Sepulang sekolah
"Terima kasih banyak, Pak Joko!" seru Fira riang begitu Pak Joko, sopir keluarga yang selalu setia menjemput dan mengantarnya, membukakan pintu mobil jemputan berwarna biru langit.
"Sama sama non,"jawab pak Joko.
Senyum Fira merekah cerah, memperlihatkan lesung pipit kecil di pipi kanannya. "Hati-hati di jalan ya, Pak Joko!" lanjutnya dengan sopan sambil melambaikan tangan hingga mobil itu menghilang di balik gerbang tinggi rumahnya.
Dengan langkah ringan, Fira berlari kecil menuju pintu utama. Biasanya, Mama akan menyambutnya di ambang pintu dengan senyum hangat dan pelukan erat. Namun, hari ini terasa sedikit berbeda. Pintu terbuka lebar, namun tidak ada sosok Mama yang biasa menyambutnya.
Fira melangkah masuk ke ruang tamu yang luas dan megah. Cahaya matahari sore menembus jendela-jendela besar, menerangi perabotan mewah yang tertata rapi. Namun, pemandangan yang menyambut membuat senyumnya perlahan memudar. Mama duduk di sofa beludru berwarna krem, tubuhnya sedikit membungkuk, dan kedua tangannya memijat keningnya dengan gerakan pelan. Wajahnya terlihat lelah dan sedikit tegang, tidak seperti biasanya. Tidak jauh dari Mama, Papa berdiri menghadap jendela, tubuhnya tegap namun sorot matanya penuh amarah. Suaranya terdengar meninggi, meskipun Fira belum bisa menangkap jelas kata-katanya.
Papa menggenggam ponsel di tangannya erat-erat, sesekali menggeram frustrasi.
"…TIDAK BISA BEGITU! KALIAN PIKIR SAYA TIDAK TAHU KELAKUAN KALIAN? SAYA SUDAH PERCAYA PENUH… INI TIDAK BISA DIBIARKAN!" bentak Papa melalui telepon, nadanya penuh kejengkelan.
Fira yang bingung dan sedikit khawatir, ingin menghampiri Mama dan bertanya apa yang terjadi. Namun, belum sempat ia melangkah lebih jauh, suara lembut Mama memanggil dari sofa.
"Mbak Sisil?" panggil Mama dengan nada sedikit lemah.
Tak lama kemudian, Mbak Sisil, wanita paruh baya yang selama ini menjadi pengasuh dan teman bermain Fita sejak ia kecil, muncul dari arah dapur. Mbak Sisil selalu sabar dan penuh perhatian pada Fira.
"Iya, Bu?" jawab Mbak Sisil lembut.
"Tolong antarkan Fira ke kamarnya ya, Mbak. Fira pasti lelah setelah sekolah," kata Mama tanpa menatap Fira. Sorot matanya masih terpaku pada lantai, dan tangannya tak berhenti memijat kening.
Fira merasa ada sesuatu yang aneh. Biasanya, Mama akan langsung memeluknya dan menanyakan tentang hari sekolahnya. Perubahan sikap Mama membuatnya merasa sedikit tidak nyaman.
"Tapi, Ma…" Fira mencoba bertanya, namun Mama sudah mengisyaratkan Mbak Sisil dengan tatapannya.
Mbak Sisil menghampiri Fira dan menggandeng tangannya dengan lembut. "Ayo, Non Fira sayang. Kita ke kamar ya. Nanti Mbak buatkan teh hangat kesukaan Non."
Dengan perasaan campur aduk antara bingung dan sedikit kecewa, Fira mengikuti langkah Mbak Sisil menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua. Rumah besar itu terasa sunyi dan tegang, tidak sehangat dan penuh tawa seperti biasanya.
Saat menaiki anak tangga berlantai marmer, samar-samar telinga Fira menangkap potongan percakapan antara Mama dan Papa yang masih terdengar dari ruang tamu di bawah. Suara Papa masih terdengar meninggi, bercampur dengan nada khawatir Mama yang lirih.
"…tidak mungkin uang sebanyak itu hilang begitu saja, Mas… bagaimana bisa…?" suara Mama terdengar putus asa.
Kemudian, suara Papa menjawab dengan nada frustrasi yang jelas, "Sudah kubilang, ada yang bermain curang di dalam perusahaan. Mereka korupsi! Uangnya dibawa kabur! Kita… kita bisa bangkrut, ma."
Kata "bangkrut" terdengar asing dan menakutkan bagi Fira. Dia tidak mengerti artinya, namun nada bicara Papa yang penuh amarah dan kekhawatiran Mama yang mendalam membuatnya merasakan ada sesuatu yang buruk sedang terjadi. Perasaan nyaman dan aman di istana bintangnya mulai terusik oleh bisikan-bisikan kegelisahan yang samar namun terasa nyata. Di dalam hatinya yang masih polos, pertanyaan kecil mulai tumbuh: apakah ini juga bagian dari "keluarga"? Mengapa tiba-tiba suasana di rumahnya terasa begitu berbeda?
****
Pintu kamar Fira yang berwarna putih dengan ukiran bunga-bunga kecil terbuka perlahan. Mbak Sisil menggandeng tangan Fira dengan lembut, membawanya masuk ke dalam sebuah ruangan yang biasanya menjadi surga kecil bagi Fira. Dinding kamar itu dipenuhi dengan wallpaper berwarna pink soft dengan gambar karakter-karakter lucu dari serial kartun kesukaannya yang sedang tersenyum riang. Tirai jendela berwarna senada dengan wallpaper, dihiasi renda-renda putih yang halus, membiarkan cahaya sore masuk dengan lembut, menciptakan suasana hangat dan nyaman.
Di sudut ruangan, terdapat rak buku yang penuh dengan koleksi buku cerita bergambar milik Fira, boneka-boneka berbagai ukuran duduk manis di atasnya, seolah mengawasi setiap gerak-gerik sang pemilik. Sebuah meja belajar kecil dengan lampu berbentuk bintang tertata rapi di dekat jendela, lengkap dengan alat-alat gambar dan buku-buku mewarnai. Di tengah ruangan, terhampar karpet berbulu lembut berwarna putih, tempat Fira sering bermain dan membangun istana dari bantal-bantal besar. Tempat tidurnya berukuran sedang dengan sprei bergambar awan dan bantal-bantal empuk yang menumpuk rapi.
Mbak Sisil dengan telaten membantu Fira melepaskan seragam sekolahnya yang sudah sedikit kusut. Fira hanya diam menurut, pikirannya masih berkecamuk dengan percakapan samar-samar yang didengarnya di tangga. Setelah selesai mengganti pakaian Fira dengan piyama rumahan berwarna biru muda bergambar anak kucing, Mbak Sisil membimbingnya ke kamar mandi untuk mandi air hangat.
Selama proses memandikan Fira, gadis kecil itu tetap terdiam. Biasanya, ia akan berceloteh tentang kejadian di sekolah, tentang teman-temannya, atau tentang gambar yang baru dibuatnya. Namun, sore ini, bibirnya terkatup rapat. Air hangat yang membasahi tubuhnya seolah tidak mampu menghangatkan kegelisahan yang mencengkeram hatinya. Kata "bangkrut" terus berputar di benaknya seperti kaset rusak. Apa itu? Mengapa kata itu membuat Mama terlihat sedih dan Papa marah?
Setelah selesai mandi dan berpakaian, Fira duduk termenung di tepi tempat tidurnya. Mbak Sisil datang membawa nampan berisi secangkir teh hangat kesukaan Fira dengan aroma melati yang lembut dan beberapa potong kue kering kecil. Mbak Sisil meletakkan nampan di meja samping tempat tidur dan duduk di samping Fira, mengelus punggungnya pelan.
Fira menatap cangkir teh di hadapannya, namun pikirannya jauh melayang. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia memberanikan diri untuk bertanya dengan suara pelan yang hampir berbisik, "Mbak… apa itu, bangkrut?"
Mbak Sisil yang sedang mengusap punggung Fira terdiam. Tangannya berhenti bergerak. Dia menatap Fira dengan sorot mata yang penuh kelembutan dan sedikit keraguan. Dia tahu bahwa Fira adalah anak yang cerdas dan perasa, namun juga bingung bagaimana menjelaskan situasi yang rumit ini dengan bahasa yang bisa dipahami oleh seorang anak berusia tujuh tahun.
"Itu… hmm…" Mbak Sisil mencari kata-kata yang tepat, mencoba menyaring kenyataan pahit agar tidak terlalu menakutkan bagi Fira.
"Itu artinya… perusahaan Papa sedang mengalami masalah, Sayang. Seperti… seperti kalau kita bermain membangun rumah-rumahan, tapi tiba-tiba ada bagian yang rusak dan harus diperbaiki."
Fira mengerutkan keningnya, mencoba mencerna penjelasan Mbak Sisil. "Rusak? Parah ya, Mbak, rusaknya?"
Mbak Sisil menghela napas pelan. "Iya, Sayang… agak parah. Makanya, Papa jadi sedikit marah tadi. Beliau sedang berusaha keras untuk memperbaikinya."
"Terus… kenapa Mama jadi sedih?" tanya Fira lagi, matanya menatap Mbak Sisil dengan penuh harap.
Mbak Sisil menggenggam tangan Fira. "Mama sedih karena Mama sayang sama Papa dan khawatir dengan masalah ini. Seperti kamu kalau melihat temanmu sakit, pasti kamu juga ikut sedih kan?"
Fira mengangguk pelan. Dia bisa memahami apa yang diucapkan oleh mbak sisil. Dia memang akan merasa sedih jika teman-temannya sakit.
"Terus… apa kita akan baik-baik saja, Mbak?" tanya Fira lagi, suaranya terdengar sedikit bergetar.
Mbak Sisil memeluk Fira erat. "Tentu saja, Sayang. Kita pasti akan baik-baik saja. Mama dan Papa sayang sekali sama Fira. Mereka pasti akan melakukan yang terbaik untuk keluarga kita. Kamu jangan khawatir ya? Sekarang diminum dulu tehnya, biar kamu merasa lebih tenang."
Fira menyandarkan kepalanya di bahu Mbak Sisil, mencoba mempercayai kata-kata pengasuhnya itu. Namun, jauh di dalam hatinya, ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Bayangan gelap di istana bintangnya terasa semakin nyata, dan pertanyaan tentang "keluarga" kini bercampur dengan rasa takut akan masa depan yang tidak pasti.