“You got it.”
Aku mengangkat kepala dari buku yang kubaca ketika Arisha menarik kursi di hadapanku. Wajahnya berseri-seri, dengan mata berbinar-binar.
“And … me too.”
“What?” tanyaku dengan dahi berkerut.
“Act 8. Lo dapet peran jadi Sasta, dan gue jadi Aditia. It means gue bakal jadi kakak lo.” Arisha tertawa girang.
Berbanding terbalik dengan Arisha, aku tersenyum kecut. Seharusnya kabar yang disampaikan Arisha membuatku bahagia. Mungkin, jauh lebih berseri-seri ketimbang wajah Arisha. Namun, aku enggak bisa merasakan antusiasme yang sama. Posisiku dengan Arisha berbeda. Dia dapat peran Aditia karena kemampuannya, sementara aku dapat peran Sasta karena well … namaku.
“Lo masih kepikiran ucapannya Tammy?” tanya Arisha.
Aku mengangguk, membuat Arisha memasang ekspresi bosan. “Come on, enggak usah dipikirin.”
“Ya gimana enggak kepikiran? Itu kan…”
Arisha mengangkat tangan, membuatku menelan kembali kata-kata yang siap terlontar.
“Lo dengerin gue, ya.” Arisha berkata tegas. “Mungkin Tammy punya niat lain dengan memilih lo, tapi bukan berarti karena lo jelek. Mungkin enggak sempurna, tapi enggak jelek. Gue tahu lo, Key. Lo mau belajar dan lo mau berusaha. Jadi, enggak perlu khawatir lo bakalan bikin kacau nantinya.”
Aku sudah membuka mulut, tapi Arisha malah membekap mulutku agar enggak memotong ucapannya. Dia memelotot ke arahku, menyuruhku diam sampai dia menyelesaikan ucapannya.
“Ini saatnya lo buktiin ke Tammy atau siapa pun yang menuduh lo dapat peran ini cuma karena populer. Buktiin mereka salah.” Arisha berkata tegas.
Aku menarik tangan Arisha yang membekap mulutku, lalu menghirup udara segar setelah bekapannya membuatku kesulitan bernapas.
Dalam hati aku membenarkan ucapan Arisha. Inilah sisi positif Arisha, selalu bisa melihat silver lining dalam hal apa pun. Termasuk di momen sangat memalukan dan menyesakkan ini, Arisha melihat ada hal lain yang lebih positif.
Pasti menyenangkan bisa punya kacamata positif kayak Arisha.
Aku juga mau bersikap positif. Turut percaya dan optimis kalau aku bisa dan Tammy salah. Tapi, keraguan yang kumiliki jauh lebih besar sehingga sulit untuk bisa seoptimis Arisha.
“You got it?” tegas Arisha, sudah kayak orang dewasa saja.
Arisha akan melanjutkan nasihatnya lagi, tapi urung ketika murid-murid lain mulai memasuki kelas dan diikuti oleh Miss Wendy. Arisha memutar tubuhnya menghadap ke depan kelas karena Miss Wendy yang terkenal killer enggak mengizinkan siapa pun menatap ke arah lain selain dirinya.
Aku mungkin saja terlihat tengah menatap Miss Wendy, tapi pikiranku enggak ada di kelas.
**
Berita soal cast Act 8 menjadi hot topic. Saat berjalan di koridor menuju kelas berikutnya, berkali-kali langkahku dihadang oleh teman-teman yang mengucapkan selamat.
Awalnya aku merasa canggung. Aku menatap siapa pun yang menyelamatiku dengan penuh curiga, mengira-ngira apa ada maksud tersembunyi di balik ucapan mereka? Aku bahkan sengaja menunggu sampai mereka berlalu, takut kalau di belakangku, mereka menertawakanku.
Selama ini aku terbiasa dengan orang-orang yang mendekatiku dengan maksud tertentu, sehingga jadi mudah curiga. Kali ini, aku enggak mau curiga, tapi kenyataannya aku malah punya banyak pikiran negatif.
Aku membanting pintu loker untuk melampiaskan rasa kesal.
“Hai, Kak.”
Aku terperanjat kaget saat mendapati Sofia bersandar di loker di sampingku. Kami enggak begitu akrab, jadi kehadirannya benar-benar membuatku bertanya-tanya.
“Selamat ya, Kak.” Sofia tersenyum. “Gue lihat Kak Key waktu audisi. Keren, sih. Jam terbang tuh enggak pernah bohong, ya?”
Aku memaksakan diri untuk tersenyum, tetapi mataku menatap Sofia dengan awas. Berusaha mencari apakah ada maksud lain di balik ucapannya? Bagaimanapun, dia salah satu saingan terberat untuk peran Sasta. Malah, banyak yang yakin kalau Sofia akan jadi Sasta.
“Thanks,” sahutku. “Lo enggak kesal, kan, sama gue?”
Sofia tertawa, membuat matanya jadi menyipit. “Ya enggaklah. Belum rezeki gue aja. Kalau yang dapat bukan Kak Key, mungkin gue bakal kesal?”
“Kenapa?” buruku.
“Gue mau banget jadi Sasta, makanya gue latihan keras. Tapi, hasil akhir, kan, enggak pernah ketebak. Tapi gue yakin, sih, tadinya. Sampai gue tahu kalau Kak Key juga audisi jadi Sasta. Gue pikir, kalaupun ada yang dapetin Sasta selain gue, paling Kak Key,” jawab Sofia.
“Tapi, lo kan lebih bagus dari gue.”
Sofia mengangkat bahu. “Gue sempat salah lirik, sementara Kak Key flawless banget. Jadi, ya, kali aja itu yang bikin Kak Key lebih kepilih.”
Seandainya aku bisa langsung menerima penjelasan Sofia. Apa yang disampaikannya masuk akal. Saat audisi, kita dituntut untuk memberikan penampilan yang sempurna. Salah lirik, meski kelihatannya sepele, tapi itu kesalahan fatal. Kesalahan kecil yang nunjukin kalau kita enggak siap. Ini juga latihan mental, untuk mempersiapkan diri menghadapi panggung yang sebenarnya.
Mungkin aku akan percaya pada Sofia, kalau aku enggak dengerin percakapan Tammy dan Ririn.
“Lagian, gue masih kelas satu. Masih bisa tahun depan.” Sofia membenarkan letak tali tasnya. “Gue juga dapat peran kecil, sih, tapi cukuplah buat portofolio.”
Sampai Sofia berpamitan karena harus menuju gymnasium untuk pelajaran olahraga, aku masih terpaku di tempat.
“Key!”
Panggilan itu menyentakku. Aku berbalik dan mendapati Tammy setengah berlari mendekatiku. Hatiku mencelus saat melihat Tammy. Dorongan untuk berbalik dan menjauh begitu besar, membuatku memaksakan diri untuk menahan kaki agar bergeming di tempat sampai Tammy tiba di depanku.
“Congrats, ya. Thanks juga udah mau ikut audisi. Sejak awal, gue udah yakin kalau peran itu cocok banget buat lo.” Tammy berkata lantang.
Berbanding terbalik dengan sinar bahagia di wajah Tammy, aku memasang ekspresi datar. Rasanya seperti ada yang menonjok perutku, membuatku mual dan mau muntah.
“Gue udah kirim jadwal latihan ke semua email yang terlibat. Just let me know kalau bentrok sama jadwal lo yang lain.” Tammy menatapku lurus-lurus. “Sebenarnya, sih, gue berharap lo prioritasin pementasan ini. Ini penting banget, bukan buat gue doang, tapi sekolah juga. Makanya gue berharap semua yang terlibat put 100% effort.”
Sebagai project leader, dia punya kewajiban untuk menyampaikan hal barusan. Lagian, pementasan ini juga penting untukku. Jangankan 100%, aku akan berusaha lebih dari itu. Terlebih, seperti kata Arisha, aku harus membuktikan diriku. Termasuk, pembuktian di depan Tammy.
“Gue udah enggak sabar buat mulai latihan.” Tammy tersenyum lebar. “Catch you later, gue harus ke kelas.”
Tammy sudah berlalu keitka aku memanggilnya. Dia berhenti dan menoleh ke arahku, menatapku dengan alis terangkat sebagai ganti kata tanya.
“Tujuan lo ajak gue ikutan audisi apa, Tam?”
Tammy terkesiap, bahkan aku juga merasakan hal yang sama ketika mendengar pertanyaanku sendiri. Aku enggak bermaksud bersikap dingin, tapi pertanyaan itu terdengar ketus.
“Lo pernah bilang di vlog lo, kalau lo suka akting dan sekolah kita punya klub teater yang terkenal. Kalau ada kesempatan, lo mau join. Kayak kakak lo, Trin,” jawab Tammy.
Aku pernah berkata begitu di salah satu vlog, jauh sebelum aku mengenal Dafa dan konten norak yang akhir-akhir ini diproduksi.
Namun, bukan jawaban itu yang ingin kudengar.
“Tujuan sebenarnya apa?” desakku.
Tammy menatapku dengan dahi berkerut. Entah dia pura-pura enggak paham atau sedang mencari alasan untuk menjawab pertanyaanku.
“Lo butuh gue biar ada yang mau sponsorin, kan?”
Sekali lagi, Tammy terkesiap saat mendengar pertanyaanku.
“Oh.”
“Oh doang?!” serbuku.
Tammy bergerak gelisah di tempatnya, jelas terlihat dia enggak nyaman dan merasa terpojokkan.
“Gue dengar omongan lo dan Ririn di kantin beberapa hari lalu.”
Kini, Tammy sama sekali enggak mau membalas tatapanku. Dia makin gelisah. Mungkin percakapan dengan Ririn itu adalah rahasia besar yang enggak boleh diketahui siapa pun, tapi sayangnya aku mengetahuinya secara enggak sengaja.
“Gue enggak bermaksud manfaatin lo. But … yeah, I admit it.” Tammy tampak bersalah ketika akhirnya buka suara. “Okay, gue butuh sponsor. Kalau lo join, sponsor bisa berdatangan dan produksi bisa jalan.”
“Jadi, lo butuh gue cuma buat dapetin sponsor?”
“Enggak Key. Ya itu salah satu tujuannya, tapi lo, kan, ikut audisi. Jadi fair kok.”
Ini sama sekali enggak adil.
“Lagian, kenapa lo jadi sewot, sih? Kan lo diuntungin juga. Biarpun ini cuma skala sekolah, tapi kalau kita sukses, lo juga bakal kecipratan untung, kan?” Tammy menatapku gusar.
“Tadinya gue pikir enggak ada yang manfaatin gue di sekolah ini. Lo enggak tahu aja kalau gue udah senang banget waktu lo ajak, tahunya ada niat lain di baliknya.”
Tammy menggelengkan kepala. “It’s not a big deal ya, Key. Kalau gue terkenal kayak lo, gue enggak butuh bantuan. Masalahnya, gue enggak punya popularitas yang sama kayak lo.”
“Ini big deal buat gue. Lagian, lo enggak sepercaya diri itu sampai harus banget manfaatin orang?”
Tammy mendengkus. “Kakak lo aja juga manfaatin lo.”
Kini, aku yang terkesiap saat mendengar ucapan Tammy. “Maksud lo?”
“Jakarta Kini dan Nanti, yang diproduksi Trin. Dia juga kesulitan cari sponsor, tapi begitu sponsor tahu dia kakak lo, dan itu artinya lo pasti bakal ikut promosiin acara itu, makanya mereka mau jadi sponsor.”
Aku menggeleng kencang, enggak mau menerima penuturan Tammy. Dia salah, Trin enggak mungkin begitu. Lagipula, itu sudah dua tahun yang lalu. Dan dua tahun lalu, aku belum jadi siapa-siapa. Lagian, Trin lebih terkenal. Dibanding dia, aku jelas enggak ada apa-apanya. Ini pasti cuma akal-akalan Tammy saja.
“Karena sponsor tahu lo bakalan datang menonton dan mereka bisa ngaitin lo ke Trin. Lo enggak baca berita soal produksi teaternya Trin? It’s all about you. Karianna, adiknya Katrinna. It sells.”
Ini menggelikan. Yang ada, orang-orang lebih mengenal Katrinna ketimbang Karianna.
“Terima aja kalau di dunia ini, ada orang kayak lo yang punya privilege lebih. Jadi enggak usah sewot.” Tammy bersedekap di depanku. “Lo masih punya waktu buat mundur kalau memang enggak mau. Jangan sampai produksi terhambat karena lo punya issue di sini, lo pikirin lagi, deh.”
Begitu saja, Tammy meninggalkanku yang enggak bisa ngapa-ngapain, hanya berdiri di depan loker, seperti orang bodoh.