Loading...
Logo TinLit
Read Story - Reandra
MENU
About Us  

'KALA PULANG SEKARANG!'

'BUNDA GAK IZININ KAMU IKUT OLIMPIADE YA!'

Ponsel Kala tiba-tiba bergetar masuk sebuah panggilan dari Bunda. Kala meneguk ludah susah payah. Detak jantungnya menjadi tidak keruan. Ia memilin rok yang digunakan.

Banu yang menyadari ada hak yang tidak beres pada Kala lantas menanyakan kondisinya.

"Kal, are you okey?" ucap Banu ia meraih tangan Kala untuk menggenggam tangannya. Kala tidak menjawab.

Kala ingin sekali menangis saat itu juga, tetapi ia tahan. Karena sangat tidak mungkin. Kondisinya sekarang tidak berada di dalam kamar sendirian ia sedang berada di tempat umum. Di tempat ia mengikuti olimpiade. Mau sesakit apapun ia harus tetap menahan air mata.

Kala tidak ingin dilihat cengeng dan lemah oleh orang lain. Kala berusaha mengatur napas serta pikirannya supaya menenangkan ketakutan dan pikiran yang carut marut di dalam dirinya. Sementara Banu masih mengusap punggung tangan Kala. Menatap dengan penuh tanya.

"Bunda tau. Kalo aku masih nekat ikut olim," ucap Kala parau. Ekspresi Banu sangat terkejut mendengar perkataan Kala.

"Bunda tau dari, siapa?!" tanya Banu. Kala hanya bisa menggelengkan kepala.

"Ayo," Banu tiba-tiba saja berdiri dari tempat duduk.

"Mau ke mana?"

"Ayo, bilang Bu Loli. Kita pulang."

"Tap—" Banu menutup mulut Kala dengan jari telunjuk.

"Udah ayo. Jangan sampe lo kena marah."

Tanpa pikir panjang Banu pun berjalan sendirian menuju bangku pembimbing olimpiade tempat Bu Loli berada. Entah apa yang Banu katakan. Tapi pada intinya Bu Loli memperbolehkan Kala untuk pulang. Tapi, selesai Banu mengantarkan Kala pulang. Ia harus kembali lagi ke tempat olimpiade.

"Ayo Kal."

"Banu membawakan tas ransel milik Kala."

Ia kembali mengajak Kala. Berjalan keluar dari ruangan olimpiade. Banu izin pamit pada panitia. Ketika ingin izin pulang panitia sebenarnya tidak mengizinkan karena olimpiade belum selesai. Tapi, bukan Banu namanya jika tidak memiliki ide cemerlang sehingga Kala bisa ia antar pulang.

'Kak, maaf teman saya mau izin pulang. Soalnya kakeknya meninggal.'

Izin Banu pada salah satu panitia bermana Kak Arhan. Padahal kakek Kala sudah meninggal dua tahun lalu.

***

Kala menarik napas panjang. Semakin laju motor Banu mendekat menuju rumahnya. Detak jantung nya berdetak tidak keruan. Kala hanya bisa menatap kosong selama diperjalanan. Ada banyak hal-hal sekenario buruk yang bertebaran didalam pikirannya sekarang.

Motor Banu sudah berhenti tempat di depan rumahnya. Dan lagi-lagi Kala menarik napas panjang sebelum memutuskan untuk turun dari motor Banu. Usai Kala turun Banu mematikan mesin motor, ia turun dari motor.

"Ayo, gua temenin."

Seketika Kala menahan napas. Ia menggenggam tangan Banu seraya menggelengkan kepala kuat.

"Jangan... Jangan..."

"Gak apa-apa," ucap Banu.

Kala kembali menggeleng. Bulir air mata tiba-tiba jatuh dipelupuk mata Kala. Banu otomatis menghapus air mata Kala dengan punggung tangan nya.

"Semua akan baik-baik aja, Kal." ujar Banu menenangkan. Banu mengusap pucuk kepala Kala.

"Semoga..." lirih Kala. Ia mengeratkan genggamannya pada jaket denim yang Banu pakai.

Hampir sepuluh menit Banu memberikan usapan dipucuk kepala Kala untuk menenangkan Kala. Setelah itu, Kala yang meminta untuk menyudahinya karena Banu harus segera kembali ke tempat olimpiade.

"Makasih ya, Nu."

Kala berusaha untuk tersenyum. Banu memegang kedua Bahu Kala.

"Semangat!"

"Percaya sama gua. Semua akan baik-baik aja!"

Kala bekas air matanya. Ia mengangguk. "Makasih, ya." Banu tersenyum.

"Ya udah. Kalo gitu gua pamit ya. Takut Bu Loli nyariin."

"Kalo ada apa-apa bilang ke gua, ya." Banu kembalk mengusap pucuk kepala Kala.

"Baik-baik, ya! Gua pamit."

"Iya. Hati-hati di jalan. Dadah, jangan ngebut-ngebut. Kalo udah sampe kabarin ya." Banu hanya bisa tersenyum mendengar kata itu. Rasanya dijantung terasa 'nyes'.

Setelah itu, Banu menaiki motor. Menghidupkan mesin motor kemudian melajukan motor meninggalkan Kala yang masih berkecamuk. Kala menarik napas panjang usia menatap punggung Banu yang telah hilang dari pandangannya. Dengan langkah gontai Kala masuk ke dalam rumah.

Kala memasuki rumah dengan jantung berdebar tidak keruan. Dilihat Dalisha yang sudah berdiri di ruang tamu. Kedua tangannya melipst di depan dada. Raut wajah terlihat tidak baik-baik saja. Dilihat Aksa yang sudah duduk menunduk. Sudah dipastikan Aksa sudah mendapatkan omelan terlebih dahulu.

"DARI MANA KAMU?!"

Diam.

"DARI MANA?!"

Lagi-lagi Kala hanya bisa terdiam. Lidahnya terasa kelu untuk berkata.

 

PRANGG!!!

 

Salah satu guci keramik yang menjadi hiasan pecah berkeping-keping setelah Dalisha yang penuh emosi membanting guci tersebut.

"DARI MANA?!"

"PUNYA MULUT, KAN?!"

"JAWAB KALA! JAWAB!!" Senyap. Kala masih memilih bungkam. Bahkan matanya seakan tidak bisa diajak kerjasama. Kala menangis.

"KALA JAWAB PERTANYAAN BUNDA.... BUNDA GAK BUTUH TANGISAN KAMUU...!!!"

"EMANG NANGIS BISA MENYELESAIKAN MASALAH?!"

"KAMU LAPER MAKAN. BUKAN NANGIS KAN?!!'

"Da—"

"Dari tempat olimpiade, Bunda," lirih Kala.

"BAGUS! SIAPA YANG NGAJARIN KAMU HAH?!"

"Bunda... Kala capek, Bun.."

"Maaf, Bunda. Bisa ga marah-marahnya nanti. Kala capek abis olimpiade."

"Kamu? Capek?"

"Kamu capek ngapain? Kerja aja engga!"

"Maaf Bunda kalo Kala lancang. Tapi Kala izin mau ke kamar."

"KALA!! BUNDA BELUM SELESAI NGOMONG YA!!!!" Kala memilih untuk tidak menggubris perkataan Dalisha.

"KALA! BUNDA GAK BOKELIN KAMU SELAMA SEMINGGU MASUK SEKOLAH!!!"

Kala merosot terdududk di lantai kamar. Bersandar pada pintu kamar.

 

'Gak apa-apa, Bunda. Biar Kala bisa istirahat.'

'Kalo perlu selamanya. Kala cape.'

 

"Liat tuh adek kamu, Aksa!"

"Bilangnya belajar tapi malah pacaran!"

"Sekarang kabur dari rumah padahal udah Bunda larang!"

"Bunda ga habis pikir sama adek kamu!"

Kala menutup kedua telinganya. Suara itu cukup membuat kepala Kala pusing dan berputar. Ia menangis sejadi-jadinya. Kala sudah terlalu lelah. Sudah berniat untuk membangakan orang tua, tapi tidak pernah dihargai.

Disisi lain Aksa sedang berusaha untuk menenangkan sang Bunda. Ia mengusap punggung serta tangan Dalisha yang masih penuh emosi.

Aksa menarik napas panjang. Ia sedikit memijat pelipis kepala. Ia harus mencari tahu siapa seseorang yang sudah berani mengirim foto Kala sedang berurusan dengan Banu. Yang menimbulkan spekulasi yang tidak-tidak.

Kala sedang berusaha menenangkan pikirannya. Ia sudah cukup terlalu lelah dengan semua. Memendam segala emosi dan perasaan tidak dianggap.

***

Sore hari seperti malam minggu biasa Aksa bersantai pada balkon kamar. Sembari menikmati kopi hitam serta camilan yang ia ambil dari kulkas, entah milik siapa. Malam itu rumah sepi hanya ada dirinya dan Kala. Ayah bunda dan adik bungsunya sedang pergi ke rumah nenek.

Kala yang saat itu sedang tidak enak badan terbangun dengan napas tercekat. Keringat membanjiri pelipis. Ia pun duduk sembari bersandar pada sandaran tempat tidur. Ia berusaha mengatur napasnya yang terasa tercekik. Mengolesi minyak angin pada beberapa bagian ditubuhnya. Namun, terasa sia-sia.

Kala mencoba memejamkan mata, mengatur pikirannya supaya tidak anxienty. Sebab jika terjadi akan semakin parah keadaanya. Ia melakukan butterfly hug beberapa menit.

Memposisikan duduk senyaman mungkin. Melakukan tarikan napas melalui perut selama empat ketukan, menahan tujuh kali hitungan, dan membuang perlahan delapan kali ketukan. Kemudian, Kala mengusap-usap bahu dengan kedua tangannya.

"It's Okay Kala gak apa-apa. It's Okay.."

Setelah merasa sedikit membaik Kala bangkit dari tempat tidur dan keluar kamar untuk mengambil segelas air hangat.

Aksa melihat tubuh Kala yang seperti sempoyongan turun dari tangga. Ketika Aksa hendak meletakkan gelas kopinya.

"Udah enakkan badannya?" tanya Aksa. Bukannya menjawab pertanyaan Aksa. Kala justru hanya terdiam.

"Kal?"

Aksa pun meletakkan telapak tangannya pada kening Kala. Memeriksa apakah demamnya sudah turun atau belum.

"Kal? Lo kok diem aja?"

"Lo masih sakit?"

Kala tidak menjawab. Tiba-tiba saja ia kembali kesulitan untuk bernapas. Kala terbatuk-batuk napasnya pun berbunyi. Aksa kelimpungan dibuatnya.

"Lo—lo duduk.. Duduk dulu."

"Gua cari obat lo."

"O—obat gua abis." Aksa terlihat mengacak rambutnya.

"Ki—kita ke rumah sakit."

"Ia kita ke rumah sakit. Lo tunggu di sini. Gua ambil kunci mobil."

Dengan langkah terburu-buru Aksa masuk ke dalam kamar. Mengambil jaket Kala tidak lupa ia mengambil kunci mobil di dalam kamarnya. Setelah itu Aksa bergegas kembali pada Kala.

"Ayo... Ayo, gua gendong."

"Bisa jalan sendiri.."

Aksa tidak memedulikan protes Kala. Ia lantas mengendong Kala dan memasukkan ke dalam mobil. Tidak lupa mengunci pintu rumah bergegas membuka pagar. Masuk ke dalam mobil untuk mengeluarkan mobil kemudian keluar lagi untuk menutup pagar.

Diperjalanan Aksa terlihat kesetanan menyetir. Terlihat dari beberapa umpatan yang tidak terdengar tapi terlihat dari mimik wajah pengendara sepeda motor. Beruntung rumah sakit yang dituju tidak terlalu jauh dari rumah. Ketika sampai Aksa langsung mengambil kursi roda.

"Kenapa kak?"

"Tanya petugas resepsionis sebelum Kala tidur di bangsal."

"Sesak napas sus.."

Setelah mengatakan itu Aksa antas di arahkan untuk mengatur Kala tidur di atas bangsal yang kosong. Tidak lama dokter dan suster datang dengan Oximeter dan tensimeter.

Tingkat saturasi Kala cukup rendah sebebas 85 dan tensi darah pun 85. Dokter juga memeriksa suhu Kala yang cukup tinggi.

"Sesak banget dek?" tabya dokter. Kala hanya menganggu kak kepala.

"Demamnya dari hari apa?" tanya dokter pada Aksa.

"Dua hari yang lalu." Dokter hanya menganggukkan kepala.

"Tolong pasang oksigen ya sus. Abis itu ambil darah."

"Baik dok." Selepas itu dokter pun pamit bersama suster.

Tidak berselang lama suster memasang infus serta alat bantu napas berupa oksigen untuk Kala. Aksa berusaha menelpon Bunda tapi sejak tadi tidak ada jawaban.

"Bang, jangan bilang Ayah sama Bunda. Kalo aku masuk IGD lagi."

"Kenapa?"

"Nanti Bunda marah. Kalo tau aku sakit lagi."

"Tapi kalo Bunda gak dikasih tau. Bunda pas pulang ke rumah bingung nyariin kita," jawab Aksa.

"Ya udah, abang pulang aja. Biar kalo Bunda pulang ke rumah. Ada orang di rumah."

"Tapi jangan bilang kalo aku sakit. Bilang aku nginep di rumah temen"

Aksa menggeleng kuat sembari menggenggam telapak tangan Kala. "Engga. Abang tetep di sini."

"Tap—"

"Sst.. Udah. Kamu istirahat jangan banyak pikiran."

Aksa mengusap rambut kepala Kala. Mencoba menenangkan sebisa yang ia bisa. Aksa duduk di samping Kala. Kala, memegangi tangan kanan Aksa yang tidak mengusap kepalanya ia memegang erat lengan itu. Hingga tertidur pulas.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Senja di Balik Jendela Berembun
36      34     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Dolphins
643      407     0     
Romance
Tentang empat manusia yang bersembunyi di balik kata persahabatan. Mereka, seperti aku yang suka kamu. Kamu yang suka dia. Dia suka sama itu. Itu suka sama aku. Mereka ... Rega Nicholando yang teramat mencintai sahabatnya, Ida Berliana. Namun, Ida justru menanti cinta Kaisal Lucero. Padahal, sudah sangat jelas bahwa Kaisal mengharapkan Nadyla Fionica untuk berbalik dan membalas cintanya. Sayan...
Bintang Pelosok
478      341     0     
Short Story
Basyir seseorang anak yang tinggal dari desa yang begitu kecil dengan kehagatan. Memiliki ambisi yang begitu besar untuk memajukan desanya, yang terdapat cuma 1 sarana pembinaan dan pendidikan. akankah Basyir mewujudkan ambisinya tersebut bersama sahabat terbaiknya Haikal dan Bujang?
Untitled
507      290     0     
Romance
This story has deleted.
Tuhan, Inikah Cita-Citaku ?
4243      1748     9     
Inspirational
Kadang kita bingung menghadapi hidup ini, bukan karena banyak masalah saja, namun lebih dari itu sebenarnya apa tujuan Tuhan membuat semua ini ?
May I be Happy?
971      526     0     
Inspirational
Mencari arti kebahagian dalam kehidupan yang serba tidak pasti, itulah kehidupan yang dijalani oleh Maya. Maya merupakan seseorang yang pemalu, selalu berada didalam zona nyamannya, takut untuk mengambil keputusan, karena dia merasa keluarganya sendiri tidak menaruh kepercayaan kepada dirinya sejak kecil. Hal itu membuat Maya tumbuh menjadi seperti itu, dia tersiksa memiliki sifat itu sedangka...
Langit-Langit Patah
37      32     1     
Romance
Linka tidak pernah bisa melupakan hujan yang mengguyur dirinya lima tahun lalu. Hujan itu merenggut Ren, laki-laki ramah yang rupanya memendam depresinya seorang diri. "Kalau saja dunia ini kiamat, lalu semua orang mati, dan hanya kamu yang tersisa, apa yang akan kamu lakukan?" "Bunuh diri!" Ren tersenyum ketika gerimis menebar aroma patrikor sore. Laki-laki itu mengacak rambut Linka, ...
Da Capo al Fine
418      334     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
Ikhlas Berbuah Cinta
1598      981     0     
Inspirational
Nadhira As-Syifah, dengan segala kekurangan membuatnya diberlakukan berbeda di keluarganya sendiri, ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di pihaknya, sering 'dipaksa' mengalah demi adiknya Mawar Rainy dalam hal apa saja, hal itu membuat Mawar seolah punya jalan pintas untuk merebut semuanya dari Nadhira. Nadhira sudah senantiasa bersabar, positif thinking dan selalu yakin akan ada hikmah dibal...
STORY ABOUT THREE BOYS AND A MAN
15155      3010     34     
Romance
Kehidupan Perkasa Bagus Hartawan, atau biasa disapa Bagus, kadang tidak sesuai dengan namanya. Cintanya dikhianati oleh gadis yang dikejar sampai ke Osaka, Jepang. Belum lagi, dia punya orang tua yang super konyol. Papinya. Dia adalah manusia paling happy sedunia, sekaligus paling tidak masuk akal. Bagus adalah anak pertama, tentu saja dia menjadi panutan bagi kedua adiknya- Anggun dan Faiz. Pan...