2020
Untuk Anne,
Aku nyaris tertawa melihat buku yang terakhir. Maaf, tapi itu tidak tertahankan. Apakah bukunya memang sebagus itu? Aku butuh ulasan. Serius.
Oh, iya. Aku selipkan bunga kertas kering yang aku temukan beberapa hari yang lalu dan sudah aku keringkan. Simbol bahwa semua hal yang indah akan layu pada waktunya tapi tetap bagus? Entahlah. Aku harap kamu suka.
-Gilbert
———
2025
Benar kata Gilbert: menunggu itu tidak enak. Aruna menggerutu di dalam hati. Di hari Senin, masih tidak ada surat balasan dari cowok itu. Dan ini sudah hampir seminggu.
Aruna berjalan menuju bangku membaca terdekat dan menulis dengan cepat. Satu surat lagi. Kalau Gilbert membalas, maka kali ini semesta berpihak pada gadis itu. Jika tidak, Aruna bertekad untuk menghapus Gilbert dari kehidupannya.
Gilbert,
Aku menulis lagi. Akulah gadis bodoh yang menulis untuk seseorang yang (mungkin) nggak mau menulis lagi padaku.
Aruna menghela nafas.
Bagaimana kabarmu? Tolong, tulislah sesuatu untukku. Isi hatimu. Masalah yang kamu hadapi. Aku tahu kamu gusar soal Tante Sandrina. Aku juga mengalaminya. Kita bisa mengatasinya bersama-sama. Satu kalimat darimu sangat berarti bagiku.
-Anne
Aruna mengambil buku Anne of Green Gables, dan menyelipkan suratnya di halaman 212 seperti biasa. Dengan semua hal yang terjadi belakangan ini, Aruna menginginkan surat dari Gilbert lebih dari apapun.
***
Sabtu pagi kemarin...
Aruna dan Mama sama-sama terkejut karena seseorang memegang tangan mamanya, dan itu adalah papa!
"Papa... kok, pulang lagi?" tanya mama.
"Itu nggak penting, kenapa Mama mukul Aruna?"
Aruna bingung, sedih, tidak tahu harus berbuat atau berkata apa. Gadis itu hanya duduk di sofa seperti tadi, menciut karena takut akan amarah mamanya.
Mama berdiri tegak dan menghadap papa. "Aruna udah berani melawan Mama, Pa."
"Benar itu Aruna?" Papanya beralih ke Aruna dan bertanya dengan lembut.
Aruna bingung. Haruskah dia menceritakan yang sebenarnya? Beranikah Aruna menceritakan segala keburukan mamanya? Belum sempat menjawab, Mama sudah lebih dahulu membuka suara.
"Mama nyaranin Aruna untuk ikut pelatihan mengajar, tapi ia malah membantah dengan kata-kata kasar." Aruna menatap Mama dengan tatapan tidak percaya. Mama berdusta agar Papa tidak marah.
"Nggak, Pa. Aruna nggak ada ngomong kasar," bantah gadis itu.
"Jangan bohong kamu. Lihat, Pa. Aruna udah berani bohong. Padahal mama kan menyarankan yang baik."
"Mama nyuruh Aruna buat resign dari Perpustakaan Lentera. Padahal Aruna baru aja kerja, dan tentunya nggak bisa main resign gitu aja," kata Aruna.
"Halah. Toh, kamu juga cuma kerja paruh waktu. Mama bisa kok bantu bicara ke Bu Fitri," sahut Mama dengan nada mencemooh.
"Aruna benar, Ma. Walaupun cuma pekerja paruh waktu, kita nggak bisa seenaknya resign," ujar Papa.
Mama berdecak. "Terus pelatihannya gimana? Penting, lho, untuk jurusan Aruna yang juga pendidikan."
"Aruna baru semester dua. Pasti akan ada kesempatan lainnya. Dan Mama harusnya juga tanya dulu ke Aruna apakah dia mau atau nggak. Kita nggak bisa memaksa kehendak kita ke anak, Ma," Papa menjelaskan dengan sabar. Aruna sedikit lega karena papanya mengerti dan tidak memaksa gadis itu untuk tetap mengambil pelatihan tersebut.
"Kamu selalu aja berpihak sama Aruna. Makanya dia jadi manja," komentar Mama pedas sambil berlalu, meninggalkan Aruna dan Papa di ruang keluarga.
Papa menatap Aruna dengan sedih. "Kamu nggak apa-apa, Na?" Aruna hanya mengangguk kecil.
"Kamu nggak harus ambil pelatihan itu. Seperti yang Papa bilang, kamu masih semester dua. Nilai-nilai kamu juga bagus. Nikmati aja perkuliahan kamu dan tetap fokus. Jangan lupa senang-senang juga saat kerja di Perpustakaan Lentera," kata Papa sambil tersenyum, membuat Aruna tersenyum juga.
"Papa mau ambil dokumen yang tertinggal di ruang kerja. Sekalian mau menenangkan Mama kamu," kata Papa. "Gimana kalau kamu yang ambil dokumennya, Na? Ada di laci pertama meja kerja Papa. Map plastik warna biru."
"Oke," jawab Aruna. Ia merasa lega karena papa datang dan menginterupsi mama yang hendak main tangan. Sejujurnya, Aruna akan lebih menyukai gagasan kalau papa selalu berada di rumah. Tapi karena tuntutan pekerjaan, beliau tidak bisa selalu berada di dekat Aruna. Dan tidak adil rasanya kalau Aruna meminta papa untuk tetap bekerja di Pekanbaru sementara papa sudah berusaha sangat keras untuk mencukupi kebutuhannya. Jadi, tak mengapa kalau Aruna harus menghadapi mama seorang diri, asalkan ia tahu kalau papannya akan selalu berada di pihaknya.
Sekitar lima belas menit lamanya papa berbicara dengan mama di kamar mereka. Sesekali terdengar nada suara mama yang meninggi, tetapi Aruna tidak bisa mendengar jelas apa yang kedua orang tuanya bicarakan. Saat keluar kamar, wajah papa terlihat lebih kusut dari sebelumnya. Beliau meminta Aruna untuk ikut mengantarkan dokumen tersebut ke mobil. Aruna melihat ke belakangnya. Mama tidak ikut mengantar papa.
Di mobil, papa tiba-tiba berkata, "Na, kamu harus jujur sama papa." Perkataan itu membuat Aruna meremas map dokumen sedikit lebih keras. Aruna tidak menyukai arah pembicaraan papa.
Papa menatap Aruna dengan serius. "Apa mama sering main tangan ke kamu, Na?"
Aruna menelan ludah. Keringat mulai muncul di keningnya, padahal AC mobil papa hidup. Ia harus jawab apa?
Aruna menggeleng. "Nggak, Pa." Ia berbohong. Ada perdebatan sangat hebat di kepala Aruna akan keputusannya untuk berbohong saat ini. Apakah ini pilihan yang tepat? Tanya Aruna dalam hati.
Papa menatap anak bungsunya dengan skeptis. "Kamu nggak bohong, kan, Na?" Papa bergeser sedikit di kursi pengemudi. "Kamu tahu, kan kalau kamu bisa cerita apa aja ke Papa?" kata Papa lembut.
Aruna menatap ke rumah, tepatnya di jendela kamar mamanya yang menghadap ke luar. Mama pasti tahu kalau Aruna dan Papa sedang berbicara berdua. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi jika Aruna jujur pada papa?
"Aruna, dengerin Papa," kata Papa serius. "Melihat betapa mudahnya mama kamu melayangkan tangan ke kamu tadi, Papa curiga kalau ini bukanlah pertama kalinya." Aruna menelan ludah. Papanya benar.
"Kalau ternyata mama kamu sering main tangan ke kamu, kamu harus bilang sama Papa, Na," pinta papanya.
Aruna masih tidak menjawab. Papa mengulurkan tangan dan memegang bahu putrinya. "Papa tanya sekali lagi. Dan Papa tahu ini nggak mudah bagi kamu. Apa Mama sering main tangan ke kamu, Na?"
Aruna merasa seperti ada sesuatu yang mencekik lehernya. Nafasnya tertahan. Keringat dingin mengalir di keningnya. Haruskah ia jujur saat ini?
"Mama kamu bukan orang paling baik di dunia ini ke kamu, Na. Papa paham hal itu. Papa tahu kamu takut sama mama kamu. Tapi kamu harus jujur. Demi kebaikan kamu."
Aruna tahu ia akan menyesali hal ini. "Nggak, Pa. Mama mungkin tadi cuma terbawa emosi aja," kata Aruna pelan. Alasannya mengatakan hal itu adalah karena mama sedang menatapnya dari jendela kamar. Aruna takut apa yang akan menantinya ketika ia mengaku, dan saat papanya sudah pergi, dan hanya ada dirinya dan Mama.
Papa terlihat kecewa, tapi tidak mendorong Aruna untuk mengatakan sesuatu lebih lanjut. "Kamu harus lapor ke papa kalau mama kamu berani mengangkat tangan buat mukul kamu. Nggak. Kalau mama kamu marah sampai histeris, kamu juga wajib lapor ke papa. Kamu ngerti, Na?"
Aruna mengangguk patuh. Papanya bertanya soal tablet gadis itu. Ternyata Mama juga berbohong dengan mengatakan tablet Aruna rusak karena jatuh. Aruna lagi-lagi mengiyakan. Papa berjanji akan segera membelikan tablet yang baru. Tanpa diketahui Aruna, tablet tersebut akan selalu berada di tangan mamanya, kecuali jika berhubungan dengan tugas kuliah.
***
Kembali ke Perpustakaan Lentera, setelah menaruh surat untuk Gilbert, Aruna mencari tempat duduk yang nyaman. Sore ini ia datang sebagai pengunjung seperti biasa. Aruna membawa laptopnya dan memilih salah satu meja baca paling sudut. Mejanya hanya bisa diisi oleh satu orang. Merasa aman dan tidak ada seseorang yang memperhatikannya, Aruna membuka laptop dan memasang headphone.
Pagi tadi, Adam berkata bahwa ia telah meng-upload isi video call bersama Bu Desi ke Google Drive dan telah memberi akses pada Aruna agar bisa ikut menonton rekaman video call mereka. Aruna memang tidak bisa ikut video call sesuai janji, tapi telah memberi daftar pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Adam hari Sabtu yang lalu.
"Ikut nonton bareng aku, Dam, biar aku bisa langsung tanya ke kamu barangkali ada yang kurang jelas," ajak Aruna pagi tadi, setelah kelas pertama mereka berakhir.
"Pass. Pulang ini aku mau bantu mamaku, Na. Ada pesanan kue tradisional untuk acara kenduri. Biar bisa bantu-bantu sebelum kelas kita habis dzuhur nanti," kata Adam.
Aruna mengangguk paham. Meskipun sebenarnya Adam terlihat lebih lesu beberapa hari belakangan. Biasanya ia akan memancing emosi Aruna di kelas dengan membandingkan nilai tugas mereka, tetapi, sudah hampir seminggu belakangan Adam terlihat tak bersemangat. Aruna memutuskan kalau bisa jadi Adam hanya lelah. Kuliah dan membantu orang tua kan tidak bisa dianggap enteng.
Laptop Aruna kini tersambung saluran Wi-Fi Perpustakaan Lentera. Aruna membuka link Google Drive dan segera menonton video. Durasinya sekitar satu jam.
Telepon video Adam dan Bu Desi dibuka dengan salam, perkenalan, dan basa-basi seperti pada umumnya. Aruna tetap menonton setiap detiknya, mengamati wajah Bu Desi yang ternyata lebih ceria daripada yang terlihat di foto. Bu Desi berkata bahwa ia dan keluarga terpaksa pindah di bulan November 2020 karena sang suami pindah kerja ke Amerika.
Mengetahui bahwa sahabatnya telah berpulang, Bu Desi menangis tersedu-sedu. "Saya telat tahu beritanya. Waktu pindah, saya memang lost contact sama Sandrina." Bu Desi menyeka hidungnya dengan tisu. "Saya pernah kirim pesan ke dia di bulan Maret tahun 2021, tapi nggak pernah terkirim. Jadi saya pikir, Sandrina cuma sibuk. Dan saya nggak ambil pusing, karena kami memang jarang komunikasi lewat handphone. Lebih sering ketemu langsung."
"Kemungkinan besar... waktu Ibu mengirim pesan ke Tante Sandrina, beliau sudah nggak ada lagi di dunia ini, Bu," kata Adam pelan.
Tangis Bu Desi makin pecah. "Ya ampun, Sandrina. Malang sekali nasib kamu." Aruna ikut merasakan pilu yang dialami Bu Desi. Mata Aruna berkaca-kaca.
Bu Desi bilang ia tahu berita kematian Tante Sandrina dari ibunya. Adam bertanya kapan terakhir kali Bu Desi bertemu dengan Tante Sandrina.
"Bulan November itu kami masih bertemu, Adam. Saya beritahu dia kalau saya sekeluarga mau pindah. Sandrina sedih, tapi waktu itu dia juga tampak gusar. Jadi, saya tanya 'kamu ada masalah apa?'."
Adam menaikkan alis di video call tersebut. Begitu juga Aruna yang sedang menonton saat ini.
"Sandrina bilang, masalah laki-laki," kata Bu Desi. "Sandrina bilang dia memang lagi dekat dengan seorang pria. Udah dekat selama beberapa bulan. Dari bulan Juli 2020 kalau saya nggak salah." Bu Desi tampak berpikir.
"Ya, bulan Juli 2020," kata Bu Desi yakin. "Jujur, saya nggak suka. Karena pria ini udah beristri dan mempunyai anak. Saya marahi Sandrina waktu saya diberitahu soal ini." Aruna yang mendengar itu langsung lemas. Ternyata Bu Fakhira benar. Tante Sandrina menjadi simpanan pria yang sudah berumah tangga.
"Semenjak saya marahi, Sandrina jadi jarang cerita soal pacarnya itu. Tapi sering saya beri nasihat," tambah Bu Desi.
"Apa Ibu pernah diberitahu oleh Tante Sandrina nama pacarnya itu, Bu? Karena, polisi bilang nggak ada bukti kalau Tante Sandrina menjalin hubungan dengan seseorang," tanya Adam. Itu merupakan salah satu pertanyaan yang Aruna dan Adam ingin tanyakan.
Bu Desi menggeleng. "Sandrina nggak pernah bilang. Terakhir ketemu itu, Sandrina bilang pacarnya mau serius sama dia, tapi pria itu sendiri udah punya istri dan anak, jadi susah," ujar Bu Desi.
"Tapi, kamu bilang teman kamu ikut nonton rekaman video call kita ya, Adam? Dan kamu bilang teman kamu kerja di Perpustakaan Lentera?" Adam mengangguk. Di awal, Adam juga sudah izin pada Bu Desi agar percakapan mereka direkam. Selain karena Aruna ingin menonton, video ini juga bisa diserahkan ke kantor polisi untuk bahan bukti dan pihak berwajib bisa bertanya pada Bu Desi juga.
"Mungkin teman kamu bisa bantu cari tahu," kata Bu Desi. Aruna mengernyit tidak paham. Kata-kata Bu Desi selanjutnya membuat Aruna syok.
"Pacar Sandrina itu rekan kerjanya sendiri."
Similar Tags

