Loading...
Logo TinLit
Read Story - Andai Kita Bicara
MENU
About Us  

Hari sebentar lagi akan menjelang malam, Revan pun telah pulang ke rumahnya setelah dia pulang dari toko buku untuk menemani Zaky yang diiming-imingi top up game online. Sebelum keduanya berpisah di jalan, Zaky sempat mampir ke salah satu minimarket untuk melakukan top up tersebut. 

Revan hanya tersenyum puas saat melihat Zaky keluar minimarket. Terlebih lagi Zaky telah membelikan buku catatan untuk Revan.

"Memang best lah kawan gua ini," ujar Revan tersenyum sumringah sambil menepuk-nepuk pundak temannya itu.

Zaky hanya memasang wajah mesem-mesem karena uang sakunya hampir habis hanya untuk Revan.

 

Revan membuka pintu rumahnya, dan mengucapkan salam saat kakinya memasuki rumah kecil itu. 

"Assalamualaikum."

Seperti biasa, yang menjawab salam Revan hanyalah angin semata. Selama ini Revan pulang ke rumah selalu dalam keadaan sepi. Kedua orang tuanya sibuk bekerja dan adiknya sibuk dengan dunianya sendiri. 

 

Revan sama sekali tak mempermasalahkan hal itu. Dia tahu orang tuanya bekerja untuk menghidupi Revan yang saat ini tak perlu memikirkan apapun soal biaya sekolah, uang jajan, atau barang yang ia perlukan. Apapun yang Revan inginkan, orang tuanya akan berusaha untuk mengabulkannya. Revan pun tak membenci orang tuanya terlebih ibunya yang telah berusaha untuk menyenangkan hati anaknya.

Dia pun tak begitu peduli dengan sang adik perempuannya. Mereka telah menjalani keseharian seperti itu sejak Revan sekolah menengah pertama kelas satu. 

 

Sejak Revan mulai masuk SMA, orang tuanya lebih sering di rumah. Tapi Revan tak menginginkan orang tuanya untuk di rumah. Karena mereka hanya menciptakan suasana berisik yang sampai membuat telinga menjerit meminta kesunyian. 

Sehingga Revan lebih memilih tempat lain yang tenang selain di rumah. Itulah mengapa ia menyukai datang ke sekolah.

 

Tak ada kegiatan seru sepulang sekolah di rumah itu. Semuanya berkumpul pada saat malam hari, kadang adik Revan pulang saat sore setelah menjalani berbagai aktivitasnya.

Pikirannya saat sampai di rumah setiap hari hanyalah pergi ke kamar, dan istirahat. 

Damai sekali di rumah ini, tidak ada ibu yang mengomel tentang apa yang ia lakukan, tidak ada orang untuk dia ajak bercerita kejadian di sekolah, dan tidak ada yang cerewet untuk hal-hal kecil di rumah. 

 

Terkadang, ia bersyukur karena rumahnya hari ini tak seberisik kemarin.

 

Lelaki itu menuju kamarnya. Menaruh tas, mengganti baju, lalu setelahnya dia merebahkan diri di kasur. 

Dia akan bermain handphone saat bosan, dan memasak makanan saat lapar. Keseharian yang rutin dilakukan. 

Namun sebelum dia terlelap dengan dunia di dalam genggamannya—ya handphone.

Revan ingat dia baru saja membeli sebuah buku catatan hariannya. 

Revan mengeluarkan buku catatan itu yang dia simpan di tas dan mulai membuka halaman-halaman yang masih kosong. Pikirannya sudah memikirkan apa yang ingin ia tulis pada kertas kosong itu. 

Revan mengambil penanya, dan mulai menulis,

"Aku sebenarnya tak tahu untuk apa tujuan aku merangkai aksara ini. Aku sendiri bahkan tak begitu berbakat untuk mencurahkan isi pikiran, apalagi isi hati sendiri. 

Tapi aku hanya perlu teman. Teman bercerita. Mungkinkah kalian bisa? Pena dan kertas? Aku tak tahu apakah tulisanku sesuai dengan ejaan yang disempurnakan, sesuai KBBI, atau sesuai aturan yang ada. 

Maka akan ku tegaskan bahwa tulisan ini tak berpacu pada aturan. Namun berpacu pada perasaan penulisnya."

10-07-2024.

 

Revan puas dengan hasil tulisannya sendiri. Ini pertama kali baginya untuk menulis hal-hal seperti ini. Rasanya begitu menyenangkan, dan juga sedikit menenangkan. 

Wajahnya penuh dengan kebahagiaan saat itu. Dia merasa bebas, merasa lega, merasa tak perlu menyembunyikan apapun pada buku catatannya. 

"Bakal gua isi setiap harinya dah..." ucap Revan dengan senyum kecilnya.

 

Setelah puas dengan beberapa lembar yang telah ditulisnya, Revan menutup buku catatan itu dan kembali akan bermain ponsel. 

Ia meninggalkan meja belajarnya dan hendak akan rebahan kembali. Namun, seperti ada yang mengganjal di pikiran dan hatinya. Revan merasa belum menyelesaikan urusannya dalam buku catatan itu. Dia pun kembali ke meja belajarnya. 

 

Ada hal yang selalu ingin Revan ungkapkan tapi dia terlalu takut untuk itu. Dia merasa bimbang setiap harinya, dan merasa bahwa ada hal yang ingin dia curahkan pada saat melihat buku catatan hari ini. 

Revan mengambil pulpen berwarna hitam yang dia letak sembarangan di meja belajarnya. Membuka buku catatan harian, dan mulai menulis sesuatu kembali di atas kertas.

Kali ini dia menulis sebuah nama, yaitu Alea. 

 

"Alea. 

Sulit sekali untuk mengerti perasaan ini. Sulit sekali untuk menahan diri tidak melirik mu saat kehadiranmu bagaikan setitik cahaya di kegelapan yang menuntun seseorang untuk menemukan jalan pulang. 

Kau serasa menuntunku ke sebuah arah.

Apakah kau merasakan kehadiranku juga? Atau kau bahkan tak merasa aku ada?"

 

Sudah tak ada lagi yang mengganjal kan pikirannya. Revan telah menemukan 'sesuatu' untuk tempat berceritanya. Selama ini dia selalu menulis asal di lembar kertas terakhir buku catatan sekolahnya, atau menggambar hal-hal abstrak di sketchbook yang ia miliki. 

Entah untuk apa, tapi hal itu membantu menenangkan Revan.

Atau seperti hari-hari yang lain saat Revan kesal dengan seseorang di sekolah, dia menuliskan kekesalannya.

"Bodo amat...siapa lo?....berisik....gua gedig ni..."

Dan seperti saat ia tidak menyukai tugas yang diberi gurunya—dia ingin menulis kekesalannya pada sebuah kertas tapi tak bisa karena waktu tak memberi kesempatan Revan tuk melupakan kekesalannya.

 

Kini ia sadar bahwa menulis bisa menjadi tempat curahan hati yang begitu melegakan—selain dengan menggambar. Bahkan kita tak perlu takut akan dinyinyir seseorang, dan tidak akan ada yang menghakimi kita. Karena hanya ada kertas dan pena. 

Saat hari sudah menjelang malam, adik dan ibu Revan pulang ke rumah. Ibu pulang ke rumah dengan membawa satu buah kotak bolu susu dan coklat yang Revan suka. 

"Evan, ini ada bolu," panggil ibu Revan. Ia meletakkan kotak bolu susu itu dan pergi masuk ke kamarnya untuk berganti baju. Revan ingin segera melahap bolu itu, tapi dia merasa masih kenyang karena baru saja memasak mie instan beberapa menit lalu.

"Sisain aja Bu," saut Revan dari dalam kamarnya. 

Tangan Revan tiba-tiba meremas dada kiri tepat jantungnya berada. Tiba-tiba detak jantung itu terasa semakin cepat dan semakin cepat tanpa sebab. Revan merasakan firasat yang buruk. Dalam hatinya dia berkata,

"Semoga orang itu ga pulang—"

BRAK!

Pintu didobrak dengan keras oleh seorang lelaki tinggi memakai jas berwarna abu dengan wajah mengkerut dan tidak enak dipandang. Itu adalah ayah Revan yang baru pulang—seseorang yang tidak diinginkan Revan pulang.

"Citra!" bentaknya tiba-tiba memanggil Citra—nama ibu Revan setelah mendobrak pintu.

Citra mulai keluar dari kamarnya dengan tergesa-gesa, ia tampak terkejut. “Kenapa si mas? Rusak loh pintunya nanti.” 

“Masih tanya?! Tadi aku lihat kamu turun dari motor bareng laki-laki! Siapa dia?!” suaranya naik dua oktaf, mata menatap tajam seolah ingin menelan istrinya hidup-hidup.

 

Citra terdiam sejenak, lalu menjawab pertanyaan suaminya, 

"Gausah nuduh aneh-aneh deh mas! Aku pulang sendiri."

“Berani bohong?! Kamu pikir aku sebodoh itu?! Ketawa-tawa di motor orang, kayak nggak punya suami!” teriak Pak Gilang, suaranya bergetar karena amarah.

“Aku capek, mas. Baru pulang kerja, belum makan, belum istirahat. Jangan tuduh yang bukan-bukan!”

“CAPEK? Aku juga capek, Citra!” teriaknya makin keras. “Tapi aku nggak pulang sambil boncengan sama perempuan! Gengsimu ke mana?! Harga diriku sebagai suami kamu injek-injek!”

 

Bu Citra berdiri, suaranya ikut meninggi, matanya berkaca-kaca. “Aku kerja buat bantu kamu, GILANG! Aku bukan main-main! Orang ga pulang sama siapa-siapa, buta kamu? Kalau kamu pikir aku macam-macam, itu cuma isi kepalamu yang kotor!”

 

“Jangan balik nuduh aku! Kamu yang salah sekarang!” bentak Pak Gilang, tangannya mengepal, menggigil menahan amarah.

BRUK!

Ia membanting tas kerjanya ke lantai. Suasana rumah memanas seperti kobaran api. Suara mereka menggema hingga kamar belakang. 

Revan kini tahu alasan jantungnya tiba-tiba berdetak lebih kencang, merasakan firasat yang tidak enak. 

Revan, benci ayahnya...

 

Dia selalu menuduh ibu yang tidak-tidak. Padahal selama beberapa waktu ini, ibu selalu terlihat lelah saat pulang kerja. Dia selalu mengedepankan kebutuhan dan kesenangan anak dibanding dirinya sendiri. 

Revan, menyayangi ibunya.

 

Suara-suara tinggi itu terus bergema di seluruh sudut rumah. Semakin lama semakin tinggi dan mulai tak terdengar jelas apa yang mereka lontarkan. 

PLAK!

Revan dengan cepat membuka pintu kamarnya dan melihat apa yang terjadi di ruang depan tempat ayah ibunya bertengkar. 

Ayah membanting bolu yang telah di sisakan oleh ibunya untuk Revan. 

"Mas! Itu buat Revan!!" Ibu panik dan mulai membersihkan serta mengambil sisa-sisa bolu yang telah jatuh ke lantai demi anaknya bisa merasakan bolu itu.

Revan hanya menatap itu semua dengan kosong. Dia tak mengerti, kenapa ibunya se-peduli itu? Padahal bolu bisa dibeli lagi besok, lusa, atau nanti pun tak apa.

Walau pada akhirnya, Revan bukannya bisa merasakan bolu itu hari ini, dia malah disajikan dengan pertengkaran kedua orang tuanya. 

"Ngeliat pertengkaran mereka sambil nyemil bolu seru kali ya?"

 

----

 

Memang sekolah sudah menjadi tempat berteduh bagi Revan dari badai permasalahan di rumahnya. Dia tidak begitu banyak memiliki masalah di sekolah selain karena tugas menumpuk—dan itu tidak menjadi masalah yang berat baginya.

Revan membawa buku catatan hariannya ke sekolah, karena ia ingin mendapat ide menulis sesuatu. Dia memperhatikan teman-temannya untuk mendapat inspirasi tuk mengekspresikan luapan emosinya. 

Zaky menghampiri Revan yang sedari tadi celingak-celinguk memperhatikan suasana kelas.

"Van, bengong mulu," ucapnya sambil ikut duduk di kursi yang kosong dan dekat dengan Revan.

"Ck, ga bengong," timbal Revan.

"Terus apa dong? Oh iya mana buku catatan yang kemarin dibeli?" 

"Nih." 

Revan menunjukan buku catatan hariannya yang dia simpan di kolong meja. Zaky mengangguk, tangannya sempat akan mengambil buku itu tanpa seizin Revan.

"Wait! Gaboleh dibaca." Revan dengan cepat melindungi buku catatan hariannya.

"Ah, kenapa dah?" tanya Zaky

"Euh...nanti ku kasih tau oke? Hehehe..."

Bisa gawat jika Zaky membaca tentang Alea yang tertulis di buku catatannya. Temannya itu akan menyebarkan rumor aneh-aneh dan berujung pada Alea yang terkena dampaknya.

"Cih, yaudah," kata Zaky yang tak begitu peduli dan langsung mengambil ponsel dari dalam sakunya. Revan tersenyum canggung. 

 

Sesekali dirinya memperhatikan Alea dari kejauhan. Seperti ada magnet yang menarik perhatian Revan dari Alea karena lelaki itu tiada hari tanpa memperhatikan gadis ceria itu. 

Revan ingin tahu kenapa. Kenapa dia bisa memiliki perasaan yang dia sendiri tidak mengerti?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
FaraDigma
1015      550     1     
Romance
Digma, atlet taekwondo terbaik di sekolah, siap menghadapi segala risiko untuk membalas dendam sahabatnya. Dia rela menjadi korban bully Gery dan gengnya-dicaci maki, dihina, bahkan dipukuli di depan umum-semata-mata untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka. Namun, misi Digma berubah total saat Fara, gadis pemalu yang juga Ketua Patroli Keamanan Sekolah, tiba-tiba membela dia. Kekacauan tak terh...
Help Me Help You
1893      1123     56     
Inspirational
Dua rival akademik di sebuah sekolah menengah atas bergengsi, Aditya dan Vania, berebut beasiswa kampus ternama yang sama. Pasalnya, sekolah hanya dapat memberikan surat rekomendasi kepada satu siswa unggul saja. Kepala Sekolah pun memberikan proyek mustahil bagi Aditya dan Vania: barangsiapa dapat memastikan Bari lulus ujian nasional, dialah yang akan direkomendasikan. Siapa sangka proyek mus...
PUZZLE - Mencari Jati Diri Yang Hilang
506      390     0     
Fan Fiction
Dazzle Lee Ghayari Rozh lahir dari keluarga Lee Han yang tuntun untuk menjadi fotokopi sang Kakak Danzel Lee Ghayari yang sempurna di segala sisi. Kehidupannya yang gemerlap ternyata membuatnya terjebak dalam lorong yang paling gelap. Pencarian jati diri nya di mulai setelah ia di nyatakan mengidap gangguan mental. Ingin sembuh dan menyembuhkan mereka yang sama. Demi melanjutkan misinya mencari k...
Let Me be a Star for You During the Day
1008      534     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Warisan Tak Ternilai
523      198     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Batas Sunyi
1923      870     108     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...
Merayakan Apa Adanya
441      322     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
Senja di Balik Jendela Berembun
18      18     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Langkah Pulang
428      306     7     
Inspirational
Karina terbiasa menyenangkan semua orangkecuali dirinya sendiri. Terkurung dalam ambisi keluarga dan bayang-bayang masa lalu, ia terjatuh dalam cinta yang salah dan kehilangan arah. Saat semuanya runtuh, ia memilih pergi bukan untuk lari, tapi untuk mencari. Di kota yang asing, dengan hati yang rapuh, Karina menemukan cahaya. Bukan dari orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri. Dan dari Tuh...
Fragmen Tanpa Titik
43      39     0     
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna" Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...