Andra berlari keluar mengejar Cakka. Namun, Cakka sudah pergi entah kemana. Dari kejauhan ia melihat Banu mengendarai motor. Tanpa pikir panjang Andra menutup pintu gerbang rumah. Ia berlari ke arah Banu. padahal Banu bisa saja menghampiri Andra tetapi justru Andra yang berlari menghampiri Banu.
"Nu! Tolongin gua!"
"Puteri balik! Puter balik!!"
Banu yang kebingungan dengan ucapan Andra hanya bisa menurut tanpa protes. Ia segera memutar motor saat hendak melaju Andra meminta berhenti.
"Pindah belakang lo. Biar gua yang nyetir," pinta Andra. Banu lagi-lagi hanya bisa menurut.
Banu yang tak mengerti, hanya bisa menurut tanpa protes. Ia segera bergeser ke belakang, memberikan kendali penuh pada Andra. Andra segera naik ke motor Banu tanpa banyak bicara. Hanya ada ketegangan di wajahnya. Mereka melaju dengan kecepatan tinggi, angin menghempas wajah mereka, tetapi ada sesuatu yang membuat Banu semakin bingung.
"Ada apa sih sebenarnya?" tanya Banu bingung.
"Lo ngejar apa?"
"Cakka. Gua ngejar dia."
"Cakka?" tanya Banu heran, sebab yang Banu tahu Cakka bukannya sedang kuliah di Bandung.
"Kenapa lo ngejar dia?" tanya Banu kembali. Sungguh ia penasaran melihat sahabatnya itu seperti kesetanan.
"Dia—" Gantung Andra. Ia bingung harus bercerita pada Banu tentang masalah ini atau tidak. Tapi Banu adalah sahabatnya.
"Cakka, nyuri uang buat bayar LKS dan tabungan gua untuk kelas dua belas nanti." Banu tercengang dibuatnya.
"Gila! Kok bisa sih?!"
"Entah. Gua juga gak tau kenapa. Mungkin dia lagi butuh uang. Tapi gua gak tau uang nya untuk apa."
Disisi lain di dalam rumah yang sepi ketika Andra dan Banu sedang mengejar Cakka. Justru seseorang itu berada di dalam rumah. Ia masih berusaha membuka pintu kamar Bara—papa nya. Cakka melihat ada satu kunci lagi yang tergantung menyatu dengan kunci kamar Andra. Tanpa pikir panjang ia mencoba kunci itu dan ternyata berhasil untuk membuka pintu kamar Bara.
Cakka pun bergegas masuk ke dalam kamar dengan hati-hati, matanya berpindah-pindah, mencari sesuatu. Memeriksa lemari milik Bara. Mencari tambahan uang, padahal ia sudah mengambil uang milik adiknya sendiri. Tapi ternyata uang itu tidak cukup bagi Cakka.
Uang itu hanya untuk sementara, sedangkan kebutuhan lain terus menghantui pikirannya. Ia mencari-cari lemari di dalam kamar Bara, berharap ada lebih banyak uang yang bisa ia ambil.
Saat sudah mendapatkan apa yang ia ingin kan Cakka pun langsung bergegas pergi. Ia si dah mendapat amplop coklat yang di dalam nya berisi uang entah berapa jumlahnya tapi sepertinya cukup untuk biaya hidup selama satu bulan membayar keperluan kuliah dan pastinya memberikan hal-hal yang pagar nya sukai.
"Lama banget lo!" ujar Felix teman nya yang sudah menunggu di depan gerbang rumah. Yang Andra kira ia adalah Cakka.
"Sorry."
"Aman lo tadi?" tanya Cakka penasaran.
"Tenang aman. Gua kan jago menghindar dari adek lo. Udah ayok buruan. Ke buru adek lo balik, bisa mati di tempat kita!" Cakka menurut ia langsung mnaiki motor Felix dan motor itu langsung tancap gas cepat.
Lima menit setelah Cakka pergi. Bara pun datang dengan mobil putih inova. Ia mengklakson mobilnya keras supaya Andra bisa mendengar dan membuka kan pintu gerbang untuknya. Tapi, sudah beberapa kali ia membunyikan klakson tidak ada pergerakan dari Andra dan rumah terlihat sunyi dan seperti tidak berpenghuni.
Bara mulai merasa jengkel. Ia memutuskan turun dari mobil dan membuka pintu gerbang sendiri. Memasukkan mobil ke dalam halaman rumah dan menutup kembali gerbang. Langkah Bara kemudian terarah ke dalam rumah. Ia langsung menuju kamar, tempat di mana Andra biasa berada. Namun ia tidak menenemukan juga keberadaan Andra.
Bara pun memutuskan untuk masuk ke dalam kamar nya. Saat ingin mengambil kunci kamarnya sebuah kunci sudah tergantung di sana. Bara sungguh heran ia lantas memegang knop pintu kamar dan didapati pintu kamar ya yang tak terkunci.
Ketika membuka pintu kamar, sebuah pemandangan yang mengejutkan langsung menyambutnya. Pintu kamar yang biasanya terkunci rapat, kali ini tidak terkunci. Tak hanya itu, kondisi kamar yang biasanya rapi kini berantakan. Kasur yang terlipat tidak pada tempatnya, beberapa buku berserakan di lantai, dan lemari terbuka dengan beberapa pakaian tergantung sembarangan.
Bara segera mencari-cari Andra di seluruh kamar, berharap menemukan anaknya di sana. Namun, tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Semua barang yang ada di kamar justru membingungkan pikiran Bara. Ia bergegas memeriksa ruangan lain di rumah, tetapi tetap tidak menemukan Andra.
Dengan hati yang semakin gelisah dan amarah Bara mengeluarkan ponselnya dan mencoba menelepon. Namun, telepon itu hanya berdering panjang, tanpa ada jawaban dari Andra. Baru kali ini, Bara merasakan ketakutan dan ga arah yang mendalam. Perasaan cemas bercampur marah membuat darahnya mendidih. Apa yang terjadi dengan anaknya? Kenapa ia tidak ada di rumah?
Bara pun turun ke lantai satu ia duduk di sofa ruang tamu, matanya terpaku pada layar ponselnya. Pikiran-pikiran kacau muncul begitu saja, meracuni hatinya. Andra, yang biasanya tidak pernah pergi begitu saja tanpa memberi kabar, kini hilang tanpa jejak. Tidak lama Bara Mendengar suara seseorang sedang berbincang di depan rumahnya. Ia langsung menuju arah suara dari terus rumah Bara melihat Andra ada perkataan lega ketika melihat anaknya dalam keadaan baik-baik saja.
"Makasih ya Nu, lo udah bantuan gua. Meskipun Cakka gak ketangkep."
"Oh iya, tadi lo ada perlu apa ke rumah gua?"
Banu mengaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia ingin bilang jika bukunya tertinggal di kamar Andra dan berniat mengambilnya. Tetapi melihat Bara. Banu mengurungkan niatnya, sebab dari raut wajah Barang, Banu anak cowo itu tahu bahwa sedang ada sesuatu yang tidak baik-baik saja.
"Engga ada. Gua cuma mau jalan-jalan aja dan kebetulan lewat rumah lo. Ya udah kalo gitu gua balik dulu ya?"
"Oke. Makasih ya sekali lagi."
"Santai aja kaya sama siapa," pungkas Banu. Selepas itu ia menyalakan mesin motor dan melaju meninggal rumah Andra.
Sesudah kepergian Banu. Andra pun masuk menuju halaman rumah ia terhetan-heran melihat Bara berada di halaman rumah menatap nya.
"Papa?"
Andra hendak bersalaman dengan Bara akan tetapi tangannya ditepis kasar oleh Bara. Ia spontan melarik lengan Andra dengan kasar menuju kamar nya.
"Liat! Liat Andra, kenapa bisa begini?!"
"Apa yang kamu lakuin sama kamar Papa!" teriak Bara penuh emosi.
Andra tak bisa menjawab karena ia sendiri tidak tahu mengapa kamar Bara bisa seperti itu. Seingat Andra ia sudah mengunci pintu rumah dan gerbang sebelum pergi mengejar Cakka. Andra merogoh saku seragam yang masih ia kenakan. Dan benar di sana masih ada kunci rumah. Lalu siapa yang melakukan ini?
Bara kesal melihat Andra tidak merespon dirinya ia menampar Andra.
"Bu—"
"Bukan Andra yang melakukan ini, Pa."
"Bukan Andra yang ambil uang Papa."
"Mungkin uang Papa diambil sama Cakka. Cakka juga ambil uang Andra, Pa."
Bara tidak mengubris perkataan Andra. Ia justru mengambil ikat pinggang dan manyuruh Andra untuk duduk berjongkok memungunginya. Kemudian sesudah itu ia melayangkan ikat pinggang itu ke punggung Anda. Pukulan demi pukulan Andra terima tanpa bisa mengelak. Ia ingin menangis tetapi Bara pasti tidak menyukai hal itu. Jadi Andra memilih menahan tangisan itu dengan mengalihkan mencengkram erat baju seragamnya. Pedih dan perih itu yang kini Andra rasakan.
"UANG PAPA HILANG!! PASTI KAMU YANG AMBIL KAN?!"
"ANAK TAHU DIUNTUNG!"
"PANTAS SAJA MARA TIDAK MAU MENGURUSI KAMU LAGI!"
"ANAK KURANG AJAR!"
Pekikan suara emosi terus mendengung di telinga Andra batin nya terlambat sakit dan tersayat dengan semua ini. tidak pantas kan ia layak untuk bahagia? Dan mendapat ia dilahirakan di dunia ini jika hanya rasa sakit yang ia rasa?