Hari itu Mahda tidak datang–hari pembagian rapor. Insiden pencurian ponsel kemarin, sebisa mungkin Nura pastikan tidak menyebar ke sekolah, sebab rencana Nura sederhana, tak lain membuat Mahda tertangkap basah sedang berbuat buruk oleh Fikar. Pandangan orang lain tidak ia perlukan, cukup Fikar, yang ia yakini mampu mengusik ketenangan hati Mahda.
Di halaman sekolah, keramaian terasa seperti pesta kecil. Anak-anak berseragam rapi berdiri berdampingan dengan orang tua mereka—berbagi senyum, cerita, dan harapan. Di antara mereka, Nura tampak bersemangat, menggandeng tangan kedua orang tuanya sambil menatap ke arah bangunan sekolah. Bisa jadi ini adalah momen pertama dan terakhir baginya untuk membingkai memori yang telah lama ia dambakan. Ia tahu ini tidak nyata, tetapi tak bisa dipungkiri, momen ini terasa sangat berharga.
Para orang tua diminta masuk kelas, sementara anak-anak dibiarkan menunggu di luar. Nura memilih pergi ke kantin, membeli batagor serta es mangga seharga lima ribu rupiah. Tentu ada Dego di sana, masih setia mengekorinya meskipun mogok bicara sejak kemarin malam. Mungkin karena Nura enggan mendengarkan peringatan anak laki-laki itu. Sejujurnya, Nura paham kekhawatiran Dego. Namun, ia perlu melakukan ini. Ia harus memancing seluruh kegelapan dalam diri Mahda jika ingin benar-benar keluar dari dunia ilusi ini.
“Cewek, sendirian aja nih~” Fikar iseng bersiul sembari menghempaskan bokongnya di sebelah Nura. Nyaris kepala cowok itu bersandar pada pundak Nura, yang segera disentak tanda penolakan.
“Nggak ada Mahda di sini,” terang perempuan itu. “Jangan sok akrab.”
Fikar mendesis, bibir bawahnya mengerucut hingga hampir tumpah.
“Nurani,” sebut Fikar tiba-tiba.
Sedikit terkejut, Nura menoleh ke arah Fikar yang kini menopang kepalanya dengan sebelah tangan di atas meja kantin.
“Lu bilang itu nama lu, ‘kan?”
Nura tidak menjawab, tetapi matanya jelas membenarkan pertanyaan cowok itu.
“Jujur, gua kagak percaya waktu lu ngaku sebagai penulis yang terjebak di dunia yang lu ciptakan sendiri. Itu berarti semua hal yang ada di sini, termasuk gua, sama sekali kagak nyata.” Fikar sulit menerima hal itu, kebenaran bahwa ia sejatinya tidak pernah ada. “Tapi cuma itu satu-satunya hal yang bisa menjelaskan segala ingatan aneh yang sering muncul di kepala gua. Makanya, gua memutuskan untuk percaya.”
Tepat setelah Fikar menetapkan keyakinan tersebut, ia tak pernah lagi dihantui bayang-bayang peristiwa yang mungkin adalah potongan adegan dari tulisan Nura. Semuanya bergulir lebih jelas, Fikar seratus persen bisa mengingat peristiwa demi peristiwa yang pernah ia lalui waktu itu, termasuk saat ia berlarian dengan tubuh penuh lebam, berusaha menyelamatkan Dego yang sudah sepenuhnya kehilangan harapan; kehilangan hasrat untuk hidup.
“Genrenya apa?” Pertanyaan Fikar sukses menarik perhatian si lawan bicara. “Buku lu, tulisan lu, berkisah tentang apa? Kenapa bisa menyeret lu sampai ke sini?”
Nura terdiam cukup lama, lalu tersenyum. Tipis sekali dan langsung menghilang satu detik setelahnya. “Tragedi, menceritakan tentang seorang anak yang suka berprasangka buruk di mana semua prasangka itu menjadi nyata.”
“Apa mungkin ini buku pertama lu?” tebak cowok itu.
Yang segera dibalas dengan anggukan.
Fikar terkekeh. “Pasti pengalaman pribadi, ya?”
Dalam bungkam, manik perempuan itu perlahan melebar. Fikar memang ia buat dengan tingkat kepekaan di atas rata-rata. Bukan tanpa sebab, kegemarannya dalam berseni peran, membuat cowok itu mampu memahami perasaan orang lain bahkan tanpa ia usahakan. Fikar berkata bahwa rata-rata seorang penulis akan mengawali karyanya berdasarkan hal-hal yang pernah dialami oleh diri sendiri.
“Boleh gua minta satu hal?”
Bola mata Nura tanpa sadar mengikuti pergerakan tangan cowok itu yang tiba-tiba terjulur, menyentuh ujung rambut Nura, asyik bermain-main dengannya. Memelintir surai Nura dengan jari telunjuk lalu dilepaskan; menghasilkan bentuk ikal yang tidak terlalu kentara.
“Kalau nanti lu bikin cerita baru, jadikan gua pemeran utamanya.” Legam Fikar menjerat manik sewarna kayu perempuan itu, menjebaknya sangat dalam. “Bergenre romantis-komedi dengan tokoh utama wanita bernama Nurani. Apa bisa?”
“....”
“Apa itu mungkin, Nura?”
Saat pertanyaan itu selesai, waktu seakan berhenti sejenak. Nura bisa mendengar namanya disebut dengan sangat jelas. Bukan Ori, bukan Alegori, bukan Nona Penulis, melainkan Nura. Tidak ada pengakuan, hanya ungkapan samar yang ambigu untuk disangkal, tetapi terlalu hangat untuk diabaikan. Ada kesan tertentu dari cara Fikar menyusun kata, memilih jeda, dan menatap. Seolah cowok itu menarik seluruh pasokan udara menjadi lebih sempit, lebih dekat, lebih penuh oleh sesuatu yang belum sempat Nura namai.
Nura melahap habis potongan batagor terakhir di piringnya, menyesap tandas sisa es mangga, sebelum meninggalkan Fikar dengan sebaris penyataan yang terdengar familiar.
“Entahlah, aku pernah bilang, ‘kan? Aku nggak tertarik sama daun muda.”
Perempuan itu enggan menampakkan apa yang dirasa. Matanya tetap tenang, gelagat tubuhnya luwes seolah tak terusik sama sekali, bibirnya mengulus senyum tipis seperti biasa. Namun, detak jantungnya ... mungkin lain cerita. Tidak terlalu jelas, tetapi sekilas, Nura benar-benar dapat merasakannya. Ada degup asing yang mulai berpacu di luar kendalinya.
“Dih, bocah tukang modus ini.” Dego mencibir Fikar tatkala Nura sudah cukup jauh meninggalkan mereka. “Bisa-bisanya meromantisasi keadaan. Ini bukan waktunya buat itu.”
Ia menghela napas, mengurut pelipisnya yang berdenyut-denyut pening. “Dan lagi si Nona Penulis, harus berapa kali aku bilang? Sekarang dia dalam bahaya, kenapa–“
“Bahaya?”
DEG
Dego terlonjak, membanting pandangan pada sumber suara. Sepasang manik anak laki-laki itu terbelalak manakala tatapan Fikar seakan jatuh kepadanya. Ia menoleh ke kiri, ke kanan, lalu belakang, tetapi tidak ada orang lain di sekitarnya saat itu. Mata legam Fikar benar-benar tertuju padanya.
“Apa maksud lu Nura dalam bahaya?” tanya Fikar sekali lagi. “Jawab, Dego.”
**
Proses pembagian rapor selesai kira-kira pukul satu siang, Papa dan Mama mengajak Nura kelilingi kota, sekadar makan dan menikmati waktu luang mereka dengan kegiatan bersama lainnya. Obrolan ringan memercik kenyamanan, tetapi kali ini Nura mengusahakan tidak larut terlalu dalam, sebatas menikmati momen terakhir sebelum ia menghilang.
Kira-kira lewat waktu magrib, mereka pulang melewati rumah Nenek Sri. Dari balik kaca mobil, Nura tidak menemukan tanda-tanda wanita paruh baya itu ada di sana. Namun, saat ia menggeser atensi pada rumah seberang, ternyata ada.
Nenek Sri dan Mahda.
Mereka tengah berdiri berhadapan, gerak-gerik di antara keduanya menandakan terjadi perdebatan sengit di sana.
“Papa, tolong berhenti sebentar,” pinta Nura.
Kaki-kakinya segera menghampiri mereka. Papa dan Mama berniat menyusul, tetapi dilarang oleh Nura. Sepasang suami istri itu mengamati dari dalam mobil. Tentang bagaimana Nenek Sri menyodorkan buku rapor kepada Mahda, tentang Mahda yang menerima namun langsung membantingnya, tentang Nura yang berusaha menengahi mereka.
Samar-samar Mama bisa mendengar teriakan Mahda yang tidak terima Nenek Sri berlagak peduli, sok datang ke sekolah sebagai walinya, dan mengambilkan rapornya. Mahda benci itu. Sangat. Nura mencoba turun tangan, memberi penjelasan tentang maksud baik Nenek Sri. Namun, satu tangan Mahda justru terangkat, melancarkan sebuah tamparan pedih di pipi Nura hingga menghasilkan bunyi sangat nyaring.
Mama melotot, sigap keluar dari mobil.
Mahda berniat kabur, berlari ke arah Mama yang sudah siap melontarkan amarah di ujung lidah. Akan tetapi, begitu mereka berpapasan, tepat ketika mata Mama tak sengaja bertukar pandang dengan milik Mahda, seluruh emosinya seketika sinar; habis tak bersisa. Berganti dengan emosi lain yang terasa menyesakkan dada–perih nan menyakitkan. Punggung Mahda semakin menjauh, tetapi sisa-sisa kemalangan yang terpancar dari binar gadis itu saat bertatapan dengan Mama tadi, entah kenapa berlomba-lomba mendorong cairan bening dari pelupuk mata.
“Mama ...?” Papa ikut keluar, gesit merangkul sang istri. “Sayang, kamu kenapa nangis?”
Mama mengusap air mata yang terjun membasahi pipi. Tak peduli berapa kali ia melakukannya, air mata itu justru semakin deras mengalir. Wanita itu kesulitan berbicara, isak tangis telah menguasainya. Kesedihan luar biasa seakan datang tanpa aba-aba, menyerang hatinya tanpa persiapan.
Dengan langkah lambat, Nura mendekat. Pipinya kentara memerah akibat tamparan Mahda tadi. Namun, tidak ada keluhan terlontar. Perempuan itu justru tersenyum, tegap menatap kedua orang tuanya–penuh keberanian.
“Papa, Mama, aku mau jujur tentang satu hal. Bisa kita bicara sebentar?”
**
“Lu yakin ini waktunya?”
“Ya, kemungkinan besar.”
Semilir angin membawa kenangan lama bagi mereka; Dego dan Fikar. Kilas balik perkelahian mereka di jalan lengang seolah dipertontonkan kembali di hadapan mereka. Pukulan serta tendangan yang bergantian mereka lancarkan, berakhir dengan tubuh Dego yang didorong ke tepian trotoar kala motor kebut-kebutan melaju ke arah mereka, menyisakan Fikar bersama suara tabrakan yang cukup kencang setelahnya.
“Kondisi kamu baik-baik aja setelah itu?” tanya Dego.
“Mana mungkin, gua dirawat inap sebulan penuh, harus pakai gips sampai enam bulan, dan baru bisa jalan normal setelah lewat setahun. Itu pun sesekali masih harus kontrol ke rumah sakit.”
“Separah itu, tapi masih bisa menghentikan aku yang lagi g####ng diri.”
Fikar terkekeh. “Dan lu malah jadi gentayangan beneran sekarang.”
Tawa kecil mengudara sekenanya. Dego bertanya sejak kapan Fikar bisa melihat keberadaannya. Sejak memutuskan percaya bahwa Ori adalah Nurani, katanya. Mungkin karena sebelumnya cowok itu kerap menerima bayang-bayang peristiwa di masa lalu, ingatan yang semakin jelas itu membuat Fikar tidak terlalu terkejut ketika mampu melihat wujud asli Dego.
“Tapi gua agak kesal sebenarnya. Padahal dulu lu cungkring dan dekil. Kenapa mendadak lu jadi ganteng gini?” protes Fikar.
Seringai penuh kemenangan terbit di sudut bibir Dego. “Aku aslinya emang begini, yang dulu itu cuma akal-akalan si Nona Penulis. Tapi maaf, meski ganteng, aku masih suka perempuan.”
“Dih, bodo amat.” Fikar mendusin. “Kalau gua, sih, sukanya Nura.”
Dego melotot. “Tapi Nona Penulis nggak suka daun muda!”
“Terus? Apa masalahnya?” Sepasang bahu Fikar terangkat pelan. “Yang jelas, gua suka yang lebih tua–ah, bukan. Gua suka Nura.”
Ungkapan tidak terima kontan Dego celotehkan, yang sama sekali tak diindahkan Fikar. Cowok itu santai menutup telinga, mengabaikan segala jenis makian sang kawan seraya sesekali tertawa geli sendiri. Sudah cukup lama ia memimpikan situasi ini; asyik bertukar canda dengan teman yang selalu ingin ia selamatkan.
“CUKUP, MAHDA! BERHENTI, KAMU UDAH KETERLALUAN!”
Sekejap, perhatian kedua cowok itu teralihkan. Saat ini mereka tengah bersembunyi di balik pos ronda, mengintip ke jalan besar yang cukup sepi juga gelap–lokasi pertarungan terakhir Dego dengan Fikar sebelum sampai ke penutup cerita.
Terlihat Mahda berjalan cepat, sementara Nura mengejar gadis itu dengan sedikit kepayahan. Suara sengal-sengal jelas sekali terdengar. Sambil tergopoh-gopoh, Nura kembali angkat bicara, “Mau sampe kapan kamu bersikap kayak begini? Ucapan kamu ke Nenek Sri tadi udah nggak bisa dimaklumi lagi!”
Langkah Mahda sebentar berhenti, kepalanya menengok sedikit ke belakang. “Nggak usah sok ikut campur, s####n.”
Nura kembali mengejar Mahda yang lanjut berjalan, napasnya memburu, dada telah sesak oleh emosi yang tak bisa ia tahan lebih lama. “Mahda!” teriaknya, lantang, tetapi tak menggeretak. Hanya ingin menjangkau, hanya ingin membuka celah sedikit saja di dinding keras yang selama ini melingkupi Mahda.
Sekali lagi, Mahda berhenti, menoleh cepat. Matanya merah, rahangnya mengeras. “Apa lagi?!”
“Kamu harus minta maaf,” kata Nura tegas. “Perkataan kamu ke Nenek Sri tadi udah keterlaluan.”
Mahda mendengus. “Kamu pikir aku peduli? Mereka semua kasihanin aku seolah aku nggak mampu ngurus diri sendiri.”
“Kamu bukan cuma nyakitin perasaan orang, Mahda. Kamu hancurin harga diri mereka.”
“Apa urusan kamu?!”
Tanpa aba-aba, mereka mulai saling dorong. Amarah yang selama ini mengendap meledak tanpa bisa dikendalikan. Tamparan dari Mahda mendarat lebih dulu. Nura membalas. Rambut dijambak, tubuh bergumul, dan tak lama kemudian mereka jatuh ke jalanan berdebu.
“Nona Pen–“ ucapan Dego terpotong manakala Fikar membentangkan sebelah tangan, gelengan pertanda jangan ikut campur Fikar berikan.
“Nura lagi bertarung melawan wujud kegelapan dirinya,” terang Fikar. “Percayalah, dia pasti bisa mengatasi semua ini.”
Lampu jalan memercikkan cahaya kuning pucat. Tak ada kendaraan lewat. Angin membawa sisa bau aspal yang panas, menjadi dingin dan sunyi. Di tengah jalan, dua sosok berdiri saling berhadapan. Wajah mereka nyaris tak tampak jelas, tetapi sorot mata mereka … tajam, tegang, seperti dua ujung pisau yang siap saling melukai.
Mahda bangkit lebih dulu. Tubuhnya gemetar. Bukan karena takut, tetapi karena terlalu banyak kata yang ingin dimuntahkan. Ia maju selangkah. Namun, sebelum sempat ia melancarkan serangan, tangan Nura lebih dulu bergerak.
Plak!
Suara tamparan menggema, bergaung di antara tiang lampu dan langit malam.
“Gimana rasanya ditampar? Sakit, ‘kan?” Nura mengibaskan sebelah tangan kala denyut perih menggerayangi telapaknya. “Aish, ternyata nampar orang rasanya sakit juga,” gerutunya.
Di sisi lain, Mahda mengusap pipinya. Sepasang manik tertangkap mulai berkaca-kaca, bukan karena lemah, lebih karena tak menyangka atas tamparan yang ia terima. Belum habis napasnya, ia coba bergerak lagi. Namun–
Plak!
Tamparan kedua menghentikannya.
“Udahlah, jangan keras kepala,” nasihat Nura. Kebas di telapak tangannya terasa semakin nyata. “Mau sampe kapan kamu menutup mata dari kebaikan orang lain? Benci sama mereka? Benci sama aku? Atau ... benci sama diri kamu sendiri?”
Malam semakin sunyi. Bahkan jangkrik pun seakan takut ikut campur. Hanya napas mereka yang terdengar; kasar dan kacau.
Yang ditampar menahan air mata, yang sayangnya gagal. Ia maju lagi, kali ini mencoba menahan tangan Nura, menjambak rambutnya, tetapi ….
Plak!
Tamparan ketiga membuat tangannya jatuh lemas. Nura tenang balas merenggut surai tipis Mahda, memaksa gadis itu menatap langsung manik sewarna kayunya.
“Terimalah semua kekurangan diri kamu. Bukan salah kamu kalau kamu nggak punya orang tua, bukan salah kamu kalau kamu nggak punya harta kayak yang lainnya, bukan salah kamu kalau kamu harus menderita dulu demi bisa bahagia. Bukan salah kamu, Mahda.”
Perempuan itu terdiam.
Bukan salah kamu, Nura ….
Batinnya melanjutkan.
Mahda mulai tersengal. Lututnya goyah. Napasnya pendek-pendek, seperti tubuhnya menolak untuk melanjutkan. Sedangkan Nura—meski tak tegak sempurna—masih berdiri dengan dada pongah dan mulut penuh nasihat yang menusuk seperti belati tumpul.
"Mahda, kamu harusnya ngerti—"
Telinga gadis itu menolak mendengar lebih jauh.
Semua kata itu, yang dilapisi dalih kebaikan, terasa seperti racun. Ia muak. Bukan hanya dengan suara itu, tetapi dengan posisinya yang selalu jadi bawah. Yang selalu harus paham, harus sadar, harus diam.
Lantas, di satu titik, ketika seluruh tubuhnya berteriak untuk menyerah—jiwanya malah bangkit.
Dengan teriakan pendek, tanpa rencana, tanpa teknik, ia menerjang.
Tangan dan tubuhnya menghantam badan Nura seperti badai yang dipendam terlalu lama. Mereka jatuh. Berguling-guling di tanah, membentur keras, kotor, dan tak terarah. Mahda sama sekali tidak peduli. Tak ada kehormatan yang harus dijaga dalam pertarungan yang selalu berat sebelah.
Nura berusaha melawan, tetapi terlambat. Momentum sudah diambil. Suaranya tercekat. Mata mereka bertemu sesaat, dan untuk pertama kalinya—yang tadi menguasai pertarungan, kini mulai terlihat takut.
Kesempatan itu tidak disia-siakan. Tangan Mahda bergerilya meraih batu besar di dekat mereka. Ia mengangkat tangannya. Nura menutup mata; siap menerima.
Satu gerakan cepat.
Satu hentakan.
Satu serangan pemungkas—keras, jujur, dan penuh kemarahan yang selama ini ditahan.
Dego dan Fikar segera berhamburan mendekat, tetapi terhenti di tengah jalan. Sebab begitu lewat sepuluh detik, tak ada serangan yang datang.
Nura membuka matanya pelan-pelan, lalu terbelalak. Tubuh Mahda menggigil, tangannya terangkat namun tak bergerak, seperti tertahan oleh sesuatu yang tak terlihat. Matanya membelalak, pupilnya seperti bergetar. Pergerakannya kasar, seperti melawan arus dalam dirinya sendiri.
“Ori … tolong aku ….” Wajah Mahda berubah. Sekilas tampak ragu. Sekilas tampak asing. “Aku nggak tau ... kenapa tiba-tiba jadi begini ....”
Nura terbelalak.
“Mahda?” panggilnya tak percaya. “Kamu Mahda, ‘kan?! Karakter Mahda yang seharusnya?!”
Gadis itu memukul kepalanya sendiri. Sekali. Dua kali. Berkali-kali.
Nura perlahan duduk, masih terengah, menatap sosok di depannya yang kini tak lagi terlihat seperti lawan, melainkan seseorang yang sedang bertarung melawan dirinya sendiri. Seakan-akan ada dua dunia yang bertabrakan. Satu ingin menghancurkan. Satu ingin berhenti. Lantas, Nura akhirnya sadar—gadis itu tidak hanya terluka, tetapi pecah. Di mana retakan itu kini tampak jelas di depan matanya.
GREP
Pelukan hangat melingkari tubuh mungil Mahda. Tak ada perlawanan. Tak ada tamparan. Hanya pelukan. Penuh luka namun sarat akan kehangatan.
Mahda sempat mengumpat juga meronta. Tangannya mengepal, memukul punggung Nura dalam pelukan itu. Namun, dekapan Nura tidak melonggar. Justru semakin erat, semakin menembus celah di benak Mahda yang sebelumnya tertutupi amarah.
Pelan-pelan … Mahda berhenti memukul.
Tubuhnya masih bergetar. Bukan karena dingin, tetapi karena benteng pertahanannya mulai runtuh. Pelukan itu bukanlah kekalahan, melainkan sebuah bentuk keberanian untuk tetap merangkul, tak peduli meski mungkin ia bisa saja disakiti lagi nantinya.
Air mata Mahda turun diam-diam. Tangannya menggantung, lalu perlahan memeluk balik. Dalam keheningan yang begitu pekat, hanya satu hal yang ia sadari:
Bahwa ia lelah membenci.
Lebih tepatnya, menyerah untuk membenci diri sendiri.
Perlahan, Mahda pun tenang. Kelopaknya turun hingga menutup sepenuhnya. Kesadaran gadis itu pudar dalam damai yang terlalu telat untuk datang.
Dego mendekat, disusul oleh Fikar yang segera melepaskan Mahda dari dekapan Nura, menggendong gadis itu sebelum memindahkannya ke pos ronda. Mereka bertiga berdiri bersampingan, mengamati paras Mahda yang terlelap sangat damai.
“Kamu berhasil, Nona Penulis.”
Sebaris senyum terukir di sudut bibir Nura, kelegaan yang teramat besar kini menguasai seluruh perasaannya. Ternyata bukan kematian, bukan juga ditinggalkan orang-orang. Ketakutan terbesar Nura adalah melawan, ia terlalu takut menghadapi kegelapan dalam dirinya, takut hatinya terlalu lemah untuk berubah.
“Keren banget emang cewek gua,” celetuk Fikar yang segera menerima pukulan ringan dari Dego.
Tertawa kecil, Nura lantas menatap mereka–Dego, Fikar, juga Mahda–satu per satu; secara bergantian. Binar matanya melembut, memancarkan ketenangan.
“Kalian tahu,” prolognya. “Bukan cuma Dego, tapi kamu Fikar, begitu pula Mahda, kalian adalah bagian dari diri aku sendiri.”
Mereka mengernyit, belum memahami maksud perkataan Nura.
“Kadang, aku bisa menjadi Dego yang dipenuhi kebencian, rasa minder, dan takut akan banyak hal. Kadang juga, aku seperti karakter asli Mahda, yang selalu berpikiran positif dan tersenyum kepada orang-orang. Maka dari itu, aku selalu membutuhkan kepribadian Fikar, sebagai penyeimbang; yang peka, yang realistis, yang tahu kapan harus maju atau kapan harus berhenti.”
Diam-diam, Fikar menahan senyum. Berbeda dengan Dego yang disebut kadang, namanya dipadu dengan kata selalu.
“Kalian bertiga adalah sebuah satu-kesatuan, yang menemani aku selama ini. Rasanya sangat menyenangkan, aku diberi kesempatan berinteraksi dengan kalian secara terpisah seperti saat ini.”
“Berarti sekarang ... lu beneran bakal pergi?”
Nura mengangguk. “Aku yakin sebentar lagi.”
“Orang tua kamu ...,” Dego sedikit menahan ucapannya, “... gimana? Kamu nggak mau ketemu mereka?”
“Udah, kok, tadi aku sempat ngobrol dulu sama mereka.”
Tidak banyak yang Nura bicarakan. Sebatas jujur bahwa ia bukanlah anak mereka sebenarnya, melainkan pengganti Mahda. Mula-mula mereka tidak percaya, tetapi air mata Mama yang terus saja mengalir usai berpapasan dengan Mahda, secara tidak langsung telah menjadi bukti bahwa perkataan Nura memang benar.
Tidak ada kata perpisahan yang mereka ucapkan ketika Nura berpamitan, menyalami punggung tangan mereka, lalu memeluknya.
“Nura,” ucap Mama. “Nggak peduli kamu nyata atau tidak, kamu tetap anak Mama.”
“Kami sayang kamu, Nak.” Papa menimpali. “Maaf, kalau di dunia nyata sana, kami pergi lebih dulu.”
“Maaf juga, Mama nggak bisa membuatkan sarapan buat kamu.”
“Kami benar-benar minta maaf, Nak. Nggak bisa menemani masa pertumbuhan kamu dan memaksa kamu menjadi dewasa di saat umur kamu masih terlalu muda.”
“Mama sayang Nura.”
“Papa juga.”
“Benar-benar sayang, tanpa perhitungan.”
Lantas, Nura pun menghilang, membawa seluruh ingatan yang bukan lagi sekadar angan-angan, meninggalkan Dego maupun Fikar yang tanpa sadar menangis atas kepergiannya.
**
Pukul 20.22, dunia nyata.
Nura duduk terpaku, seolah baru saja terbangun dari tidur panjang tak bertepi. Dunia di sekitarnya terasa asing namun nyata—suara angin, cahaya redup dari jendela, aroma debu yang menua di udara. Detik demi detik berlalu dalam diam, dan kesadarannya perlahan kembali, menggali sesuatu yang selama ini terkubur di dasar diri.
Di hadapannya, tersuguhkan layar laptop yang menampilkan sebaris notifikasi pop up:
Apakah Anda akan memublikasikan PRASANGKA, Bagian 32: BAB TERAKHIR?
Ya Tidak
Tergesa melepas pegangan dari tetikus, Nura lantas termangu. Tanpa aba-aba, sesak itu datang. Seperti ombak yang tak bisa ditolak, rasa sakit yang selama ini dipendam membanjiri dadanya. Bukan luka baru, tetapi luka lama yang telah ia bungkam dengan senyum palsu juga kata-kata ringan. Rasa kehilangan, kecewa, marah, sepi—semuanya menyeruak sekaligus. Dalam sekejap.
Akhirnya, ia menangis. Untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun. Tubuhnya bergetar, isakannya pecah, tak terbendung. Bukan isak halus, melainkan tangisan panjang yang dalam juga kasar. Seperti jeritan dari jiwa yang sudah terlalu lama ditenggelamkan. Air mata mengalir deras, membasahi wajah yang selama ini terlalu pandai menyembunyikan segalanya.
Namun, dalam tangis itu, ada bersitan kelegaan.
Ada ruang yang perlahan terbuka.
Ada dirinya yang berhasil jujur pada luka.
Nura menangis sangat lama, berjam-jam–semalaman.
*TAMAT*