Loading...
Logo TinLit
Read Story - Mimpi & Co.
MENU
About Us  

Ami duduk di kursi pengunjung menunggu Pak Guska yang beberapa saat lalu pamit pergi sebentar. Sepasang kaki Ami bergerak-gerak karena tidak sabar. Perhatiannya seketika tercuri setelah mendengar suara langkah kaki. Pak Guska datang dengan sebuah tas kecil di tangan.

Ami ingin bertanya tentang tas itu, tapi sebelum dia bersuara, Pak Guska tiba-tiba berbicara dengan sangat bersemangat. Dia memperkenalkan dirinya sekaligus memperkenalkan Mimpi & Co. seolah-olah dia adalah seorang tour guide. Bicaranya bernada sambil melihat kesana-kemari dengan kedua tangannya bergerak-gerak di udara.

“Selamat datang di Mimpi & Co., toko sihir yang berkeliling dunia demi menghampiri siapapun yang membutuhkan. Kamu adalah pelanggan ke-777,” Pak Guska kemudian terkejut dengan pernyataannya sendiri. Matanya membulat lucu sambil menatap Ami. “Benarkah? Ke-777? Apa itu berarti kamu adalah pelanggan spesial? Angka tujuh itu identik dengan keberuntungan, kan? Mari kita lihat seberuntung apa kamu setelah Mimpi & Co. ini bekerja. Sebelum itu, nama kamu siapa?”

“Nama saya Ami.”

“Nama lengkap?”

“Ameeza Genesis.”

Pak Guska heran sebentar. “Nama yang unik.”

“Terima kasih,” ucap Ami lalu bertanya, “Benarkah Mimpi & Co. berkeliling dunia?”

Pak Guska menjawab, “Benar. Sebelum datang kemari, Mimpi & Co. mengunjungi Seoul, Korea Selatan untuk mengabulkan mimpi seorang penggemar idola k-pop. Mimpi penggemar itu adalah bertemu dengan boy group paling berpengaruh di sana. Mimpi & Co. pindah kemari setelah mimpi itu terkabulkan dan selesai kontrak.”

Ami terkejut sampai terperanjat berdiri, “Benar-benar dikabulkan?”

“Yap! Bagaimana denganmu? Mimpi apa yang ingin kamu kabulkan lewat Mimpi & Co.?”

Ami memikirkannya. Dia sendiri bahkan tidak tahu. Kira-kira apa yang paling ia inginkan di dunia ini? Mungkin dia perlu memastikan sesuatu terlebih dahulu.

“Emangnya bener Mimpi & Co. bisa ngehidupin mimpi, Pak? Saya belum percaya tuh.”

Pak Guska menyeringai usil karena Ami bilang tidak memercayainya. “Itulah kenapa saya selalu menyiapkan pemanasan.”

Pria tua itu kemudian membuka tas kecilnya. Dia mengeluarkan sticky notes, bolpoin, korek api dan gelas lilin cantik. Dia menyodorkan sticky notes dan bolpoin kepada Ami lalu memintanya menulis.

“Coba tulis: luka di seluruh tubuhku, sembuh.”

Ami heran. “Tahu dari mana saya sakit?”

Pak Guska menjawab seraya tersenyum ramah, “Mimpi & Co. tahu segalanya.”

Ami pun menurut. Dia meraih bolpoin lalu menuliskan apa yang Pak Guska minta pada lembar sticky note paling atas. Sementara Ami menulis, Pak Guska menyalakan korek api lalu membakar sumbu lilin pada gelas lilin. Selesai menulis, Ami terkagum dengan lilin yang telah menyala api ungu.

Ami berseru, “Wah! Ini yang dimaksud purple flame di website?”

“Versi travel size-nya.”

“Memangnya ada yang lebih besar lagi?”

“Ada, tapi disimpan di tempat rahasia. Menulisnya sudah, kan? Kalau begitu silakan dibakar,” kata Pak Guska seraya menggeser gelas lilin ke tengah meja.

Ami menuruti perintah Pak Guska dengan melepas selembar sticky note lalu membakar ujungnya dengan api ungu. Baru ujungnya yang terbakar, kertas di tangan Ami tiba-tiba melesat ke atas dan seketika menjadi abu saat melayang terbang di udara. Ami menengadahkan kepala saat menyaksikannya. Abu dari kertas yang terbakar itu mendarat perlahan seperti salju yang jatuh ke bumi–salju ungu. Ami terpana sampai terdiam.

“Sekarang coba periksa luka kamu,” kata Pak Guska setelah meniup lilin.

Ami lekas menuduk memeriksa lututnya yang beberapa saat lalu masih lebam. Dia menyibak celana dan lengannya sebatas lutut dan siku. Ia lepas semua plester dan dia tidak menemukan luka sedikitpun–bahkan bekasnya pun tidak ada.

“Sekarang percaya?” tanya Pak Guska.

Ami mengangguk seraya tersenyum puas. Senyumnya surut saat Pak Guska mengambil kembali sticky notes dan gelas lilin.

Pak Guska berkata, “Khasiat benda-benda kecil ini hanya berlaku di sini–di ruang ini. Kalau kamu mau yang sihirnya bekerja sampai ke dunia nyata, kamu harus pakai api ungu yang lebih besar.”

“Di mana api ungunya?” tanya Ami.

“Untuk mencegah penyalahgunaan, saya dilarang memberitahu siapapun.”

“Terus gimana caranya biar mimpi saya terkabul?”

Pak Guska kembali mengambil sesuatu dari dalam tas kecilnya. Dia mengeluarkan selembar kertas yang lebih lebar, lebih tebal dan berpola keperakan yang samar. Dia serahkan kertas itu kepada Ami.

 “Tulis mimpimu dengan bolpoin yang sama. Kamu sudah tahu ingin menulis apa?”

Ami diam berpikir. “Sepertinya … saya ingin punya pacar–atau teman, mungkin?”

Pak Guska menatap Ami dengan penuh perhatian. “Kamu yakin mimpi itu bagus untukmu?”

Ami angkat bahu. “Saya juga nggak tahu, tapi … hari ini saya sakit hati gara-gara itu. Saya nggak punya siapapun yang membela saya saat saya punya masalah. Mungkin, dengan punya pacar–atau teman–saya akan memiliki seseorang yang membela saya sepenuh hati. Saya jadi ingin punya pacar lebih sari satu. Maksud saya … pengagum. Pasti menyenangkan dikagumi banyak orang.”

Ami tertawa kikuk, tapi Pak Guska justru terdiam karena merasa menemukan luka pada sorot mata Ami.

“Berapa usia kamu?” tanyanya.

“Sembilan belas.”

“Pernah punya pacar?”

Ami menggeleng.

“Tujuan kamu punya pacar banyak itu buat apa?”

“Bangun pasukan,” jawab Ami. “Eh, tadi sudah saya ralat, Pak. Bukan pacar, tapi pengagum. Fans!

Pak Guska memperhatikan Ami. Pikirnya, Ami hanyalah seseorang yang sedang membutuhkan pendukung. Dia pun tidak menghakimi Ami sedikitpun.

“Kamu ingin punya pacar berapa?”

“Pengagum, Pak. Bukan pacar,” ralat Ami sekali lagi. “Mungkin … tiga? Empat? Lima deh biar genap.”

“Lima itu ganjil. Empat baru genap.”

“Kalau gitu enam!” pungkas Ami lagi seraya tersenyum lebar.

Pak Guska terkekeh. “Kayaknya bakal seru, ya?”

Ami mengangguk setuju. “Ini ditulis kan, Pak? Langsung aja, ya?”

Pak Guska mengangguk, “Silakan jabarkan mimpi kamu.”

Ami mengangguk mengerti. Dia pun mulai menulis setiap kriteria lelaki yang ingin ia temui–sebagian besar berasal dari karakter cerita fiksi yang pernah ia baca. Berikut adalah yang ditulis Ami:

 

Saya ingin ada enam cowok yang menemukan saya. Mereka mengagumi, menyayangi, menghargai dan membela saya dalam situasi apapun.

1. Cowok pertama harus ganteng. Terserah mau gimana aja yang penting ganteng. Pokoknya ganteng. Kalau bisa yang paling ganteng sedunia.

2. Cowok kedua, saya maunya yang berjiwa pemimpin. Spek presiden gitu lah pokoknya. Kalau cowok kayak gini beneran ada, apapun kekurangannya bakal saya terima.

3. Yang ketiga, saya mau cowok tsundere alias cuek nggak apa-apa asal aslinya sayang. Pokoknya tipe-tipe cowok cool kayak di anime-anime gitu.

4. Cowok keempat harus ramah senyum. Pokoknya yang tiap saya becanda, dia bakal ketawa walaupun candaan saya garingnya sampai kriuk. Saya ngebet punya cowok yang sikapnya hangat yang bisa ngasih saya virus kebahagiaan di dunia.

5. Cowok kelima, orang random, cowok unik yang kepribadiannya kayak 4D gitu. Yang out of the box. Yang tiap dia mikir bakal bikin saya ngerasa kayak ‘WAH!’ gitu.

6. Terakhir, saya mau yang kekanak-kanakan dikit biar bisa diajak main. Agak berandal nggak apa-apa. Agak usil juga nggak apa-apa. Yang penting sayang sama saya!

 

Ami hanya tersenyum lebar saat Pak Guska menatapnya dengan tatapan jahil. Dengan cara yang lucu, Pak Guska mengejek, “Ciyee …”

Ami tersenyum malu-malu seraya menyodorkan kertas yang telah ia isi dengan mimpi-mimpi.

“Kamu tahu kalau mengabulkan mimpi di sini ada paketnya, kan?” tanya Pak Guska.

 “Oh, iya. Saya ingat. Paket menangkap bintang, menangkap bulan sama menangkap planet itu maksudnya gimana, Pak?”

“Itu paket seminggu, sebulan, sama setahun–semuanya tergantung harga. Tapi … harganya tidak berupa uang. Satu barang tak terpakai untuk paket menangkap bintang yang berlangsung seminggu, satu barang berharga untuk paket menangkap bulan yang berlangsung sebulan, dan–saya tidak akan menyarankan kamu untuk mengambil paket menangkap planet yang setahun.”

“Kenapa?”

“Karena kamu harus membayarnya dengan makhluk hidup yang kamu sayangi. Mimpi & Co. bisa saja mengambil hewan peliharaan kamu–atau bahkan anggota keluarga kamu.”

Ami terkejut. “Kayak tumbal dong, Pak?”

Pak Guska mengangguk. “Betul. Inilah kenapa kita tidak boleh bermain-main dengan sihir. Artinya, kamu harus bisa membatasi ego dan keinginan kamu untuk menikmati mimpi dalam waktu terbatas dan seperlunya saja. Ini juga alasan saya hanya akan menyarankan kamu dan pelanggan lainnya untuk mengambil paket yang seminggu atau yang sebulan saja. Kamu mau paket yang mana? Untuk paket seminggu, kamu harus bayar paling lambat besok. Untuk paket sebulan, saya akan beri waktu satu minggu setelah mimpi kamu hadir di dunia nyata. Seminggu kedepan kamu tidak bayar, maka mimpi kamu tidak akan berlanjut dan akan seketika hangus.”

Ami memberi keputusan segera, “Kalau gitu saya mau yang sebulan. Seminggu kayaknya terlalu cepat buat ketemu enam cowok.”

Pak Guska mengangguk seraya tersenyum hangat. “Diterima. Kalau begitu …” Dia kembali mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kecilnya–dia mengeluarkan lanset yang berbentuk seperti pena. “Saya minta setitik darah kamu agar mimpi tidak salah arah.”

Ami mengerti. Benda mungil di tangan Pak Guska adalah alat yang biasa digunakan tenaga medis untuk mengambil sedikit darah apabila ingin cek golongan darah. Maka, Ami mengulurkan salah satu telunjuknya agar Pak Guska bisa menusuk sedikit ujung jarinya. Setelah Pak Guska menusuk dan ujung telunjuk Ami mengeluarkan setitik darah, Pak Guska kembali memberi pengarahan.

“Basahi kertas itu dengan darah kamu–terserah dimana saja.”

Sekali lagi Ami menurut. Darah di ujung jarinya ia usapkan pada kertas berisi permohonan mimpi. Setelah itu, kertas pun kembali diminta dan Ami diizinkan pulang. Sebelum itu, Pak Guska memberitahu bahwa malam ini juga, kertasnya–yang sekaligus merupakan surat kontrak–akan dibakar dengan api ungu sehingga keesokkan harinya, mimpi akan dimulai.

[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Late Night Butterfly
29      27     0     
Mystery
Maka sejenak, keinginan sederhana Rebecca Hahnemann adalah untuk membebaskan jiwa Amigdala yang membisu di sebuah belenggu bernama Violetis, acap kali ia memanjatkan harap agar dunia bisa kembali sama meski ia tahu itu tidak akan serupa. "Pulanglah dengan tenang bersama semua harapanmu yang pupus itu, Amigdala..." ucapnya singkat, lalu meletupkan permen karet saat langkah kakinya kian menjauh....
Tok! Tok! Magazine!
94      82     1     
Fantasy
"Let the magic flow into your veins." ••• Marie tidak pernah menyangka ia akan bisa menjadi siswa sekolah sihir di usianya yang ke-8. Bermodal rasa senang dan penasaran, Marie mulai menjalani harinya sebagai siswa di dua dimensi berbeda. Seiring bertambah usia, Marie mulai menguasai banyak pengetahuan khususnya tentang ramuan sihir. Ia juga mampu melakukan telepati dengan benda mat...
Will Gates
1244      740     7     
Short Story
Persamaan Danang dan Will Gates: Sama-sama didrop-out dari sekolah. Apa itu artinya, Danang bisa masuk ke dalam daftar salah satu dari 100 orang terkaya di dunia versi majalah Corbes?
Monologue
523      353     1     
Romance
Anka dibuat kesal, hingga nyaris menyesal. Editor genre misteri-thriller dengan pengalaman lebih dari tiga tahun itu, tiba-tiba dipaksa menyunting genre yang paling ia hindari: romance remaja. Bukan hanya genre yang menjijikkan baginya, tapi juga kabar hilangnya editor sebelumnya. Tanpa alasan. Tanpa jejak. Lalu datanglah naskah dari genre menjijikkan itu, dengan nama penulis yang bahkan...
Tyaz Gamma
1440      910     1     
Fantasy
"Sekadar informasi untukmu. Kau ... tidak berada di duniamu," gadis itu berkata datar. Lelaki itu termenung sejenak, merasa kalimat itu familier di telinganya. Dia mengangkat kepala, tampak antusias setelah beberapa ide melesat di kepalanya. "Bagaimana caraku untuk kembali ke duniaku? Aku akan melakukan apa saja," ujarnya bersungguh-sungguh, tidak ada keraguan yang nampak di manik kelabunya...
Ruang Suara
189      130     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
Before The Last Goodbye
224      203     3     
Fantasy
Jika di dunia ini ada orang yang berhasil membuat sebuah mesin waktu, mungkin Theresia Mava akan menjadi orang pertama yang sukarela mencoba mesin tersebut. Sudah duabelas tahun lamanya ia mencari keberadaan dari Arion Sebastian, sahabatnya yang tiba-tiba menghilang. Ia sudah bertanya pada semua yang mengenal laki-laki itu, tetapi tidak ada satu orang yang mengetahui keberadaannya. Lalu sua...
Aku Ibu Bipolar
47      40     1     
True Story
Indah Larasati, 30 tahun. Seorang penulis, ibu, istri, dan penyintas gangguan bipolar. Di balik namanya yang indah, tersimpan pergulatan batin yang penuh luka dan air mata. Hari-harinya dipenuhi amarah yang meledak tiba-tiba, lalu berubah menjadi tangis dan penyesalan yang mengguncang. Depresi menjadi teman akrab, sementara fase mania menjerumuskannya dalam euforia semu yang melelahkan. Namun...
Sahara
22611      3409     6     
Romance
Bagi Yura, mimpi adalah angan yang cuman buang-buang waktu. Untuk apa punya mimpi kalau yang menang cuman orang-orang yang berbakat? Bagi Hara, mimpi adalah sesuatu yang membuatnya semangat tiap hari. Nggak peduli sebanyak apapun dia kalah, yang penting dia harus terus berlatih dan semangat. Dia percaya, bahwa usaha gak pernah menghianati hasil. Buktinya, meski tubuh dia pendek, dia dapat menja...
Lovebolisme
148      130     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...