Hashtag, relationship goals.
Apa, sih, relationship goals yang sebenarnya? One of the most used hashtags in Instagram, tapi aku ragu apakah mereka yang membubuhkan hashtag itu di setiap foto benar-benar paham makna dari relationship goals?
Just take me as an example. Mengunggah foto romantis bareng Dafa, lalu menambahkan hashtag relationship goals, apa itu berarti hubunganku dan Dafa adalah sesuatu yang ideal untuk ditiru? Enggak sama sekali.
Begitu juga ketika aku menelusuri foto dengan hashtag itu satu per satu, melihat keromantisan dalam setiap foto, juga membaca caption berbunga-bunga, tapi enggak membuat hatiku terketuk untuk menganggapnya sebagai idola yang patut diikuti.
Mungkin karena apa yang kulakukan sendiri adalah sebuah sandiwara berisi kebohongan, sehingga aku jadi skeptis? Aku mempertontonkan kebohongan, dengan imbalan engagement tinggi dan menguntungkan bagiku. Jadi seharusnya hashtag yang cocok adalah money goals, bukan relationship goals.
“Komennya positif, nih, Babe.” Dafa berkata pelan, tanpa mengalihkan perhatian dari layar handphone.
Like I care.
“Balik, yuk.”
Dafa melirik sekilas. “Nantilah, belum juga sunset. Abis sunset, deh.”
Aku memberengut. Sumpah, aku sudah bosan setengah mati di sini. Kalau di foto yang diunggah Dafa aku terlihat menikmati momen di beach club bareng pacarku, kenyataannya jauh berbanding terbalik. Yang ada aku dan Dafa sibuk dengan handphone masing-masing. Lama-lama ya bosan juga, walaupun pemandangan pantai Bali to die for banget.
“Babe, bikini dong.”
Refleks aku memelotot ke arah Dafa.
“Ya ampun, Babe. Cuma bikini doang.”
Aku meringis, melihat Dafa yang dengan santai mengutarakan hal barusan seakan-akan enggak ada yang salah dengan itu.
“Ini beach club, Babe.”
“Terus?”
Dafa mendengkus, sama sekali enggak menutupi kekesalannya.
Saat ini aku sedang berada di beach club bareng Dafa. Tadi, sih, bareng tim tapi mereka sudah pulang duluan ke hotel buat mengedit vlog buat ditayangin malam ini juga. Sudah kayak sinetron kejar tayang saja.
Berhubung ada di Bali, rasanya kurang lengkap tanpa ke beach club buat menikmati sunset. Jadi, aku dan Dafa menghabiskan sore sambil menunggu sunset. Khusus untukku, menunggu kabar dari Ansel. Sekitar satu jam yang lalu dia berangkat dari Jakarta.
“Kan, bisa pamer body goals, Babe. Lihat foto terbaru Kenny, deh.” Dafa masih melanjutkan bujukannya.
Aku melirik layar handphone Dafa yang memperlihatkan foto Kenny bareng teman-temannya.
“No and no, thank you.”
Aku memang enggak masalah dengan bikini, tapi enggak nyaman aja karena ada Dafa. Apalagi Dafa pasti akan mengunggah fotoku, jadi aku berkewajiban melindungi diriku sendiri.
“Padahal ini demi engagement kamu juga. Kamu, kan, emang gitu. Enggak mau dibilangin.”
“Udah, def, Daf. Ini kan akunku, suka-suka aku mau post apa. Kamu aja yang pakai bikini kalau ngotot mau post foto bikinian,” timpalku.
Dafa menggerutu pelan. Dia kembali memusatkan perhatian ke layar handphone, mungkin mencari konten lain yang bisa ditirunya.
“Foto ini engagement-nya bagus, deh.”
Sekali lagi, Dafa menyodorkan handphone tepat ke depan mataku. Di layarnya ada halaman Instagramku yang memuat foto candid hasil jepretan Ansel.
“Temanmu itu jago juga.”
Aku juga surprise ketika foto itu mendapat respons jauh di atas dugaan. Bahkan melebihi fotoku yang lain. Satu foto itu saja bisa menambah puluhan followers baru. Awalnya Mama marah karena foto itu terlihat out of place di tengah feed Instagram, tapi akhirnya Mama enggak berkata apa-apa lagi setelah melihat hasil engagement.
“Sering-sering aja minta dia buat motret kamu.”
“Kan ada Mas Dewa, ngapain minta Ansel?”
Dafa beringsut mendekatiku. Sebelum aku sempat menjauh, dia sudah melingkarkan lengannya di pundakku, sehingga aku enggak bisa bergerak.
“Fotonya lebih bagus dibanding Mas Dewa. Dia ikut ke Bali, kan? Aku lihat di postingan Arisha,” tanya Dafa yang kujawab dengan anggukan.
Dasar labil, sebelumnya dia terlihat kesal kalau membahas Ansel, sekarang malah sebaliknya. Jika Dafa merasa seseorang bisa dimanfaatkan, dia bisa jadi super baik. Seperti kali ini.
“Selama di Bali, dia jadi fotografer kita aja gimana? Dia, kan, teman kamu. Enggak perlu dibayarlah. Kasih exposure aja, followers dia masih sedikit.”
Di saat Dafa tertawa puas dengan ide yang menurutnya pasti sangat jenius itu, aku malah melongo. Meminta Ansel jadi fotografer aku dan Dafa? Not in a million years.
Satu lagi, cara Dafa bicara membuatku muak. Dia terdengar sangat merendahkan Ansel.
“Jangan mentang-mentang followers kamu jumlahnya jutaan, terus kamu bisa semena-mena kayak gitu. Enggak selamanya follower bisa kasih special treatment buat kamu,” gerutuku.
“Lho, benar, kan? Kamu juga sama, Key. Enggak usah munafik, deh.”
“I know, tapi aku enggak kayak kamu yang shameless banget manfaatin followers.”
“Key, kamu tahu papaku, kan?”
Aku mengangguk, berusaha mencerna ucapan Dafa yang tiba-tiba melenceng jauh.
“Aku belajar banyak dari Papa. Dulu dia terkenal banget, tapi Papa enggak punya fans service yang bikin penggemarnya bertahan. Makanya pamor Papa cepat turun, padahal banyak aktor senior seusia Papa yang masih dipuja sampai sekarang. Aku enggak mau kayak Papa, cepat turun pamor. Makanya aku treat follower aku sebaik mungkin biar mereka enggak kabur,” jelas Dafa panjang lebar.
“Ada cara lain, kok. Mungkin kamu bisa bikin konten yang lebih berkualitas atau punya karya nyata.”
Dafa mendengkus. “Berkualitas atau enggak itu urusan kesekian. Selama yang nonton suka, kenapa enggak? Mereka dapat hiburan, kan?”
“Kamu enggak capek, Daf?” tanyaku.
Dafa mengangkat bahu. “Kalau lihat adsense atau endorsement yang antre, ya aku enggak mungkin ngerasa capeklah.”
Dafa melirikku sambil tersenyum. Harus kuakui kalau dia memiliki senyum manis, dan senyum itulah yang membuat cewek-cewek klepek-klepek di depannya, sampai rela menonton videonya yang norak itu.
“Makanya, Babe, kamu harus lebih santai lagi. Chill aja, enggak usah terlalu mikir. Kamu masih untung punya Mama Nica. Mamaku harus belajar banyak dari Mama Nica.” Dafa melanjutkan.
“Kadang aku ngerasa ini too much aja, sih. Enggak bisa, ya, kita kayak orang normal aja?”
Dafa terkekeh. “Karianna, we’re far from normal.”
**
“Rooftop pool dulu ya, Babe.”
“Besok ada syuting pagi, Dafa,” tolakku.
“Sebentar aja. Kamu enggak kangen sama aku? Jarang-jarang, lho, kita punya waktu berdua kayak gini.” Dafa menatapku lekat-lekat.
“Sebentar doang, ya.”
Dafa menggenggam tanganku saat keluar dari lift. Aku merapatkan jaket untuk mengusir dingin akibat embusan angin malam. Suasana rooftop pool di hotel tempatku menginap malam ini enggak begitu ramai. Mungkin karena baru hari Jumat, dan belum pukul delapan, sehingga masih sepi.
“Teman-temanmu udah datang?”
“Lagi makan di Bu Andika,” sahutku. Sekitar setengah jam yang lalu Ansel memberitahu mereka akan tiba lebih malam di hotel karena mampir ke Bu Andika. Itu berarti aku baru akan bertemu dengannya besok siang, karena aku butuh istirahat malam ini dan besok ada syuting pagi.
“Mau ngapain, sih? Dingin, nih. Balik aja, yuk.”
“Jangan dong.” Dafa mengajakku ke salah satu sunchair di ujung terluar kolam.
Dari sini, aku bisa melongok ke bawah dan langsung bergidik karena menyadari betapa tingginya tempat ini.
Aku sedang asyik mengamati pantulan lampu di air kolam ketika Dafa memeluk pinggangku.
“Dingin, kan? Makanya aku peluk aja biar hangat.”
“Apaan, sih,” tukasku.
Tumben Dafa bersikap manis dan romantis, padahal lagi enggak ada kamera. Tindakannya membuatku jadi curiga.
Aku berusaha menjauh, tapi Dafa menarikku makin mendekatinya. Sesaat ada perasaan kurang nyaman merambati hatiku. Terlebih saat menatap sekeliling dan menyadari tempat ini cukup secluded. Artinya, enggak ada yang menyadari keberadaanku di sini bareng Dafa.
Perasaan kurang nyaman itu semakin menjadi-jadi, sehingga aku memutuskan untuk angkat kaki.
“Aku duluan, ya,” ujarku sambil bangkit berdiri.
Namun, Dafa menahanku. Pegangannya cukup erat, bahkan aku sampai meringis kesakitan ketika dia mencengkeramku.
“Daf, lepasin aku.”
Bukannya melepaskanku, Dafa beringsut mendekatiku. Satu tanganku yang lepas berusaha melepaskan cengkeramannya, tapi hanya membuat Dafa makin mempererat pegangannya.
“Sakit tahu, Daf.”
Namun, Dafa kayak enggak peduli.
“Cium dong, Babe.”
Mataku terbelalak saat mendengar ucapannya. Apa aku enggak salah dengar?
“Cium doang, Babe. Kan, kita pacaran.”
“Apaan, sih? Aku mau balik. Kamu lepasin, enggak?”
Senyum miring yang tersungging di wajah Dafa membuatnya terlihat sinis. Dia terlihat memuakkan, sekaligus mengerikan. Selama ini dia memang menyebalkan, tapi hanya tingkahnya yang membuatku kesal. Berbeda dengan malam ini, Dafa memberikan aura mengancam yang membuatku ketakutan.
“Enggak usah sok jual mahal, Key. Cuma ciuman doang.”
Aku memang berstatus sebagai pacarnya Dafa, tapi aku belum pernah ciuman dengannya. Selama ini Dafa juga enggak peduli. Baru kali ini aja tiba-tiba dia kayak gini.
“Pacaran bukan berarti harus ciuman, kan?”
“Jangan sok naif, deh.”
Dafa sepertinya enggak bisa menerima penolakan. Satu tangannya yang bebas berusaha menahan kepalaku saat aku memberontak ingin lepas ketika dia memaksa untuk menciumku. Semakin keras aku berusaha, semakin keras pula Dafa memaksa.
Bibir Dafa terasa kasar saat menyentuh bibirku, membuatku mau muntah. Aku terus memberontak, sedikit pun enggak sudi menerima ciuman itu.
Napasku tercekat saat merasakan sentuhan Dafa di dadaku. Selama beberapa detik, aku hanya bisa terpaku sementara otakku mencerna apa yang sedang terjadi.
Dafa tertawa sinis, sebelum kembali berusaha menciumku. Kini, dia juga terang-terangan menyentuh dadaku.
Entah dari mana datangnya kekuatan itu, karena tanganku yang lepas akhirnya menjambak rambut Dafa. Dia mengaduh dan melepaskanku dengan terpaksa. Aku bangkit berdiri bersamaan dengan sumpah serapah dari mulut Dafa.
“Kamu apa…”
Satu tamparan mendarat di pipinya. Tubuhku gemetar, bahkan setelah menampar Dafa. Dia menatapku garang, tapi kali ini, aku enggak lagi ketakutan.
“Berengsek,” umpatku, dan berlalu meninggalkannya.
Saat sendirian di dalam lift yang membawaku kembali ke kamar, aku enggak bisa menahan tangis.