk di hadapannya.

“Aku seneng banget lho bisa ketemu kamu di sini. Ami kenapa jalan sendirian?” tanya Pasha.

Ami menjawab, “Suka aja. Lagian aku udah biasa sendirian. Aku malah ngerasa bebas.”

“Berarti aku ngganggu nggak nih? Soalnya kamu jadi nggak sendirian. Jadi nggak bebas dong?”

Ami buru-buru menggeleng. “Kalau Kak Pasha sih nggak masalah. Kalau orang asing, baru aku mau kabur.”

“Kenapa hayo? Kalau kamu ngasih aku good sign kayak gini, aku bisa nembak kamu sekarang juga lho? Aku nggak masalah kok sama apapun jawabannya. Kalau kamu nerima aku, kita jadian. Kalau enggak, ya itu hak kamu.”

Ami memperhatikan Pasha yang tersenyum tipis seperti menyembunyikan luka.

“Kelihatan, ya?” tanya Pasha kemudian. Sorry. Aku cuma–” Pasha tiba-tiba kesulitan bicara. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum kembali tersenyum hangat seraya menatap Ami. “Ami, kamu tahu nggak apa yang aku pikirin tadi pas aku lagi makan sendirian?”

Ami menggeleng.

“Aku mikirin kamu,” kata Pasha. “Makanya aku seneng banget pas ngelihat kamu ada di sini. Terus aku ngerasa kayak … mungkin ini saatnya aku mencoba buat ngertiin kamu.” Sejauh ini, senyum Pasha masih mengembang.

“Maksudnya, Kak?”

“Aku tahu kok,” kata Pasha yang lagi-lagi sulit Ami mengerti. “Kamu tadi ngelihat aku duluan kan? Tapi habis itu, kamu ngelewatin aku.”

Ami terhenyak. Pasha ternyata tahu. Ami ingin segera menjelaskan untuk memperbaiki kesalahpahaman. Ami menjelaskan dengan panik dan terburu-buru. “Kak, aku punya alasan. Aku bukannya nggak mau ketemu Kak Pasha. Alesannya tuh … Kak Pasha nggak bakal percaya kalau aku kasih tahu.”

“Nggak apa-apa, Ami. Kamu nggak perlu panik. Aku nggak benci kamu–aku jujur soal ini. Yang aku pikirin soal kamu tadi adalah … kayaknya sekarang udah saatnya aku ngelepasin kamu dari semua beban yang udah aku kasih ke kamu.”

Ami bingung. “Beban apa?”

“Tentang aku yang minta kamu buat jadi pacar aku,” jawab Pasha. “Mulai sekarang, permintaan itu aku tarik, ya? Sekarang kamu nggak punya tanggungan lagi buat ngasih aku jawaban–soalnya aku udah tahu. Udah jelas kok. Aku ditolak.”

Pasha masih tersenyum. Sedangkan Ami sebaliknya. Kini sepasang mata Ami sudah berkaca.

“Kak,” panggil Ami dengan suara yang mulai parau. “Selama ini aku nggak ngasih jawaban, soalnya takut bakal nyakitin Kak Pasha.”

“Aku mending ditolak dari awal ketimbang digantungin, Ami. Jangan nangis, ya? Sekarang semuanya udah selesai,” ujar Pasha yang mendapati kilau di mata Ami. “Nggak apa-apa kalau kamu emang nggak mautapi ngegantungin orang itu justru bisa nimbun luka. Kalau kamu nggak mau, kamu harus berani nolak. Soal sakit hati, itu urusan aku–karena aku yang naksir kamu. Aku bilang gini karena menurut aku ini penting demi kamu atau masalah kamu nggak akan pernah selesai.”

Air mata yang terbendung akhirnya meloloskan diri lewat sudut mata. Ami menunduk karena tidak ingin wajah menangisnya dilihat Pasha.

Seraya menunduk, Ami berkata, “Aku … minta maaf …”

Pasha mengangguk segera. “Iya. Udah aku maafin. Kamu nggak sepenuhnya salah, Ami. Aku juga salah udah bikin kamu nangis kayak gini. Sorry. Aku pergi, ya?” Pasha beranjak dari tempat duduk.

Ami lekas mengangkat wajahnya dan menatap Pasha dengan wajah yang terbasahi air mata. “Jangan pergi dulu. Aku masih ngerasa bersalah sama Kak Pasha. Aku harus gimana biar bisa nebus kesalahan aku?”

Pasha tersenyum dan berucap ramah. “Permintaan maaf kamu udah cukup kok.”

Ami menggeleng. Dia bahkan menahan tangan Pasha agar tidak pergi.

“Jangan begini,” tegas Pasha, tapi tetap lembut. “Nanti aku baper lagi. Aku harus jauh dari kamu biar nggak makin suka. Kamu juga tolong bantuin aku biar aku bisa hapusin perasaan aku ke kamu, ya? Aku butuh jaga jarak dari kamu dulu.”

Selanjutnya, Ami merelakan tangannya disingkirkan oleh Pasha dan hanya bisa menangis tanpa mengucapkan sepatah kata. Dia perhatikan Pasha yang tetap pergi meninggalkannya. Pasha tahu dirinya ditolak, tapi kenapa Ami juga ikut terluka? Dada Ami sesak seakan dirinya lah yang baru saja mendapat penolakan. Ini adalah perasaan yang baru pertama kali Ami rasakan. Dia mungkin pernah kehilangan orang, tapi yang hilang kali ini adalah seseorang yang mencintainya. Meskipun ini hanya mimpi, tapi rasa sakitnya sungguh nyata. Karena ini mimpi, Ami tidak segan-segan menangis keras di muka umum. Lagi pula seluruh dunia akan lupa.

Tangis Ami perlahan berhenti setelah terpikirkan itu. Karena Ami merasakan sakit hati yang nyata, tidak menutup kemungkinan jika Pasha merasakan sakit yang nyata juga, bukan? Ami buru-buru menyeka air mata lalu beranjak dan berlari mencari Pasha–seharusnya belum jauh karena Pasha baru pergi. Begitu menemukannya di trotoar seberang jalan, Ami berteriak memanggil.

“Kak Pasha!”

Teriakan Ami tak hanya menarik perhatian Pasha, tapi juga orang-orang di sekitarnya. Ami menunggu kesempatan untuk menyeberang jalan. Untungnya, Pasha mau menunggu. Begitu lampu lalu lintas berubah dan kendaraan di jalan raya berhenti, sepasang kaki Ami buru-buru menjamah zebra cross–Ami berlari menghampiri Pasha.

Pasha memandang Ami yang datang padanya dan sibuk mengatur napas. “Aku udah bilang, kan? Tolong jangan begini. Aku takut nggak bisa berhenti sayang sama kamu.”

“Kak!” tegas Ami, “Tunggu beberapa hari lagi. Perasaan Kak Pasha ke aku pasti bakal hilang.”

Pasha terdiam heran.

Ami tetap menjelaskan meskipun Pasha tidak akan mengerti. “Kak Pasha suka aku gara-gara aku yang minta. Aku bayar ke Mimpi & Co. biar aku bisa ditaksir beberapa orang dan ternyata Kak Pasha salah satunya. Kak Pasha nggak salah. Sepenuhnya ini salah aku. Walaupun nanti Kak Pasha nggak bakal inget soal ini, tapi beneran … ini semua salah aku. Maaf udah ngelibatin Kak Pasha. Sakit hati yang aku rasain sekarang kayaknya emang hukuman buat aku.”

Pasha masih bingung. “Ami, aku nggak ngerti.”

“Seperti yang Kak Pasha minta, aku bakal jaga jarak sampai mimpi ini selesai.”

“Mimpi?”

“Iya! Ini cuma mimpi! Kak Pasha ada di mimpi aku. Kak Pasha percaya aja, please!” Ami setengah merengek. “Aku tahu ini konyol, tapi please, Kak Pasha percaya aja! Aku nggak bohong!”

Meskipun bingung soal mimpi yang dibicarakan Ami, Pasha mencoba menurut agar menangkannya. “Oke,” ujar Pasha seraya mengangguk.

“Kalau gitu, sekarang aku yang pergi ya, Kak? Kak Pasha, selamat tinggal. Setelah mimpi ini selesai, kita bakal jadi orang asing yang nggak saling kenal–tapi aku tetap tahu Kak Pasha soalnya Kak Pasha jadi presma keren di kampus. Sekali lagi, aku minta maaf.”

Ami kemudian berbalik memunggungi Pasha. Setelah menyeka air mata dan menarik napas panjang, Ami pun pergi meninggalkan Pasha.

[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The First 6, 810 Day
1955      1191     2     
Fantasy
Sejak kecelakaan tragis yang merenggut pendengarannya, dunia Tiara seakan runtuh dalam sekejap. Musik—yang dulu menjadi napas hidupnya—tiba-tiba menjelma menjadi kenangan yang menyakitkan. Mimpi besarnya untuk menjadi seorang pianis hancur, menyisakan kehampaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Dalam upaya untuk menyembuhkan luka yang belum sempat pulih, Tiara justru harus menghadapi ke...
NADI
6495      1871     2     
Mystery
Aqila, wanita berumur yang terjebak ke dalam lingkar pertemanan bersama Edwin, Adam, Wawan, Bimo, Haras, Zero, Rasti dan Rima. mereka ber-sembilan mengalami takdir yang memilukan hingga memilih mengakhiri kehidupan tetapi takut dengan kematian. Demi menyembunyikan diri dari kebenaran, Aqila bersembunyi dibalik rumah sakit jiwa. tibalah waktunya setiap rahasia harus diungkapkan, apa yang sebenarn...
Dalam Satu Ruang
274      212     2     
Inspirational
Dalam Satu Ruang kita akan mengikuti cerita Kalila—Seorang gadis SMA yang ditugaskan oleh guru BKnya untuk menjalankan suatu program. Bersama ketiga temannya, Kalila akan melalui suka duka selama menjadi konselor sebaya dan juga kejadian-kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Finding the Star
2618      1611     9     
Inspirational
"Kamu sangat berharga. Kamu istimewa. Hanya saja, mungkin kamu belum menyadarinya." --- Nilam tak pernah bisa menolak permintaan orang lain, apalagi yang butuh bantuan. Ia percaya kalau hidupnya akan tenang jika menuruti semua orang dan tak membuat orang lain marah. Namun, untuk pertama kali, ia ingin menolak ajakan Naura, sahabatnya, untuk ikut OSIS. Ia terlalu malu dan tak bisa bergaul ...
Doa
470      346     3     
Short Story
Berhati-hatilah dengan segala pemikiran gelap di dalam kepalamu. Jika memang sebabnya adalah doa mereka ....
Late Night Butterfly
48      44     0     
Mystery
Maka sejenak, keinginan sederhana Rebecca Hahnemann adalah untuk membebaskan jiwa Amigdala yang membisu di sebuah belenggu bernama Violetis, acap kali ia memanjatkan harap agar dunia bisa kembali sama meski ia tahu itu tidak akan serupa. "Pulanglah dengan tenang bersama semua harapanmu yang pupus itu, Amigdala..." ucapnya singkat, lalu meletupkan permen karet saat langkah kakinya kian menjauh....
The Golden Prince
266      217     1     
Fantasy
*Nggak suka cerita Aksi-Fantasi? Coba dulu ini! nggak nyoba nggak akan tahu!! *BUKAN TERJEMAHAN, cerita ini ori hasil ketik tangan penulis, jadi please jangan plagiat!! [Blurb]------------------------------ Ini tentang seorang Kesatria muda, seorang Master Pedang paling cemerlang di Kerajaannya - yang terlempar ke masa depan, ke 10 tahun di depan. Dunia yang dikenalnya telah berubah, lo...
Catatan Takdirku
2459      1280     6     
Humor
Seorang pemuda yang menjaladi hidupnya dengan santai, terlalu santai. Mengira semuanya akan baik-baik saja, ia mengambil keputusan sembarangan, tanpa pertimbangan dan rencana. sampai suatu hari dirinya terbangun di masa depan ketika dia sudah dewasa. Ternyata masa depan yang ia kira akan baik-baik saja hanya dengan menjalaninya berbeda jauh dari dugaannya. Ia terbangun sebegai pengamen. Dan i...
Finding My Way
1833      1138     3     
Inspirational
Medina benci Mama! Padahal Mama tunawicara, tapi sikapnya yang otoriter seolah mampu menghancurkan dunia. Mama juga membuat Papa pergi, menjadikan rumah tidak lagi pantas disebut tempat berpulang melainkan neraka. Belum lagi aturan-aturan konyol yang Mama terapkan, entah apa ada yang lebih buruk darinya. Benarkah demikian?
Forestee
498      350     4     
Fantasy
Ini adalah pertemuan tentang kupu-kupu tersesat dan serigala yang mencari ketenangan. Keduanya menemukan kekuatan terpendam yang sama berbahaya bagi kaum mereka.