Terdengar riuh suara para murid-murid yang membicarakan ini, membicarakan itu, entah apa yang mereka obrolkan. Kadang terdengar suara tawa, kadang ada yang berteriak entah karena kesal, terkejut, atau sedang menonton video horor.
Semakin siang suasana kelas semakin ramai karena tak ada guru yang mengawas—mereka sedang rapat.
Tapi, bagi Revan ini adalah kesenyapan yang dia nikmati. Tak peduli seberapa berisiknya kondisi kelas, dia merasa di sekolah adalah tempatnya yang paling nyaman untuk menenangkan pikiran, dan perasaannya.
Dunia di luar sekolah tidak se-menyenangkan tempat ia menamba ilmu.
Revan—lelaki yang biasa-biasa saja. Panggilan sehari-harinya adalah Evan. Dia duduk di bangku barisan ketiga bersama teman sebangkunya, Andre. Siang-siang begini saat tak ada guru mengajar, Andre selalu pergi ke kantin. Di sana dia tidak hanya membeli makanan, tapi juga dia mengobrol dengan pedagang-pedagang di kantin dan tertawa bersama mereka. Andre mengatakan itu menyenangkan, namun itu adalah hal yang membuat Revan mengerutkan kening tak mengerti apa serunya.
Revan mengecek ponselnya setelah mendengar notifikasi yang berbunyi.
"Kalau ada guru telepon ya bre.👍"
Pesan dari sobatnya Andre.
Revan tak membalas pesan itu, dia hanya membacanya. Ia kembali menaruh ponselnya dan menaruh kepalanya ke meja, mencoba untuk tidur.
"Woi, jawab."
Dia terbangun lagi mendengar notifikasi dari Andre. Dengan malas jarinya mengetik hanya satu huruf.
"Y."
Revan berniat ingin mencoba untuk tidur kembali, namun hal itu tidak jadi dia lakukan saat melihat sesuatu yang menyegarkan matanya.
Dia melihat sekumpulan anak-anak perempuan berkumpul di salah satu bangku yang jaraknya tak jauh darinya. Para ciwi-ciwi itu sangat menikmati pembicaraan yang mereka lakukan.
Bukannya Revan tertarik dengan sekumpulan para perempuan di sana, tapi dia hanya tertarik pada satu orang.
Revan memperhatikan caranya menyelipkan rambut di balik telinga, atau cara dia tertawa sambil menutup mulut. Hal-hal kecil itu anehnya selalu berhasil membuat Revan terpesona tanpa sebab.
Dia adalah perempuan yang menggerai rambutnya sambil memakan jajanan yang baru dia beli. Saat dia tertawa manis sekali kelihatannya. Matanya indah saat ditatap. Dia adalah salah satu orang yang dikenal baik di kelas maupun di luar kelas.
Revan terus menerus menatapnya. Matanya terasa segar kembali, padahal sebelumnya sudah ngantuk berat.
Diam-diam lelaki itu mengambil pulpen di dekatnya dan membuka buku catatan yang ada di meja. Revan membuka kertas paling terakhir di bukunya dan menulis sesuatu.
Aleandra.
Nama gadis itu. Panggilannya Alea. Nama yang cantik menurut Revan. Percaya tak percaya, Revan tak pernah jatuh cinta setelah sekian lama sampai akhirnya dia tertarik pada Alea.
Revan sendiri tak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta pada seseorang. Dia bahkan tak mau menyadari dirinya sendiri bahwa dia menyukai Alea.
Jarinya ingin menulis nama perempuan itu karena mulut Revan tak mampu untuk berbicara.
Alea merupakan perempuan yang pintar. Dia meraih berbagai penghargaan lomba olimpiade. Wajahnya yang cantik tak bisa membuat orang berpaling saat menatapnya. Sifatnya? Jangan ditanya. Dia begitu baik hati, ramah, menyenangkan, dan sekilas seperti manusia yang sempurna bagi Revan.
Tapi lelaki itu bahkan tak mau menyadari dirinya sendiri bahwa dia sedang jatuh cinta.Revan tidak mau mencintai seseorang karena tidak mengerti bagaimana caranya. Bahkan dia merasa tak layak untuk dicintai oleh seseorang, apalagi perempuan seperti Alea.
Hatinya tak bisa berbohong. Dia selalu memperhatikan Alea, menatapnya dengan lembut, mencoba untuk mendengar suaranya dari kejauhan. Bahkan hatinya sedikit berdegup lebih kencang setiap melihat Alea yang rasanya tak bisa dia gapai.
Setiap pagi dirinya selalu berdiam diri di depan cermin. Melihat betapa menyedihkan dirinya. Ia merasa tidak sebegitu tampan seperti teman-temannya, sehingga dia tidak akan membuat Alea tertarik. Ia juga merasa memiliki luka yang belum bisa sembuh sehingga takut akan membuat Alea ikut terluka.
Mungkin orang lain tak bisa melihat luka yang Revan alami, hanya dirinya sendiri yang bisa.
Setiap pagi di kelas dia hanya bisa melihat Alea yang ceria seperti biasanya dari jarak tertentu. Dalam hati Revan, dia ingin sekali setidaknya menyapa perempuan itu. Selama kelas sepuluh dan kelas sebelas, Alea dan Revan hanya berinteraksi jika dipertemukan oleh kerja kelompok.
Selebihnya, dia tak bisa.
Entah sejak kapan perasaan ini muncul dalam hatinya Revan. Dia hanya berharap bahwa suatu hari dapat mengenal Alea lebih dekat.
"Hm, jadi sahabat selamanya sama dia juga gas lah..." Bisik Revan pada dirinya sendiri.
"Sahabatan sama siapa?"
Suara itu sontak mengejutkan Revan. Ternyata itu Andre yang baru datang dari kantin.
"Gua colok juga mata lo kalau ngagetin lagi!" Revan yang emosi segera mengambil posisi dengan pulpennya untuk mengancam Andre.
"Hoh, terserah," balas Andre.
Melihat Andre yang menarik kursinya untuk memberikan ruang untuk duduk, Revan berkata,
"Tumben dari kantin cepet."
Andre hanya membalas dengan menaikan alisnya lalu menurunkannya lagi.
Tak mau ambil pusing, Revan membiarkan temannya itu. Begitu bersyukurnya dia mengatakan tentang harapannya untuk mendekati Alea dalam hati.
"Apa coba njir malah mikir kesana."
Revan menertawai pikiran bodohnya sendiri. Mengambil ponsel, ia pun segera membuka aplikasi media sosial untuk menghilangkan rasa bosan.
Di sela-sela video yang dia tonton di medsos itu, terkadang matanya melirik ke arah Alea sebentar untuk sekedar melihat parasnya.
Scroll.... Melirik lagi.
Scroll.... Melirik lagi.
Scroll.... Melirik lagi—Alea melirik balik.
Seketika Revan dengan cepat mengalihkan matanya untuk melihat hal lain. Dia memutar bola matanya yang akhirnya mendarat ke pemandangan Andre yang tak enak di pandang.
"Apaan?" tanya Andre yang tak suka diperhatikan oleh seseorang.
Revan tak bereaksi, dia melanjutkan kegiatannya.
"Malu banget...dia ngelirik ke sini? Ah jangan kepedean dulu deh."
Revan lebih senang berdebat dengan kepalanya sendiri. Dia jarang mengobrol dengan orang lain yang menurutnya tak begitu penting. Namun hal itu tak membuatnya menjadi anak yang pendiam dan tak di kenal.
Revan hanya benci basa-basi. Menurutnya itu hal yang membuang waktu. Kenapa tidak langsung masuk pada inti pembahasan?
Jika ada orang minjem duit,
"Eh, ada duit dulu ga? Besok di balikin deh."
Jika ada orang ingin negosiasi,
"Jangan segitu deh, gini aja..."
Jika ada orang ingin mengabarkan sesuatu,
"Jadi tadi begini..."
Revan lebih menyukai seperti itu, sehingga dia menjadi orang yang to the point.
Tapi tetap saja, kadang dia merasa iri dengan teman sejatinya, Andre. Dia bisa dengan mudah berbaur dengan orang lain karena skill basa-basi nya. Dia menjadi orang yang mudah mendapat teman dengan hal itu.
Kadang Revan ingin menjadi orang lain, dan selalu begitu.
Dia ingin menjadi Andre agar bisa mendapat banyak teman di masa SMA, dia ingin menjadi seperti teman sekelasnya yang mempunyai pemikiran kritis, dia pun ingin menjadi seseorang di dekat Alea.
Revan merasa dirinya bukan siapa-siapa.
Lelaki itu merasa bosan hanya dengan menonton video dan melihat berita di sosmed. Dia membuka folder aplikasi lain dan bermain game. Itu sangat membantu Revan dalam menjalani hari-harinya di saat dia ingin menjadi seseorang, tapi malah tak bisa jadi siapapun.
Satu ronde permainan pun berakhir. Tiba-tiba seorang guru mulai membuka pintu dan berdiri di sana tanpa masuk ke kelas. Semua aktivitas yang sedang terjadi langsung dihentikan, para murid kembali ke meja mereka masing-masing.
Itu adalah ibu guru Dewi—seorang guru BK di SMA satu Bandung. Dia datang dengan membawa tumpukan kertas di kedua tangannya.
"Anak-anak, ini ada tes minat dan bakat kamu untuk melanjutkan kuliah. Tolong diisi ya nak, kalau sudah ketua murid tolong kumpulkan kembali ke meja ibu," jelas ibu Dewi dengan singkat dengan nada suaranya yang lembut. Para murid serentak menjawab
"Iya Bu."
"Ketua murid, tolong ambil ini," ujar Bu Dewi menyuruh KM untuk membagikan kertas itu.
Ketua murid menghampiri ibu Dewi untuk mengambil kertas tersebut, lalu ia menyebarkannya pada setiap murid.
Mendengar tentang tes minat dan bakat, Revan merasa tak tertarik sama sekali. Begitu dia melihat pertanyaan-pertanyaan seputar dirinya, dia merasa tak bisa menjawabnya.
Hal-hal sederhana seperti,
"Hal apa yang paling kamu sukai?"
Ia mulai membaca kotak pilihan jawaban yang ada dengan seksama. Musik, seni, angka, ilmu sosial, teknologi, dan yang lainnya. Itu semua...tampak sama.
Dia melewatkan pertanyaan itu dan lanjut ke pertanyaan berikutnya.
"Kamu lebih nyaman bekerja sendiri atau bersama tim?"
Kembali, ia terdiam. Ia pernah bekerja dalam kelompok, tapi hanya ikut-ikutan. Ia juga sering sendirian, tapi bukan karena nyaman — hanya karena tidak tahu harus bagaimana.
Pertanyaan-pertanyaan berikutnya mulai membingungkan Revan. Di masa sekolah SMP mudah sekali menjawab hal ini, tapi sekarang dia merasa tak mengenali dirinya sendiri.
Asing kepada diri sendiri.
Pada akhirnya, Revan menjawab dengan apa adanya. Bukan dari keinginan dia sesungguhnya, tapi dari hal yang mungkin menarik perhatian Revan.
Bantinnya merasa ironis pada dirinya sendiri.
Kertas-kertas itu dikumpulkan kembali. Sekilas Revan melihat jawaban esai temannya yang panjang, menjelaskan hal-hal yang dia minati. Sementara Revan hanya menulis beberapa kata atau satu kalimat saja.
"Huh...yaudah lah ya..." gumamnya.
Bel pulang berbunyi. Revan mengemas barang-barangnya supaya bisa segera pulang tuk merebahkan diri di kasurnya yang nyaman. Sudah terbayang saat pulang dia bisa malas-malasan di kamarnya itu.
Namun di tengah-tengah persiapan pulang, Revan dipanggil oleh teman kelasnya.
"Van, temenin aku mau ya? Nanti kalau traktir deh yang lu mau," ucap Zaky—teman sejatinya Revan nomor dua.
"Aelah, mau balik nih."
Revan segera menggendong tasnya dan hendak meninggalkan Zaky. Tapi temannya itu malah menghalanginya untuk pergi.
"Ayo Van, bentar doang!"
"Ga."
Zaky memutar otaknya untuk bisa membujuk Revan selagi dia menghalangi jalan pulang untuknya.
"Aku top up-in deh!" Zaky tahu Revan akan senang dengan hal itu sehingga dia mengatakan hal tersebut.
"Berapa?" tanya Revan.
"Tiga puluh ribu mau?"
"Skip."
Revan mencoba untuk mendorong Zaky yang terus menahannya, tapi tenaga mereka sama sama kuat sehingga sulit untuk kabur dalam situasi itu.
"Empat puluh ribu!" Zaky berteriak.
"Deal," jawabnya.
----
Terasa sejuk saat berada dalam tempat di mana banyak sekali buku-buku tersusun di rak-rak dengan rapi dengan kategori yang telah di pasang di setiap rak.
Mereka yang membutuhkan tempat menemukan fantasi mereka akan menuju kategori novel. Sama seperti Revan yang sedang berdiri depan rak buku novel.
Mereka kini berada di toko buku yang berada dalam mall kota. Zaky tak mengucapkan apapun tentang hal ini kecuali berkata "Kita ke mall mau nyari hadiah."
Sesekali jarinya mengambil buku untuk sekedar di lihat depan belakangnya, melihat review orang-orang, atau membaca blurb di belakang buku, lalu menaruhnya kembali.
Berkali-kali dia melakukan hal itu sembari menunggu temannya yang berada di pojok lain.
Zaky sedang memilih hadiah untuk seseorang di bagian barang-barang untuk souvernir yang lucu. Seperti bolpoin dengan warna yang menarik, boneka-boneka kecil, buku catatan, dan berbagai barang lainnya.
Revan telah kesal sekali karena Zaky lama memilih hadiah. Entah untuk siapa, tapi Revan menyangka bahwa itu untuk seorang perempuan.
"Lama nih, aku balik ya?" Revan datang dari belakang Zaky, menepuk pundaknya.
"Eh, asli ini bentar lagi," saut temannya itu.
Revan membuang nafasnya dengan berat. Melirik ke sana ke sini, dia menemukan tempat buku catatan yang entah kenapa menarik perhatiannya.
Ia melihat satu buku catatan berwarna hitam—warna kesukaannya dengan model yang dia suka. Ada tali karet panjang yang membantu untuk menutup buku itu.
"Mau Van? Ku traktir." Awalnya Zaky hanya bercanda karena dia tahu selama ini Revan tak menunjukan kesukaannya pada hal-hal seperti 'buku catatan harian'.
Zaky telah selesai membeli hadiah, dia akan mengajak Revan yang kini di sebelahnya untuk ke kasir dan pulang.
"Van, ke kasir—" Zaky masih melihat Revan yang memegang buku catatan itu.
"Evan? Ayo," ajak Zaky.
"Mau neraktir kan? Ku ambil ini ya," jawab Revan yang segera beranjak ke kasir setelah melirik muka Zaky sepersekian detik.
"Lah?"
"Sejak kapan tu anak tertarik begituan?"
Di dalam pikiran lain—pikiran Revan, dia memikirkan satu kegiatan yang 'menyenangkan' jika dia membeli buku catatan itu.