Hembusan udara pagi yangterasa dingin menyentuh lembut wajah Andra saat ia melangkah memasuki ruang kelas yang masih sepi. Jam pada dinding menunjukkan pukul setengah enam, masih terlalu pagi jika berada di sekolah. Andra menghela napas pelan. Meletakkan tas ransel yang ia kenakan di kursi kemudian mendudukkan diri.
Matanya masih terasa berat sisa kantuk semalam masih bergelayut. Ia memutuskan untuk tidur sejenak sambil menunggu bel masuk berbunyi. Kepala Andra perlahan menunduk, bersandar pada lipatan tangan di atas meja. Suara kicau burung membuat pikiran Andra terasa tenang dan tidak lama ia tertidur.
Beberapa menit berlalu seseorang menepuk pundaknya. Andra yang saat itu masih dalam kondisi belum terlalu sadar menengadahkan kepalanya menyipitkan mata menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam mata. Perlahan ia melihat seorang siswa berdiri dihadapannya dengan baju tak beraturan.
Rambut siswa itu agak kusut, dasinya miring dan tidak lupa dengan lengan baju yang sengaja ia gulung. Andra tidak asing dengan sosok yang ada dihadapannya ini. Siswa itu duduk di sebelah Andra seenaknya dan langsung menaruh kedua kaki di atas meja. Menatap papan tulis kosong sambil mengigit tusuk gigi.
"Udah sembuh lo ternyata?" tanya cowok itu tanpa ragu.
Andra menarik napas dalam. "Mau ngapain lo ke sini?" tanya Andra ketus.
Cowok yang bernama Vandra itu tertawa sinis. "Lo amnesia ya? Lo punya utang sama gua! Gak mau lo bayar?!"
Andra mendengus batinnya terasa kesal namun, apa yang dikatakan Vandra benar. Ia mencoba menahan emosi.
"Gua gak lupa Van. Tapi ini sekolah, bukan tempat buat urusan kayak gitu."
Vandra menyeringai ia memindahkan tusuk gigi ke sisi lain mulutnya. "Justru karena ini sekolah. Lo gak bakal bisa kabur. Dan kalo lo gak bayar gua akan sebarin ke orang-orang kalo lo punya banyak utang tapi gak mau bayar-bayar!"
Andra menatap tajam ke arah Vandra. Ia tahu betul bagaimana anak itu. Sejak dulu ia terkenal dengan sebutan pembuat onar atau pembully yang suka menekan siswa lain.
"Gua bakal bayar gak akan kabur! Tapi gak sekarang, gua belum ada uangnya!" tekan Andra.
Vandra mencondongkan tubuh ke depan, wajahnya semakin dekat. Ia menarik kerah baju Andra tiba-tiba hal itu membuat Andra terkejut.
"Gua ingetin sama lo. Lo berurusan dengan orang yang salah!"
Andra terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Vandra yang tidak hanya berisi ancaman. Ada beban, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar balas budi.
"Lo nggak bisa terus-terusan maksa gue kayak gini," jawab Andra.
Ucapan tersebut sukses membuat Vandra naik pitam. Ia semakin mengeratkan kerah baju Andra hingga rasanya seperti tercekik. Andra terbatuk pelan, mencoba melepaskan cengkeraman Vandra yang semakin keras. Nafasnya terengah, namun matanya tetap menatap lurus tanpa gentar. Andra terbatuk ia mencoba melepaskan cengkeraman tangan Vandra yang semakin kuat. Napasnya seperti diujung tanduk. Namun, ia tetap berani menatap Vandra tanpa gentar.
"Lo pikir lo siapa ha?! Lo cuma pecundang yang suka numpuk banyak utang! Manusia gak punya masa depan!"
Kata-kata itu membuat sulutan emosi diri Andra. Ia menepis kuat tangan Vandra dengan sisa tenaga yang ada. "Gua bukan pecundang! Lo gak tau apa-apa yang gua alamin!"
Suasana ruang kelas yang semula sepi mendadak banyak bisik-bisik dan ramai. Beberapa siswa mulai memperhatikan bahkan sisa yang bukan dari kelasnya pun juga ada melihat dari jendela kelas. Mereka tahu dan melihat tetapi tidak ada yang berani ikut campur serta melerai. Karena jika mereka ikut campur bisa menjadi target berikutnya.
"Lepasin Andra! Jauh-jauh lo dari dia!"
Tubuh Vandra didorong mejauh dari Andra. Seorang gadis tiba-tiba masuk ke dalam urusan mereka tanpa takut. Wajahnya serius tatapannya menajam ke arah Vandra.
"Gua denger semuanya dan gak akan diem dengan apa yang udah lo lakuin ke sepupu gua!"
"Gak usah ikut campur lo!" jawab Vandra. Ia masih berusaha untuk menarik baju Andra.
Alea tak habis akal ia mengeluarkan ponselnya dan membuka kamera. Mengarahkan kamera tersebut ke wajah Vandra.
"Ayo sini kalo lo masih berani sama Andra!"
"Halo guys. Di sini gua dan sepupu gua lagi sarapan pagi tiba-tiba ada anak sok jagoan mau buat masalah sama sepupu gua. Dia tadi narik kerah baju sepupu gua terus sekarang dia masih gangguin gua," kata Alea dramatis sambil menunjukkan wajah Vandra dan mengarahkan kamera ke sekeliling kelas.
"Guys banyak yang liat kita tapi gak ada yang berani sama dia. Kalo ada yang berani bantuin kita mereka bakal jadi bahan olokan selanjutnya soalnya," lanjut Alea ia masih merekam wajah Vandra.
Vandra menghela napas kasar ia mengacak rambut kasar perlahan ia melangkah mundur. "Lo belum selesai sama gua!" katanya dingin, sebelum pergi begitu saja.
***
Perasaan Andra lega melihat Vandra pergi keluar ruang kelas. Beberapa siswa dan siswi yang menonton langsung memberikan jalan pada Vandra beberapa lainnya saling berbisik. Tak lama usai Vandra pergi mereka pun satu persatu kembali ke kelas masing-masing kembali dengan rutinitas mereka.
"Minum dulu," Alea memberikan satu botol air mineral yang kebekutan baru ia beli.
"Lo sama Vandra, ada masalah apasih? Kok lo gak cerita sama gua. Lo gak anggep gua ada dihidup lo?" protes Alea.
Andra menatap botol air mineral yang berada di meja kemudian menatap Alea. Untuk pertama kalinya ia baru merasakan apa itu namanya perhatian keluarga. Alea yang menyadari Andra terus menatap air mineral tanpa mau mengambilnya langsung menyodorkan air tersebut.
"Ini minum dulu. Abis itu lo harus cerita sama gua!"
Andra menerima botol itu tanpa ragu. Ditegurnya air itu, sedikit cukup meredakan tenggorokannya yang terasa perih akibat cengkeraman Vandra.
"Gua gak enak kalo cerita sama lo. Takut jadi beban ke lo."
Alea duduk di samping Andra yang kebetulan kosong karena teman sebangku Andra sedang sakit-Kala.
"Jangan ngomong kaya gitu ih! Kita sodara jadi harus saling bantu, bagaimana pun kondisinya."
Andra mengangguk pelan, perasaanya mulai terbuka sebab percaya dengan Alea. Ia mulai bercerita tentang awal mula ia mempunyai utang pada Vandra, tentang Cakka yang mengambil uang tabungannya dan tentang semua utu yang membuatnya merasa terpojok.
"Gua sebenarnya gak mau lu ya utang sama orang. Tapi, keadaan yang buat gua begini."
"Gua butuh uang buat bayar SPP sama buku LKS yang nunggak. Tadinya gua udah punya uangnya tapi, uang gua diambil Cakka. Karena gua gak tau lagi harus pinjem kemana jadi gua terpaksa pinjem ke Vandra."
"Gua mau pinjem Banu tapi gak enak dia juga lagi ada masalah. Mau pinjem lo gua gak enak sama keluarga lo. Soalnya Bunda sama Om selalu bantuin gua." Alea mendengarkan Andra tanpa memotong pembicaraan dan menghakimi.
"Vandra gak bisa kaya gitu pakai masalah lo buat senjata. Lo harus lapor ke guru BK atau ke Bu Loli," cetus Alea menggebu.
"Jangan gua gak mau masalah ini semakin melebar. Kalo gua lapor BK gua takut bukan gua aja yang kena tapi lo juga."
"Tapi kalo lo gak lapor Vandra bisa semakin menjadi. sekolah harus jadi tempat yang aman buat semua siswa," pungkas Alea.
Andra menggeleng pelan. "Al, izinin gua buat selasain ini sendiri ya gua yakin gua bisa."
Alea menarik napas panjang, lalu menghembuskan pelan. "Oke kalo itu yang lo mau. Gua cuma bisa setujuin. Tapi kalo lo butuh bantuan jangan sungkan buat bilang ke gua ya. Lo udah gua anggap seperti abang gua sendiri!"
"Terima kasih, Alea," ujar Andra perlahan, suaranya penuh kehangatan. "Karena sudah ada di sini, di saat gue merasa begitu asing dengan dunia."
Alea tersenyum, mengangguk pelan. "Tidak perlu terima kasih. Kita semua punya tempat di dunia ini dan kebahagiaan. Kadang-kadang kita hanya perlu sedikit waktu untuk menemukannya."