Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Boy Between the Pages
MENU
About Us  

Pertengkaran itu akhirnya tak bisa dihindari.

Setelah hari-hari yang penuh tekanan, sore itu menjadi puncaknya. Mama tahu Aruna tidak menghadiri pelatihan mengajar yang sudah ditentukan. Ia berteriak, membanting barang, dan ketika Aruna mencoba menjelaskan dengan suara yang gemetar, tangannya melayang. Aruna tak melawan. Tapi air matanya jatuh, bukan hanya karena sakit, melainkan karena lelah. Gadis itu merasa hidupnya dikendalikan, tubuhnya dipaksa mengikuti mimpi yang bukan miliknya.

Dan sore itu, Aruna akhirnya mengambil keputusan: ia akan bicara pada Papa.

Saat suara Mama mereda di balik kamar, Aruna duduk di pojok kamar, menggenggam ponselnya erat-erat. Jari-jarinya gemetar ketika ia mengetik pesan kepada Papa, menceritakan segalanya. Bukan hanya soal pelatihan, tapi juga soal amarah Mama yang semakin tidak terkendali, kekerasan fisik dan tekanan mental yang tak pernah berakhir.

Tidak butuh waktu lama. Malam itu juga, Papa pulang dari luar kota. Aruna mendengar suara mobil di depan rumah, lalu langkah-langkah tergesa masuk ke dalam. Pintu dibuka dengan kasar.

"Kita harus bicara," kata Papa dingin pada Mama.

Apa yang terjadi setelah itu tak bisa lagi dihindari. Suara-suara keras menggema di rumah. Pertengkaran hebat meledak. Mama menangis, membela diri, namun Papa sudah terlalu lama diam. Kali ini, ia memilih berpihak.

"Kamu pikir selama ini kamu sehat? Aku sudah bilang, temui psikiater. Tapi kamu cuma ke dokter biasa, minum obat, lalu kembali seperti ini! Kamu mukul anakmu! Kamu pikir itu normal?"

Aruna memeluk lututnya di dalam kamar, mendengar semuanya. Sebagian hatinya terluka, sebagian lagi terasa... lega. Akhirnya ada seseorang yang mendengarnya. Percaya padanya. Selama ini gadis itu terlalu takut untuk sekadar mengetik pesan dan memberitahu Papa. Takut kalau Papa menganggapnya berlebihan.

Paginya, rumah masih dipenuhi keheningan yang berat. Mama diam, wajahnya kosong. Papa sudah membuat janji dengan seorang psikiater di Pekanbaru. Kali ini, beliau memutuskan untuk mengambil cuti panjang dari pekerjaannya. Ada kemungkinan pekerjaannya terancam, tapi Papa tidak peduli. Keluarganya lebih penting.

"Papa nggak bisa tinggal diam lagi. Ini udah terlalu jauh," katanya sambil memegang tangan Aruna. "Makasih, Na, karena udah mau bilang ke Papa. Papa tahu ini berat bagi kamu."

Beberapa hari kemudian, Kakak Aruna datang. Tapi alih-alih menunjukkan empati, ia malah memarahi Aruna.

"Kamu tega banget. Mama kita itu sakit. Kamu harusnya lebih sabar!"

Aruna hanya diam. Ia lelah. Ia tidak ingin menjelaskan lebih banyak. Ia hanya menatap papanya. Papa memarahi sang kakak, menjelaskan semuanya bahwa apa yang dilakukan mama mereka selama ini adalah hal yang salah. Terutama pada Aruna. Tapi, sulit untuk membuat kakaknya mengerti. Karena selama ini, Mama selalu memperlakukan kakak dengan baik, berbeda dengan cara Mama mendidik Aruna.

Malam itu, Aruna duduk berdua dengan Papa di teras rumah. Mama berada di kamar, ditemani Kakak. Angin malam Pekanbaru berhembus pelan.

"Pa, aku mau bicara soal masa depanku," katanya pelan. "Aku nggak ingin kerja jadi guru. Aku ingin menulis, kerja di tempat yang aku pilih sendiri. Dan... aku ingin ngekos. Biar nggak jadi beban di rumah."

Papa menatap putri bungsunya lama. "Aruna... Papa ngerti. Tapi untuk sekarang, gimana kalau kamu tetap di rumah? Papa akan tinggal di Pekanbaru. Papa minta dipindah tugas. Kita jalani semuanya pelan-pelan."

"Apakah nggak apa-apa, Pa? Setahu Aruna, sulit bagi Papa untuk cuti, apalagi minta dipindahkan ke Pekanbaru," tanya Aruna khawatir.

Papa mengangguk mantap. "Nggak apa-apa. Semua demi kamu dan Mama juga."

Aruna mengangguk. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendiri.

***

Beberapa minggu setelah kejadian itu, keadaan di rumah perlahan membaik. Mama mulai menjalani terapi psikiatri dengan bantuan Papa dan kakaknya. Meski belum sepenuhnya stabil, tapi ada perubahan. Tidak ada lagi teriakan. Tidak ada tangan yang melayang. Psikiater tersebut mengatakan bahwa Mama mengidap depresi. Dari dulu ia tidak menginginkan Aruna, ditambah penyakit autoimun yang membatasi langkahnya, membuat tingkat stres Mama meningkat menjadi depresi. Dan, perbuatan Mama pada Aruna disebabkan oleh depresi tersebut.

Di tengah kekacauan keluarga itu, hubungan Aruna dan Adam justru menjadi lebih hangat. Adam kerap mengirimkan pesan-pesan kecil, menanyakan kabar, mengirim stiker lucu, atau mengajaknya keluar untuk sekadar makan es krim.

Suatu akhir pekan, Adam mengajak Aruna ke rumahnya. Di sana, Aruna bertemu Mama Adam—seorang wanita ramah dengan senyum hangat dan tangan cekatan yang sibuk di dapur bakery kecil miliknya. Mama Adam adalah wanita yang sangat cantik–dengan rambut ikal berwarna chestnut seperti Adam, mata biru, serta kulit terang.

"Jadi kamu Aruna ya? Adam sering cerita. Katanya kamu pintar nulis dan suka buku," ucap Mama Adam sambil menyodorkan kue tar mungil.

Aruna tersipu. Adam hanya nyengir sambil mencuci loyang.

Bakery kecil itu wangi dengan aroma mentega dan kayu manis. Aruna membantu sebentar, membungkus beberapa roti, tertawa saat Adam menyembur tepung ke wajahnya. Sementara Adam dengan cekatan mencampurkan bahan-bahan untuk membuat cookies.

"Kamu cocok banget di sini," ujar Mama Adam.

Aruna merasa... damai. Sesuatu yang jarang ia rasakan belakangan ini.

***

Kembali ke Perpustakaan Lentera, Aruna melanjutkan pekerjaannya seperti biasa. Tapi kali ini, dengan tekad baru. Ia ingin tahu siapa sebenarnya pria misterius yang mengunci dirinya dan Adam di gudang. Pria itu terekam di CCTV, mengenakan hoodie, tapi wajahnya tak jelas. Aruna mulai memperhatikan setiap staff. Cara berjalan, bentuk tubuh, tinggi badan. Tapi semuanya terasa... salah. Apakah ada sesuatu yang gadis itu lewatkan?

"Bisa jadi dia sengaja mengubah cara jalannya," gumam Aruna pada dirinya sendiri saat mengawasi pintu masuk.

Meski begitu, ia tak menyerah. Ia mencatat siapa saja yang masuk gudang di hari-hari tertentu. Mencoba menyesuaikan jadwal dengan catatan CCTV. Tapi semuanya seperti benang kusut.

Suatu sore, ketika suasana cukup sepi, Aruna akhirnya memberanikan diri mendekati Mbak Tantri. Wanita itu sedang duduk di ruang administrasi, menyortir dokumen keuangan.

"Mbak Tantri, boleh bicara sebentar?"

Wanita itu mendongak, terlihat agak lelah. Tapi ia mengangguk.

Di ruang baca anak yang kosong, Aruna menyerahkan map merah. Map itu berisi laporan dan tulisan tangannya sendiri, berisi analisis dan pertanyaan.

Mbak Tantri membukanya, membaca pelan. Lama. Lalu menghela napas berat.

"Kamu terlalu pintar untuk usiamu, Na. Tapi ini bukan hal yang mudah. Memang, ada penggelapan dana. Tapi aku nggak bisa bilang siapa pelakunya. Ini rumit. Banyak yang bisa terseret."

"Tapi Mbak Tantri tahu, kan? Tentang Tante Sandrina juga?"

Ekspresi wanita itu berubah. Mata yang tadinya tenang kini sedikit berkabut. Tapi ia hanya menggeleng.

"Aku cuma bisa bilang, jangan terlalu dalam. Kamu masih muda. Dunia orang dewasa... bukan tempat yang bersih."

Aruna menggigit bibirnya. Ingin bertanya lebih, tapi Mbak Tantri sudah menutup map itu dan berdiri.

"Terima kasih sudah peduli. Tapi jaga dirimu, ya."

Aruna mengangguk, meski hatinya menjerit. Ia belum menyerah. Tapi ia tahu—jalan ini akan semakin berat.

Di luar, langit Pekanbaru kembali memutih. Tapi kali ini, Aruna merasa ia tidak sendiri. Ada Papa. Ada Adam. Ada kekuatan yang tumbuh pelan-pelan di dalam dirinya.

Dan itu cukup untuk tetap melangkah.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kacamata Monita
834      399     4     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
Fallen Blossom
561      363     4     
Short Story
Terkadang, rasa sakit hanyalah rasa sakit. Tidak membuatmu lebih kuat, juga tidak memperbaiki karaktermu. Hanya, terasa sakit.
Teacher's Love Story
3200      1091     11     
Romance
"Dia terlihat bahagia ketika sedang bersamaku, tapi ternyata ia memikirkan hal lainnya." "Dia memberi tahu apa yang tidak kuketahui, namun sesungguhnya ia hanya menjalankan kewajibannya." Jika semua orang berkata bahwa Mr. James guru idaman, yeah... Byanca pun berpikir seperti itu. Mr. James, guru yang baru saja menjadi wali kelas Byanca sekaligus guru fisikanya, adalah gu...
Kuburan Au
798      531     3     
Short Story
Au, perempuan perpaduan unik dan aneh menurut Panji. Panji suka.
F I R D A U S
737      489     0     
Fantasy
Shut Up, I'm a Princess
968      562     1     
Romance
Sesuai namanya, Putri hidup seperti seorang Putri. Sempurna adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kehidupan Putri. Hidup bergelimang harta, pacar ganteng luar biasa, dan hangout bareng teman sosialita. Sayangnya Putri tidak punya perangai yang baik. Seseorang harus mengajarinya tata krama dan bagaimana cara untuk tidak menyakiti orang lain. Hanya ada satu orang yang bisa melakukannya...
Lantas?
35      35     0     
Romance
"Lah sejak kapan lo hilang ingatan?" "Kemarin." "Kok lo inget cara bernapas, berak, kencing, makan, minum, bicara?! Tipu kan lo?! Hayo ngaku." "Gue amnesia bukan mati, Kunyuk!" Karandoman mereka, Amanda dan Rendi berakhir seiring ingatan Rendi yang memudar tentang cewek itu dikarenakan sebuah kecelakaan. Amanda tetap bersikeras mendapatkan ingatan Rendi meski harus mengorbankan nyawan...
Ketika Kita Berdua
37257      5372     38     
Romance
Raya, seorang penulis yang telah puluhan kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tiba-tiba mendapat tawaran menulis buku dengan tenggat waktu 3 bulan dari penerbit baru yang dipimpin oleh Aldo, dengan syarat dirinya harus fokus pada proyek ini dan tinggal sementara di mess kantor penerbitan. Dia harus meninggalkan bisnis miliknya dan melupakan perasaannya pada Radit yang ketahuan bermesraan dengan ...
Let it go on
1138      811     1     
Short Story
Everything has changed. Relakan saja semuanya~
Adelia's Memory
503      323     1     
Short Story
mengingat sesuatu tentunya ada yang buruk dan ada yang indah, sama, keduanya sulit untuk dilupakan tentunya mudah untuk diingat, jangankan diingat, terkadang ingatan-ingatan itu datang sendiri, bermain di kepala, di sela-sela pikirian. itulah yang Adel rasakan... apa yang ada di ingatan Adel?