Malam ini, setibanya di rumah, Ami mendapat telepon dari Pasha. Dia merasa harus menerimanya meskipun barusaja merebahkan diri di sofa ruang tamu.
“Halo, Kak Pasha.”
Pasha membalas dengan suara lirih, “Ami.”
“Ya?”
“Maaf udah telepon kamu malam-malam. Aku masih kepikiran soal … kita. Katanya, kamu masih mau ketemu aku lagi, kan?”
“Iya. Aku masih mau.”
“Sekarang bisa?”
“Eh?”
“Aku terus kepikiran kamu. Sekarang aku masih di kampus.”
“Jam segini?”
“Aku belum makan. Dan aku lapar. Hehe ... Kamu mau nggak … nemenin aku makan?”
Sebelum Pasha menghancurkan dunia, Ami merasa harus memikirkannya baik-baik. Apalagi dia baru pulang dari kencannya dengan Axel. Ami segera bangkit dan melangkah membuka kulkas untuk melihat apa yang ada.
“Kak Pasha suka pasta udang? Aku buatin. Makan di rumah aku, nggak apa-apa, kan?”
“Ami mau masakin aku? Nanti kamu repot. Aku nggak bermaksud–”
“Anggap aja aku yang traktir sama … nebus rasa bersalah–gara-gara … waktu itu … aku … ninggalin Kak Pasha.”
“Gitu ya?” Pasha terkekeh singkat. Oke deh. Aku berangkat sekarang kalau gitu. Makasih, ya?”
Ami pun bergegas memasak. Dia mulai merebus pasta serta menyiapkan udang kupas dan bahan-bahan lainnya. Dia sedikit terburu-buru karena Pasha mungkin akan cepat sampai karena jarak kampus dan rumahnya sangat dekat–apalagi jika Pasha menggunakan kendaraan. Namun, kedatangan Pasha ternyata lebih lama dari dugaan.
Bel pintunya berbunyi tepat saat pasta udangnya hampir matang. Ami segera membukakan pintu lalu mendapati Pasha sudah berdiri di balik pintu. Pasha ternyata membawa motor–Ami melihatnya terparkir di halaman rumahnya. Melihat helm dan jaket Pasha sedikit basah, Ami bertanya tanpa mengawali dengan sapa.
“Hujan?”
Pasha menimpali seraya melepas helm, “Gerimis aja kok. Aku boleh bawa helm ke dalam, kan?”
“Iya boleh. Taruh dalam aja, Kak.”
Pasha kemudian dipersilakan masuk dan Ami memberitahunya untuk meletakkan helmnya di atas meja buffet ruang tamu. Ami mengajak Pasha ke ruang makan yang dekat dengan dapur. Dia tiba-tiba berlari ke dapur untuk mematikan kompor yang masih menyala.
“Maaf ya, Ami. Malah kamu yang repot jadinya,” kata Pasha yang melepas jaket kemudian disampirkan ke sandaran kursi.
“Enggak repot kok, Kak. Aku juga kebetulan belum makan soalnya,” dusta Ami yang sebenarnya sudah makan malam bersama Axel di restoran megah dengan setiap hidangan berporsi mini.
Setelah menuang pasta ke dua piring, Ami pun segera membawanya ke meja. Sedangkan Pasha tengah sibuk melihat sekeliling rumah Ami yang minim sekat.
Pasha bertanya, “Orang tua kamu dimana?”
“Ayah pulang malam. Tengah malam mungkin. Dia sibuk di rumah sakit,” jawab Ami yang kali ini sibuk menuang air putih ke dua gelas kemudian diantarkannya ke meja yang sama.
“Ayah kamu dokter? Perawat? Atau—”
“Dokter. Dokter bedah. Beberapa hari yang lalu ayah ngabarin kalau ada pasien baru yang harus dirawat intensif pasca-operasi. Jadi deh akhir-akhir ini dia jarang pulang.”
Pasha mengangguk mengerti lalu memberi isyarat kepada Ami untuk mencicipi pasta udangnya. Ami pun segera mempersilakan dan hanya memberi peringatan kalau masih panas. Sayangnya, saat jemari Pasha baru menyentuh ujung piring, piringnya tiba-tiba retak menjadi beberapa bagian kemudian pecah di tempat. Batin Ami: Mimpi & Co. sialan! Pasha menatap Ami dengan penuh rasa bersalah.
“Piringnya emang gampang pecah, Kak! Bentar, ya?” Ami beranjak dari kursi dan lekas membersihkan kekacauan kecil itu.
Piring pecah serta pasta yang belum sempat dicicipi itu ia pindah ke nampan dan ia letakan dan abaikan begitu saja di meja dapur. Ami membawakan sepiring pasta udang lain kepada Pasha dan Pasha segera mencicipinya–kali ini Pasha tidak berani menyentuh piring. Dengan garpu, Pasha mengambil sedikit pasta dan menyantapnya.
Pasha menatap Ami dengan sepasang mata melebar. “Ini pasta udang terenak yang pernah aku makan. Apalagi kamu yang masak,” pujinya.
Ami mendesis tidak percaya. “Nggak usah gombal!” katanya.
“Lho? Kata siapa aku gombal? Aku nggak pernah ngelakuin something cheap like that, Ami. Seru mungkin buat sebagian orang, tapi yang kayak begitu bukan tipe aku.”
“Emang tipe Kak Pasha yang gimana?” tanya Ami.
“Aku sih prefer ngomong langsung aja ketimbang ngegombal. Kalau suka yang bilang suka, kalau cantik ya bilang cantik, kalau enak ya bilang enak. Eh, tapi aku tahu loh beberapa gombalan bahasa inggris. Mau dengar nggak?”
Ami mengangguk, “Boleh.”
Pasha meletakkan garpunya lalu memulai gombalan bahasa inggrisnya, “Any chance you have an extra heart? Mine’s been stolen–” Pasha memberi jeda sejenak lalu menambahkan, “–by you.”
Ami menyemburkan tawa lalu berkata, “Eh, tapi kalau pakai bahasa inggris kok keren ya, Kak? Padahal kalau di Indonesia-in artinya cuma nyuri hati.”
“Yes. Soalnya jadi kedengeran nggak biasa makanya jadi kayak hal yang baru dan nggak ngebosenin. Mau denger yang lain?”
“Ada lagi?”
Pasha mengangguk. “You are like my asthma. You just take my breath away.” Pasha pura-pura sesak napas.
Ami tertawa lagi. Bukan hanya karena gombalan Pasha, tapi juga drama Pasha yang berpura-pura kehabisan napas.
“Kalau yang ini serius,” Pasha memberi gombalan terakhir, “Are you google? Because you have everything I'm searching for. Tapi karena kamu adalah tipe cewek yang banyak pertimbangan, kayaknya agak sulit buat jadiin kamu jadi milik aku.”
Kali ini tawa Ami terdengar tipis dan kaku. Ami meraih garpunya lalu berkata, “Makan dulu yuk, Kak.”
“Why? Jangan kabur,” kata Pasha dibersamai dengan senyum cerahnya.
Ami mengabaikannya sambil menahan tawa dan makan pasta. Setelah keduanya menghabiskan sepiring pasta mereka, Pasha mengeluarkan sesuatu dari tas pinggungnya yang ia letakkan di lantai: sekotak cokelat untuk Ami.
“Tadi aku nyempetin beli ini sebelum kesini. Aku ngerasa nggak pantes kalau datang ke rumah orang tanpa bawain sesuatu. Jadi ya … tolong diterima, ya?”
Mau tidak mau, Ami pun menerimanya. “Makasih ya, Kak? Kak Pasha jadi repot lagi.”
Pasha menggeleng. “Nggak repot kok. Kamu yang lebih repot karena masakin aku. Oh iya, aku mau ngasih tahu sesuatu, tapi kamu jangan tersinggung, ya?”
“Eh, apa?”
“Lain kali, kalau ada cowok yang mau mampir ke rumah kamu, tapi kamu lagi sendirian di rumah, jangan dibolehin, ya?”
“Emang kenapa, Kak?”
“Pokoknya jangan,” kata Pasha yang kemudian tiba-tiba terkekeh melihat kepolosan Ami–dan dia … makin jatuh cinta.
Setelah Pasha pamit pulang, Ami melihat sepiring pasta di dapur–yang tadi sempat hancur karena di sentuh Pasha–telah utuh kembali. Setelah mimpi pergi, ternyata semuanya kembali seperti semula. Apakah ini artinya dia tidak perlu mengkhawatirkan apapun yang terjadi dalam mimpi? Ami memindahkan sepiring pasta itu ke meja makan, menutupnya, lalu meninggalkan sebuah catatan:
Ayah, jangan lupa makan malam.
[]