Pintu dengan taburan bintang-bintang. Mungkin pintu inilah yang dimaksud. Ami melangkah mendekati pintu ungu yang dikelilingi titik-titik cahaya, beterbangan lembut seperti miniatur bintang. Semakin dekat Ami melangkah, semakin cahaya-cahaya kecil itu juga menyebar di sekelilingnya–beterbangan mengitarinya seolah menyambutnya.
Kini Ami berdiri tepat di hadapan pintu ungu yang berkilauan. Tanpa disentuh, pintu itu terbuka perlahan–seolah tahu bahwa tamu sudah hadir. Kaca pada pintu yang semula menampilkan pemandangan menyerupai luar angkasa berlatar ungu mulai memudar, berubah transparan dan memperlihatkan ruangan di baliknya. Dari celah dan kaca pintu, Ami melihat bahwa ruangan di dalam jauh lebih luas daripada yang tampak dari luar. Interiornya menyerupai kafe klasik mungil, dengan sebuah meja counter dan satu meja pengunjung yang dikelilingi empat kursi. Di belakang counter dan meja pengunjung, terdapat rak-rak kayu yang dipenuhi buku-buku tua, botol-botol kaca, serta berbagai benda kecil yang aneh dan misterius. Di salah satu dinding, terdapat tulisan besar dengan gaya elegan seperti pada iklan: Mimpi & Co.™.
Alih-alih melangkah masuk, Ami justru mundur selangkah. Seketika itu pula, pintu Mimpi & Co. tertutup kembali. Kacanya menampilkan lagi pemandangan luar angkasa berlatar ungu, dan titik-titik cahaya di sekeliling Ami perlahan menjauh, menghilang satu per satu. Ami tahu, dia belum siap untuk bertemu dengan siapa pun–atau apa pun–yang ada di dalam sana. Untuk kali ini, dia memilih melanjutkan perjalanan pulang, menyusuri hujan dengan langkah yang sedikit pincang dan pakaian yang setengah basah.
Setibanya di rumah, dia tidak bisa berhenti memikirkannya. Bahkan setelah bersih-bersih dan mengganti perban, dia masih terbayang-bayang dengan pintu aneh itu. Malamnya, setelah berganti piyama dan bersiap tidur, Ami mencoba untuk memejamkan mata, tapi tetap saja dia tidak bisa semudah itu untuk tidur. Selain kemunculan pintu ungu yang sedikit menakutinya, dia juga memikirkan hari esok jika bertemu dengan Rini dan teman-temannya lagi. Dia merasa butuh sesuatu untuk melawan. Mungkin inilah saatnya dia berani menanggung risiko apapun demi kedamaiannya. Setelah membulatkan tekad, Ami turun dari tempat tidur dan pergi menghampiri pintu ungu.
Malam ini juga Ami akan memutuskan seolah-olah keputusannya ada di antara hidup dan mati. Dia sudah lelah dengan setiap penindasan yang ia terima. Di depan pintu Mimpi & Co., setelah menarik napas dalam-dalam dan mengumpulkan tekad, Ami memberanikan diri membuka pintu ajaib yang hanya sebesar sela-sela bangunan. Dia masih terkejut melihat ruang yang cukup luas di balik pintu yang gagangnya masih ia genggam. Bukankah ruangan itu seharusnya tidak melebihi luas sela-sela bangunan? Apa ini mimpi? Bahkan jika ini mimpi, seharusnya tidak menjadi masalah. Lucid dream macam apapun, jika dia menyadari dan bisa mengendalikannya, bukankah menarik?
Ami memasuki ruangan dengan langkahnya yang pincang. "Permisi …"
Tidak ada jawaban. Setelah Ami memasuki ruang, pintu menutup dengan sendirinya. Dia sudah tidak terkejut lagi.
Ami tidak mengerti kenapa hanya ada satu meja pengunjung. Di dekat meja pengunjung ada meja counter yang terlihat seperti bar karena ada beberapa kursi tanpa sandaran yang berderet rapi di sisi luar. Ami juga melihat rak besar yang memenuhi dinding. Ami mendekat ke rak untuk melihat apa yang tertulis di salah satu botol yang tersusun rapi. Di salah satu botol terdapat keterangan bertuliskan: Ramuan Ajaib Tidak Haus Tiga Malam. Apa maksudnya? Ami membaca keterangan di botol sebelahnya yang bertuliskan: Ramuan Ajaib Racun Tidur. Agak mengerikan. Botol di sebelahnya lagi memiliki keterangan yang lebih singkat: Ramuan Cinta. Sepertinya Ami paham yang ini.
Pandangan Ami beralih ke rak atas yang berisi buku. Di salah satu punggung buku paling tebal, Ami membaca sebuah tulisan: Rangkaian Mantra Sihir Berdasarkan Elton D Glory. Sebelum membaca tulisan di punggung buku berikutnya, Ami mendengar suara langkah kaki. Suaranya berasal dari balik counter.
Ami mendekat. Di balik counter ternyata ada lubang tangga spiral yang mengarah ke bawah tanah. Perlahan, sebuah kepala muncul dari lubang itu. Seseorang tengah menaiki tangga, dan sosoknya semakin jelas seiring langkahnya mendekat ke permukaan. Munculah seorang pria tua berpostur berisi, mengenakan kacamata. Wajahnya ramah, seluruh rambutnya telah beruban dan dari raut serta matanya, ia tampak seperti keturunan Tionghoa. Kalimat pertama yang ia ucapkan saat menatap Ami adalah:
“Tidak kabur lagi?”
Ami tersenyum kikuk. "Bapak tahu kalau tadi saya sempat kesini?"
Pria tua itu menjawab dengan gestur ramah, "Tahu dong.”
“Tapi kan bisa jadi orang lain?”
“Tapi kan yang bisa melihat toko ini cuma kamu?"
Kening Ami mengerut. Dia heran, tapi dia tidak semudah itu percaya. "Tolong jelasin, Pak!"
"Lihat aja ke luar kalau nggak percaya."
Ami bergegas mengintip lewat kaca pintu yang menjadi satu-satunya cara untuk melihat ke luar. Di luar sana, beberapa orang tampak lalu-lalang tanpa sedikit pun menyadari keberadaan tempat yang kini ia singgahi. Bahkan saat Ami mengetuk kaca sambil meneriakkan ‘halo’, tak ada yang menoleh, seolah suaranya tak pernah sampai. Pada satu momen, seseorang terlihat berjalan ke arah pintu, tapi sosok itu justru lenyap begitu saja–seolah menembus pintu. Ternyata, bagi semua orang selain dirinya, tempat ini hanyalah sela-sela bangunan biasa. Tak seorang pun menyadari keberadaan Mimpi & Co. selain dirinya.
Ami benar-benar terpana. Saat menoleh ke belakang, pria tua itu ternyata sudah berdiri di samping meja pengunjung dengan secangkir minuman yang entah kapan ia buat. Ia letakkan minuman itu ke atas meja lalu mempersilakan Ami duduk. Pria itu memperkenalkan diri setelah mereka duduk berhadapan.
“Perkenalkan, saya Guska, penjaga toko ajaib ini.”
“Toko ajaib?”
“Ya. Toko ajaib. Mimpi & Co. adalah salah satu Magic Shop yang berkeliling dunia untuk mengabulkan mimpi siapa saja yang dipilih sendiri oleh Mimpi & Co.”
“Mimpi & Co. memilih saya?”
Pak Guska mengangguk. “Sebentar, ya? Akan saya ambilkan contoh.”
Dia beranjak pergi meninggalkan Ami bersama secangkir minuman yang uapnya masih mengepul. Ami tersenyum setelah menyadari kalau minuman yang disuguhkan padanya adalah cokelat panas. Tampaknya Mimpi & Co. tahu betul apa kesukaannya.
[]