“Takdir adalah lukisan langit yang terpahat di canvas nirwana. Mengisyaratkan bahwa puncak akal manusia hanyalah bayang fana yang luruh dalam samudra kuasaan-Nya”
__ Arsya Abiseka Gantari
__________________________________________________________________________________________________
Sunyi mendominasi ruangan Arsya, hanya dentang jarum jam yang terdengar konstan, menemani Arsya di ranjang tempatnya beristirahat. Beberapa hari lalu, Arsya memberanikan diri meminta perawat membawakannya cermin. Awalnya, perawat itu terlihat bingung, tetapi ketika melihat raut ketakutan di wajah Arsya saat mereka menanyakan alasannya, mereka pun mengalah.
“Arsya… Arsya… Arsya…” gumamnya berulang, seolah nama itu adalah mantra untuk mengikat dirinya pada realitas. Jemarinya yang gemetar menyentuh kaca yang membekukan jari-jarinya, menatap pantulan wajah buram pada cermin. Saat ini, wajah itu terasa seperti topeng asing yang baru saja ia kenakan. Ia menelusuri alis yang tak ia kenal, hidung yang asing, dagu yang terasa seperti milik orang lain. ‘Inikah aku?’
Luka-luka di tubuhnya bercerita dalam bahasa bisu, lebam kebiruan di lengan, goresan di siku, perban yang membelit kepala. Ia mencoba meraba ingatan. Semuanya seperti kepingan puzzle yang enggan menyatu. ‘Kenapa banyak luka? pastinya bukan karena aku terjatuh saat bermain? Kenapa aku sering ditinggalkan sendiri? bukanya ruangan ini terlalu besar untukku?’
Arsya tahu ada sesuatu yang mengganjal, beberapa hari ini, dia mendengar banyak suara. Namun, suara-suara itu – ucapan perawat yang terdengar jelas meski mulut mereka terkunci– salah satu perawat mengatakan 'Anak ini korban kecelakaan', yang lain berbisik 'Anak ini dibuang keluarganya' . Arsya bisa mendengarkan dengan jelas, seolah suara itu tercetak otomatis dalam kepalanya, dia mendengarkan dan memahaminya walau mereka tidak mengucapkan apapun dari bibir mereka. Namun Arsya juga bingung ‘Apakah ini ilusi? Atau… Aku yang mulai gila, karena kepalaku terluka?’
‘Kamu harus mencari Kakekmu, Arsya… Bantulah dia… Berjanjilah!’ mendadak suara seseorang datang diantara beberapa ingatan.
Cermin di genggamannya bergetar. Suara itu—lembut dan hangat—menggali lubang di hatinya. “Siapa yang mengatakannya? Bagaimana mungkin aku mencarinya? Bagaimana caraku mengenalinya?, sementara aku bahkan tak tahu wajah sendiri?” Rasa pedih memenuhi hatinya. “Mencari Kakek? Dalam keadaan seperti ini, bagaimana mungkin? Bukankah seharusnya dia yang mencariku?” Rasa pusing tiba-tiba mendera, membuat Arsya mengaduh. Arsya menggelengkan kepala, berharap gerakan itu bisa mengusir pusing di kepalanya. “Nanti… Aku harus cari tahu sumber suara itu. Harusnya dia memiliki petunjuk lain. Mungkin… kemampuan anehku ini bisa menjadi petunjuk.”
Sama seperti Arsya masih terjebak dalam kebingungan dan trauma, Pak Aswan pun tidak jauh berbeda. Di ruang kerjanya yang dingin, suhu menusuk tulang namun ia tetap tegar. Kursi ergonomis hitam mendesah pelan saat ia menyandarkan tubuh, sementara mata biru kelamnya menelusuri baris demi baris laporan keuangan yang menandakan keruntuhan. Lampu meja kuningan memantulkan cahaya keemasan ke wajahnya, mengukir bayangan tegas di pipi yang baru dicukur rapi
Tak lama kemudian, suasana itu terusik oleh kenangan perdebatan malam sebelumnya. “Konyol,” gumamnya tiba-tiba, suaranya menyisakan kegetiran yang hampir terselubung dengan ejekan. Meski laporan keuangan yang memburuk seharusnya menjadi fokus utama, pikiran Pak Aswan terus melayang ke perdebatan dengan Nadhira. Pertanyaan istri yang mendadak muncul seolah merusak konsentrasi, menepis pentingnya urusan keuangan dengan retorika yang terdengar kosong.
Malam itu mantel hitamnya masih meneteskan air hujan ketika Nadhira menyambutnya di ambang pintu. Parfum Chanel No. 5-nya—yang biasanya merupakan wewangian yang memikat—kini menusuk. Dia Baru saja keluar dari rumah sakit pasca mengurus Arsya, ia menemui Nadhira yang menunggu di ambang pintu. Mantel hitamnya, masih basah oleh hujan, menjadi saksi bisu ketidakpuasan yang terpancar dari tatapan tajam sang istri. “Apa yang sebenarnya terjadi semalam?” tanyanya dengan nada tenang namun dipenuhi tekanan, matanya tak lepas dari sosok suaminya yang berdiri canggung di ambang pintu.
Pak Aswan menghela napas panjang, mencoba menghindari tatapan itu. “Hanya kecelakaan kecil.”
“Kecelakaan?” Nadhira mendekat, kuku merahnya mencengkeram lengan kursi. “Pesanmu 'aku menabrak seseorang'—”
“Dia anak jalanan!” potong Aswan, suaranya mendesis. “Tak ada yang akan menuntut!”
Nadhira menertawakan pernyataan itu dengan getir, “Sejak kapan kau menjadi peduli masalah orang lain?”
“Bukan soal peduli,” jawab Aswan sambil mengetuk meja, “tapi soal risiko.”
“Risiko? yang kamu tabrak sebenarnya orang penting? Atau ini terkait ‘mereka’?” desis Nadhira sambil menyipitkan mata, tatapannya tajam mencerminkan keraguan.
Pada saat itu, langkah Pak Aswan terhenti. Tatapan Nadhira yang menelusuri setiap inci dirinya menyiratkan kekhawatiran sekaligus kecurigaan. Namun, sebelum ia bisa menenangkan sang istri, suara Putri dan Mertuanya tiba-tiba terdengar, memaksa pembicaraan untuk terhenti. Topik itu jelas bukan untuk dibicarakan di hadapan mereka.
Pertanyaan itu terus menghantui benak Pak Aswan. Dalam heningnya, bayang-bayang masa lalu kembali muncul: ‘Bagaimana jika anak itu ada kaitannya dengan kejadian tiga tahun lalu? Bagaimana jika Nohan kala itu menyembunyikan sesuatu? Aku terlalu terfokus pada amarah Nadhira yang tidak stabil—mungkin aku telah melewatkan petunjuk penting.’
Tak tahan dengan tekanan yang terus menyesakkan, akhirnya ia mengambil keputusan. Dengan langkah yang mantap namun terselubung keraguan, Pak Aswan menghubungi Nohan—satu-satunya orang yang benar-benar ia percayai dan yang menyimpan rahasia masa lalunya. Mungkin, hanya Nohan yang mengenal Arsya jika memang ada kaitan dengan masa itu.
Di ruang yang hening, tangan Pak Aswan menggenggam ponsel. Jarinya dengan cepat mengetik pesan singkat: “Periksa anak di RS Kartini. Kamar VIP. Segera.”
Bayangannya terpampang samar di layar yang kini menghitam, sementara pikiran dipenuhi skenario terburuk. ‘Jika Nohan mengkhianatiku... aku telah menyiapkan langkah-langkah untuk melindungi diriku. Dokumen-dokumen itu aman di brankas rahasia. Tapi apakah itu cukup?’ renungnya dalam keheningan. Dengan mata terpejam, ia merangkai rencana cadangan—tekad bahwa kali ini, tidak ada yang boleh terlewatkan.
Sesampainya Nohan di kamar rawat, Dia justru dibuat terpaku di ambang pintu. Tubuhnya gemetar saat melihat wajah pucat Arsya. Retina matanya menangkap sesuatu yang mustahil “Arsya” nama yang tertulis pada tanda pasien yang tergantung di pintu mengiris ingatannya.