Malam muncul masuk, menggantikan sisa-sisa cahaya sakit yang tadi menyelesaikan kamar Fira. Biasanya, saat jam makan malam tiba, ruang makan keluarga akan dipenuhi kehangatan dan tawa. Meja makan kayu oak yang besar akan diisi dengan berbagai hidangan lezat buatan Mama, dan Fira akan berceloteh riang menceritakan kejadian-kejadian seru di sekolahnya. Papa akan menimpali dengan cerita lucu tentang pekerjaan, dan suasana selalu terasa penuh kebahagiaan.
Namun, malam ini, suasana di ruang makan terasa begitu berbeda. Cahaya lampu kristal di atas meja makan tampak redup, seolah ikut merasakan kesedihan yang membuat ruangan menjadi suram. Hanya ada Mama dan Fira yang duduk berhadapan di meja yang terasa begitu luas dan kosong. Beberapa piring berisi makanan tertata di atas meja, namun tidak ada selera makan yang terpancar dari wajah keduanya.
Fira duduk dengan tenang di kursinya, sesekali melirik wajah Mama yang terlihat sayu. Mama hanya menatap piring kosong di hadapannya, sesekali menghela napas pelan. Tidak ada senyum cerah seperti biasanya, tidak ada pertanyaan tentang hari sekolah Fira. Keheningan terasa begitu pekat, hanya denting pelan sendok dan garpu yang sesekali beradu dengan piring yang memecah kesunyian.
“Mama…” panggil Fira pelan, mencoba memecah keheningan yang membuatnya tidak nyaman.
Mama mendongak, menatap Fira dengan tiba-tiba kosong sebelum kemudian memaksakan senyum tipis. "Iya, Sayang?" jawabnya dengan suara pelan yang terdengar serak.
"Papa mana?" tanya Fira, matanya mencari sosok Papa yang selalu duduk di ujung meja makan.
Mama menghela napas lagi, kali ini lebih berat. "Papa sedang ada urusan pekerjaan, Sayang. Mungkin akan pulang terlambat."
Fira mengangguk pelan, meskipun dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Mama. Ia tahu, urusan pekerjaan Papa kali ini berbeda dari biasanya. Tidak ada lagi cerita semangat tentang proyek baru atau klien yang menyenangkan. Yang ada hanya wajah tegang dan suara marah yang samar-samar ia dengar.
Mereka melanjutkan makan dalam diam. Fira mencoba menyuapkan nasi ke mulut, namun rasanya hambar. Ia tidak bisa menikmati makanan kesukaannya seperti biasanya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kata “bangkrut” dan bayangan tentang kemungkinan mereka akan pindah rumah.
Setelah beberapa suap tanpa semangat, Fira meletakkan sendoknya. “Aku sudah kenyang, Mama,” ucapnya pelan.
Mama mengangguk tanpa memperhatikan. "Baiklah, Sayang. Mbak Sisil akan mengantarmu tidur ya."
Fira berdiri dari kursinya dan berjalan lesu menuju pintu. Ia menoleh ke belakang dan melihat Mama masih duduk di sana, membuka piringnya dengan mengosongkan. Pemandangan itu membuat hati Fira semakin terasa berat. Meja makan yang dulunya menjadi pusat kehangatan dan kebersamaan keluarganya, kini terasa dingin dan sepi. Ke mana perginya tawa riang dan cerita-cerita bahagia? Ke mana perginya Papa yang selalu membuatnya tertawa?
Saat Mbak Sisil mengantarnya ke kamar, Fira tidak banyak bicara. Ia hanya memeluk boneka beruangnya erat-erat dan membiarkan matanya menetes tanpa suara. Istana bintangnya terasa semakin runtuh, dan Fira merasa semakin jauh dari kehangatan dan kebahagiaan yang dulu selalu melingkupinya. Makan malam yang membisu itu menjadi simbol dari perubahan besar yang sedang terjadi dalam keluarganya, sebuah perubahan yang terasa pahit dan menakutkan bagi seorang gadis kecil seperti Fira.
*
*
*
Dua bulan berlalu sejak malam percakapan samar-samar yang didengar Fira di tangga. Dua bulan yang terasa panjang dan aneh. Suasana tegang di rumah besar tidak sepenuhnya hilang, namun sedikit mereda. Papa masih bekerja keras, pergi pagi buta sebelum Fira bangun dan pulang larut malam, seringkali saat Fira sudah terlelap. Meski begitu, Fira masih bisa merasakan sentuhan lembut mencium Papa di keningnya sebelum ia tidur, sebuah sapaan tanpa kata yang terasa hangat di tengah dinginnya hari-hari ini.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, Papa duduk di meja makan bersama Mama dan Fira. Suasana tidak lagi seberat dulu, namun tetap ada gurat kelelahan di wajah Papa dan kesedihan yang belum sepenuhnya pudar dari mata Mama. Fira duduk di antara mereka, merasa sedikit lebih baik bisa melihat kedua orang tua bersama, meskipun senyum ceria seperti dulu belum juga kembali.
Mama memulai pembicaraan dengan nada lembut namun sedikit cemas. "Sayang," katanya sambil menatap Fira dengan penuh kasih, "ada sesuatu yang Mama dan Papa ingin bicarakan dengan Fira."
Fira yang sedang mengunyah nasi dengan perlahan, menghentikan gerakannya dan menatap Mama dengan rasa ingin tahu. Ia melirik Papa yang juga menatap dengan ekspresi serius namun berusaha lembut.
Papa menghela nafas pelan sebelum berbicara. “Fira sayang, kamu tahu kan, Papa sedang ada banyak pekerjaan?”
Fira mengangguk pelan. Ia tahu Papa selalu terlihat lelah dan sering tidak ada di rumah.
"Nah… karena pekerjaan Papa ini, dan juga karena… karena rumah ini terlalu besar untuk kita bertiga saja sekarang," lanjut Papa dengan nada hati-hati, "Mama dan Papa sudah memutuskan sesuatu."
Fira semakin penasaran dan sedikit khawatir. Ia menggenggam erat sendok di tangannya.
Mama melanjutkan, mengulurkan tangan Fira di atas meja. “Kita… kita akan pindah, Sayang.”
"Pindah?" tanya Fira bingung. "Pindah ke mana, Mama? Apa kita akan punya rumah yang lebih kecil tapi tetap ada tamannya?"
Papa tersenyum tipis melihat kepolosan Fira. "Kita akan pindah ke rumah eyang di desa, Sayang. Rumahnya Eyang Uti, dan kita akan tinggal bersama eyang uti."
Mata Fira membelalak. "Rumah eyang jauh itu? Yang waktu itu kita cuma liburan sebentar?"
"Iya, Sayang," jawab Mama lembut. "Untuk sementara waktu, kita akan tinggal di sana bersama Nenek."
"Tapi… kenapa kita harus pindah, Mama? Aku suka rumah ini. Kamarku bagus, ada teman-temanku di sini, sekolahku juga dekat," ujar Fira dengan nada mulai bergetar. Ia tidak ingin meninggalkan ruangan yang nyaman, teman-teman di Sekolah Bintang, dan rutinitasnya yang sudah ia kenal dengan baik.
Papa mengulurkan tangan dan mengelus rambut Fira dengan sayang. "Papa tahu kamu sayang rumah ini, Nak. Papa dan Mama juga sayang sekali dengan rumah ini. Tapi untuk saat ini, ini adalah keputusan yang terbaik untuk keluarga kita."
"Kenapa yang terbaik?" tanya Fira dengan suara lirih. “Apa karena… karena bangkrutnya itu?”
Mama dan Papa saling bertukar pandang sejenak sebelum Mama menjawab dengan hati-hati. "Iya, Sayang. Karena usaha Papa sedang sulit, kita perlu mengurangi pengeluaran. Rumah di desa tidak sebesar ini, jadi biaya hidupnya juga tidak akan terlalu besar."
“Dan… dan kamu juga harus pindah sekolah, Sayang,” sambung Mama dengan nada sedikit sedih. "Di dekat rumah eyang ada sekolah yang bagus juga. Kamu pasti akan punya banyak teman baru di sana."
Mendengar kata “pindah sekolah”, hati Fira terasa mencelos. Sekolah Bintang adalah tempat ia bermain dan belajar bersama teman-teman terbaiknya. Meninggalkan mereka terasa seperti meninggalkan sebagian dari kebahagiaannya.
"Pindah sekolah? Tapi… aku tidak mau pindah sekolah, Mama! Aku mau tetap sekolah sama Risa, Arya, dan Maya!" air mata Fira mulai menggenang di pelupuk mata.
Mama menarik Fira ke dalam pelukannya. "Mama tahu ini berat untukmu, Sayang. Tapi kita harus kuat bersama-sama. Eyang pasti akan senang sekali kamu tinggal bersamanya. Dan Mama janji, kita akan sering-sering berkunjung ke sini untuk bertemu teman-temanmu."
Papa ikut memeluk Fira dan Mama. "Iya, Nak. Ini bukan berarti kita akan berpisah selamanya dengan rumah ini dan teman-temanmu. Ini hanya sementara. Papa akan bekerja keras lagi agar kita bisa kembali ke sini suatu hari nanti."
Meski pelukan hangat Mama dan Papa sedikit menenangkan hatinya, Fira masih merasa bingung dan sedih. Pindah ke desa, tinggal dengan eyang, dan pindah sekolah adalah perubahan besar yang sulit ia bayangkan. Istana bintangnya kini benar-benar terasa retak. Pertanyaan tentang "keluarga" kembali muncul di pikiran. Apakah ini yang namanya "keluarga"? Harus meninggalkan semua yang ia sayangi demi sesuatu yang tidak sepenuhnya ia pahami? Malam itu, di meja makan yang sunyi, Fira merasakan sesuatu yang baru dalam hidupnya akan segera dimulai, sesuatu yang penuh dengan kebersihan dan rasa kehilangan.