Andra menghembuskan napas usai Cakka keluar dari kamarnya. Ia segera membuka selimut yang berada si atas tempat tidur dan membantu Banu untuk keluar dari kolong tempat tidur.
"Gila!"
"Gak nyangka gua sama Abang lo. Segitunya sama uang?"
"Apa dia punya utang?" tanya Banu penasaran.
"Entah."
"Kalau dipikir-pikir menurut gua si gitu. Orang yang punya utang bakal cari uang bagaimana pun caranya!"
"Ah!" Banu menjentikkan jari. "Atau mungkin dia diporotin sama pacarnya!"
Kali ini Andra yang mengernyit bingung. "Kok gitu?"
"Mungkin pacarnya matre. Jadi dia berusaha untuk cari uang yang banyak buat nyenengin cewek itu!" Semua perkataan Banu menjadi asumsi bagi Andra kini.
"Oh iya!"
"Lo gak mau gua anter ke rumah sakit? Berobat gitu? Gua khawatir sama lo, muka lo pucet banget soalnya," kata Banu.
"Engga. Gua gak apa-apa. Kan lo udah beliin gua obat yang biasa gua minum, jadi gua pasti cepet sembuh kok jangan khawatir."
Banu menarik napas kemudian menghembuskan pasrah. Selalu saja susah membujuk Andra untuk berobat jika sedang sakit. Sudah dipastikan alasannya karena ia tak ingin merepotkan orang lain. Padahal Andra sudah ia anggap seperti saudaranya sendiri.
"Ya udah kalo gitu gua mau pamit. Jangan lupa diminum obatnya sama makan. Tuh udah gua beliin camilan biskuit banyak."
"Iyaa. Tenang.. Tenang.."
"Oh iya sebentar jangan keluar dulu. Biar gua cek di cctv apa Abang gua udah pergi dari rumah atau belum. Kalau belum nanti lo dibegal sama Abang gua!"
Andra meraih ponselnya. Dan membuka cctv dari ponsel. Melihat keadaan rumah apakah masih ada Cakka atau sudah pergi dari rumah.
"Aman nih. Ayo gua anter ke bawah."
***
"Kalaa!!" teriak Banu dari lorong koridor yang sepi. Ia terlihat berlari dengan napas tersengal.
Kala menghentikan langkah sesaat usai melihat Banu. Ia mengangkat sebelah alis, terheran-heran.
"Kenapa"
"ANDRAA.."
"AND—" Banu terlihat menghentikan perkataanya ia masih berusaha mengatur napas.
"Andra kenapa??" Kala ikut terlihat panik usai melihat raut wajah Banu yang panik.
"Andra, asam lambungnya naik dan sekarang dia lagi sesak napas. Kita harus cepatan ke rumah Andra" Banu menarik lengan Kala. Kala berusaha menghentikan langkah.
"Ayo kal, kita ga ada waktu lagi."
"Kita mau ke mana?"
"Ke rumah Andra, Kala. Ke rumah Andra!"
"Iya aku tau. Tapi tas kita gimana? Ini masih jam sekolah," ucap Kala yang membuat Banu otomatis menghentikan langkah.
"Ikut gua."
Mereka pun berlari ke ruang guru. Bertemu dengan Bu Loli yang merupakan wali kelas Andra sekaligus wali kelas Kala. Beruntung saat mereka ingin menemui guru tersebut. Ia sedang berada di lorong kelas. Tanpa menunggu lama Banu pun memberikan penjelasan terhadap Bu Loli mengenai keadaan Andra.
Usai mendengar penjelasan Banu—Bu Loli langsung memberikan izin kepada Kala dan Andara. Mereka pun dengan cepat berpamitan pada Bu Loli dan mengambil tas yang masih berada di dalam kelas.
Mereka seperti dikejar oleh waktu. Selepas mendapat izin oleh guru piket dan Bu Loli. Banu pun mengendarai motor nya dengan kecepatan penuh. Seperti tidak ingat bahwa ia sedang membawa Kala di belakang boncengannya.
Rambut Kala yang terurai terlihat menjadi berantakan akibat aksi Banu yang mengendarai seperti ingin membawanya ke alam baka. Mau tidak mau Kala bersusah payah merapikan rambutnya supaya tidak semakin kusut dan semerawut. Lampu merah yang seharusnya Banu patuhi justru ia langgar. Separah itu kah kondisi Andra?
Dua puluh menit berlalu. Pada akhirnya Kala bisa bernapas lega, sebab Banu mengakhiri aksi ugal-ugalan nya. Kala kemudian merapikan rambutnya dan turun dari motor Banu perlahan. Sedangkan Banu lantas langsung berlari masum ke dalam rumah Andra.
Melihat tingkah Banu, Kala menjadi semakin khawatir dengan keadaan Andra. Andra sakit apa? Apa sakitnya parah?
Dengan jantung berdebar dan perasaan tidak keruan. Kala masuk ke dalam rumah Andra.
"Kala.. Kala, bantuan gua angkat Andra!" teriak Banu yang sudah membantu Andra turun dari lantai dua.
Kala yang terkejut lantas menuruti saja perintah Banu. Setelah melakukan apa yang diperintahkan Banu. Kala pun duduk di samping Andra yang wajahnya terlihat sangat pucat. Dengan napas yang tersengal-sengal.
"Dompet lu di mana cuy? Kartu...kartuansi lu, mana?!" pungkas Banu yang terlihat panik ditambah Andra yang semakin terlihat kesulitan bernapas.
Kala pun buru-buru ke dapur untuk mengambilkan segelas air panas untuk Andra. Barangkali bisa untuk meredakan sesak bapas yang Andra rasakan. Dengan cara menghirup uap nya.
Ditengah kepanikan Banu melihat kunci mobil yang berada di meja ruang tamu. Ia mengambil begitu saja kunci tersebut mencoba membunyikan remot mobil dan mobil yang terparkir di garasi pun beebunyi. Banu memastikan apakah ada Ayahnya andra atau Cakka di dalam rumah dengan berteriak. Namun, tak ada jawaban.
"Kalaa.. Kal..."
"Ayo... Ayo... Bantuin gua bawa Andra ke dalam mobil."
Banu sudah terlebih dahulu mengambil alih lengan Andra untuk membopongnya. Kala pun segera mengikuti. Saat telah sampai Banu memasukkan Andra ke dalam mobil sementara Kala berlari ke arah pintu gerbang untuk membuka gerbang rumah Andra.
Mobil milik Andra sudah melaju keluar gerbang. Kemudian, Kala cepat-cepat menutup kembali pintu gerbang rumah Andra. Dan masuk ke dalam mobil. Beruntung jalanan lengang. Sehingga Mobil melesat dengan kecepatan kilat.
Ketika sampai di depan UGD. Kala langsung saja meminta tolong pada satpam untuk membantu menurunkan Andra yang sudah terlihat semakin pucat pasi. Satpam tersebut pun mengambilkan brankar yang tersedia di depan pintu UGD. Dengan tubuh yang lemah Andra berusaha untuk menaiki brankar tersebut.
Tanpa banyak waktu Andra pun langsung dirangani oleh dokter yang berjaga. Kebetulan juga saat itu UGD sedang sepi, oleh sebab itu Andra mendapat pelayanan yang cepat.
Takut, gugup, dan cemas itu yang sekarang Kala rasakan melihat kondisi Andra. Bagaimana pun setidak dekat apapun Kala dengan Andra tetap saja ia termasuk orang pertama yang tahu kondisi Andra.
Banu tersenyum menghampiri Kala. Yang sedari tadi sudah menunggunya di loby rumah sakit. Ia baru saja mengantarkan Andra ke kamar untuk opname selama beberapa hari ke depan.
"Kalaa."
Banu langsung duduk di samping Kala. Ia sedikit mengatur napasnya.
"Ayo, gua anter lo pulang." Kala menoleh ke sumber suara.
"Tapi, Andra gimana?"
"Udah mendingan. Tapi kemungkinan dia di opname selama seminggu."
"Terus yang jaga Andra siapa?" tanya Kala khawatir.
"Kita nitip suster dulu. Nanti gua ke sini lagi naik motor buat jaga Andra," jelas Andra berusaha menenangkan Kala.
Kala hanya menganggukkan kepala. Ia sebenarnya ingin melihat kondisi Andra. Tapi mengingat saat wajah pucat Andra sebelum ke rumah sakit ia jadi teringat kembali. Membuatnya belum berani untuk melihat kondisi Andra yang sekarang.
Setelah memberi penjelasan pada Kala. Pertanyaan yang selama ini ada di dalam kepala Kala pun akhirnya hilang. Kalau dilihat antara Kala dan Andra mereka adalah dua sosok yang hampir sama. Sosok yang butuh kasih sayang dan perhatian yang lebih.
"Ayo, gua anter lo pulang. Tapi sebelum pulang kita makan dulu ya? Lo pasti laper kan?"
Banu pun beranjak dari tempat duduknya dan merangkul bahu Kala keluar menuju parkiran. Sedang kan Kala merasa gugup sebab ini pertama kalinya ia dirangkul oleh seseorang.
Ketika tiba di parkiran mobil, Banu lantas membuka kan pintu mobil supaya Kala lebih mudah untuk masuk ke dalam mobil. Tidak lupa juga Banu memberi bantalan telapak tangan tepat di pucuk kepala Kala, agar kepala Kala tidak terantuk mobil. Dirasa Kala sudah nyaman dengan posisi duduknya. Ia pun lantas menutup pintu mobil.
Banu pun berlari kecil menuju pintu pengemudi. Membuka pintu dan masuk ke dalam. Ia sedikit menarik napas sebelum menghidupkan mesin mobil kemudian menjalankan perlahan.
"Banu?"
Banu yang fokus menyetir mobil menoleh ke arah Kala.
"Iya, kenapa?"
"Itu di depan ada polisi," ujar Kala khawatir.
Banu terlihat mengerutkan kening sedang berpikir keras. Ia terlihat merogoh saku celana seragam nya. Belum sempat mencari apa yang sedang ia cari. Seorang polisi sudah meminta Banu untuk menepikan mobil.
Tanpa banyak kata Banu menghentikan laju mobil. Kemudian, mengambil tas sekolah yang berada di tempat duduk belakang. Banu membuka pintu mobil dan turun. Sementara Kala terlihat memainkan kuku jari, ia terlihat cemas.
Hampir lima belas menit berlalu akhirnya Banu kembali masuk ke dalam mobil. Kala menatap Banu dengan penuh tanda tanya.
"Tenang, aman." Banu menunjukkan kartu SIM yang ia pegang seraya tersenyum pada Kala.
Kala menghembus kan napas lega, kini raut wajah Kala menjadi lebih tenang.
"Jadi makan kita?"
"Em—" Kala melirik ke arah jam tangan yang ia kenakan. Terlihat sudah pukul empat sore.
Banu memandangi wajah Kala. Senyum Banu memudar saat Kala memandangi jam dipergelangan tangan nya. Dan tanpa Kala berkata Banu sudah paham apa yang akan Kala katakan selajutnya. Tanpa pikir panjang Banu pun memutuskan sendiri.
"Em.. Kayak ya lain kali ya, Kal?" Kala bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin ia menjawab dengan penolakan.
"Oke, gak apa-apa. Masih ada hari lain." ucap Banu kemudian ia kembali tersenyum manis pada Kala.
Kala lega mendengar jawaban dari Banu cowok itu seakan paham tanpa harus Kala berkata dan mencari alasan tanpa menyakiti hati. Pembicaraan mereka berhenti seketika.
Waktu lima belas menit terbilang cukup cepat. Pada akhirnya mobil yang ditumpangi Banu dan Kala telah sampai tujuan.
"Aku nunggu kamu selesai balikin mobil Andra aja baru aku pulang." Banu menggelengkan kepala.
"Lo belum pulang daritadi. Takut ortu lo nyariin. Gua gak apa-apa kok sendiri."
"Kal. Percaya sama gua."
Kala tak bisa menolak Banu akhirnya ia memutuskan untuk menuruti perintah Banu.
"Aku duluan ya. Makasih, hati-hati di jalan nanti." Andra mengangguk da tersenyum pada Kala.
Banu kemudian menutup pintu mobil dan membuka pintu gerbang dan masuk ke dalam rumah . Ia pun menuju rumah Andra. Untuk mengembalikan mobil Andra ke dalam garasi rumah.