Loading...
Logo TinLit
Read Story - Arsya (Proses Refisi)
MENU
About Us  

Dokter Nata memandang jas putihnya yang tergantung di belakang pintu. Untuk pertama kalinya, ia membenci simbol profesi itu—sepotong kain yang kini terasa bagai topeng palsu.

Beberapa hari lalu, dewan direksi memanggilnya dan memberi ultimatum. Kalimat mereka masih membekas seperti noda membandel dalam ingatannya:

“Tugas Anda sebagai dokter bukan untuk menyayangi, melainkan menyembuhkan. Bersikaplah objektif, Nata.”

Dalam pandangan mereka, Arsya adalah beban bagi rumah sakit. Tanpa identitas, tanpa keluarga. Protokol pun bergulir: laporan disiapkan, dinas sosial dihubungi, panti asuhan menanti. Dan dia—seorang dokter, bukan ayah—seharusnya hanya perlu mengangguk setuju. Namun mengapa pikirannya justru sibuk membayangkan rumah dengan kamar tambahan dan tiga mangkuk sarapan?

Masalahnya, ini bukan sekadar keinginan menjadi tempat pulang bagi seorang anak. Identitas Arsya yang mulai terkuak justru membuat segalanya makin rumit. Kecelakaan itu terlalu ganjil untuk dikatakan kebetulan—terlempar sendirian di jalan sepi, tanpa laporan kehilangan, tanpa saksi mata.

Kata-kata Pak Nohan kembali bergema dalam benaknya, bak racun yang merayap dalam darah: “Bila identitasnya terbongkar, mereka akan memilih menghabisi dia. Itu satu-satunya jalan aman.”

Nata menggertakkan gigi. Mereka. Ia tahu siapa yang dimaksud. Atau setidaknya menduga dengan penuh keyakinan. Nama yang terlalu berkuasa untuk disebut terang-terangan, terlalu licik untuk ditunjuk langsung. Jika benar, Arsya bukan lagi sekadar pasien—ia saksi hidup yang berpotensi menjadi... ancaman.

Apakah ia tega menyerahkan anak itu pada sistem yang rentan risiko? Atau keinginan mengadopsi ini hanya ilusi naif perlindungan? Ditambah kemampuan unik Arsya—semua bisa berbalik menjadi bumerang. Dan kariernya yang dibangun bertahun-tahun bisa runtuh oleh satu keputusan emosional.

“Argh…” erangan frustrasi meledak dari kerongkongannya. Tiba-tiba ingatan akan laporan Rajendra dan Alin pagi tadi menyayat kesadarannya—mereka sibuk merawat pasien, sementara ia asyik berkhayal tentang keluarga. 

“Dok, Sepertinya, Arsya sedang nggak baik-baik saja…” kalimat singkat itu rupanya mampu membuat pikiran Arsya berantakan. Dan salah satu penyebabnya mungkin Dokter Nata sendiri.

Sejak pengakuan Arsya bisa mendengar pikiran orang, mengapa keraguan justru bertumbuh subur? Bukankah ini menyakiti anak itu secara diam-diam? Poster orang hilang yang tak membuahkan hasil hanya mempertebal kabut misteri yang menyelubungi Arsya. Terasing dari dunia, dari akar sejarahnya, dan yang paling pedih—dari satu-satunya orang yang diharapkannya menjadi pelabuhan.

Mungkin inilah sebabnya Arsya terus menekan emosinya: anak itu pun bingung memaknai posisi Dokter Nata dalam hidupnya.

Tangannya gemetar membuka map biru di meja. Formulir pengadopsian itu tinggal membubuhkan tanda tangan di kolom terakhir. Sebuah keputusan yang akan mengubah dua takdir sekaligus. Pulpennya melayang di udara, terhenti sebelum tepat menorehkan tanda di kertas.

“Surat polisi, laporan pekerja sosial, catatan harian Arsya. Kalau ini belum cukup membuatmu yakin, kau bukan sekadar ragu—kau pengecut,” batinnya menggugat saat keraguan kembali menyergap. “Cukup! Tanda tangan saja. Lalu beres,” gumamnya penuh keyakinan palsu. Dia paham ini baru permulaan. Di depan, masih ada meja sidang yang harus ia datangi—bukan sebagai dokter, tapi sebagai lelaki yang ingin menjadi ayah. Tinggal sedikit lagi surat itu bisa menjadi bukti kesiapannya. Salah satu perawat menginterupsinya.

"Dokter?" Suara Kepala Perawat Dhani mengejutkannya dari ambang pintu. "Ada dua teknisi yang ingin memeriksa sistem CCTV di sayap VIP. Mereka bilang ada laporan gangguan."

Nata mengerutkan dahi. "Gangguan? Saya tidak menerima laporan apapun."

"Katanya pemeriksaan rutin saja," jawab Dhani sambil mengangkat bahu. "Saya sudah minta mereka menunggu otorisasi Anda. Sesuai pesan Dokter, jika ada sesuatu yang menyangkut ruang itu, anda harus tahu."

Nata mengangguk, meletakkan pulpennya di samping formulir yang belum ditandatangani. Ia meraih jas putihnya—topeng profesionalitasnya—dan mengenakannya kembali. Bukankah ini yang selalu ia lakukan? Menangguhkan keputusan personal demi tanggung jawab profesional?

Dua pria berseragam biru berdiri di dekat pintu lorong VIP, masing-masing dengan tas peralatan di tangan. Yang satu tinggi dan terlalu murah senyum, yang satu lagi lebih pendek, memakai topi yang ditarik rendah—dan matanya terus melirik ke arah kamar Arsya.

“Kami dari Teknis Keamanan,” kata si tinggi sambil menyodorkan kartu identitas—terlalu cepat untuk diperiksa dengan saksama. “Ada laporan gangguan sistem CCTV. Khususnya kamera di lorong VIP… yang ujung itu?”

Kamar Arsya.

Dokter Nata menahan napas. Ada sesuatu yang tidak pas. Tapi naluri logisnya segera mengambil alih.

“Baik. Tapi jangan ganggu pasien. Anak di kamar itu butuh ketenangan. Periksa saja saat anaknya tenang, atau saat ada pendamping.”

“Tentu, Dok. Kami profesional,” jawab si tinggi dengan senyum tipis. “Lagipula, kami cuma cek kamera luar ruang. Anda bisa tenang.”

Nata mengangguk pelan dan melangkah pergi, tapi langkahnya melambat ketika suara bisik terdengar di belakangnya.

“Itu dokternya. Yang selalu sama anak itu.”

Ia nyaris menoleh. Tapi ponselnya berdering.

(Rajendra)

 Arsya menolak sarapan lagi. Sampai jam ronde saya, dia masih berselimut. Saat ditanya, cuma bilang ‘ngantuk’.

(Rajendra)

 Niatnya aku mau kasih kabar. Aku sudah cek alamat di poster orang hilang. Pemiliknya pindah, tapi aku dapat kontak baru. Bisa kita hubungi.

(Rajendra) [Catatan Tambahan]

 Dok, kayaknya perlu bikin janji sama poli jiwa. Gejalanya mirip depresi anak.

Pesan yang sama, dikirim tiga kali. Rajendra pasti sedang menunggu balasan.

“Sial…” desis Nata. Ponselnya sejak sejam lalu tergeletak di ruang staf. Ia mempercepat langkah, melewati dua teknisi yang kini mulai berbisik lebih pelan.

Profesionalisme atau kasih sayang? Dokter atau ayah? Nata harus membuat keputusan secepatnya, sebelum pilihan itu direnggut darinya.

***

Dokter Nata mengetuk pintu kamar Arsya dengan perasaan campur aduk. Jika benar Arsya sedang murung, mungkin ini saat yang tepat untuk berbicara serius tentang rencana adopsi. Bisa jadi ajakannya akan menghiburnha. Karena anak itu membutuhkan kepastian lebih dari apapun saat ini.

“Arsya, Dokter masuk, ya?” 

“Iya Dok, boleh…” suara kecil Arsya terdengar dari dalam.

Nata membuka pintu—dan langsung terhenti. Di hadapannya, bukan anak yang menolak makan seperti laporan tadi. Arsya duduk rapi di tepi ranjang, mengenakan pakaian bersih, rambut tersisir rapi. Sepiring buah potong sedang disantap, sementara piring sarapan dan gelas susu sudah kosong. Selimut rumah sakit terlipat sempurna di ujung ranjang.

“Selamat pagi, Dokter,” sapa Arsya. Senyumnya lebar. Tapi matanya kosong.

Nata melirik jam dinding: 09.15. Laporan Rajendra dikirim pukul 08.30. Tak sampai satu jam. Mana mungkin anak yang menggulung diri di balik selimut bisa berubah secepat ini?

“Pagi, Arsya,” sapanya pelan. “Kamu… sudah sarapan?”

Anak itu mengangguk. Tangannya meraih potongan apel, tapi matanya menatap ke dinding seolah mencari celah untuk kabur.

 “Sudah. Dokter lihat bunganya, cantik kan?” Ia menunjuk vas bunga segar di meja. “Dari Kak Alin?”

“Ya… mungkin dari Alin,” jawab Nata pelan. Padahal, ia tak yakin. Ada sesuatu yang tidak beres di balik kerapian ini. Terlalu bersih. Terlalu cepat. Terlalu rapi untuk anak yang sedang kacau. Vas bunga di nakas juga mencurigakan, entah mengapa ruangan ini seolah menjerit, meminta Dokter Nata memecahkan misteri yang ada.

“Kamu kelihatan… rapi sekali pagi ini,” ujarnya hati-hati.

“Iya,” jawab Arsya, memainkan ujung selimut. “Kan nggak baik kalau berantakan.”

Jantung Nata berdebar pelan. Bukan karena jawaban itu salah, tapi karena bukan seperti ini cara Arsya bicara biasanya.

“Arsya… Rajendra bilang tadi kamu nggak mau makan?”

Mata Arsya memancarkan kilatan—emosi yang terlalu cepat berganti dengan kekosongan.

 “Kak Rajendra salah,” katanya datar. “Aku makan semuanya. Lihat.” Ia menunjuk piring kosong. “Aku kan anak baik.”

Tiga kata itu menghantam Nata lebih keras dari pukulan mana pun. ‘Anak baik.’ Seolah-olah menjadi baik hanya berarti makan tepat waktu dan tidak membuat repot. Bukan berarti merasa aman. Bukan berarti didengar. Bukan berarti punya pilihan. Dan justru karena itulah, semua yang tampak “baik-baik saja” jadi menakutkan. 

Untuk mengurangi rasa canggung, Dokter Nata menyibukan diri memeriksa luka-luka Arsya. Dua bagian yang terluka parah pasca kecelakaan sudah menunjukan perubahan. 

Sama seperti dokter Nata yang menyibukan diri, Arsya juga tenggelam dalam lamunan. Dia mengikuti Dokter Nata dengan baik, sementara pikirannya dipenuhi ingatan mimpinya tadi malam.

“Arsya boleh milih, mana yang paling Arsya suka. Boleh pilih Kakek, dan boleh juga pilih Dokter Nata. Bunda enggak akan menentang pilihanmu, yang penting kamu bahagia, oke?”

Ucapan Bundanya seolah memberi kelonggaran, namun bagi Arsya, kalimat itu seolah menjadi tanda bahwa dirinya semakin di buang, tidak dipertimbangkan pilihannya. dibiarkan mandiri saat dirinya butuh pijakan.

"Bagaimana tidurmu semalam?" tanya Dokter Nata, mencoba memulai percakapan yang lebih natural.

Tangan Arsya berhenti sejenak di udara, potongan apel yang hendak ia makan terpaku di depan mulutnya. "Baik," jawabnya singkat setelah jeda yang terlalu panjang.

"Enggak mimpi buruk?" Dokter Nata mengeluarkan stetoskop dari sakunya, persiapan untuk pemeriksaan rutin.

Arsya menggeleng, tapi matanya bergerak gelisah. "Tidurku nyenyak."

Pemikiran Dokter Nata beserta tuduhannya terdengar “Bohong, padahal kata Alin dia sampai dua kali mengigau sambil menangis memanggil ‘Bunda’” membuat Arsya terlihat menunduk. Malu, karena kebohongannya terbaca

"Boleh Dokter buka jurnalmu?" Dokter Nata menunjuk buku kecil di laci samping tempat tidur. Buku yang selama ini menjadi jendela paling jujur ke dunia dalam Arsya.

Arsya mengangkat bahu dengan sikap yang tampak tak peduli, tapi Dokter Nata melihat jari-jarinya yang menggenggam selimut dengan terlalu erat. "Boleh. Tapi tidak ada yang baru."

Dokter Nata membuka jurnal itu, sesuai pernyataan Arsya, tidak ada yang baru di sana. Namun Dokter Nata melihat banyak coretan abstrak yang dituliskan dengan penuh tekanan. Seolah coretan itu bercerita pada dokter Nata mengenai keadaan Arsya. Dokter Nata membuka perlahan sampai hampir halaman buku itu, ada kertas yang hilang di sana. dokter nata tidak bisa memprediksi apa yang Arsya tuliskan sebelumnya, namun saat diraba, sekali lagi ada kalimat yang ditulis penuh tekanan

“Bagaimana aku bisa memilih kalau tidak tahu pilihannya apa?”

Apa dalam mimpinya Bundanya menawarkan pilihan? apa yang dia tawarkan, bagaimana Dokter Nata bisa bertanya tanpa membuat Arsya semakin tertekan.

“Arsya…”

“Dok…”

Tanpa sadar mereka menyapa saat bersamaan. Setelahnya Arsya mempersilakan Dokter Nata untuk lebih dulu meneruskan. Namun dokter Nata memilih mengurungkan kalimatnya. “Hari ini Dokter yang akan mendengarkanmu” ucapan itu tidak dikatakan langsung. Seolah Dokter Nata sengaja memikirkannya. Membiarkan kemampuan uniknya bekerja.

Arsya menunduk, jemarinya mulai bermain-main dengan ujung selimut, mencubit dan memelintirnya dengan gerakan repetitif. Matanya bergerak-gerak gelisah, seolah berusaha mencari jalan keluar dari percakapan yang tak diinginkannya.

"Itu… Masalah Panti asuhan," Arsya nampak gugup, kalimatnya terjeda sebentar sampai dia menarik napas dan melanjutkan. Keningnya berkerut samar, bibirnya digigit pelan—tanda-tanda kecil bahwa badai emosi mulai terbentuk di balik wajah tenangnya. "Kapan aku harus kesana?" tanyanya polos.

Dokter Nata seolah tidak menyangka pertanyaan itu keluar langsung dari Arsya. Dokter Nata paling paham, tempat itu bukan tempat yang diinginkan Arsya.

"Arsya, dengarkan—"

"Enggak apa-apa, Dok," potong Arsya, senyum palsu terpasang di wajahnya yang pucat. Tangannya yang kecil mulai mengusap-usap lengannya sendiri dalam gerakan menenangkan diri yang tidak disadarinya. "Aku tahu, Aku sudah lama tinggal di sini. Pasti butuh banyak biaya. Enggak baik ngerepotin orang terus."

Dokter Nata merasakan sesuatu yang menyakitkan di dadanya melihat senyum yang dipaksakan itu. Anak delapan tahun seharusnya tidak memikirkan biaya rumah sakit atau beban yang ia timbulkan. Berapa banyak penolakan yang telah kau alami hingga kau merasa perlu mempersiapkan diri seperti ini? pikirnya miris.

"Kamu masih butuh perawatan," kata Dokter Nata tegas. "Dan soal kemana kamu akan tinggal... itu yang ingin kubicarakan. Aku harap kamu bisa tinggal ber—"

"Mereka nggak mau aku balik, Kan? Mereka enggak suka aku…" potong Arsya lagi, kali ini suaranya bergetar sedikit. Napasnya mulai pendek-pendek, jemarinya sudah berpindah memelintir ujung selimut. "Keluargaku... maksudku," ucapnya menegaskan. Dokter juga enggak suka aku, kan? lanjutnya dalam hati.

"Arsya…"

"Aku… aku di buang, kan?"

Matanya yang berkaca-kaca menatap langsung ke mata Dokter Nata, mencari jawaban yang entah bagaimana sudah diketahuinya. Bahunya mulai naik turun dalam ritme yang tidak beraturan.

"Nak… kenapa kamu bilang begitu? siapa yang bilang mau buang kamu?"

"Tapi emang gitu, kan? enggak ada yang suka anak bodoh, jelek kayak aku. Kalau gitu, bukannya lebih baik aku di panti, kan? itu tempat anak-anak yang enggak disukai keluarganya."

Dokter Nata menggenggam tangan kecil Arsya yang terasa dingin. "Arsya, dengar kalau memang kamu enggak suka, dokter bakal cari pilihan lain. Kamu nggak perlu ke sana."

"Terus… aku harus ke mana?" Suara Arsya memelan. Ada getaran harapan di sana, tapi juga ketakutan yang mendalam.

"Bagaimana kalau..." Dokter Nata terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. "Bagaimana kalau untuk sementara, kamu tinggal bersamaku? Sampai kita menemukan keluargamu?"

Mata Arsya melebar sejenak. Sebuah kilatan harapan muncul, tapi dengan cepat menggelap kembali.

"Kalau mereka nggak mau nemuin aku?"

"Kamu bisa tinggal… selamanya, sama dokter. Karena dari awal maunya Dokter memang__"

"Dokter ragu," potong Arsya tiba-tiba, suaranya semakin bergetar. "Dokter masih belum yakin mau merawatku."

Keningnya berkerut dalam, bibirnya mulai bergetar. Kepalanya semakin menunduk.

"Arsya, bukannya dokter enggak yakin, tapi…"

"Enggak apa-apa. Dokter nggak perlu terpaksa ngerawat anak kayak aku." Arsya kembali memasang wajah tenangnya, tapi suaranya berubah dingin. Tatapannya kosong, seolah sudah menyerah. "Nanti dokter bakal kerepotan."

"Arsya, dengarkan dulu—"

"Aku tau juga. Dokter punya banyak pekerjaan. Dokter sibuk, Jadi dokter berarti orang penting. ada banyak yang lebih penting dikerjakan dibanding ngurusin aku."

Dokter Nata menggeleng, frustasi dengan arah pembicaraan ini. "Arsya, aku sedang mengurus berkas pengadopsian untukmu. Aku ingin kamu menjadi anakku, secara resmi. Tapi prosesnya tidak mudah. Ada banyak pertimbangan, terutama kalau..."

"Kalau apa?" tantang Arsya, matanya nyalang. Tubuhnya mulai menegang, dadanya naik turun semakin cepat.

Dokter Nata menghela napas, tidak menyadari bahwa kata-kata berikutnya akan menjadi pemicu. "Kalau ternyata masih ada keluargamu di luar sana yang lebih berhak memilikimu."

Kata memiliki dan dimiliki dalam diri Arsya justru seolah hinaan. karena tidak ada yang benar-benar hadir untuk itu.

Ada jeda singkat—keheningan yang mematikan sebelum badai. Tubuh kecil Arsya membeku sejenak, matanya membelalak lebar, dan napasnya seolah tertahan.

"MEREKA ENGGAK MAU ANAK KAYAK AKU!"

Dokter Nata terkejut dengan ledakan itu. "Arsya, tenang dulu—"

"ENGGAK!" tangan Arsya bergerak dalam gerakan yang tampak lambat namun penuh kemarahan, menyapu piring yang ada di sampingnya. Dokter Nata bisa melihat dengan jelas bagaimana jari-jari kecil itu bergetar saat mendorong piring, bagaimana piring itu melayang di udara untuk sepersekian detik sebelum berhamburan ke lantai. Suara pecahan barang terdengar berdentingan di lantai rumah sakit, bergema dalam kamar yang mendadak senyap.

"Mereka nggak suka aku. Mereka nggak mau. Aku itu jelek, makanya dibuang. Aku udah DI BUANG!"

Dokter Nata mendekat, hendak meraih tangannya. Tapi Arsya menepis, keras.

“JANGAN DEKET-DEKET!”

 Suara Arsya melengking. “Dokter juga nggak suka aku, kan?! Dokter juga mau buang aku, kan?! Jangan pura-pura peduli! Jangan kasihani aku!”

Dia mundur, tubuhnya menggigil. Air mata membanjiri pipinya. Tangannya menghapus paksa, kasar, seperti ingin menghapus dirinya sendiri.

“Aku tau dokter ragu…” bisiknya, nyaris tak terdengar. “Aku bisa dengar... dokter takut... nggak yakin...”

Dokter Nata terdiam. Nafasnya tercekat. Kata-kata itu—aku bisa dengar—lebih menampar dari semua teriakan.

Arsya terus bicara, seperti kesurupan luka.

“Aku jelek... aku bodoh... aku pelupa...”

 Dia mulai meracau. “Makanya dibuang... nggak ada yang mau... bahkan dokter juga ragu...”

“ARSYA!”

Teriakan itu lepas tanpa bisa ditahan, dan Dokter Nata langsung menyesalinya saat melihat tubuh kecil di hadapannya menegang kaku. Sejenak tangisan anak itu seolah dihentikan paksa. Mata bulat Arsya melebar, campuran ketakutan dan kekecewaan terpancar jelas.

"Maaf… Dokter enggak bermaksud."

"Pergi… jangan dekat-deket."

“Arsya hati-hati”

Waktu seolah saat tubuh Arsya yang terlalu dekat dengan tepi ranjang mulai kehilangan keseimbangan. Dokter Nata bisa melihat dengan jelas bagaimana gravitasi mulai menarik tubuh kecil itu, bagaimana jari-jari Arsya berusaha menggapai-gapai udara kosong dalam gerakan yang sia-sia. Wajah Arsya berubah dari marah menjadi terkejut, lalu takut, sebelum akhirnya tubuhnya menghantam lantai. Tangisnya pecah, bukan hanya karena sakit, tapi karena seluruh bentengnya runtuh.

“Pergi… Aku nggak mau sama dokter... Aku udah dibuang... Aku DIBUANG…”

Tangisannya menggema. Tubuhnya menggeliat di bawah ranjang, mencoba menghilang.

Dokter Nata bergerak maju berpikir kalau pergerakan asal Arsya mungkin bisa membahayakan. Namun semakin Dokter Nata berusaha mendekat, Arsya semakin menolak. Hingga akhirnya dokter nata tidak bisa lagi menahannya.

Aku seharusnya tidak memberinya harapan tanpa kepastian, pikir Dokter Nata, merutuki dirinya sendiri. Tapi bagaimana aku bisa mengatakan yang sebenarnya tanpa membuatnya merasa benar-benar ditolak?

Akhirnya, tanpa berpikir lagi, ia mencondongkan tubuh. Menarik Arsya. Memeluknya. Meskipun anak itu meronta.

“LEPAS! Aku udah dibuang! Nggak usah sok peduli!”

Semakin Arsya memberontak, semakin ia yakin tak boleh melepaskan. Entah mengapa keyakinan itu tumbuh dalam hati dokter Nata. Paradoks yang aneh—kadang memeluk seseorang yang tidak ingin dipeluk adalah bentuk kepedulian tertinggi.

"Maaf… dokter yang salah… dokter minta maaf…" Dokter Nata berbisik, merasakan tubuh kecil dalam dekapannya perlahan berhenti melawan. Isakan Arsya masih terdengar, tapi kini teredam di jas dokter yang mulai basah oleh air mata.

"Maaf… Dokter yang salah," bisiknya. "Maaf, kalau waktu itu... Dokter nggak benar-benar nanya kamu maunya apa. Maaf kalau Dokter sempat ragu. Padahal kamu cuma butuh seseorang yang bilang kamu cukup, dan Dokter justru cuma diam."

Setelah beberapa saat, tubuh kecil itu mulai melemah. Isaknya semakin pelan, gemetar, dan akhirnya... hening.

Dokter Nata merasakan beban tubuh itu mengendur dalam dekapannya. Napas Arsya berat... lalu teratur. Entah karena lelah, pingsan, atau tidur dalam pelarian terakhir dari dunia yang terlalu kejam. Dan di tengah pelukan itu, barulah tangis Dokter Nata pecah. Tertahan. Ditekan selama ini. 

“Maaf…” ucapnya, entah untuk ke sekian kalinya. “Maaf... Arsya…”

Di luar ruangan, kamera pengawas tampak mati.

Seseorang sedang mengganti kabel—dengan senyum yang terlalu datar untuk disebut ramah.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Solita Residen
2170      1033     11     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...
I Found Myself
58      53     0     
Romance
Kate Diana Elizabeth memiliki seorang kekasih bernama George Hanry Phoenix. Kate harus terus mengerti apapun kondisi Hanry, harus memahami setiap kekurangan milik Hanry, dengan segala sikap Egois Hanry. Bahkan, Kate merasa Hanry tidak benar-benar mencintai Kate. Apa Kate akan terus mempertahankan Hanry?
Melihat Tanpamu
177      138     1     
Fantasy
Ashley Gizella lahir tanpa penglihatan dan tumbuh dalam dunia yang tak pernah memberinya cahaya, bahkan dalam bentuk cinta. Setelah ibunya meninggal saat ia masih kecil, hidupnya perlahan runtuh. Ayahnya dulu sosok yang hangat tapi kini berubah menjadi pria keras yang memperlakukannya seperti beban, bahkan budak. Di sekolah, ia duduk sendiri. Anak-anak lain takut padanya. Katanya, kebutaannya...
Pacarku Pergi ke Surga, Tapi Dia Lupa Membawa Buku Catatan Biru Tua Itu
1688      504     7     
Fantasy
Lily adalah siswa kelas 12 yang ambisius, seluruh hidupnya berputar pada orbit Adit, kekasih sekaligus bintang pemandunya. Bersama Adit, yang sudah diterima di Harvard, Lily merajut setiap kata dalam personal statement-nya, sebuah janji masa depan yang terukir di atas kertas. Namun, di penghujung Juli, takdir berkhianat. Sebuah kecelakaan tragis merenggut Adit, meninggalkan Lily dalam kehampaan y...
Paint of Pain
1368      882     33     
Inspirational
Vincia ingin fokus menyelesaikan lukisan untuk tugas akhir. Namun, seorang lelaki misterius muncul dan membuat dunianya terjungkir. Ikuti perjalanan Vincia menemukan dirinya sendiri dalam rahasia yang terpendam dalam takdir.
Diary of Rana
248      206     1     
Fan Fiction
“Broken home isn’t broken kids.” Kalimat itulah yang akhirnya mengubah hidup Nara, seorang remaja SMA yang tumbuh di tengah kehancuran rumah tangga orang tuanya. Tiap malam, ia harus mendengar teriakan dan pecahan benda-benda di dalam rumah yang dulu terasa hangat. Tak ada tempat aman selain sebuah buku diary yang ia jadikan tempat untuk melarikan segala rasa: kecewa, takut, marah. Hidu...
Batas Sunyi
2148      995     108     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...
Tumbuh Layu
519      339     4     
Romance
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta, tapi seringkali memberikan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Ray telah pergi. Bukan karena cinta yang memudar, tapi karena beban yang harus ia pikul jauh lebih besar dari kebahagiaannya sendiri. Kiran berdiri di ambang kesendirian, namun tidak lagi sebagai gadis yang dulu takut gagal. Ia berdiri sebagai perempuan yang telah mengenal luka, namun ...
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
313      199     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
FaraDigma
1641      772     1     
Romance
Digma, atlet taekwondo terbaik di sekolah, siap menghadapi segala risiko untuk membalas dendam sahabatnya. Dia rela menjadi korban bully Gery dan gengnya-dicaci maki, dihina, bahkan dipukuli di depan umum-semata-mata untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka. Namun, misi Digma berubah total saat Fara, gadis pemalu yang juga Ketua Patroli Keamanan Sekolah, tiba-tiba membela dia. Kekacauan tak terh...