2020
Untuk Anne, setelah sekian banyak surat yang kita kirimkan, banyak detik yang kita lalui, kadang aku merasa bahwa kamu adalah orang yang paling mengerti tentangku. Kurasa aneh aku menulis demikian, tapi itulah yang kurasa.
- Gilbert
———
2025
Langit mendung menyelimuti Pekanbaru pagi itu. Suasana di Perpustakaan Lentera tak lebih cerah dari langit di luar. Para staff menyambut pengunjung dengan senyum canggung dan sorot mata curiga. Aroma lembab dari buku-buku tua terasa lebih menusuk, seakan menyerap ketegangan yang tak kunjung surut sejak polisi mulai menyelidiki kasus surat ancaman.
Aruna berdiri di depan rak fiksi anak, berpura-pura mencari buku referensi untuk buku yang ia tulis sambil sesekali melirik ke meja resepsionis. Mbak Tantri sedang duduk di sana, mengetik sesuatu dengan ekspresi muram. Aruna masih bisa mendengar kalimat dari percakapan telepon kemarin terngiang di telinganya: "CCTV-nya udah dihapus kan?".
Bagaimana mungkin Tantri tahu tentang CCTV yang dihapus?
Adam menyelinap masuk tidak lama kemudian dan berjalan menuju tempat Aruna berdiri.
"Kita harus cari tahu siapa aja yang bisa akses rekaman CCTV di sini," bisiknya.
"Selain Bu Fitri, Mas Hilman yang memang bagian IT, dan polisi… seharusnya nggak ada lagi," jawab Aruna pelan. "Tapi kalau Mbak Tantri tahu, bisa jadi dia nyolong akses itu dari Mas Hilman. Mereka kan pernah kerja bareng lama."
Adam mengangguk. "Atau dia tahu dari orang yang ngancam kamu kemarin."
Aruna menghela napas. Ia menatap rak buku yang dipenuhi kisah-kisah petualangan, keberanian, dan harapan. Cerita-cerita yang ia ingin tulis untuk anak-anak. Tapi sekarang, hidupnya sendiri berubah jadi semacam misteri yang belum bisa dipecahkan.
***
Setelah jam makan siang, Aruna menyelinap ke ruang arsip digital di belakang perpustakaan. Ia punya alasan resmi: membantu mendigitalisasi katalog lama, tugas yang pernah ia sukarela ambil dari Bu Fitri beberapa minggu lalu.
Ia mengunci pintu pelan, lalu menyalakan komputer lama di pojok ruangan. Folder CCTV disimpan di drive khusus yang hanya bisa diakses admin. Tapi Aruna punya satu keuntungan: ia pernah melihat Mas Hilman memasukkan password-nya secara tidak sengaja beberapa hari lalu.
"P3rl1ndung4nL3nt3r4," gumamnya sambil mengetik.
Klik.
Akses diberikan.
Jantungnya berdegup cepat. Ia membuka folder rekaman. Tanggal saat ia dan Adam terkunci di gudang... kosong. Tidak ada file. Tapi sesuatu menarik perhatiannya. Sebuah log aktivitas menunjukkan bahwa ada satu file yang di-restore dan kemudian dihapus ulang dua hari yang lalu—bukan oleh Mas Hilman, tapi oleh akun bernama T.ANTRI.
Aruna membeku. Jadi benar. Mbak Tantri mengaksesnya.
Ia menyalin log itu ke flashdisk, lalu buru-buru keluar sebelum ada yang tahu.
***
Sore itu, Aruna dan Adam bertemu di taman belakang kampus, di dekat gazebo. Tempat sepi itu menjadi lokasi aman mereka untuk membahas penyelidikan.
"Mbak Tantri menghapus dan balikin rekaman itu. Berarti dia sempat nonton isinya." Aruna menunjukkan flashdisk.
Adam mengerutkan kening. "Tapi kenapa? Dia mau lindungin siapa?"
Aruna membuka laptop dan menunjukkan satu folder lain: rekaman CCTV dari seminggu sebelum insiden.
"Aku cek rekaman lama. Lihat ini."
Dalam rekaman, terlihat seseorang datang ke perpustakaan malam hari. Ia membuka pintu belakang dengan kunci cadangan. Wajahnya tertutup hoodie. Tapi saat orang itu melewati kamera, sinar dari luar menyoroti sebagian wajahnya. Terlalu gelap untuk jelas, tapi cukup untuk melihat kontur dagu dan gaya jalannya yang khas.
Adam memperhatikan. "Itu kayak... cowok ya? Bukan cewek."
Aruna mengangguk pelan. "Tapi bukan Mas Hilman yang biasa di ruang CCTV. Bukan kamu juga. Siapa yang punya akses kunci cadangan, dan bisa bikin Tantri panik?"
Adam berpikir keras. "Kecuali… seseorang dari yayasan? Atau orang lama yang pernah kerja di sini?"
***
Keesokan harinya, sebelum ke kampus untuk kelas di jam sepuluh, Aruna iseng mampir ke Perpustakaan Lentera untuk melihat situasi. Para staff masih tegang. Mbak Tantri mencoba memasang wajah ceria seperti biasa pada pengunjung, tapi gagal.
Sebenarnya, ada alasan lain Aruna ke Perpustakaan Lentera pagi itu. Ia ingin tahu, apakah Gilbert kali ini membalas suratnya. Aruna merasa bodoh karena terus berharap. Tetapi, di sinilah dia. Memegang buku Anne of Green Gables dan membuka halaman 212 dengan jantung yang berdegup kencang.
Semesta seperti membalas doa gadis itu. Ada selembar kertas yang dilipat dua.
Jari-jarinya gemetar saat membuka liapatan surat itu.
Aruna,
Maaf aku baru balas. Suratmu aku baca berulang-ulang. Aku nggak tahu harus jawab apa waktu itu.
Aku tahu kamu sedang menghadapi sesuatu yang besar. Dan aku juga harus jujur sekarang. Aku ingin sekali cerita padamu tentang semuanya. Tapi, akan kusingkat saja untuk saat ini: aku mendapat informasi bahwa ada indikasi penyelewengan dana dan penyalahgunaan aset di Perpustakaan Lentera. Surat ancaman itu mungkin berkaitan dengan apa yang sedang kamu telusuri.
Aku tidak bisa menjelaskan lebih banyak lewat surat ini. Tapi kamu harus hati-hati. Tidak semua orang di sekelilingmu adalah teman.
Aruna menatap surat itu lama, lalu memutuskan untuk menelepon Adam dan menceritakan semuanya, dengan bagian surat dari Gilbert yang ia tutupi.
Adam terdiam. "Kalau begitu, berarti kamu udah ada di tengah pusaran masalah yang lebih besar dari yang kita pikir."
"Dan mungkin bukan hanya soal surat ancaman," tambah Aruna. "Mungkin tentang dana. Aset. Orang-orang di dalam."
Ia mengingat wajah panik Mbak Tantri. Bisa jadi dia tahu sesuatu, tapi takut karena terjebak. Atau dipaksa. Atau… dia salah satu pelaku?
***
Keesokan paginya, Aruna kembali ke perpustakaan. Ia menyapa Mbak Tantri yang terlihat gelisah, lalu pura-pura meminjam dokumen program literasi anak. Saat sedang mencari dokumen itu di laci meja resepsionis, ia 'secara tidak sengaja' menjatuhkan map milik Tantri.
Kertas-kertas berserakan. Salah satunya—surat bertanda tangan yayasan dengan kop resmi. Aruna cepat-cepat menatapnya. Ada satu kata yang menonjol:
AUDIT.
Mbak Tantri langsung meraih surat itu dan memasukkannya ke map. Tatapannya dingin. "Kamu lihat apa, Na?"
Aruna berusaha tenang. "Nggak kok. Maaf, tadi aku nggak sengaja."
Mbak Tantri tidak menjawab. Tapi dari caranya menatap, Aruna tahu: wanita itu sedang menyembunyikan sesuatu.
***
Malamnya, Aruna menulis kembali. Bukan untuk proyek bukunya, bukan untuk blog, tapi untuk menyusun semua potongan yang sudah ia dapat:
• Mbak Tantri tahu soal CCTV dan menghapus file rekaman.
• Gilbert mungkin orang yang dekat dengan pihak perpustakaan.
• Ada audit dari yayasan.
• Surat ancaman bisa jadi pengalihan, bisa jadi ini terkait dengan kasus Tante Sandrina.
• Rekaman malam hari menunjukkan sosok misterius.
Ia menamai file itu: Kebenaran Lentera.
Dan sebelum menutup laptop, ia mengetik satu kalimat:
Jika aku diam, mereka akan terus bebas. Tapi jika aku bicara, aku harus siap kehilangan semuanya.
Aruna menghela napas. Pilihan itu kini ada di tangannya.
Similar Tags

