Jadi, inilah yang dinamakan neraka.
Hari Rabu sore, Aruna tidak diperbolehkan ke Perpustakaan Lentera. Mamanya takut putri bungsunya itu akan diam-diam mengambil kesempatan untuk lanjut menulis buku. Jadi, sepulang perkuliahan, Mama mengecek handphone Aruna di ruang keluarga. Jari beliau sibuk meng-scroll dan swipe sana-sini untuk memeriksa apakah Aruna melakukan menyimpan file buku yang ia tulis atau semacamnya.
"Oke, sejauh ini nggak ada indikasi kamu menulis buku," kata Mama pelan.
"Harus seperti ini, ya, Ma? Apa nggak bisa Mama percaya sama Aruna?" kata Aruna pelan.
Mamanya langsung mendelik garang. "Mama kasih kamu kebebasan, kamu malah nulis buku diam-diam!"
"Itu nggak ganggu nilai-nilaku." Aruna membela diri.
Mamanya berdiri. "Mau melawan lagi kamu? Kemarin untung Papa kamu tiba-tiba datang. Sekarang, kamu bisa apa?" Mama menyeringai. Aruna ketakutan. Mamanya memang bukan orang baik, tapi gadis itu tidak tahu bahwa mamanya bisa sekejam ini.
"Maaf, Ma," kata Aruna dengan suara mencicit.
"Udah. Taruh tas kamu, sana. Habis itu buatin Mama salad buah. Bersyukur kamu, Mama akhir-akhir ini udah bisa masak. Jangan bisanya melawan terus," kata Mama tajam.
Aruna menunduk dan menaiki tangga menuju ke kamarnya. Di kamar, ia menutup pintu dan bersandar. Lalu terperosot dan menangis tersedu-sedu.
***
Kamis pagi, Aruna duduk menemani Dea sarapan di kantin FKIP. Dea sudah tahu semua cerita tentang Mama dan Papa Aruna, juga tentang perkembangan kasus Tante Sandrina. Saat ini jemari Aruna mengambang di atas layar handphone-nya. Pikiran Aruna berkecamuk. Apakah ia harus melaporkan mamanya ke Papa?
"Kabur dari rumah aja, Na," saran Dea yang sedang menyeruput Nutri Sari jeruk peras.
"Papa sama Mama itu merantau, De. Kami nggak punya saudara di dekat sini. Kalau ke luar kota, agak susah."
Dea berpikir sebentar. "Kalau ke rumahku gimana? Chat Papa kamu sekarang, terus langsung kabur ke rumahku."
Aruna menggeleng. "Nggak bisa. Mama kan tahu aku berteman dengan kamu. Kalau dia tahu aku kabur, pasti dia akan cari ke rumah kamu juga. Kamu tahu Mama gimana. Bisa-bisa dia ribut besar di rumah kamu."
"Aku baru aja mau nyaranin kabur ke rumah Kak Evan..."
"Heh!" tegur Aruna. "Se-desperate-nya aku, aku nggak bakal kabur ke tempat laki-laki."
Dea ngakak. "Iya, tahu. Bercanda aja, kok."
Dari tempat mereka duduk di kantin, Aruna melihat motor Scoopy yang sudah sering ia lihat–motor Adam. "Eh, De. Cepetan, habiskan minuman kamu," pinta Aruna untuk menghindari Adam. Untungnya Dea sudah menghabiskan nasi gorengnya.
"Lho, kenapa? Duduk bentar. Nanti nasinya lari-lari di perutku." Dea manyun. Lalu, sahabat Aruna tersebut melihat Adam dan saat melihat Aruna yang bolak-balik melihat Adam dengan panik, Dea langsung tahu.
"Menghindari Adam?" tanya Dea. Aruna mengangguk. "Duh, emang kayak orang lagi pacaran sih kalian berdua."
"Hush. Jangan sembarangan. Udah, ah. Aku duluan aja kalau gitu."
"Eh, Na," panggil Dea. Terlambat, Aruna sudah keburu ngacir ke gedung FKIP.
***
Aruna berlari sekencang yang flat shoes-nya bisa lakukan menuju gedung FKIP. Ia menelusuri lobi sebelum menaiki tangga menuju lantai dua. Di lekukan tangga, gadis itu nyaris bertabrakan dengan seorang cowok.
"Aruna," kata Evan terkejut.
Aruna juga sama terkejutnya. Namun, gadis itu masih menarik nafas.
"Kamu ngapain lari-lari?" tanya Evan. Cowok itu mengisyaratkan pada teman-temannya yang ada di sekitarnya untuk segera turun duluan.
"Oh. Eh... itu..."
"Mau ke kelas? Tapi kelas kamu mulai tiga puluh menit lagi kan?" kata Evan yang sudah hafal jadwal Aruna.
Aruna mengangguk. "Tapi aku mau cepat ke atas aja, Kak." Pasti alasannya terdengar payah. Tapi, Aruna tidak peduli.
"Oh, oke. Aku ada kelas di gedung sebelah. Nanti, kamu pergi sama aku nggak, Na?" tanya Evan penuh harap. "Selesai kelas kamu siang nanti."
Mahasiswa dan mahasiswi lain yang lewat di tangga melirik kedua remaja itu dengan penuh rasa ingin tahu. Aruna tetap harus segera pulang setelah perkuliahan. Itu perintah mamanya. Tetapi... perkataan Adam kemarin sore terus terngiang di telinga Aruna.
"Kamu membiarkan mama kamu mengatur hidupmu, dan kamu diam aja, Na?"
Aruna ingin tahu apa jadinya kalau ia melanggar perintah mamanya. Selain itu, ia ingin pengalihan pikiran dari Adam.
"Boleh, Kak. Kalau gitu, nanti sore aku chat Kakak lagi." Aruna tersenyum. Senyuman Evan mengembang dan segera setelah itu, Aruna pamit ke atas.
Di lantai dua, Aruna sengaja berdiam diri di bilik toilet sampai kelas dimulai selama dua menit. Memasuki kelas, Aruna langsung duduk di dekat Dea, yang sudah ia kirimkan pesan agar mencari tempat duduk sejauh mungkin dari Adam. Adam terus-terusan menatap Aruna di sepanjang kelas, tetapi Aruna memilih membuang muka.
Saat kelas selesai pun, Aruna mengambil langkah seribu menuju parkiran sebelum Adam sempat memanggilnya. Dea hanya geleng-geleng kepala melihat sahabatnya.
***
Sore hari, selesai perkuliahan, Aruna dan Evan pergi ke salah satu book cafe yang ada di dekat salah satu kampus negeri di Pekanbaru. Evan tahu Aruna menyukai buku, dan cowok itu pikir Aruna pasti akan senang jika mereka ke sana. Dan, Evan seratus persen benar. Aruna yang baru pertama kali ke kafe tersebut menyusuri rak buku dengan mata berbinar. Ia mengambil satu buku dan duduk bersama Evan di salah satu sudut kafe. Evan telah memilih buku yang ingin ia baca.
Melihat buku yang diambil Evan, Aruna menaikkan alis. "Anne of Green Gables?" Buku itu otomatis mengingatkan Aruna kepada Gilbert. Apakah suratnya sudah dibalas oleh cowok itu? Batin Aruna dalam hati.
Evan tersenyum dan mengangguk. "Waktu itu aku nggak sengaja lihat kamu pegang buku dengan judul yang sama di Perpustakaan Lentera. Jadi pengen baca."
Aruna balas tersenyum. Apakah... Evan sebenarnya adalah Gilbert? Karena Aruna yakin ia tidak pernah melihat Evan memergokinya memegang buku Anne of Green Gables. Apakah Evan hanya bersikap jujur dan diam-diam memerhatikan gadis itu, tanpa ada sesuatu yang disembunyikan? Tiba-tiba saja Aruna ingin mengecek apakah Gilbert meninggalkan surat. Sial. Aruna sangat merindukan Gilbert.
"Oh, iya. Surat penyelidikan udah ada, Na. Mulai besok, polisi akan mewawancarai staff Perpustakaan Lentera satu-persatu."
Hal itu membuat Aruna kembali memikirkan kasus Tante Sandrina. Lupakanlah Gilbert, Na, kata Aruna dalam hati. Aruna mengangguk.
"Kamu ada prasangka siapa di balik semua ini, Na?" tanya Evan sambil menatap Aruna serius.
Aruna bingung. Gadis itu kenal pada hampir semua staff Perpustakaan Lentera, karena sejak kecil ia kerap berkunjung ke sana. Tapi, secara mendalam? Tentu tidak. Bisa dibilang, Aruna hanya tahu banyak tentang Mbak Tantri sejauh ini. Aruna mengira dirinya yang dulu mengenal Tante Sandrina dengan baik, tetapi ia salah. Ia tak mau berasumsi bahwa ia mengenal banyak orang dengan baik. Ditambah, sifat pemalu dan pendiam Aruna membuatnya berkomunikasi sebatas rekan kerja dengan staff yang lain.
"Jujur, aku nggak punya prasangka, Kak," desah Aruna. "Oh iya, Kakak udah minta polisi untuk mengecek buku-buku favorit Tante Sandrina di gudang?"
Evan mengangguk. "CCTV akan dicek, walaupun siapa yang tahu kapan orang itu menaruh buku-buku tersebut di gudang. Udah empat tahun, bisa-bisa mata polisi yang ngecek langsung panas kalau mantengin CCTV selama itu."
"Iya, ya." Aruna tertawa pahit.
"Dari buku-buku tersebut, nggak ada lagi yang bisa dicari tahu, Na. Cuma buku biasa. Atau mungkin si pelaku udah buang barang bukti," kata Evan geram. "Dan, nggak ada sidik jari, Na."
Aruna terdiam. Mereka berhadapan dengan pembunuh yang cerdas. Tidak ada bukti di barang pribadi Tante Sandrina, handphone beliau hilang dan belum bisa ditemukan, serta, tidak adanya sidik jari? Pelaku memiliki perencanaan yang matang. Jantung Aruna berdegup kencang. Tak ayal, ia merasa cemas. Namun, ia mengingatkan dirinya sendiri kalau si pelaku pasti tidak akan bersikap gegabah, mengingat penyelidikan sedang berlanjut sangat ketat, dan polisi akan sering datang ke Perpustakaan Lentera.
"Apa tanggapan Bu Fitri, ya? Pasti media gencar meliput berita ini," ujar Aruna.
"Bu Fitri jelas nggak senang karena tahu staff di bawah pimpinan beliau menjadi terduga pelaku. Tapi, Bu Fitri sangat kooperatif dan menginginkan keadilan segera bisa ditegakkan." Evan tersenyum.
"Semoga kasus ini segera diselesaikan, ya, Kak." Aruna meraih tangan Evan di seberangnya, dan memegang dengan lembut, berharap dengan begitu, mereka dapat melalui ini semua dengan tabah. Bagaimana pun, Tante Sandrina adalah tante yang disayangi oleh Evan. Aruna juga menganggap Tante Sandrina seperti ibunya sendiri.
Evan menatap Aruna lembut dan mengaitkan jemari Aruna dengannya, membuat Aruna sedikit tersipu. Tapi, tidak ada gelenyar yang berdebar di dadanya. Bahkan, tidak ada rasa menggelitik di perutnya seperti bagaimana Aruna membaca surat dari Gilbert, atau... saat gadis itu bersama Adam.
Makanan dan minuman yang mereka pesan datang, dan Evan tidak banyak mengajak Aruna mengobrol lagi, hanya menikmati menghabiskan waktu bersama dengan membaca. Taut jemari mereka pun sudah dilepaskan Evan. Dan anehnya, Aruna tidak merasa kehilangan.
Bukankah selama ini ketenangan yang diberikan oleh Evan yang disukai Aruna? Jika memang begitu, kenapa tidak ada percik api di dada gadis itu?
***
Harus Aruna akui, bahwa setiap keputusan yang ia ambil, akan ada juga konsekuensinya. Seperti saat ini.
Pukul setengah enam sore, Aruna pulang ke rumahnya. Aruna sengaja meminta Evan tidak mengiringi gadis itu pulang ke rumah, karena tahu mamanya akan murka.
Aruna melihat ada bungkusan paket di dekat rak pintu, lalu mengambilnya. Paket atas nama dirinya. Bingung, Aruna tetap membawa paket itu ke ruang keluarga.
Benar saja. Aruna baru mengucapkan salam dan berjalan beberapa langkah ke dalam rumah, mamanya sudah menanti di ruang keluarga.
"Dari mana kamu? Kenapa nomor kamu nggak aktif?" cecar mamanya. Aruna memang sengaja mematikan handphone-nya.
"Baterai handphone Aruna habis, Ma."
"Kenapa kamu pulang terlambat?"
"Ada tugas kelompok dan Aruna pergi ngerjain tugas ke kos teman."
"Teman yang mana?"
Aruna tiba-tiba saja merasa lelah. "Teman sekelas yang bukan Dea, Ma. Teman Aruna banyak."
"Minta nomor temanmu itu, biar Mama yang tanya langsung."
Aruna panik, tapi berhasil menyembunyikan kepanikan itu. "Mama jangan gitu, aku kan udah dewasa. Malu kalau ditanya kayak anak kecil begitu."
"Mama nggak peduli. Itu demi kebaikan kamu."
Aruna mendengus. "Kebaikan aku atau kebaikan Mama?"
Mama menyadari nada bicara Aruna. "Bilang itu sekali lagi," tantang Mama.
"Kebaikan aku atau kebaikan Mama?" ulang Aruna. Gadis itu takut, tapi amarahnya lebih menguasainya.
Segalanya, seperti yang sudah Aruna ketahui, berjalan dengan cepat. Tangan mamanya, tamparan di pipi kirinya.
Aruna tidak menangis. Hanya membawa paket di tangannya dan berlari menuju ke kamarnya. Mamanya memanggil dengan suara menggelegar, tetapi Aruna tidak peduli. Ia merasa sedih, marah, hilang kendali atas hidupnya.
Aruna menelungkupkan kepala di tempat tidur dan menangis. Entah sudah berapa lama ia seperti itu sampai air matanya tidak lagi mengalir. Gadis itu hanya merasa... hampa.
Beberapa saat kemudian, Aruna ingat paket misterius tersebut. Ia merobek kertas pembungkusnya, dan terkejut melihat isi di dalamnya.
Dicetak dengan kertas tebal, adalah salah satu halaman ilustrasi buku yang sedang ia tulis beberapa bulan yang lalu. Di bawahnya, tertulis: Teruslah bermimpi. I'll be your number one fan. -Adam
Similar Tags

