Loading...
Logo TinLit
Read Story - Mimpi & Co.
MENU
About Us  

Sedih Ami tidak hilang sampai esok hari meskipun cuaca lebih cerah. Ami duduk di bawah pohon besar di depan fakultasnya. Biasanya, Ami akan malu melakukan itu–dia tidak berani duduk sendirian di tempat terbuka karena takut jadi pusat perhatian. Namun, entah kenapa Ami mulai terbiasa sejak mengenal Mimpi & Co. Yang terus terpikirkan di benaknya adalah: Lagipula dirinya akan segera dilupakan.

Perasaan Ami lagi-lagi berubah tanpa alasan. Sedihnya hilang, lalu rasa bahagia muncul entah dari mana. Ami kemudian menduga sesuatu–dia yakin kebahagiaannya bersumber dari Je yang saat ini berada dalam radarnya. Dia menoleh ke sekitar lalu menemukan Je yang tengah berjalan sendirian menuju fakultas seni. Ami antusias ingin menghampiri, tapi dia terlebih dulu memperhatikan kemana pria itu pergi. Saat Je berakhir duduk di kursi lobi lalu bermain ponsel, Ami menunggu sebentar lagi barangkali Je ingin bertemu seseorang–Aidan, misalnya. Karena tidak ada tanda-tanda Je akan bertemu seseorang, Ami akhirnya beranjak dari duduknya dan menghampiri Je seraya berseru dengan ceria.

“Kak Je …!”

Je menoleh lalu senyumnya lekas mengembang. “Ami, kirain kamu masih di dalam. Aku di sini lagi nungguin, lho.”

“Kak Je nungguin aku?”

Je mengangguk. “Kan aku emang sering kesini buat ketemu kamu, tapi kamu malah langsung pergi ninggalin aku?”

Ami tertawa getir. Dia merasa bersalah soal itu. Jadi, Ami akan pergi dengannya sebagai permintaan maaf. Namun, karena sejam lagi Ami masih ada kelas, Ami memberitahu Je untuk pergi jalan-jalan di sekitar kampus saja. Lalu Je mengusulkan untuk pergi beli kopi gerobakan di pinggir jalan dekat kampus yang harganya murah meriah. Ami setuju untuk pergi ke sana, tapi sayangnya … di sana sangat ramai akan pria. Ternyata tempat itu menjadi tempat nongkrong sekumpulan mahasiswa termasuk Pasha dan Ron. Saat melihat mereka dari kejauhan, langkah Ami segera terhenti. Ami memberitahu Je kalau dia terlalu malu untuk pergi ke sana. Je memahami Ami lalu dia menawari Ami untuk menunggu di suatu tempat sedangkan dia pergi beli kopi sendiri.

Ami menunggu di kursi halte. Je pun datang menghampiri setelah membeli dua kopi dan memberikan salah satunya kepada Ami. Ami menoleh ke arah Je yang sedang menatapnya dengan mata hangat. Ami mulai menyeruput kopinya sebelum menanyakan sesuatu.

“Kak Je tadi datang ke fakultas aku sendirian, emang nggak malu?”

“Kenapa harus malu?” tanya Je yang justru bingung.

“Ya soalnya sendirian. Barangkali ada yang ngejek nggak punya temen, atau dikatain kesepian, atau dibilang lemah gara-gara nggak ada pendukung?”

Kening Je mengerut heran. “Ami kayak gitu, ya?”

Sepasang mata Ami membulat. Dia merasa tertangkap basah. Dia pun hanya membalas dengan tawa ala kadarnya: “Hehe.”

“Gini ya, Ami,” Je meletakkan kopinya di kursi sebelum menjelaskan, “Jalan sendirian itu bukan kelemahan kok–tapi kelebihan. Soalnya, itu artinya kita berani. Bahkan kalau misalnya kita kesandung atau kepeleset di tengah jalan, itu manusiawi kok–malah jadi pelajaran biar kita lebih hati-hati. Kalau ngerasa malu, paling bentar doang. Kalau ada yang ketawa, besok-besok mereka juga bakal lupa.”

“Gitu, ya? Kalau ada yang nggak suka sama kita terus kita diketawain tiap hari, gimana?”

“Ada yang gitu ke kamu? Ada yang jahat ke kamu?”

Ami tersenyum canggung. “Tapi … menurut Kak Je, aku jahat nggak sih? Aku bikin beberapa orang naksir sama aku, padahal sebenernya mereka nggak beneran suka sama aku.”

“Eh?” Je kembali heran. “Maksudnya gimana sih? Aku yang nggak ngerti atau emang pertanyaan kamu yang aneh?”

“Emang pertanyaan aku yang aneh,” lirih Ami. Ami menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan berbicara. “Aku ngerasa lemah gara-gara nggak punya pendukung, tapi cewek itu punya temen sama pacar yang belain dia. Bahkan saat dia salah, dia tetep dibela. Aku nggak tahu harus minta pertolongan kemana. Akhirnya, aku bikin permohonan di toko mimpi. Aku bikin daftar orang-orang yang aku mau–terus mereka semua bener-bener dateng. Tapi aku malah ngerasa jahat ke mereka.”

“Merekanya tuh siapa, Ami?” tanya Je.

“Yang naksir aku.”

“Termasuk aku dong?”

Ami mengangguk. “Iya.”

“Tapi aku nggak ngerasa dijahatin kok sama Ami. Perasaan jatuh cinta itu indah, lho. Berarti Ami udah ngasih keindahan dong buat aku?”

Ami terdiam menatap Je. Apa yang Je sampaikan ternyata sedikit mengurangi rasa bersalahnya. “Kalau misalnya Kak Je suka aku gara-gara aku jampi-jampi, perasaan Kak Je bakal gimana?”

“Emang kamu beneran kayak gitu ke aku?”

Ami bingung menjawab. Dia mengangkat bahu seraya berkata, “Bisa jadi.”

“Ami,” panggil Je. “Percaya deh, semua hal yang jahat itu pasti ada imbasnya. Kalau misalnya kamu manfaatin sesuatu buat kesenangan kamu terus habis itu kamu sadar, itu udah cukup kok–soalnya kamu udah dapet pelajarannya. Lagian nggak ada salahnya kok berbuat salah. Kamu manusia. Setiap manusia pasti punya salah. Tanpa ngelakuin kesalahan, kamu nggak bakal tahu mana yang benar.”

Ami bergeming. Dalam benak ia ingin tahu: Apakah ini benar perkataan Je atau hanya mimpi yang dikendalikan Mimpi & Co.?

Sedih Ami datang lagi setelah dia berpisah dengan Je dan kembali ke kampus untuk mengikuti kelas. Dia semakin sedih saat melewati jalan pulang. Dia mampir ke Mimpi & Co., lalu di sana, dia tidak bisa menahan air mata. Dia menangis di hadapan Pak Guska. Dengan penuh perhatian, Pak Guska menepuk bahu Ami beberapa kali, lalu mengambilkan sekotak tisu dan cokelat panas kesukaan Ami. Pak Guska tidak mengusik seolah memberi Ami waktu untuk menyelesaikan tangisnya.

Setelah tangis reda, Ami bertanya, “Apa Kak Ai bakal ngelupain saya juga?”

“Saya nggak yakin apakah jawaban saya akan membuatmu lega atau akan membuatmu kembali menangis. Tapi sepertinya harus saya katakan kalau … jika kamu terlibat dalam ingatannya saat mimpi berlangsung, ingatan itulah yang akan dilupakan.”

Ami diam.

“Apa dia … yang nyata?” tanya Pak Guska.

Ami mengangguk lalu meminum cokelat panasnya yang sudah tidak panas lagi. Dia pulang, lalu melanjutkan tangisnya di rumahnya yang kosong. Tangisnya dijeda oleh suara notifikasi di ponselnya–Ami mendapat pesan dari sang ayah.

 

Dari: Ayah

Malam ini ayah nggak pulang.

 

Ami akan sendirian sampai besok berangkat kuliah lagi. Malam ini, Ami berencana pergi ke minimarket untuk beli jajan–kebiasaannya saat sedih adalah membeli banyak makanan ringan dan memakannya sendiri. Namun, saat Ami berjalan di gang yang remang-remang dan hampir tiba di mulut gang, Ami menahan langkahnya karena mendengar suara beberapa orang yang familiar di telinganya. Dia pun mengintip di balik dinding. Ternyata malam ini Aidan, Oliver dan Rian tengah menikmati makan mie bersama di teras minimarket.

“Gebetan gue rumahnya masuk gang itu,” kata Oliver seraya menunjuk gang.

Untungnya, Ami sudah sembunyi saat semuanya menoleh–tapi dia masih ingin menguping.

“Kok sama? Jangan-jangan gebetan kita tetanggaan?” tanya Rian.

Aidan menceletuk, “Gue malah pernah mampir. Makan bareng. Ketemu bokapnya juga. Bokapnya dokter.”

“Bokapnya gebetan gue profesinya apa, ya?” gumam Oliver yang kemudian sibuk berpikir.

“Habis makan mie, ayo balapan lari sampai kost-an,” ajak Rian.

“Sampai kost-an kita adu panco nggak sih?” usul Oliver.

“Habis itu laper lagi,” kata Aidan.

“Makan lagi lah,” celetuk Rian.

“Bang Axel di kafe nggak, ya?” tanya Oliver tiba-tiba.

Rian menjawab, “Nggak ada. Udah tutup jam segini.”

“Kalo ada alien mampir ke kafe, kira-kira bakal dibolehin nggak ya?” tanya Oliver lagi.

“Nggak usah aneh-aneh!” ketus Aidan. “Guys, balik yuk? Besok gue ada kelas pagi. Takut kesiangan,” ajaknya kemudian beranjak lebih dulu diikuti Oliver dan Rian.

Sebelum pergi, mereka mengumpulkan sampah di meja dan membuangnya ke tempat sampah. Dari balik dinding, Ami kembali mengintip. Mereka ternyata tinggal bersama. Ami mengamati mereka yang melangkah bersama di tepi jalan raya.

“Awas aja lo pasang alarm kenceng-kenceng, tapi yang bangun malah kita,” ketus Oliver seraya merangkul Aidan di jalan pulang.

Aidan membalas, “Kapan gue gitu? Bukan gue! Rian tuh yang kalo molor kayak orang mati.”

Dan Rian hanya tertawa kencang. Melihat mereka bersama, nafsu makan Ami hilang. Dia memutuskan pulang dan kembali bersedih dengan bebas di kamarnya.

[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dominion
308      250     4     
Action
Zayne Arkana—atau yang kerap dipanggil Babi oleh para penyiksanya—telah lama hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Perundungan, hinaan, dan pukulan adalah makanan sehari-hari, mengikis perlahan sisa harapannya. Ia ingin melawan, tapi dunia seolah menertawakan kelemahannya. Hingga malam itu tiba. Seorang preman menghadangnya di jalan pulang, dan dalam kepanikan, Zay merenggut nyawa untuk p...
Let Me be a Star for You During the Day
1757      1024     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Dark Shadow
375      247     5     
Horror
Tentang Jeon yang tidak tahu bahwa dirinya telah kehilangan Kim, dan tentang Kim yang tidak pernah benar-benar meninggalkan Jeon....
Bottle Up
3389      1414     2     
Inspirational
Bottle Up: To hold onto something inside, especially an emotion, and keep it from being or released openly Manusia selalu punya sisi gelap, ada yang menyembunyikannya dan ada yang membagikannya kepada orang-orang Tapi Attaya sadar, bahwa ia hanya bisa ditemukan pada situasi tertentu Cari aku dalam pekatnya malam Dalam pelukan sang rembulan Karena saat itu sakitku terlepaskan, dan senyu...
Seharusnya Aku Yang Menyerah
263      216     0     
Inspirational
"Aku ingin menyerah. Tapi dunia tak membiarkanku pergi dan keluarga tak pernah benar-benar menginginkanku tinggal." Menjadi anak bungsu katanya menyenangkan dimanja, dicintai, dan selalu dimaafkan. Tapi bagi Mutia, dongeng itu tak pernah berlaku. Sejak kecil, bayang-bayang sang kakak, Asmara, terus menghantuinya: cantik, pintar, hafidzah, dan kebanggaan keluarga. Sementara Mutia? Ia hanya mer...
A & A
427      296     2     
Romance
Alvaro Zabran Pahlevi selalu percaya bahwa persahabatan adalah awal terbaik untuk segala sesuatu, termasuk cinta. Namun, ketika perasaannya pada Agatha Luisa Aileen semakin dalam, ia sadar bahwa mengubah status dari teman menjadi pacar bukanlah perkara mudah. Aileen, dengan kepolosannya yang menawan, seolah tak pernah menyadari isyarat-isyarat halus yang Alvaro berikan. Dari kejadian-kejadian ...
Behind The Spotlight
4545      2313     621     
Inspirational
Meskipun memiliki suara indah warisan dari almarhum sang ayah, Alan tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang penyanyi, apalagi center dalam sebuah pertunjukan. Drum adalah dunianya karena sejak kecil Alan dan drum tak terpisahkan. Dalam setiap hentak pun dentumannya, dia menumpahkan semua perasaan yang tak dapat disuarakan. Dilibatkan dalam sebuah penciptaan mahakarya tanpa terlihat jelas pun ...
Bunga Hortensia
1987      339     0     
Mystery
Nathaniel adalah laki-laki penyendiri. Ia lebih suka aroma buku di perpustakaan ketimbang teman perempuan di sekolahnya. Tapi suatu waktu, ada gadis aneh masuk ke dalam lingkarannya yang tenang itu. Gadis yang sulit dikendalikan, memaksanya ini dan itu, maniak misteri dan teka-teki, yang menurut Nate itu tidak penting. Namun kemudian, ketika mereka sudah bisa menerima satu sama lain dan mulai m...
Yang Tertinggal dari Rika
5680      2094     11     
Mystery
YANG TERTINGGAL DARI RIKA Dulu, Rika tahu caranya bersuara. Ia tahu bagaimana menyampaikan isi hatinya. Tapi semuanya perlahan pudar sejak kehilangan sosok paling penting dalam hidupnya. Dalam waktu singkat, rumah yang dulu terasa hangat berubah jadi tempat yang membuatnya mengecil, diam, dan terlalu banyak mengalah. Kini, di usianya yang seharusnya menjadi masa pencarian jati diri, Rika ju...
UNTAIAN ANGAN-ANGAN
657      525     0     
Romance
“Mimpi ya lo, mau jadian sama cowok ganteng yang dipuja-puja seluruh sekolah gitu?!” Alvi memandangi lantai lapangan. Tangannya gemetaran. Dalam diamnya dia berpikir… “Iya ya… coba aja badan gue kurus kayak dia…” “Coba aja senyum gue manis kayak dia… pasti…” “Kalo muka gue cantik gue mungkin bisa…” Suara pantulan bola basket berbunyi keras di belakangnya. ...