Reandra pulang ke rumah tubuhnya hari itu merasa lelah. Untuk kali ini ia terhindar dari masalah, namun ia terpikirkan akan nasib teman-teman nya yang di bawa oleh satpol PP. Ia memijat pelipisnya kepalanya merasa pusing memikirkan kemungkinan-kemungkinan hukuman yang akan diberikan pada teman-teman nya. Ia menatap langit kamar.
"Bagaimana kalau mereka diskors?"
"Bagaimana kalau mereka dihukum untuk memberikan sekolah selama satu bulan?"
"Atau bagaimana jika mereka dikeluarkan dari sekolah?!" Andra mengacak rambut frustasi.
Andra menarik napas panjang. Ia bangun dari tempat tidur untuk mandi tubuhnya sudah merasa tidak enak dan penuh keringat. Meski dengan perasaan malas mandi tapi ia harus tetap mandi. Ia mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi.
Di luar rumah datang seseorang berjaket hoodie hitam celana chino krem serta sepatu converse. Ia sedaritadi hanya memperhatikan rumah berpagar hitam dari luar seakan sedang memastikan keadaan.
Perlahan seseorang itu masuk ke dalam halaman rumah Andra. Sampai di depan pintu rumah ia memegang knop pintu yang ternyata terkunci. Seseorang itu berdiri sebentar di depan pintu, menatap knop pintu yang terkunci. Hatinya berdebar, seolah sedang memutuskan apakah harus melanjutkan atau mundur begitu saja. Langkah kakinya terdengar ringan, hampir tak terdengar.
Ia merogoh saku kantung hoodienya. Mencari kunci rumah yang ia ingat ia membawa nya. Tak lama mencari akhirnya kunci itu ia dapat kan dan pintu terbuka. Ketika masuk suasana rumah sepi sama seperti biasa saat ia masih tinggal di sini. Sebelum akhirnya pindah karena ia diterima melanjutkan pendidikan di universitas di daerah Bandung.
Ia datang ke rumah ingin menemui Bara—orang tua kandungannya. Berniat untuk meminta tambahan uang saku karena uang saku yang diberikan Bara bulan ini tidak cukup untuk satu bulan. Banyak tugas project kuliah yang membutuhkan biaya tambahan. Namun, Bara menolak tatkala ia meminta dengan baik via telepon minggu lalu. Jadi ia memutuskan untuk datang ke rumah. Mengambil diam-diam uang Bara.
Cakka menatap pintu kamar Andra yang tidak tertutup rapat. Akhirnya, Cakka memutuskan untuk melangkah ke kamar Andra. Suara langkah kakinya tidak terdengar oleh siapa pun, dan dalam sekejap, ia sudah sampai di depan lemari besar di kamar Andra. Ia membuka laci dengan hati-hati, takut jika suara laci yang terbuka bisa terdengar. Begitu menemukan amplop berisi uang di dalamnya, Cakka merasakannya di tangannya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu apa yang ia lakukan, dan ia tahu bahwa mengambil uang ini bisa berisiko besar jika sampai diketahui.
Perasaan kesal, cemas, dan tertekan membuatnya merasa harus melakukan ini. Uang itu bukan hanya untuk tugas kuliah, tetapi juga untuk menutupi rasa tidak aman yang terus menerus menghantui dirinya. Di satu sisi, ia merasa seperti mencuri, tetapi di sisi lain, ia merasa tidak punya pilihan.
Sebelum ia sempat menutup laci, suara langkah kaki terdengar dari pintu kamar mandi yang berada di dalam kamar Andra.. Cakka terkejut dan buru-buru menyembunyikan amplop itu ke dalam tasnya. Ia mengedarkan pandangan, dan merasa ketegangan yang semakin menebal. Langkah itu semakin dekat, dan Cakka bisa mendengar suara pintu yang perlahan terbuka.
Tiba-tiba, Andra muncul di ambang pintu, wajahnya terlihat terkejut mendapati Kakak nya berada di dalam kamar dengan éksprési wajah yang sedikit aneh.
"Cakka?" Andra menatapnya dengan bingung. "Lo kenapa di sini? Kok bisa masuk ke rumah?"
Cakka berdiri tegak, berusaha menutupi kegugupannya. "Eh, gue… gue cuma mampir sebentar, Andra. Mau ngobrol."
Andra mengerutkan kening. "Ngobrol? Lo datang ke sini tiba-tiba gini, terus masuk ke rumah tanpa izin. Lo ngapain, Cakka?"
Cakka merasakan dadanya berdebar lebih kencang. Ia berusaha tersenyum, meskipun rasa cemas sudah menyelimutinya. Andra yang merasa curiga dengan gerak-gerik Cakka langsung menyambar lengan Cakka. Amplop yang dipegang Cakka pun terjatuh. Dan detik itu juga Andra tecenggang melihat amplop uang tabungan untuk biaya buku pelajaran dan tabungan study tour kelas dua belas miliknya berada di tangan Cakka.
"Gue cuma butuh bantuan, Andra," jawabnya pelan, matanya berusaha menghindari tatapan adiknya.
Andra melangkah lebih dekat, menatapnya tajam. "Bantuan? Lo gak bisa asal masuk rumah gitu aja, Cakka. Dan kenapa lo ambil uang gua!"
Cakka tersentak, merasa terpojok. "Gue cuma—" Ia terdiam sejenak, memilih kata-kata yang tepat.
"Gue butuh uang, Andra. Bara gak mau kasih. jadi… gue coba ambil sedikit dari sini. Tapi gue nggak mau ganggu lo."
Andra terkejut. Ia memandang Cakka dengan ekspresi tersentak.
" Lo nggak bisa nyelesain masalah lo dengan cara kayak gini, Cakka!"
"Balik ia uang gua!" Andra berusaha merebut uang milknya kembali.
"Itu gabungan gua buat bayar LKS dan study tour!"
Kata-kata Andra seperti tamparan yang menyadarkan Cakka. Ia merasa salah, merasa cemas tentang apa yang baru saja ia lakukan. Sekarang, ia tahu bahwa dirinya telah melangkah terlalu jauh, dan tidak ada jalan mundur lagi. Andra mendekat, memandang kakaknya dengan penuh emosi.
"Gua butuh uang ini! Minggir!" cetus Cakka tanpa beban. Ia pun langsung mendorong tubuh Andra dengan kuat hingga ia terjatuh dan tubuhnya terkantuk kayu tempat tidur.
Cakka merasa bingung. Namun, di dalam dirinya, ada perasaan tak terungkap yang membuatnya bingung harus ke mana lagi.
Andra bangun perlahan mengerjar Cakka yang sudah jauh pergi dengan motor. Sekarang ia tidak tahu harus apa. Semua tabungannya sudah hilang dibawa Cakka. Sekarang ia hanya punya uang seratus ribu pemberian uang saku dari Bara untuk satu bulan. Andra meremas rambut dan perlahan air matanya pun jatuh.
Hidup ternyata begitu kejam pada dirinya.