"Mas Arga tetap kayak kemarin pas ditangkap," kata Evan. "Tenang. Nggak merasa terganggu atau takut. Sampai polisi menyodorkan sepatu Nike-nya yang telah 'lenyap' sejak empat tahun yang lalu."
Aruna, Adam, Evan, dan Dea duduk di kantin FKIP. Evan ingin menceritakan progres penangkapan Mas Arga.
Wajah Mas Arga berubah saat melihat sepatu di hadapannya. Sepatu berwarna putih itu merupakan sepasang sepatu favoritnya. Hampir setiap hari ia pakai. Sampai ketika Tante Sandrina menghilang. Bu Asri, istri dari Mas Arga yang curiga, mencoba mencari sepatu tersebut tak lama dari rasa curiganya muncul. Namun, sepatu itu tidak bisa ia temukan. Sampai dua hari yang lalu.
"Maaf saya malah sempat berbohong," kata Bu Asri yang menunduk dalam-dalam di depan Mama Evan.
Mama Evan meneteskan air mata. Tapi, beliau tahu kalau ini bukan sepenuhnya salah Bu Asri. "Yang penting, Bu Asri udah berani menjalani ini semua. Mungkin, ini adalah cara Tuhan melindungi Bu Asri dan anak-anak dari orang jahat seperti Mas Arga."
Dikatakan juga bahwa di detik Bu Asri menemukan sepatu itu, dengan bercak darah yang mengering di atasnya, wanita itu langsung membungkus sepatu itu, mengemas barangnya dan barang kedua anaknya, dan langsung membopong kedua putrinya ke rumah nenek mereka–ibu dari Bu Asri. Bu Asri sendiri melaporkan semuanya pada polisi. Dan langsung saja Mas Arga ditangkap.
"Jalang itu rupanya," gumam Mas Arga mengejek. "Pengkhianat," katanya geram.
"Harus kuakui sifat tenangnya meresahkan," komentar Adam lalu meneguk teh es di hadapannya.
"Gimana sama Mbak Tantri? Apa ia udah ditemukan?" tanya Aruna cemas.
Evan menggeleng lemah. "Polisi masih berusaha. Mas Arga masih bungkam. Ia tetap berkeras nggak tahu apa-apa."
"Polisi harus menekan dia dengan disiksa atau apa gitu, supaya dia ngaku," kata Dea geram.
Evan mengangguk, sama geramnya dengan ketiga remaja tersebut. "Polisi pasti nggak akan tinggal diam dan menyelidiki ini sampai tuntas."
"Semoga Mbak Tantri baik-baik aja," sahut Aruna. Adam yang berada di sebelahnya menyentuh tangannya pelan–ingin memberi Aruna kekuatan.
***
Di rumah, Papa membelikan Aruna tablet yang baru untuk melanjutkan buku yang ia tulis.
"Tapi ingat. Jangan sampai kuliahmu terganggu," pesan Papa sambil tersenyum.
"Siap, Pa," kata Aruna bersemangat. Mereka berada di kamar Aruna. Papanya takut jika Mama tahu, malah akan memicu amarah beliau yang dulu, di mana ia menentang hobi Aruna.
Tetapi, suatu hari, Mama malah menyinggung tentang hal itu. "Buku yang kamu tulis gimana, Na? Ada kesulitan?" tanya Mama dengan nada datar.
Aruna amat sangat terkejut. Tapi, ia juga senang. "Em... biasa, Ma. Lagi stuck. Tapi mungkin karena stress aja."
Mamanya hanya mengangguk. Walaupun begitu, Aruna senang sekali karena Mama sepertinya tidak menentang impian gadis itu lagi.
***
Aruna tidak pernah merasa setegang ini sebelumnya. Selasa sore, tiga hari pasca penangkapan Mas Arga, Evan menelepon Aruna. Cowok itu berkata bahwa Mbak Tantri berhasil ditemukan.
Aruna, Adam, dan Evan menunggu dengan cemas di salah satu rumah sakit swasta di kota Pekanbaru–tempat di mana Mbak Tantri akan segera dibawa dan diperiksa.
Evan sebelumnya menjelaskan bahwa Mbak Tantri disekap di sebuah rumah kosong di pinggiran kota–agak jauh dari kebanyakan pemukiman warga. Tempat itu diketahui dari penelusuran yang dilakukan polisi dengan melacak GPS ponsel Mas Arga. Tempat itu mencurigakan, dan benar saja, Mbak Tantri duduk di tengah ruangan kosong dan bau apak dengan tangan dan kaki terikat, serta mulut yang ditutup lakban.
Yang lebih mengerikan adalah, pengakuan Mbak Tantri kalau Mas Arga berencana untuk membunuhnya tepat di hari pria itu tertangkap. Kalau terlambat sedikit saja, nyawa Mbak Tantri pasti sudah melayang.
Mbak Tantri yang dibawa di ambulans terlihat sangat lemah karena berhari-hari tidak makan dan ia dehidrasi. Aruna menangis dan menggenggam tangan wanita muda yang ia anggap seperti kakaknya sendiri itu.
Mbak Tantri lalu lanjut menjelaskan kalau ia menjalin hubungan terlarang dengan Mas Arga. Mas Arga yang melihat kecantikan Mbak Tantri otomatis terpincut. Belum lagi, Mbak Tantri pintar menyangkut soal IT. Ia akhirnya memanfaatkan wanita muda itu untuk kepentingannya sendiri. Mas Arga ternyata juga pernah menceritakan apa yang ia lakukan pada Tante Sandrina saat Mbak Tantri berkeras ingin menyerahkan diri pada Bu Fitri terkait penggelapan dana untuk mengancam Mbak Tantri.
Mas Arga bilang pada Mbak Tantri kalau Tante Sandrina empat tahun yang lalu itu hamil. Almarhumah mendesak Mas Arga untuk segera menikahinya. Mas Arga bimbang. Ia tidak mencintai istrinya. Tapi, anak pertamanya, Zahra, sudah lahir dan pria itu sangat menyayangi buah hatinya itu. Mas Arga meminta waktu.
Tidak kunjung dinikahi, Tante Sandrina mengancam akan memberitahu kehamilannya pada Bu Asri, istri Mas Arga. Tante Sandrina juga akan melaporkan penggelapan dana yang Mas Arga sudah mulai lakukan di saat itu.
Mas Arga gusar dan merencanakan pembunuhan. Ia berjanji untuk menikahi Tante Sandrina kalau wanita itu mau kabur dengannya. Tante Sandrina mengiyakan–senang karena ayah dari bayinya akan menikahinya dan mereka akan hidup bahagia selamanya.
Yang tidak almarhumah tahu, ia justru menghadap sang pencipta.
***
Dengan keluarnya hasil forensik dari darah di sepatu Mas Arga, terbukti sudah karena itu memang darah Tante Sandrina.
Selebihnya, terasa berjalan begitu cepat. Sidang dan lainnya. Mas Arga dihukum dengan pasal berlapis dan mendapat hukuman yang berat. Menurut Aruna, ia pantas mendapatkan hal itu.
Evan, mamanya, dan anggota keluarga Tante Sandrina yang lain menangis. Rasa lega, rasa sedih, rasa bahagia karena sudah mendapat keadilan, bercampur menjadi satu.
Di sudut lain ruang sidang, ada dua remaja yang meneteskan air mata dan berpegangan tangan dengan erat. Aruna dan Adam. Remaja yang dekat dengan almarhumah, serta yang memiliki rasa bersalah. Kini, mereka bisa melepaskan hal yang membuat mereka sesak.
***
Aruna duduk di teras rumahnya. Sepuluh menit yang lalu, ia, Adam, Evan, dan Dea berziarah ke makam Tante Sandrina.
Di hadapan Aruna saat ini, ada tablet dengan ilustrasi seorang gadis kecil di tengah buku-buku, serta buku Anne of Avonlea. Buku milik Tante Sandrina.
Aruna mengelus sampul buku itu dengan lembut. Ia membuka sampul, melihat halaman pertama buku yang memuat nama Tante Sandrina dan kontak informasinya. Aruna tersenyum. Ini kali pertama ia membuka buku itu setelah Evan memberikan buku itu padanya.
Aruna membalik halaman demi halaman, sampai ia sadar bahwa ada sesuatu di sela-sela halaman. Ada yang terselip. Ia membuka lembaran buku dengan cepat. Di halaman 212, ada kertas yang warnanya sudah mulai kekurangan. Aruna membuka lipatan kertas itu dengan tangan bergetar. Sensasinya sama persis dengan saat membuka surat dari Gilbert dulu.
Dear Aruna,
Ya. Tante menulis ini untuk kamu.
Aruna langsung tersenyum, membayangkan Tante Sandrina menulis ini dengan senyum di wajah cantiknya. Mata Aruna berkaca-kaca.
Sewaktu Tante melihat kamu surat-menyurat dengan anak cowok yang manis itu, Tante tersenyum. Begitu indahnya masa muda. Begitu indahnya yang bisa kamu rasakan dengan cowok itu.
Ngomong-ngomong, nama cowok itu Adam Al-Fatih. Ini Tante baca di name tag seragamnya. Bukannya Tante adalah penguntit atau apa.
Aruna tertawa pelan. "Udah telat, Tante. Aruna udah tahu siapa dia," gumam Aruna.
Aruna, hidup Tante... sangat rumit. Tante tahu kamu sangat mengagumi Tante. Tapi, Tante selalu berharap kalau kamu tumbuh menjadi gadis yang cerdas. Yang akan selalu memilih seseorang yang menjadikanmu pilihan pertama mereka. Kita berhak menjadi pilihan pertama seseorang. Bukan rencana cadangan. Bukan orang kedua karena kita tidak bisa bersama orang pertama yang kita pilih.
Aruna, walaupun Tante tidak setua itu, Tante selalu menganggap kamu sebagai anak Tante sendiri. Gadis remaja cantik nan cerdas. Gadis yang kuat. Jadilah gadis yang lebih pemberani, Na. Tulis buku itu. Raih mimpimu. Hidup kamu terlalu berharga untuk menjadi gadis yang hidup di bayang-bayang mamanya.
Air mata mengalir deras di pipi Aruna.
Karena Tante tahu kamu suka buku Anne of Green Gables, Tante hadiahkan buku kedua ini dengan surat ini di dalamnya. Kenapa tidak buku pertama? Tante yakin Adam yang akan memberikanmu buku pertama.
Dan, Tante berharap kamu tumbuh menjadi wanita yang bahagia. Selalu.
- Tante Sandrina
Aruna langsung memeluk surat itu di dadanya dan menangis tersedu-sedu. Seolah dari surat itu, Tante Sandrina sedang memeluknya dari tempat yang jauh.
Similar Tags

