Kata-kata baik yang diucapkan oleh seseorang di waktu yang tepat, rasanya sangat berarti.
Seperti yang dirasakan Aruna saat ini. Hanya selembar kertas tebal. Tapi di atasnya terlukis ilustrasi buku yang ia kerjakan, dan untaian kata-kata yang membekas di hatinya. Dari orang yang tidak ia sangka.
Adam.
Selain Gilbert, Adam adalah orang yang bisa membuat Aruna bingung akan hatinya sendiri.
Air mata mengalir lagi di pipi Aruna. Kali ini bukan air mata kesedihan. Tapi, air mata tanda kebahagiaan; bahagia karena dirinya seperti dimengerti oleh seseorang.
Gilbert tak lagi membalas suratnya, Papa berada jauh di luar kota. Namun Adam datang dengan kepercayaan bahwa Aruna bisa menjadi penulis yang hebat. Aruna merasa seperti dipeluk oleh kardigan yang nyaman, yang memberi kehangatan juga kekuatan.
Aruna meraih handphone-nya. Mengetik pesan via WhatsApp di kolom chat dengan Adam.
Aruna: I've got your message. Paket, sebenarnya. Thanks a lot, Dam :)
Adam: Glad to know that :)
Aruna: Dari mana kamu dapat file-nya?
Adam: Ingat waktu aku nggak sengaja lihat itu di tablet kamu? Diam-diam aku kirim file-nya ke handphone aku.
Oh, waktu itu, batin Aruna. Adam memang bergerak cepat. Aruna bahkan tidak sadar Adam melakukan hal itu.
Aruna: Dasar pencuri.
Adam: Sorry not sorry. Kamu bilang Mama kamu hapus semua file-nya kan? Aku bisa kirim ulang. Kamu bisa lanjut menggambar lagi.
Jemari Aruna berhenti saat membaca pesan dari Adam. Hatinya berkecamuk membaca pesan dari Adam. Aruna memutuskan untuk tidak membalas dan tidur.
Paginya, sinar matahari masuk melalui sela jendela kamarnya. Tapi sinar itu tak cukup menghangatkan keraguan yang masih mengendap di dadanya.
Haruskah ia tetap menulis buku itu diam-diam? Atau… menyerah saja dan patuh pada Mama? Aruna tahu betul apa yang akan dikatakan mamanya jika tahu: menulis buku anak itu buang-buang waktu. Bukan jalur orang sukses. Dan bukan bagian dari ‘rencana besar’ hidup Aruna. Tapi, bukankah hidup ini seharusnya dijalani dengan langkah kita sendiri?
Ia berangkat ke kampus dengan kepala penuh keraguan. Seusai kelas siang, ia diam-diam mengambil jalan memutar ke Perpustakaan Lentera. Hatinya tidak karuan–semacam campuran antara harapan dan ketakutan. Ia melangkah cepat, menyusuri rak demi rak, menuju rak buku fiksi tempat buku Anne of Green Gables berada.
Tidak ada surat dari Gilbert.
Aruna menatap halaman 212 cukup lama, seolah berharap surat itu tiba-tiba muncul begitu saja. Tapi yang ada hanya hening, dan rasa kecewa yang tak bisa ia sembunyikan. Padahal ia tahu, tidak ada kewajiban bagi Gilbert untuk membalas suratnya. Tapi tetap saja, harapan kecil itu–bahwa seseorang mungkin melihat usahanya, mungkin mendengar isi hatinya—telanjur tumbuh.
Suasana di perpustakaan sore itu terasa berbeda. Tidak seramai biasanya. Para staff tampak tegang, duduk dengan postur kaku, sesekali berbisik atau saling lempar pandang. Aruna merasa ada yang salah.
Ia melihat Bu Fitri bicara serius dengan dua orang pria berpakaian sipil. Salah satunya membawa map cokelat, dan yang satu lagi memegang ponsel yang terus menyala—mungkin merekam. Polisi, pikir Aruna.
Wawancara dengan polisi sudah dimulai.
Dari jauh, Aruna melihat Mbak Tantri sedang berbicara dengan nada tinggi kepada Mas Yadi, staff Perpustakaan Lentera bagian logistik. Sesuatu tentang 'siapa yang terakhir menutup gudang' dan 'kenapa surat ancaman itu jadi besar begini'.
Beberapa staf yang tadinya terlihat netral mulai melirik ke arah Aruna dengan pandangan berbeda. Tidak terang-terangan bermusuhan, tapi ada semacam jarak yang baru. Seolah semua yang sebelumnya rekan kerja kini saling curiga.
Saat Mbak Tantri melewati Aruna tanpa menyapa, gadis itu tahu waktunya berbicara.
“Mbak Tantri,” panggil Aruna pelan.
Mbak Tantri berhenti, tapi tidak langsung menoleh.
“Aku tahu ini jadi rumit. Tapi aku nggak bohong soal surat itu.”
Mbak Tantri menoleh pelan, matanya datar. “Kamu tahu, Na, kadang orang bisa bikin kekacauan besar karena takut. Atau karena terlalu ingin jadi pahlawan.”
“Aku nggak–”
“Sebaiknya kamu diam dulu sekarang. Banyak yang merasa kamu bikin masalah ini makin parah,” potong Mbak Tantri sebelum melangkah pergi.
Aruna terpaku. Gadis itu tidak menyangka bahwa orang yang selama ini selalu membimbingnya, teman terdekatnya, di perpustakaan kini ikut menjauh.
Langkahnya cepat-cepat menuju pintu keluar, tapi belum sempat menyentuh gagang pintu, suara familiar menghentikannya.
“Na.”
Adam.
Ia berdiri di sudut dekat rak buku anak, membawa totebag penuh kertas.
“Kamu nggak apa-apa?”
Aruna menggeleng, mencoba tersenyum meski matanya memerah.
Adam tak berkata apa-apa, tapi mengikuti langkah Aruna yang melangkah ke luar. Udara sore terasa dingin. Mereka berdiri beberapa langkah dari pintu perpustakaan.
“Aku kira orang di dalam sana teman semua,” gumam Aruna. “Tapi kayaknya… kalau kita bersuara, semua bisa berbalik.”
“Mungkin itu tanda kamu bersuara untuk hal yang penting,” jawab Adam pelan.
Mereka terdiam sejenak. Hingga tiba-tiba, suara dari arah pintu terdengar.
“Ya, aku ngerti, makanya aku panik!”
Itu suara Mbak Tantri.
Aruna refleks menahan napas. Ia dan Adam saling bertukar pandang, lalu pelan-pelan bersembunyi di balik tembok sisi kanan pintu masuk.
Suara Mbak Tantri terdengar lebih jelas sekarang, meski ia berbicara dengan nada bisik yang tegang.
“CCTV yang tanggal itu udah dihapus. Aku yakin, tapi kenapa sekarang malah diusut? Aku nggak mau kalau semuanya jadi balik ke aku…”
Aruna menegang. Adam tampak terkejut, tapi tetap diam.
Mbak Tantri melanjutkan, lebih pelan, seolah makin panik. “Polisi udah tanya soal video hari itu. Kalau mereka tahu siapa yang akses hard drive–aku bisa kena. Dan kamu juga!”
Telepon terputus. Mbak Tantri bergegas masuk kembali ke dalam perpustakaan.
Setelah yakin ia benar-benar pergi, Aruna dan Adam perlahan keluar dari tempat persembunyian mereka. Nafas Aruna terasa berat.
“Kamu denger tadi?” tanya Adam, meski ia tahu jawabannya.
Aruna mengangguk, wajahnya masih bingung antara takut dan tercengang. “Dia tahu soal CCTV yang dihapus. Tapi... selain kamu, aku, Bu Fitri, dan Evan, nggak ada yang tahu soal itu, kan?”
Adam mengangguk pelan. “Berarti ada yang kasih tahu dia. Atau... dia terlibat langsung.”
Keheningan menyelimuti mereka.
Di kejauhan, matahari mulai tenggelam, mewarnai langit dengan warna jingga dan merah muda. Tapi di hati Aruna, warna-warna itu terasa suram. Ia tidak hanya sedang menghadapi pilihan soal mimpinya atau tuntutan mama. Tapi juga, perlahan, memasuki sesuatu yang lebih besar dan lebih berbahaya.
Dan sekarang, ia tahu: tidak semua orang yang terlihat membantu, benar-benar ada di pihaknya.
Aruna berjalan pelan menyusuri trotoar bersama Adam, langkahnya gontai seperti sedang menggendong beban tak kasatmata. Angin sore menusuk kulit, tapi tidak sedingin kenyataan yang baru saja mereka dengar.
“Jadi... kalau benar Mbak Tantri tahu soal CCTV yang dihapus, berarti dia ikut mengaksesnya?” gumam Aruna lebih kepada dirinya sendiri.
“Atau dia disuruh seseorang. Atau dipaksa." Adam menambahkan, ekspresinya serius. “Tapi jelas dia tahu lebih banyak daripada yang dia tunjukkan.”
Aruna menghentikan langkah. “Kalau begitu… ancaman itu bisa jadi beneran serius, kan? Dan semua orang malah nuduh aku berlebihan.”
Adam memandangnya penuh iba. “Kamu nggak berlebihan, Na. Kamu satu-satunya yang berani ngomong, itu aja udah luar biasa.”
“Luar biasa tapi sendirian.” Suara Aruna nyaris tenggelam oleh deru kendaraan yang lewat. Ia tertawa getir. “Aku cuma capek, Adam. Capek harus sembunyiin semuanya. Harus ngumpet-ngumpet buat nulis buku. Harus siap dimarahin Mama kalau tahu aku masih ke sini. Sekarang, orang-orang di perpustakaan pun kayak musuhin aku.”
Adam ragu sejenak sebelum bertanya, “Kalau kamu memang udah capek sembunyi, kenapa nggak… lawan aja?”
Aruna menoleh cepat. “Maksud kamu, lawan Mama?” Itu adalah akar pertengkaran mereka kemarin. Tapi, Aruna sudah mulai bisa mencerna maksud Adam.
Adam mengangguk pelan. “Mungkin bukan 'lawan'. Tapi berdiri untuk dirimu sendiri. Untuk hal yang kamu percaya.”
Aruna menggigit bibir. Itu kalimat yang paling mudah diucapkan, tapi paling sulit dijalani. Karena Mama bukan cuma keras. Ia bisa mematikan semangat dengan satu tatapan, satu kalimat, dan satu pukulan. Dan Aruna sudah terlalu sering melihat dirinya mengecil, layu di depan wanita itu.
Namun sebelum ia bisa menjawab, getar dari dalam tasnya menghentikan pikiran itu. Handphone-nya berdering.
Nomor tak dikenal.
Dengan ragu, Aruna mengangkat.
“Halo?”
Diam. Hanya suara napas berat di seberang sana.
“Halo?” ulang Aruna.
Lalu terdengar suara—berat, pelan, dan menyeramkan dalam kekosongannya.
“Berhenti cari tahu soal surat itu. Kamu nggak ngerti apa yang kamu hadapi.”
Klik.
Telepon terputus.
Aruna membeku. Suara itu bukan dari orang yang ia kenal. Tapi jelas-jelas ditujukan padanya. Adam memperhatikan wajah Aruna yang berubah pucat.
“Ada apa?”
“Seseorang… ngancam aku barusan.” Suaranya bergetar.
Adam langsung meraih ponselnya. “Kita lapor polisi. Sekarang juga.”
“Tunggu,” Aruna menahan tangannya. “Kalau kita lapor, mereka mungkin akan tahu aku denger teleponan Mbak Tantri tadi.”
“Terus kamu mau diem aja?”
Aruna menatap ke langit yang mulai gelap. Ada ketakutan di wajahnya. Tapi ada juga sesuatu yang lain. Sesuatu yang nyaris seperti... keputusan.
“Enggak,” katanya akhirnya. “Aku nggak mau diem aja. Tapi aku juga nggak bisa asal gerak. Kita harus tahu siapa yang sebenarnya main belakang di sini. Dan kenapa surat itu dikirim ke perpustakaan.”
Adam mengangguk pelan. “Kamu punya rencana?”
Aruna memandangi ponselnya. “Aku akan balas ancaman ini. Tapi dengan caraku.”
***
Malamnya, di kamar yang sunyi, Aruna duduk di depan laptop. Di layar kosong itu, bukan draft buku anak yang ia buka, tapi folder bernama 'Catatan Lentera'. File yang baru saja ia mulai.
Ia mengetik:
Hari ini aku dapat telepon ancaman. Tapi aku nggak akan berhenti. Aku harus tahu siapa yang membuat perpustakaan ini jadi tempat berbahaya. Dan aku juga harus tahu… siapa sebenarnya Gilbert.
Ia berhenti mengetik. Ingatan tentang surat yang tak dibalas kembali mengendap di pikirannya. Tapi kini, ada rasa lain yang muncul.
Kecurigaan.
Matanya menatap kosong pada layar.
Jika surat ancaman itu datang karena ada yang ingin membungkam, maka sekarang Aruna tahu—suara dan kejujuran adalah senjatanya.
Dan ia tidak akan berhenti menulis. Bukan hanya untuk anak-anak, tapi untuk kebenaran yang sedang dicoba dibungkam.
***
Di tempat lain, seseorang menatap layar ponsel dengan raut tegang.
Di tangannya, ada potongan rekaman CCTV yang tidak pernah sampai ke polisi. Tanggal rekaman: hari saat Aruna dan Adam terkunci di gudang.
Dalam video itu, terlihat bayangan seseorang yang membuka pintu belakang perpustakaan.
Seseorang yang memakai hoodie abu-abu, topi hitam, dan sarung tangan.
Seseorang yang tidak ingin dikenali.
Dan orang itu… bukan Aruna. Bukan Adam.
Tapi seseorang yang pernah mengatakan: “Kadang orang bisa bikin kekacauan besar karena takut. Atau karena terlalu ingin jadi pahlawan.”
Similar Tags

