“Ami, bawain pesanan gue, dong. Gue takut ngerusak kuku. Kuku gue baru.”
Rini, pelaku yang menumpahkan cat ke jaket Ami, menunjukkan glamorous nail art di kuku tangannya yang diberi ekstensi tebal dan panjang serta hiasan semacam manik-manik di permukaan. Ami tidak sengaja bertemu dengannya di kantin fakultas. Rini memintanya untuk membawakan nampan yang berisi lebih dari satu pesanan sedangkan Ami hanya membeli roti untuk dimakan di tempat lain.
“Lo nggak sendirian, kan?” tanya Ami–setelah mengumpulkan keberanian diam-diam dalam batin.
Karena merasa itu adalah tanda-tanda penolakan, ekspresi mahasiswi cantik yang tengah Ami hadapi seketika berubah. “Enggaklah–kan gue bukan lo? Cowok gue nunggu di kursi. Dira lagi berantem sama cowoknya, jadi dia nggak kesini. Widi tadi bilang mau ke toilet, tapi sampai sekarang belum balik.”
Ami terus berusaha memberanikan diri meskipun sebenarnya dia juga mengkhawatirkan nasibnya setelah ini. “Kenapa … nggak suruh … cowok lo aja?”
Rini menaikan alis saat menatapnya. Tampak penuh peringatan, tapi Ami ingin tetap teguh pada pendiriannya–meskipun sebenarnya, dia pun masih mencoba.
“Gue duluan ya, Rin?” Ami segera pergi setelah membayar.
Dan benar, langkahnya ternyata membawa perubahan. Di tengah jam kuliah selanjutnya yang membahas tentang teori warna dan komposisi, tatapan Rini dan teman-temannya kepada Ami sudah berbeda. Setelah kelas selesai, Ami dihadang di dekat tangga.
“Lo marah sama gue gara-gara jaket lo kena cat?” tanya Rini saat Ami melewati mereka tanpa menyapa–meskipun sebenarnya, tanpa Rini ketahui, Ami hanya bingung harus mengeluarkan kata apa saat berpapasan dengannya.
Dira, sahabat Rini yang berkepribadian seperti orang bebas–berambut pendek dan tindik di sisi kanan hidung–tengah bermain ponsel seraya bersandar dinding dan dengan lolipop di mulutnya. Perhatiannya teralihkan setelah Rini bertanya.
“Dia minta ganti? Memangnya berapa harga jaket lusuh kayak gitu?” kata Dira. Caranya berbicara seolah-olah Ami tidak ada di hadapannya.
Lalu Widi, sahabat Rini yang paling sederhana dan tampak friendly–meskipun sebenarnya tidak begitu–duduk di anak tangga teratas dan tertawa setelah kedua sahabatnya bicara.
“Jelasin aja, Ami. Biar tuan putri kita nggak marah lagi,” katanya.
Ami menatap Rini yang tampaknya memang sedang kesal padanya gara-gara permintaannya tidak dituruti saat di kantin. Ami pun mencoba menjelaskan, tapi dia lebih banyak menghindari kontak mata alih-alih menatap lawan bicara.
“Begini, kayaknya … bantuin lo tuh … bukan termasuk tanggung jawab gue deh. Kalau lo bisa, ya lo usahain sendiri. Gitu aja sih.”
Tidak ada balasan. Rini hanya terus menatapnya dengan tatapan yang sama, Dira berkutat pada ponselnya, dan Widi hanya memperhatikan seraya tertawa diam-diam. Sekali lagi, Ami merasa keberadaannya tidak dihargai. Agar semuanya cepat selesai, Ami pamit pulang. Dia menuruni tangga dengan terburu-buru agar segera berjarak dan menghilang dari hadapan mereka.
Ami pulang berjalan kaki karena rumahnya dekat dengan kampus. Setelah melewati gerbang utama, dia hanya perlu menyeberang, berjalan sedikit ke arah timur lalu masuk ke gang samping miminarket yang sering menjadi pusat belanja anak kost. Itulah jalan masuk menuju tempat tinggalnya. Di tengah perjalanan pulang, ponsel Ami berbunyi dentingan singkat yang bukan nada deringnya. Aneh. Ami segera memeriksanya dan menemukan notifikasi. Dia mendapat pesan yang–lagi-lagi–dari Mimpi & Co.
Dari: MIMPI & Co.
Beberapa mimpi tidak datang dengan sendirinya. Beberapa harus Anda pilih sendiri. Tiga paket mimpi tersedia: menangkap bintang, menangkap bulan, menangkap planet.
Mimpi hanya sejauh satu kata. Balas: YA
Bahkan untuk menceritakan tentang iklan aneh yang mengejarnya, Ami tidak tahu harus kepada siapa. Dia adalah pemalu akut. Dia tidak punya teman dekat layaknya orang lain. Dia bukan orang yang berani memulai, tapi saat ada yang memulai untuk mendekatinya, dia akan menghindar. Dia bisa saja menjadi orang yang langsung beraksi jika ada yang meminta bantuan. Sayangnya, kebaikannya telah dimanfaatkan. Tidak hanya dengan orang-orang sekitar, Ami juga lelah dengan dirinya sendiri.
Ami kembali menatap pesan di ponselnya. Jika Mimpi & Co. adalah sihir, sejauh apa toko aneh itu bisa membantunya? Namun, Ami bukanlah tipe orang yang mudah percaya pada sesuatu yang baru saja hadir–karena yang sudah lama hadir pun bisa meninggalkannya kapan saja. Ami memutuskan untuk menghapus pesan itu.
Ami tidak menduga kalau suasana akan semakin kacau pada keesokkan harinya. Selepas kuliah sore, saat Ami berpapasan dengan Rini dan teman-temannya lagi di dekat tangga, Ami tidak ingin menyapa karena ia rasa mereka juga begitu. Namun, dia merasakan sebuah dorongan dari belakang yang membuatnya seketika jatuh menggelinding ke dasar tangga.
Selain menahan sakit, Ami juga menahan malu–dia jatuh di hadapan para senior dan mahasiswa lain yang memperhatikan dari kejauhan. Ami benci perhatian. Dari lantai atas, Widi bicara seolah-olah tidak tahu sesuatu.
“Ami, lo nggak apa-apa? Lain kali hati-hati dong jalannya.”
Ami menoleh memperhatikan mereka. Dia bisa melihat tawa yang disembunyikan Widi, tatapan sinis oleh Dira dan ketidakacuhan Rini yang kemudian mendahului sahabatnya untuk pergi. Ami masih tidak tahu siapa pelaku utama yang mendorongnya. Ami benci mereka karena perilaku mereka yang keterlaluan, tapi mereka benci Ami karena apa? Hanya karena tidak menuruti perintah?
Ami bangkit pelan-pelan karena seluruh badannya sakit. Seorang koordinator kelas datang menghampiri dan membantunya bangkit. Dan menurut Ami, dia terlambat datang–seharusnya dia datang sebelum para pelaku pergi.
“Ami, lo nggak apa-apa? Gue saranin lo pergi ke poliklinik deh. Jam segini biasanya belum tutup.”
“Lo juga benci gue, ya?” tanya Ami spontan.
Koordinator kelas itu terdiam sejenak mendengar tuduhan yang tiba-tiba. “Gue ngerti maksud lo. Rini dan temen-temennya benci lo, bukan berarti orang lain juga benci sama lo. Gue aja bingung kenapa dari dulu lo nurut banget sama mereka. Lo kira dengan berbuat baik ke mereka, mereka juga bakal baik sama lo?”
“Kalau lo ngerti, kenapa lo baik ke gue?”
“Oke. Sekarang gue ngerti kenapa lo susah dideketin dan nggak punya temen.”
Ami diam. Sebuah kalimat baru saja menamparnya. Ami hanya sedang marah, tapi dia sembarangan melampiaskan emosinya. Pada akhirnya, Ami dibiarkan sendirian lagi. Dia pulang dengan langkah pincang. Setibanya di rumah, dia mendapati salah satu lutut kakinya lebam dan lecet termasuk di sikunya. Setelah menanggalkan pakaian dan bercermin, dia juga menemukan memar ringan di punggung. Pantas saja seluruh tubuhnya terasa sakit.
Ami membersihkan semua lukanya sebelum diberi salep dan perban. Dia mengambil semua kebutuhan pengobatannya di lemari P3K yang tergantung di ruang tengah. Setelah meminum obat pereda nyeri, dia membersihkan sisa-sisa kapas bernoda darah–membuangnya di tong sampah luar rumah agar tidak ketahuan ayahnya.
Menjelang tidur, ponsel Ami kembali bersuara seperti dentingan mimpi. Lagi-lagi dia mendapat pesan dari pengirim yang sama.
Dari : MIMPI & Co.
Pernahkah Anda jatuh cinta pada seseorang yang hanya ada dalam mimpi? Kini Anda bisa memilih mimpi Anda sendiri. Tidak permanen, tapi tidak terlupakan.
Toko Ajaib kami akan muncul saat Anda membutuhkan.
Balas MIMPI untuk memulai.
Ami tetap tidak membalas, tapi kali ini dia tidak menghapusnya. Akhirnya, Ami mulai mempertimbangkannya. Bahkan jika Mimpi & Co. akan membawanya ke dunia lain, sepertinya Ami mulai tertarik.
Pagi berikutnya, Ami nyaris memutuskan untuk tidak masuk kuliah. Seluruh tubuhnya terasa lebih pegal saat bangun tidur. Namun, dia merasa masih harus mempelajari seni karena dia mencintainya. Dia tidak ingin melewatkan satu mata kuliah pun.
Karena kakinya terasa tidak memungkinkan untuk berjalan jauh, Ami memesan ojek online untuk berangkat kuliah. Mata kuliah berlangsung tanpa hambatan seperti biasa, tapi Ami merasa ada banyak tatapan mata yang mengarah padanya. Desas-desus tentang ia jatuh dari tangga ternyata sudah menyebar–dan itu membuatnya marah. Ami masih tidak terima dicelakai. Dia masih belum tahu siapa yang mendorongnya, tapi dia yakin orang itu adalah salah satu dari Rini, Dira dan Widi.
Di luar jam kuliah, Ami kembali berpapasan dengan mereka saat akan menuruni tangga. Kali ini Rini bersama pacarnya, Adit. Seketika Ami teringat kejadian kemarin yang dampaknya masih ia rasakan sampai hari ini. Dia bisa melihat Widi yang tertawa diam-diam sedangkan Rini menatapnya terang-terangan dengan sepasang mata menahan amarah.
Ami bertanya dengan suara lirih, “Kalian bakal dorong gue lagi?”
“Hah?” seru Widi seolah-seolah terkejut. “Jangan ngefitnah gitu dong, Ami. Masa kita sih yang dorong? Kan lo jatuh sendiri kemarin?”
Di tengah bermain ponsel, Dira menceletuk, “Kalau minta ganti rugi tinggal kasih aja ketimbang ribet. Kasih sedekah aja biar anteng.”
Ami tidak peduli Dira dan bertanya kepada Rini, “Kenapa lo benci gue?”
Rini lekas menatap tajam. “Karena itu lo.”
“Terus kenapa lo sering nyuruh gue macem-macem?”
“Karena itu lo.”
Adit, pacar Rini ikut bicara. “Jelasin dong, Babe. Kalau gitu doang, dia mana ngerti.”
“Orang luar nggak usah ikut campur,” tegas Ami kepada lelaki itu.
Adit sontak menatapnya tidak suka dan menegakkan tubuhnya. “Kenapa? Nggak suka? Rini cewek gue. Wajar dong gue belain dia. Lo kalau mau dibelain juga, cari pacar dong–atau punya temen, minimal. Tapi, kalau dilihat-lihat, emangnya ada cowok yang mau sama lo? Baperan, nggak seksi, tapi sensi. Ngaca!”
Tiga perempuan tertawa. Ami menatap mereka satu persatu. Lelaki macam apa yang berani menghina perempuan? Gender yang katanya paling berkuasa, menginjak-injak yang katanya lemah? Menurut Ami, kekuasaan lelaki yang dibangun dari merendahkan perempuan hanyalah kekosongan yang dibungkus ego–dan cepat atau lambat, semua itu akan runtuh, meninggalkan sisa-sisa maskulinitas semu yang tak layak disebut keberanian. Jika Ami tidak membalasnya, maka lelaki semacam itu akan merasa menang–dan sialnya, Ami membiarkan itu terjadi. Tidak hanya Adit, tapi mereka semua tampak puas saat Ami memilih berbalik arah dan pergi melewati tangga yang lain.
Hujan sepulang kuliah membuat Ami berpikir dua kali untuk memesan ojek online. Ia merasa hal itu justru merepotkan karena harus mengenakan jas hujan. Beruntung, Ami selalu membawa payung untuk berjaga-jaga. Jadi, dia pun memutuskan untuk berjalan kaki. Namun, saat melewati trotoar di jalan utama kampus, kesialannya belum juga berakhir. Mobil Rini, yang ditumpangi oleh pacarnya serta Dira dan Widi, melintas tiba-tiba dan sengaja menerjang genangan air hingga memercik, membasahi tubuh Ami. Ami tidak sempat menghindar. Dari balik kaca jendela mobil yang setengah terbuka, dia melihat Widi mengacungkan jari tengah sambil tertawa puas. Sesaat kemudian, mobil itu melaju pergi dan menghilang di balik gerbang.
Ami menarik napas dalam-dalam. Ia sendiri tak yakin sampai kapan kesabarannya bertahan. Terpaksa, ia pulang dengan pakaian yang setengah basah kuyup. Saat melewati gang menuju rumahnya, Ami tiba-tiba teringat pesan dari Mimpi & Co. yang masih tersimpan di ponselnya. Ia membuka pesan itu dan membacanya kembali. Setelah mempertimbangkan beberapa saat, akhirnya Ami memutuskan untuk membalas.
Kepada: Mimpi & Co.
MIMPI
Setelah pesan terkirim, Ami kembali mendengar suara denting-denting lembut–mirip nada notifikasi dari Mimpi & Co. Namun kali ini, suaranya tidak berasal dari ponsel. Dia melihat sekeliling, dan matanya menangkap sesuatu yang aneh: titik-titik cahaya, seperti kunang-kunang atau bintang-bintang kecil, bermunculan di udara. Cahaya-cahaya itu berkilauan di celah kecil di antara bangunan, berkumpul dan menari perlahan seolah mengikuti irama denting tadi. Lalu, perlahan-lahan, mereka membentuk sebuah pintu berwarna ungu yang bersinar lembut. Pintu itu berdiri tegak di tempat yang sebelumnya kosong–tak bersandar ke dinding mana pun, seolah muncul dari udara. Ami menatapnya lekat-lekat. Apakah itu … pintu ajaib Mimpi & Co.?
[]