Loading...
Logo TinLit
Read Story - Arsya (Proses Refisi)
MENU
About Us  

Aku bersembunyi di balik topeng keberanian, padahal aku terlalu pengecut untuk menghadapi kekecewaan. Doa dan harapan kutinggalkan, bersamaan dengan mimpi-mimpiku, dalam penjara keputus asaan

 

Arsya Abiseka Gantari

 

Panas menjalar ke seluruh tubuh Arsya. Kepalanya pening. Dengan susah payah, ia meremas kening, berusaha meredakan sakit yang menusuk.

 

Dalam keadaan setengah sadar, ia berusaha memejamkan mata, mencari pelarian dari siksaan panas ini. Namun, usaha itu sia-sia.

 

Tubuhnya diguncang oleh seseorang, membangunkannya dari lamunan sakit. Suara parau dan kasar menusuk telinganya.

 

"Hei, bangun!" perintahnya.

 

Arsya mengerjap perlahan, pandangannya masih kabur dan berat. Cahaya lampu penerangan yang menyilaukan membuatnya meringis. Dengan susah payah, ia mencoba fokus pada wajah orang yang berusaha membangunkannya.

 

"Aku... aku ketiduran?" gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.

 

Arsya menatap wajah yang tersenyum di atasnya dengan pandangan kosong. Otaknya masih berusaha mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Ingatan tentang janji perlindungan dan ancaman dari anak-anak lain kembali menghantuinya. Anak yang membangunkannya mendeklarasikan diri sebagai sosok "Kakak" bagi Arsya dengan percaya diri. Dia Alana.

 

Alana menggenggam tangan Arsya, perasaannya yang kacau terpantul dalam bisik hatinya. "Aku sebel, karena dia lebih beruntung daripada aku. Tapi aku tahu aku nggak boleh kayak gitu. Aku kan Kakaknya, jadi aku harus tunjukin yang baik buat dia."

 

Arsya merasakan genggaman Alana yang erat, dan dia tidak bisa mengabaikan nada getir yang menyertai kata-kata itu. "Hei, kamu tahu nggak, aku dulu pernah dibawa balik ke sini lagi setelah diadopsi. Jadi, kamu harus nurut sama aku biar kamu nggak kayak aku," ujar Alana, nada suaranya tegas namun ada sedikit getar yang terdengar. "Kamu nggak mau tinggal di sini, kan? Aku tahu. Jadi, turuti aku."

 

Dia menarik napas dalam, menatap lurus mata Arsya, seolah mencoba menyalurkan semua harap dan ketakutannya. "Kamu enggak boleh manja sama orang yang mengadopsimu. Kamu enggak boleh ngerepotin. Kamu harus nurut sama semua perintahnya, walau kamu enggak suka. Kamu harus menahannya. Dengan begitu, kamu enggak akan kembali ke sini. Kamu mengerti?" tanya Alana, suaranya sedikit melunak. Arsya hanya diam, kepalanya terlalu sakit untuk berpikir jernih, namun dia merasakan ada sesuatu yang mendesak dalam kata-kata Alana.

 

"Hei, aku sudah bilang. Kamu harus mengangguk kalau mengerti perkataanku. Jangan seperti anak dungu," ujar Alana, kali ini suaranya lebih tajam. Arsya terkejut dan cepat-cepat mengangguk, mengikuti perintah itu dengan rasa takut yang menggelayut di hatinya. Menurutinya tidak membuat Arsya rugi, pikirnya.

 

"Pintar," puji Alana, sambil menepuk kepala Arsya dengan kasar. Namun, seketika itu juga, dia mengangkat tangannya. Mengubah tepukannha dengan mengusap kepala Arsya. "Ulangi perkataanku tadi. Kamu sama sekali nggak boleh lupain itu!" perintah Alana. "Ayo ulangi!"

 

Arsya menurutinya. "Aku enggak boleh nakal," ujarnya, suaranya masih terpengaruh oleh sakit kepala yang dirasakannya. Alana mengangguk, menunggu Arsya mengucapkan kalimat berikutnya. "Aku enggak boleh manja, harus menurut," lanjut Arsya, suaranya semakin yakin meskipun ada keraguan di dalam hatinya.

 

Alana memeluknya sambil berulang kali memuji Arsya. "Pintar..." bisiknya, kali ini dengan nada yang lebih lembut, namun dalam benaknya masih tergambar bayangan kegagalan masa lalunya.

 

"Kamu nggak boleh lupa. Kamu harus mengingat itu. Kamu harus ingat, selamanya!" bisik Alana lagi, suaranya kini lebih lembut namun tetap tegas. "Kamu mengerti, kan?" tegasnya, sorot matanya penuh harap. "Sekarang, kamu harus ikut aku ke ruang tamu. Orang yang nunggu kamu ada di sana. Jangan teriak, jangan gigit ya. Kamu harus baik sama mereka," perintahnya.

 

Dengan tatapan penuh harap dan sedikit ketakutan, Arsya mengangguk. Dalam hatinya, dia merasakan kegelisahan yang mendalam, namun dalam benaknya terpatri satu tujuan untuk tidak kembali ke tempat yang penuh rasa sakit ini.

 

Alana menariknya bangkit dari kasur. Sebenarnya, rasa pusing di kepalanya semakin parah. Badannya menggigil hebat, dan wajahnya memerah karena demam yang semakin meninggi. Tapi Arsya tak punya keinginan untuk menolak. Beberapa hari terakhir ini, dia hanya bisa menuruti Alana, melakukan apapun yang diminta anak itu. Seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang membuatnya terikat pada Alana, meskipun dalam hatinya dia merasa ada sesuatu yang salah.

 

Arsya mengikuti arah tarikan Alana dengan pasrah. Tak ubahnya seperti boneka yang digerakkan oleh tangan orang lain, dia menerima semua perintah Alana tanpa sedikitpun menolak. Walaupun pandangannya semakin kabur, ia tetap berjalan. Setiap langkah terasa berat, namun suara Alana yang terdengar di telinganya seolah menjadi satu-satunya kompas yang bisa dia ikuti.

 

"Apakah ini yang disebut hidup?" pikirnya dalam kebingungan, sebelum suara beberapa orang dewasa mulai terdengar samar-samar. Semakin Arsya mendekati ruang tamu, suara itu semakin jelas.

 

"Nah, itu anaknya," ujar salah satu dari mereka. Arsya mengenali suara itu-suara ibu panti yang lembut, sebenarnya Arsya suka suaranya. Tapi Arsya tidak suka tempat ini. Dan Ibu panti yang memilikinya. Andai tempat ini dikelola lebih baik lagi, rasanya tidak akan begitu menakutkan.

 

"Duduk di sini, Kakak temani. Kamu tidak usah takut," kata Alana sambil berusaha menenangkan Arsya. Namun, kata-kata itu terasa begitu hampa di telinga Arsya, seolah hanya gema kosong yang berputar-putar dalam kepalanya.

 

Takut? Arsya bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia merasakan takut. Perasaan itu sudah lama terkikis oleh kesedihan yang dalam, oleh kepasrahan yang mencekik. Di hatinya, hanya ada kegelapan yang tak berujung, di mana rasa sakit dan kecewa telah mengakar begitu dalam, menghapus semua rasa takut yang dulu pernah ada.

 

Seseorang mendekatinya. Arsya merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya yang panas. Ada sesuatu yang ganjil tentang kehadiran orang itu, tapi Arsya terlalu lelah untuk peduli. Semua yang ia inginkan hanyalah agar semuanya berhenti-semua rasa sakit, kepedihan, dan kebingungan yang tiada akhir ini.

 

"Arsya," sapa suara itu lembut, seperti sebuah bisikan dari masa lalu yang hampir terlupakan. Arsya hanya diam, matanya terpaku pada retakan di lantai. Demamnya semakin menjadi-jadi, dan napasnya semakin terasa panas.

 

"Arsya..." panggilnya lagi. Panggilan itu terasa asing di telinganya, seperti sebuah nama yang dulu pernah dia kenal, tapi sekarang terasa jauh dan tak nyata. Sudah lama sekali ia tidak mendengar namanya sendiri. Di tempat ini, nama hanya sebuah label, yang mudah diganti dan dilupakan. Kadang ia dipanggil "Heh", "Botak", atau "Anak Aneh". Selain itu, Ibu panti belum sempat membuatkan nama untuknya, dan nama "Arsya" seolah-olah sirna sejak ia menginjakkan kaki di panti asuhan.

 

"Orang itu kayaknya manggil kamu deh, kamu harus melihat wajah orang yang memanggilmu," perintah Alana lagi, suaranya kini lebih tegas.

 

Arsya menurutinya seperti orang yang kehilangan arah, ia mengangkat pandangannya dengan lambat. Kepala yang berat dan pandangan yang semakin kabur membuatnya sulit memastikan ekspresi orang itu. Ia hanya tahu, ada sesuatu yang harus ia lakukan-sesuatu yang diinginkan orang lain darinya.

 

"Nak, kamu demam?" tanya orang itu tiba-tiba, suaranya penuh perhatian. Dia mendekatkan punggung tangannya ke dahi Arsya. Arsya terperanjat, dan dengan cepat menepis tangan orang itu, gerakan refleks yang tak bisa ia kendalikan.

 

Alana terlihat marah karena perbuatan Arsya "Hei, sudah Kakak bilang. Kamu tnggak boleh nakal!" bentak Alana, suaranya terdengar tajam.

 

Arsya tersentak, tubuhnya seketika menegang. Ia menatap tajam ke arah Alana, mata mereka bertemu sejenak. Tapi, Alana hanya membalas dengan tatapan sinis, seolah memandang Arsya sebagai anak yang tidak tahu diri.

 

"Tidak apa-apa, Nak. Arsya hanya terkejut," ucap laki-laki di depan Arsya, mencoba menenangkan Alana. Dia lalu berlutut, sejajar dengan Arsya, dan menggenggam tangannya dengan lembut. "Arsya, ini Dokter Nata," ujarnya perlahan, seolah nama itu sendiri bisa menjadi penyembuh.

 

Dahi Arsya berkerut, kebingungan tergambar jelas di wajahnya. "Dokter Nata?" ulangnya pelan, seolah sedang menguji kata-kata itu di bibirnya, mencoba mengingat sesuatu yang lama hilang.

 

"Iya, ini Dokter Nata," jawab laki-laki itu lagi, suaranya penuh kepastian dan kehangatan.

 

"Hah?" Arsya hanya bisa melenguh, sebelum senyum sinis tersungging di bibirnya. "Ternyata aku masih mimpi," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada orang lain.

 

"Kamu tidak bermimpi. Aku sungguh Dokter Nata," kata laki-laki itu, suaranya lembut namun tegas, berusaha menembus keraguan yang menyelimuti pikiran Arsya.

 

"Bukan mimpi?" Arsya mencoba meyakinkan dirinya sendiri, tapi suara batinnya penuh keraguan, seolah tidak berani berharap lebih.

 

Arsya mencoba fokus, suara laki-laki di depannya memang tidak asing. Walau Arsya tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Tapi hatinya seakan yakin kalau di hadapannya dokter Nata. Tangan Arsya mulai bergetar hebat, seakan ada badai kecil yang mengamuk di dalam dirinya. Jantungnya berdetak liar, irama tak beraturan yang menghantam dadanya. Dinding pertahanan yang selama ini ia bangun runtuh seketika. Air mata mulai mengalir deras tanpa bisa ia cegah, membasahi wajahnya yang memerah karena demam.

 

"Kamu lelah sekali, ya, Arsya?" Suara lembut Dokter Nata memecah lamunan Arsya, suaranya seolah membawa kehangatan yang menenangkan. "Maaf kami terlambat," ucapnya pelan sambil menyeka air mata Arsya dengan lembut, seolah setiap tetes air mata itu adalah bukti penderitaan yang telah dialami Arsya.

 

Arsya tertegun, baru saat itu ia menyadari dirinya menangis. Bingung dan tak percaya bercampur aduk dalam hatinya. "Ini... ini nyata?" tanyanya lirih, matanya mulai mencari-cari kebenaran di wajah Dokter Nata. Sulit bagi Arsya untuk mempercayai bahwa mimpi buruknya akhirnya berakhir.

 

"Iya, Nak. Ini nyata. Dokter akan membawa kamu pulang," ucap Dokter Nata, suaranya sedikit bergetar, penuh emosi yang tertahan. Matanya berkaca-kaca, dia kemudian menyeka air mata dari wajahnya sendiri.

 

Arsya menatapnya, tak percaya. "Beneran? Ini... ini beneran Dokter? Bukan mimpi?" tanyanya lagi, seolah masih takut bahwa semuanya hanyalah ilusi.

 

Dokter Nata mengangguk mantap, tatapannya penuh keyakinan. Ia lalu menarik Arsya ke dalam pelukannya, erat dan penuh kehangatan. Tangis kecil Arsya pecah, dan perlahan tangisannya semakin keras, seolah suara hatinya yang selama ini terpendam akhirnya menemukan jalan keluar. Tangannya meremat erat bagian belakang baju Dokter Nata, mencoba meraih sepotong kelegaan dari penderitaan yang selama ini ia rasakan. Dalam pelukan itu, Arsya melampiaskan semua rasa sakit, ketakutan, dan kesepian yang telah menghantuinya selama ini.

 

Tangisan Arsya menggema, mengundang simpati dari semua orang di sekitar. Dokter Nata membiarkan Arsya meluapkan emosinya, meskipun hatinya teriris melihat perubahan drastis pada bocah itu. Ingatannya melayang pada saat pertama kali Arsya datang.

 

Arsya ditarik paksa oleh seorang anak perempuan, terlihat rapuh dan tak berdaya. Hatinya terasa remuk, dipenuhi keinginan yang tak tertahankan untuk berlari, menarik Arsya ke dalam pelukannya, melindungi anak itu dari segala ketidakadilan yang menghimpitnya. Namun, langkahnya tertahan. Di tengah gelombang emosinya, sebuah kenyataan pahit terlintas dalam benaknya-bahwa ada seseorang yang memiliki hak lebih besar atas Arsya daripada dirinya.

 

Kakek Arsya juga terguncang saat melihat cucunya dalam kondisi seperti ini. Dengan berat hati, ia menyentuh paha Dokter Nata. "Tolong temui anak itu... Aku sekarang hanya orang asing baginya," ujarnya, menahan tangis.

 

Kilasan masa lalu Arsya terlintas dalam benak Dokter Nata. Dulu, walau senyuman Arsya terlihat canggung, senyuman itu selalu menular. Dokter Nata selalu merindukan senyum itu saat Arsya hilang. Namun sekarang, senyuman itu menghilang. Mata Arsya redup, pandangannya kosong, seakan kehilangan semangat hidup. Ia seperti boneka tanpa jiwa yang dipaksa mengikuti arus.

 

Kemarahan bergemuruh di dada Dokter Nata. Ia ingin sekali menuntut siapa pun yang telah merampas senyum Arsya. Namun kemudian, kesadarannya menyeruak-kelalaian yang terjadi bukan sepenuhnya kesalahan orang lain. Tangan yang seharusnya menuntun, malah sempat terlepas. Kepercayaannya yang sempat teralihkan kini berbalik menghunus dirinya sendiri.

 

Perlahan, tangisan Arsya mulai mereda, suaranya yang tadinya pecah kini berubah menjadi bisikan lemah. Genggaman kecilnya pada baju Dokter Nata mengendur, tubuhnya perlahan melemah, kehilangan kekuatannya.

 

"Nak..." panggil Dokter Nata dengan suara bergetar, penuh kekhawatiran. Rasa takut yang mendalam menghantamnya saat tubuh kecil Arsya perlahan meluruh, hampir jatuh ke kursi. Dengan sigap, Dokter Nata menahan kepala Arsya agar tidak terbentur.

 

"Arsya..." bisiknya, mencoba membangunkan anak itu, namun yang ia dapat hanyalah keheningan. Mata Arsya terpejam rapat, bibirnya sedikit terbuka, dan napasnya terasa begitu tipis, hampir tak terasa.

 

"Arsya, Nak. Bangun, Nak," pinta Dokter Nata, suaranya bergetar menahan duka yang menyelusup ke dalam hatinya. Jari-jarinya dengan lembut menyentuh pipi Arsya, seolah berharap sentuhan itu bisa membangkitkan anak yang kini berada di ambang kesadaran. Namun, Arsya tak kunjung merespons. Matanya tetap terpejam, seakan telah menyerah pada dunia, memilih tenggelam dalam kegelapan yang semakin dalam.

 

Di dalam benaknya, Arsya merasa seperti mengulang adegan ini berkali-kali. Namun kini, dia bersama orang yang tepat. Dia merasa tenang. Di sini, bersama Dokter Nata, ia menemukan kedamaian yang pernah ia rasakan sebelumnya.

 

Arsya telah bertahan, seperti yang diperintahkan oleh seseorang dalam mimpinya. Di ujung kesadarannya, Arsya mulai memahami sesuatu yang selama ini tersembunyi di balik lapisan keputusasaan yang begitu tebal. Selama ini, ia merasa terkuras oleh harapan yang terus menerus menggerogoti jiwanya. Setiap detik, setiap napas, seperti membawa beban yang semakin berat. Ia merasa telah melepaskan semua keinginan, menyerah pada nasib yang membawa dirinya entah ke mana.

 

Arsya pikir, dirinya sudah tidak peduli lagi-bahwa ia telah mati rasa, tidak lagi menginginkan apapun. Namun, kenyataannya berbeda. Di balik dinding ketidakpedulian yang ia bangun untuk melindungi dirinya, hatinya masih menggemakan harapan yang begitu kuat. Dan kini, di saat-saat genting ini, Arsya mulai menyadari bahwa mimpi-mimpi yang selama ini menghantui tidurnya, bukan kekadar mimpi biasa.

 

Mimpi itu, yang awalnya ia anggap sebagai fatamorgana di tengah padang keputusasaan, ternyata lebih dari sekadar ilusi-itu adalah pantulan dari harapan yang selama ini tersembunyi jauh di lubuk hatinya. Harapan yang terlalu takut untuk muncul ke permukaan, kini mulai mengungkapkan dirinya. Arsya ingin mimpi itu menjadi kenyataan. Di dalam hatinya yang remuk, ia mendambakan seseorang yang akan menguatkannya, yang akan memegang tangannya dan membimbingnya keluar dari kegelapan yang telah lama membelenggunya. Dalam keheningan dan ketakutan, ia mulai memohon, meski dalam ketidaksadarannya, agar ada kebangkitan dari keputusasaan yang menggerogotinya. Arsya berharap, di balik semua rasa sakit dan kebingungan ini, ada sesuatu yang indah yang menantinya-sesuatu yang mampu membawanya kembali ke kehidupan yang sesungguhnya, kehidupan yang penuh dengan cinta dan kebahagiaan.

 

Saat kesadarannya perlahan mulai menghilang, di tengah keletihan yang begitu berat, ia mendengar sebuah suara lembut yang memanggilnya. Suara itu seperti sebuah pelukan yang tak terlihat, membalut hatinya yang terluka dan memberikan kehangatan yang sangat ia rindukan.

 

"Terima kasih, sayang. Kamu sudah bertahan dengan baik. Tidurlah! Kamu akan membaik setelahnya."

 

Kata-kata itu perlahan mulai memudar, seperti bayangan yang menjauh, namun meninggalkan jejak yang tak terlupakan. Belaian lembut dari suara itu meresap ke dalam pikiran Arsya yang kelelahan, membawa rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Di dalam hatinya, ia merasa seperti ada sesuatu yang akhirnya menyerah-bukan pada kegelapan, tetapi pada kenyamanan yang perlahan-lahan mulai mengisi ruang-ruang kosong di jiwanya. Dan dalam ketenangan yang baru ia temukan ini, Arsya merasa untuk pertama kalinya, bahwa mungkin, hanya mungkin, segala penderitaan ini akan berakhir dengan keindahan yang selama ini ia cari.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
No Life, No Love
1568      1079     2     
True Story
Erilya memiliki cita-cita sebagai editor buku. Dia ingin membantu mengembangkan karya-karya penulis hebat di masa depan. Alhasil dia mengambil juruan Sastra Indonesia untuk melancarkan mimpinya. Sayangnya, zaman semakin berubah. Overpopulasi membuat Erilya mulai goyah dengan mimpi-mimpi yang pernah dia harapkan. Banyak saingan untuk masuk di dunia tersebut. Gelar sarjana pun menjadi tidak berguna...
Happy Death Day
609      346     81     
Inspirational
"When your birthday becomes a curse you can't blow away" Meski menjadi musisi adalah impian terbesar Sebastian, bergabung dalam The Lost Seventeen, sebuah band yang pada puncak popularitasnya tiba-tiba diterpa kasus perundungan, tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Namun, takdir tetap membawa Sebastian ke mikrofon yang sama, panggung yang sama, dan ulang tahun yang sama ... dengan perayaan h...
Bunga Hortensia
1694      138     0     
Mystery
Nathaniel adalah laki-laki penyendiri. Ia lebih suka aroma buku di perpustakaan ketimbang teman perempuan di sekolahnya. Tapi suatu waktu, ada gadis aneh masuk ke dalam lingkarannya yang tenang itu. Gadis yang sulit dikendalikan, memaksanya ini dan itu, maniak misteri dan teka-teki, yang menurut Nate itu tidak penting. Namun kemudian, ketika mereka sudah bisa menerima satu sama lain dan mulai m...
Metafora Dunia Djemima
127      105     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?
Resonantia
488      393     0     
Horror
Empat anak yang ‘terbuang’ dalam masyarakat di sekolah ini disatukan dalam satu kamar. Keempatnya memiliki masalah mereka masing-masing yang membuat mereka tersisih dan diabaikan. Di dalam kamar itu, keempatnya saling berbagi pengalaman satu sama lain, mencoba untuk memahami makna hidup, hingga mereka menemukan apa yang mereka cari. Taka, sang anak indigo yang hidupnya hanya dipenuhi dengan ...
Perjalanan yang Takkan Usai
509      398     1     
Romance
Untuk pertama kalinya Laila pergi mengikuti study tour. Di momen-momen yang menyenangkan itu, Laila sempat bertemu dengan teman masa kecil sekaligus orang yang ia sukai. Perasaan campur aduk tentulah ia rasakan saat menyemai cinta di tengah study tour. Apalagi ini adalah pengalaman pertama ia jatuh cinta pada seseorang. Akankah Laila dapat menyemai cinta dengan baik sembari mencari jati diri ...
Monokrom
126      104     1     
Science Fiction
Tergerogoti wabah yang mendekonstruksi tubuh menjadi serpihan tak terpulihkan, Ra hanya ingin menjalani kehidupan rapuh bersama keluarganya tanpa memikirkan masa depan. Namun, saat sosok misterius bertopeng burung muncul dan mengaku mampu menyembuhkan penyakitnya, dunia yang Ra kenal mendadak memudar. Tidak banyak yang Ra tahu tentang sosok di balik kedok berparuh panjang itu, tidak banyak ju...
Dalam Waktu Yang Lebih Panjang
470      359     22     
True Story
Bagi Maya hidup sebagai wanita normal sudah bukan lagi bagian dari dirinya Didiagnosa PostTraumatic Stress Disorder akibat pelecehan seksual yang ia alami membuatnya kehilangan jati diri sebagai wanita pada umumnya Namun pertemuannya dengan pasangan suami istri pemilik majalah kesenian membuatnya ingin kembali beraktivitas seperti sedia kala Kehidupannya sebagai penulis pun menjadi taruhan hidupn...
Segitiga Sama Kaki
961      554     2     
Inspirational
Menurut Phiko, dua kakak kembarnya itu bodoh. Maka Phiko yang harus pintar. Namun, kedatangan guru baru membuat nilainya anjlok, sampai merembet ke semua mata pelajaran. Ditambah kecelakaan yang menimpa dua kakaknya, menjadikan Phiko terpuruk dan nelangsa. Selayaknya segitiga sama kaki, sisi Phiko tak pernah bisa sama seperti sisi kedua kakaknya. Phiko ingin seperti kedua kakaknya yang mendahu...
UNTAIAN ANGAN-ANGAN
357      301     0     
Romance
“Mimpi ya lo, mau jadian sama cowok ganteng yang dipuja-puja seluruh sekolah gitu?!” Alvi memandangi lantai lapangan. Tangannya gemetaran. Dalam diamnya dia berpikir… “Iya ya… coba aja badan gue kurus kayak dia…” “Coba aja senyum gue manis kayak dia… pasti…” “Kalo muka gue cantik gue mungkin bisa…” Suara pantulan bola basket berbunyi keras di belakangnya. ...