# Email 006 – 01 Januari 2023
To: in_ara@email.com
Subject: Memulai kembali
Hai, Inara.
Selamat tahun baru.
Hari ini hari Minggu. Seperti biasa suasana kosanku sepi, suara anak-anak kecil main sepeda di ujung gang jadi terdengar lebih jelas dari biasanya. Aku bangun lebih pagi dari biasanya—bukan karena insomnia, bukan karena kelas pagi. Tapi karena aku ingin memulai kembali.
Mungkin kamu sedang bertanya, “memulai apa?”
Aku juga belum tahu pasti. Tapi ada dorongan kecil di dalam dada yang bilang: rajin sedikit, hidup sedikit, jangan terus diam di antara tumpukan pakaian kotor dan pikiran yang berisik.
Jadi aku ambil langkah kecil hari ini: menulis surat untukmu.
Halo, Ra. Ini aku—kamu beberapa tahun yang lalu. Di semester tiga, jurusan Psikologi, di universitas yang dulu kamu doakan dan usahakan setiap malam. Iya, kita berhasil. Kita sampai juga ke tempat yang kita kira mustahil.
Aneh ya, bagaimana hidup bisa membawa kita ke titik ini. Kalau kamu lihat dari luar, mungkin kamu akan berpikir aku baik-baik saja. Dan aku memang sering terlihat begitu. Aku orang yang suka bercanda di kelas. Yang sering ngajak teman-teman ngopi setelah jam kuliah. Yang aktif di organisasi, rajin ikut pelatihan atau relawan, dan kalau kamu buka galeri HP-ku, kamu akan nemu banyak foto dengan senyum paling lebar yang kupunya.
Tapi kamu juga tahu, kan, Ra ... senyum itu cuma sebagian dari cerita. Di baliknya, masih ada hal-hal yang belum selesai.
Beberapa hari lalu, kami belajar tentang trauma masa kanak-kanak dan bagaimana itu membentuk cara seseorang mencintai dan bertumbuh di masa dewasa. Aku tertawa saat dosen memberi contoh. Tapi malamnya aku termenung lama. Karena di kelas, aku seperti sedang mempelajari diriku sendiri dengan nama samaran.
Aku belajar bahwa diam bisa jadi bentuk pertahanan. Bahwa sibuk bisa jadi cara menghindar.
Dan aku sadar, mungkin itulah kenapa aku selalu menyibukkan diri. Hari Senin ikut UKM, Selasa rapat organisasi, Rabu asistensi kelompok, Kamis-Jumat ngerjain tugas observasi sana-sini, Sabtu kerja part-time. Minggu? Kadang aku pakai buat nonton, kadang buat rebahan sambil pura-pura lupa soal tugas, kadang juga aku gunakan untuk duduk sendiri, melamun sambil berusaha tidak menangis.
Aku dikelilingi banyak orang, tapi kesepian tetap tahu caranya menyusup.
Tapi aku tidak ingin kamu salah paham. Aku tidak ingin kamu mengira aku menyerah. Justru sebaliknya, aku sedang berusaha.
Hari ini, aku bangun lebih pagi. Aku bersihkan kamar. Buka jendela. Nyapu kamar kosan. Aku bahkan udah siapin sepatu buat olahraga sebentar. Mungkin cuma muterin gang dua kali, tapi itu juga tetap suatu langkah. Karena aku tahu ... untuk sembuh, tidak harus langsung lari. Jalan pelan-pelan juga boleh.
Aku tidak tahu apa yang akan berubah tahun ini. Tapi aku ingin sesuatu berubah dalam diriku.
Aku ingin belajar mengatakan “tidak” tanpa merasa bersalah.
Aku ingin belajar minta tolong tanpa merasa lemah.
Aku ingin belajar berhenti jadi penampung luka semua orang, kalau aku sendiri sedang bocor di banyak tempat.
Dan yang paling penting: aku ingin memaafkan diriku.
Untuk semua momen saat aku terlalu keras pada diri sendiri.
Untuk semua hari saat aku berpura-pura kuat hanya agar tidak merepotkan siapa-siapa.
Untuk semua rasa yang kupendam hanya karena takut dibilang berlebihan.
Kamu tidak berlebihan, Ra.
Kamu hanya manusia yang sedang mencari cara untuk hidup, meski banyak hal terasa salah.
Jadi hari ini… mari kita mulai kembali.
Bukan dari tempat yang sempurna. Tapi dari tempat yang cukup.
Dan kalau nanti kamu membaca ini di masa depan—entah sedang bahagia atau lelah lagi—aku harap kamu bisa melihat aku yang sekarang dan bilang:
“Terima kasih sudah memulainya, meski masih gemetar.”
–
Inara, (oke setelah mengirim surat ini aku akan mulai olahraga)