Dalam perjalanannya menuju kampus, Ami berniat menagih mimpi. Pagi ini tubuhnya terasa lebih segar dibanding kemarin karena lukanya telah sembuh. Ia berlari menyusuri gang sempit yang hanya cukup dilalui satu mobil, lalu berhenti di depan pintu Mimpi & Co.–yang kali ini tampak nyata. Tak ada lagi taburan bintang-bintang. Hanya sebuah pintu ungu dengan kaca transparan yang memperlihatkan ruangan di dalamnya. Tanpa pikir panjang, Ami membuka pintu.
“Selamat pagi, Pak Guska. Apa mimpi saya sudah dimulai? Kenapa rasanya seperti hari-hari biasa?”
Seraya membersihkan meja dengan kemoceng, Pak Guska menjawab dengan senyum ramah khasnya, “Karena Mimpi & Co. menghadirkan mimpi ke dunia nyata–bukan menyeretmu ke dunia mimpi. Itulah kenapa mulai sekarang, Mimpi & Co. akan menetap di sini sampai kontrak kita selesai. Mulai hari ini, pasti akan ada sesuatu yang membuat hari-harimu berbeda.”
Ami jadi tidak sabar ingin segera menyelesaikan hari ini. Agar tidak merusak hari ini, Ami ingin menghindari segala hal yang tidak ia inginkan terjadi–termasuk Rini dan teman-temannya. Dia tidak menyapa siapapun saat di kelas karena semua orang juga begitu. Selepas kuliah, begitu dia melihat Rini dan teman-temannya kembali berada di sekitar tangga, Ami memutuskan untuk lewat jalan lain seperti kemarin. Dia mendengar Widi berseru:
“Takut, ya?”
Ami mengabaikannya. Namun, setelah menuruni tangga lainnya dan tiba di lantai satu, langkahnya kembali terhenti. Di lobi fakultas, ia melihat rombongan Rini yang ternyata telah tiba lebih dulu–jelas sekali mereka memang sedang menunggunya. Sebelum rombongan Rini menghampiri Ami, salah seorang senior tiba-tiba datang lebih dulu. Seorang pria yang seketika itu juga mengajak Ami bicara.
“Udah dari tadi? Sorry kalau lama—kelasku baru kelar.”
Apa maksudnya? Ami bingung. Melihat siapa yang menghampirinya, Ami terpana di tempat. Tentu saja Ami mengenalnya. Seorang mahasiswa yang saat ini berhadapan dengannya adalah seniornya yang tidak hanya terkenal di fakultas seni saja, tapi juga terkenal seantero kampus. Seorang mahasiswa berprestasi karena karyanya diikutkan dalam pameran nasional. Seorang mahasiswa seni yang karya digitalnya sempat viral di media sosial gara-gara mengkritisi pemerintah dan justru mendapat dukungan banyak orang. Aidan Caessa Gaharu, mahasiswa seni rupa semester lima.
Ami bicara terbata, “K-Kak Aidan?”
Rini dan teman-temannya pun entah sejak kapan sudah menarik langkah mundur sejak seorang senior muncul. Ami bingung. Apa ini? Kenapa Aidan mendatanginya? Apakah mimpinya sudah dimulai di dunia nyata yang fana dan menyebalkan ini? Dan mimpinya adalah … seorang Aidan? Ami tidak menolak saat Aidan mengajaknya pergi untuk bicara berdua.
“Kamu pasti bingung ya kenapa aku tiba-tiba nyamperin kamu?” tanya Aidan saat mereka melewati jalan taman.
Ami bertanya sedikit terbata karena malu, “I-iya. K-kenapa, Kak?”
Aidan menyadari kegugupan Ami kepada dirinya lalu segera berkata, “Eh, kamu santai aja sama aku. Kamu tahu aku, kan? Aku juga tahu kamu dari beberapa hari lalu. Apa gara-gara aku senior kamu terus nggak bisa santai sama aku? Oh, atau gara-gara aku pakai aku-kamu makanya kamu nggak nyaman? Mau pakai lo-gue aja? Senyaman kamu deh mau gimana.”
Ami segera menggeleng untuk menghapuskan prasangka Aidan. “Enggak kok, Kak. Aku cuma kaget gara-gara kayak yang dibilang Kak Aidan tadi. Kak Aidan kenapa tiba-tiba nyamperin aku?”
“Beberapa hari yang lalu aku lihat kamu didorong di tangga sampai jatuh. Kamu nggak apa-apa? Harusnya hari ini kamu jangan masuk kuliah dulu. Jangan dipaksain kalau masih sakit. Tadi kamu juga hampir disamperin mereka lagi, kan? Makanya aku buru-buru samperin kamu.”
Mendengar itu, langkah Ami melambat kemudian berhenti. Siang ini di bawah pohon besar, di jalan yang membelah taman, mereka berdua saling berhadapan. Ami yakin bahwa kejadian kemarin tidak hanya disaksikan oleh Aidan dan rekan-rekan yang menjadi tersangka atas jatuhnya di tangga. Dia tahu bahwa ada orang lain yang melihat kejadian itu juga, tapi lebih memilih abai daripada menolong. Ami merasa dipedulikan dan ini adalah hal yang sangat jarang ia rasakan. Ami terharu. Satu pertanyaan kemudian meluncur begitu saja.
“Kenapa Kak Aidan peduli?”
“Karena kamu pantas dipeduliin. Nggak ada yang layak diperlakuin kayak gitu, dan kalau kamu nggak punya siapa-siapa, aku mau kok jadi orang yang tetap ada di samping kamu.”
Ami terdiam. Matanya menatap dedaunan yang jatuh ke tanah. Dia menyayangkan satu hal: tanpa Mimpi & Co., apakah Aidan akan menghampirinya?
“Nama kamu Ami, kan?”
Ami mengangguk.
“Punya temen, kan?” tanya Aidan.
Ami menggeleng.
“Kenapa?”
“Aku nggak pernah nemu orang yang bener-bener mau jadi temen aku. Kebanyakan musiman. Temenku yang sekarang sih cuma seperlunya aja. Nggak ada yang bikin aku sampai mau pergi ke kantin bareng.” Dia memandang Aidan lalu bertanya, “Masalahnya ada di aku ya, Kak? Aku nggak tertarik temenan. Kalau diajak ngumpul, aku lebih suka kabur.” Tanpa sadar, Ami mulai nyaman membagi perasaannya.
“Sekarang kamu mau kabur juga nggak? Soalnya aku nyamperin kamu.”
Ami buru-buru menggeleng. “Aku malah mau berterima kasih. Gara-gara Kak Aidan datang, Rini sama temen-temennya nggak jadi nyamperin.”
“Kalau gitu bisa dong kita temenan?” ajak Aidan.
Ami kembali terdiam hanya karena seseorang mengajaknya berteman. Dia merasakan perasaan yang asing, tapi dia menyukainya. Ami pun mengangguk bersedia.
“Aku boleh pinjam HP kamu?” pinta Aidan.
Ami menyodorkan miliknya begitu saja. Aidan meraih ponsel Ami lalu ia gunakan untuk menghubungi nomornya sendiri.
Seraya mengembalikan ponsel Ami, Aidan berkata, “Kalau kamu diganggu lagi, telepon aku, ya? Kamu harus punya seenggaknya satu orang yang bisa diajak cerita.”
Dari luar taman, seruan tiba-tiba terdengar, “Aidan!”
Ami dan Aidan menoleh serentak dan melihat tiga mahasiswa yang salah satunya melambai ke arah Aidan.
Aidan balas melambaikan tangan lalu berseru, “Bentar!” Dia beralih menghadap Ami sekadar untuk pamit. “Aku duluan, ya? Temen-temen aku udah nungguin.”
Aidan buru-buru pergi sehingga Ami segera memanggil dengan lantang, “Kak Ai–”
Dipanggil begitu, Aidan menunjukkan reaksi terkejut yang lucu. Dia menoleh dan tersenyum manis. “Ai? Itu lucu. Aku suka Ai. Panggil aku Ai, ya? Sampai jumpa, Ami!” Dia pun melanjutkan langkah pergi menuju teman-temannya.
Aidan sama sekali tidak tahu kalau alasan Ami memanggil namanya tidak lengkap adalah karena Ami nyaris jatuh gara-gara tali sepatunya terinjak saat ingin mengejar. Atau, Aidan sebenarnya mengetahui soal itu, tapi justru berusaha menutupi rasa malu Ami?
[]