2020
Untuk Gilbert,
Wah, cantik banget bunganya. Walaupun warnanya pudar, nggak menghilangkan fakta bahwa dulunya bunga ini mekar dengan indahnya.
Buku pertama Twilight itu bagus, tahu. Filmnya juga oke. Tapi film-film selanjutnya? Aku nggak mau komentar.
- Anne
———
2025
Seumur hidupnya, Perpustakaan Lentera sudah menjadi rumah kedua bagi Aruna. Namun, baru kali ini gadis itu merasa tidak aman di sana. Sepasang mata seolah mengawasi gerak-gerik gadis itu; memantau apa yang ia kerjakan. Dan, saat Aruna lengah, sosok itu akan 'memangsa' Aruna.
Atau mungkin, dalam kasus ini, memberi surat kaleng berisi ancaman.
Setelah surat ancaman pertama, Aruna tentunya tidak tinggal diam. Ia mencari tahu siapa kemungkinan staff yang bisa meninggalkan surat itu di sana. Tetapi pencariannya berbuah nihil. Waktu itu sulit untuk mencari tahu si pelaku karena semua staff sedang sibuk dan tidak saling memperhatikan satu sama lain.
Aruna sempat memberitahu Adam kemarin sore, setelah Aruna menonton rekaman video call Adam dan Bu Desi. Di telepon, Adam terdengar gelisah dan bertanya kenapa Aruna baru mengatakan hal itu padanya sekarang.
"Harusnya aku yang bilang begitu: kenapa kamu nggak bilang dari kemarin, atau dari tadi, kalau pacar Tante Sandrina itu staff di Perpustakaan Lentera," kata Aruna kesal. Gadis itu sudah jauh dari Perpustakaan Lentera dan dalam perjalanan pulang ke rumah, karena mamanya sudah menelepon. Ia berhenti sebentar di gang sempit untuk menelepon teman sekelasnya itu.
Seolah tersadar, Adam langsung meminta maaf. "Maaf, Na. Serius aku emang pengen bilang ke kamu, tapi aku lupa."
Tentu saja Aruna tidak percaya alasan Adam.
"Terus gimana? Kamu kira-kira ada ide nggak siapa orang di balik surat ancaman itu?" Adam terdengar geram dan ingin segera menangkap terduga pelaku.
"Belum. Kasih aku waktu. Aku ada ide," sahut Aruna.
"Ide? Kok bau-baunya aku bakal nggak suka ide kamu, Na," kata Adam gelisah.
Aruna menyeringai. "Aku yakin ini bakal bisa mancing si pelaku surat ancaman. Kemungkinan besar pasti dia juga yang membunuh Tante Sandrina, kan?" Aruna berencana untuk mengumumkan surat ancaman tersebut di acara makan siang bareng staff Perpustakaan Lentera hari Minggu mendatang, dan melihat reaksi para staff, apakah ada yang mencurigakan dan sebagainya.
"Menurutku juga gitu," kata Adam. "Tapi, Na?"
"Ya?"
"Aku takut orang itu akan mencelakai kamu." Adam terdengar benar-benar khawatir. Hal ini membuat perut Aruna terasa seperti digelitik. Seakan ada kupu-kupu yang berterbangan di perutnya.
"I'm gonna be okay. Aku nggak bakal melakukan sesuatu yang ceroboh," ujar Aruna yakin.
Adam mendesah di ujung saluran telepon. "Aku tahu kamu keras kepala. Aku larang pun kamu nggak bakal berhenti kan?"
"Rupanya kamu udah hafal banget sifat rival-mu ini," kata Aruna sebelum menutup panggilan.
***
Aruna memandang sekelilingnya selagi ia menaruh dan merapikan rak buku sosiologi. Matanya yang bulat menatap sekeliling dengan awas, tapi tetap berusaha agar tidak terlihat kentara.
Ada sekitar lima puluh staff di Perpustakaan Lentera dan semuanya terdiri dari berbagai golongan usia. Mulai dari Gen Z seperti dirinya, sampai yang berumur lima puluhan juga ada.
Mbak Tantri sedang tertawa dengan Mas Rudi di dekat meja resepsionis, salah satu staff pria di sini yang sudah berumur, tetapi ramah.
Di bagian arsip, ada Mas Anton dan Mbak Jessi. Aruna mendorong troli dan memperhatikan Mas Dedi dan Mas Riko yang sedang menyusun buku di berbagai bagian rak.
"Pacar Sandrina itu rekan kerjanya sendiri," kata Bu Desi di video call.
Hal itu menjelaskan penemuan Aruna dan Adam di buku Anna Karenina, yang merupakan kutipan tentang pernikahan. Isi bukunya sendiri adalah perselingkuhan antara wanita muda yang tidak bahagia dengan pernikahannya, ... , dan Count Vrosky. Lalu, juga ada huruf yang digarisbawahi dan membentuk kata infidelity. Bukan Tante Sandrina yang berselingkuh, tetapi pacarnya yang menyelingkuhi istri sahnya.
"Sandrina nggak pernah mau menyebut namanya. Tapi dia bilang pria itu baik dan selera buku bacaan mereka sama, makanya mereka bisa jadi lebih dekat." Bu Desi masih menghapus air mata di pipinya, tetapi sudah lebih tenang. "Umur pria itu juga pasti tidak jauh lebih tua dari kami. Sandrina tidak pernah menjalin hubungan dengan orang yang seumuran, apalagi dengan yang berumur di bawahnya."
Tante Sandrina yang Aruna kenal adalah wanita yang cerdas dan buku-buku yang ia baca mencerminkan kecerdasan dan pola pikir yang kompleks. Namun, Aruna pernah membaca kutipan di salah satu buku Agatha Christie yang menyebutkan bahwa seorang gadis yang pintar pun akan menjadi bodoh jika menyangkut pria yang ia cintai. Dan menurut Aruna, pilihan Tante Sandrina memang salah. Tapi, itu juga menunjukkan sifat manusia yang kompleks.
Kalau Tante Sandrina masih hidup, umurnya sekarang tiga puluh empat tahun. Pria yang menjadi kekasihnya adalah pria yang umurnya tidak terlalu tua dari mendiang. Paling tidak, pria itu sekarang berusia mendekati empat puluh atau berada di usia empat puluhan awal. Dan pria tersebut memiliki selera bacaan yang sama dengan Tante Sandrina. Aruna tahu mencari pria ini akan sulit. Ada sekitar dua puluh pria yang bisa dikategorikan menjadi pacar Tante Sandrina.
Aruna mendorong troli kosong ke depan, ke arah meja resepsionis, saat Evan datang bersama seseorang. Orang itu, walaupun tidak memakai seragam, adalah polisi yang menyelidiki kasus Tante Sandrina. Name tag-nya menampilkan nama Syafrizal. Beliau adalah pria berbadan kekar dengan kulit sawo matang. Aruna menebak Pak Syafrizal berusia menginjak kepala lima.
"Na, kebetulan banget," kata Evan lega. "Ini gadis yang mendapat surat ancaman, Pak." Evan berkata setelah menjelaskan siapa Pak Syafrizal.
"Kamu Aruna? Yang mendapat surat ancaman?"
"Iya, Pak," kata Aruna. Tapi Aruna heran, karena belum tentu surat ancaman tersebut bisa dikaitkan dengan kasus Tante Sandrina, meskipun menurut Aruna hal itu jelas terkait.
Melihat reaksi Aruna, Evan menjelaskan, "Adam udah menjelaskan semuanya, Na. Mengenai dugaan pacar Tante Sandrina dari Bu Desi. Adam juga udah menyerahkan video dan nomor Bu Desi. Bu Desi siap membantu penyelidikan."
Pak Syafrizal menjelaskan semuanya pada pihak Perpustakaan Lentera dan kepala perpustakaan yakni Bu Fitri. Semua staff tentunya terkejut akan perkembangan kasus ini, dan keterlibatan salah satu staff yang menjadikan Tante Sandrina sebagai kekasih gelapnya.
"Betul, kan, yang saya bilang dulu," Bu Fakhira langsung berkoar dan menunjuk Pak Syafrizal. "Dulu pihak kepolisian juga nggak percaya," cemooh Bu Fakhira.
"Kami mohon maaf atas kelalaian kami, Bu. Kami bertindak sesuai prosedur dan saat itu memang tidak ditemukannya bukti chat yang Ibu sebutkan," jawab Pak Syafrizal dengan tenang. "Sekarang, saya ingin pihak Perpustakaan Lentera memberi izin untuk melihat rekaman CCTV di sekitar gudang saat Aruna dan Adam terkunci dari luar, serta di hari Aruna mendapat surat ancaman."
Bu Fitri segera menyetujui dan Pak Syafrizal, Evan, dan Aruna dibawa ke ruangan Bu Fitri untuk melihat rekamannya. Bu Fitri mengklik beberapa folder berisi rekaman video CCTV. Setiap folder berjudul tanggal dan di dalamnya berisi video rekaman CCTV di tanggal tersebut. Setelah menemukan tanggal Aruna dan Adam yang terkunci di gudang, Bu Fitri mengklik folder itu dua kali. Tetapi isinya kosong.
"Lho? Kenapa bisa kosong?" gumam Bu Fitri.
"Coba cek tanggal lain, Bu," saran Pak Syafrizal.
"Baik, Pak." Bu Fitri mengklik folder di tanggal Aruna mendapat surat ancaman. Kosong. Saat diklik pada folder lain, semuanya masih terdapat video rekaman CCTV.
"Ini berarti ada yang sengaja menghapus rekaman CCTV di hari itu, Bu," ujar Pak Syafrizal dengan wajah yang redup.
***
Setelah pengecekan CCTV tadi, Evan pamit lebih awal pada Aruna karena ada yang harus ia laporkan ke kantor polisi bersama Pak Syafrizal.
"Maaf, Na. Sebenarnya, aku pengen di sini lebih lama," kata Evan.
Aruna tersenyum, tersentuh akan kebaikan Evan walaupun Aruna sudah menolak cowok itu. "Aku bakal baik-baik aja, Kak. Malah, sebenarnya aku sedikit kesal soalnya Kak Evan malah menghancurkan rencanaku buat mancing si pelaku." Aruna pura-pura manyun, lalu tertawa.
Evan ikut tertawa. Padahal, bukan itu alasannya ingin tetap tinggal. Evan melirik ke parkiran dan melihat Adam sedang berjalan ke arah mereka yang berdiri di teras Perpustakaan Lentera. Evan tidak suka saat Adam berdekatan dengan Aruna. Dan kelihatannya, gadis itu semakin akrab dengan Adam setelah mereka mencoba menyelidiki kasus Tante Sandrina. Diam-diam, Evan menyesal telah memperbolehkan Adam untuk ikut menyelidiki.
Pak Syafrizal memanggil Evan dan cowok itu terpaksa menjauh. "Nanti aku chat kamu," kata Evan dan tersenyum. Aruna ikut balik tersenyum. Di perjalanan menuju parkiran, Adam terlihat menyapa Evan.
"Gimana, Na?" tanya Adam sesampainya di depan Aruna. Gadis itu menjelaskan secara singkat kronologisnya, sampai di bagian rekaman CCTV yang menghilang.
"Udah kuduga," ujar Adam. Mereka beralih duduk di gazebo Perpustakaan Lentera.
"Ternyata, kamu udah lapor ya?" tanya Aruna.
"Iya. Lebih cepat, lebih baik."
Aruna mengangguk. "Tapi, kamu kok nggak bilang ke aku kalau mau langsung lapor. Aku tadi kaget, soalnya tiba-tiba ada polisi yang datang bareng Kak Evan."
Adam menaikkan alis. "Aku udah bilang ke kamu, kok."
Aruna memutar otak tentang kapan percakapan itu terjadi. "Belum," kata Aruna yakin.
Pipi Adam sedikit merona. "Oh, mungkin aku salah ingat." Entah kenapa melihat semburat merah muda di pipi Adam membuat Aruna tersenyum. Adam kelihatan manis, menurut gadis itu.
Semakin dipandang, Adam semakin terlihat malu-malu. Cowok itu menunduk dan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Aruna tertawa. "Yaudah, deh. Sepuluh menit lagi, aku harus pulang, nih."
"Buru-buru banget, Na? Baru juga mau jam setengah lima."
Entah karena pikirannya sedang sumpek, entah karena ia ingin seseorang untuk diajak bicara, Aruna menumpahkan segala kegelisahannya tentang mamanya pada Adam. Adam mendengarkan gadis itu sampai selesai.
"Kamu harus cerita sama papa kamu soal mama kamu, Na. Kekerasan nggak pernah baik, apa pun alasannya."
"Dea juga bilang hal yang sama. Tapi... sulit, Dam, untuk bilang ke Papa," jawab Aruna dengan suara bergetar.
"Aku ngerti," sahut Adam lembut. "Kamu takut efeknya setelah kamu jujur, iya kan? Mungkin mama kamu bakal murka. Siapa yang tahu bagaimana papa dan mama kamu meng-handle situasi ini? Semua itu seperti gambling. Tapi, itu layak kamu lakukan. Untuk memberhentikan cycle nggak sehat yang dilakukan mama kamu."
Aruna mengangguk. Adam memang benar. Tapi, selalu sulit untuk mencoba.
"Pelan-pelan dulu. Mungkin kamu bisa mulai dengan cerita ke papa kamu soal mama kamu yang menentang mimpi yang kamu punya."
"Nggak bisa. Aku nggak bisa cerita soal itu juga. Gimana kalau Papa juga menentang?"
"Kamu belum tahu."
Aruna menggeleng. "Lagian, aku nggak cukup baik. Bukuku ditolak oleh penerbit."
"Oh, ya? Penerbit itu yang rugi karena menolak ide dan buku dari seorang penulis berbakat seperti kamu," kata Adam lembut sambil tersenyum.
Aruna mendengus. "Aku nggak mau nulis lagi. Dan mungkin, mamaku benar." Aruna tersenyum pahit.
"Satu penolakan membuat kamu mau berhenti?" Adam tidak percaya. "Na, di luar sana ada banyak penulis yang puluhan bukunya ditolak penerbit, tetapi mereka tetap menulis. Bukannya kamu bilang ke aku kalau menulis bagi kamu itu adalah bagian dari hidup kamu? Kalau iya, satu penolakan bukan apa-apa bagi kamu. Karena yang penting bagimu adalah proses menulisnya."
"Mungkin memang tulisanku nggak cukup baik, Dam. Untuk apa aku terus menulis karena mamaku benar. Aku menyia-nyiakan waktuku."
"Kamu membiarkan mama kamu mengatur hidupmu, dan kamu diam aja, Na?" Adam menggeleng tidak percaya.
Aruna merasa tersinggung. "Jangan ngomong gitu, Dam. Kamu nggak pernah berada di posisi aku dan betapa controlling-nya Mama aku itu," kata Aruna tajam.
Adam terlihat merasa bersalah. "Maaf, Na. Bukan gitu. Maksud aku–"
"Aku mau pulang. Nanti aku bisa dimarahi mamaku kalau telat," potong Aruna cepat sambil menyandang tote bag-nya dan berlalu, meninggalkan Adam dengan rasa bersalah. Aruna berjalan dengan hati yang remuk.
Similar Tags

