Pintu kaca berderit pelan saat dibuka. Aroma kayu manis dan kertas tua menyeruak dari ruangan kecil itu. Di balik meja, seorang wanita paruh baya berkacamata bundar mengangkat wajah dari novel Prasangka karya Alegori, mengabaikan sejenak berkas-berkas pasien. Aura wanita itu masih sama, masih tenang, masih mencerminkan kenyamanan.
Seseorang mengetuk lalu berdiri canggung di perbatasan pintu. Butuh beberapa detik sebelum keduanya saling mengenali.
“... Nura?” tanya wanita itu, ada keriput tipis di ujung matanya.
Perempuan itu tersenyum kecil. “Bu Fitri.”
Sekejap, waktu berputar mundur. Ruang BK, semerbak harum aroma terapi, dan senyuman remaja yang berusaha mereka padamkan sebab mengembang atas alasan yang salah—semuanya kembali seperti baru kemarin.
Mereka duduk berhadapan. Ada hening sejenak sebelum sudut mata Nura melirik papan nama bertuliskan Dr. Fitriani, M.Psi., ternyata setelah mengundurkan diri bertahun-tahun lalu, sang guru fokus melanjutkan pendidikan hingga strata tiga. Lalu membuka praktek pribadi yang telah berjalan cukup lama.
Beralih pada benda lain, atensi Nura menangkap sesuatu yang tampak familiar. Sebuah buku, yang ia tulis sendiri, lalu terbit tahun lalu.
Sadar akan arah pandang sang murid, Bu Fitri menyentuh sedikit buku itu. Alurnya tertancap tajam dalam kepala, mengingat lebih dari belasan kali ia telah tuntas membacanya.
“Tentang ending cerita ini,” katanya. “Kenapa kamu membuat tokoh utamanya pergi?”
Melepas pandangan dari buku itu, Nura mendapati deretan jurnal bersampul hitam mengisi rak buku di belakang wanita paruh baya di sana. Entah benar dibaca atau tidak, jurnal-jurnal itu sengaja ia kirimkan bersamaan dengan buku perdananya rilis.
“Awalnya, aku mau bikin tokoh utamanya mati karena g###ung diri.” Nura bahkan masih menyimpan draf tulisan itu. “Aku juga berpikir, mungkin, sebenarnya aku mau bikin tokoh utama itu berakhir ditinggalkan orang-orang. Karena, jujur, itu adalah ketakutan yang sangat menghantui aku selama ini.”
Nura tertawa kecil, bukan karena lucu, tetapi sekilas ia teringat perkataan seseorang.
“Ada yang bilang, mau sekejam apa pun takdir menyakiti hidup kita, selama kita berdekatan dengan Sang Pencipta, kita akan merasa tenang.”
Bu Fitri tekun menyimak, agak menebak-nebak siapa seseorang yang pernah berkata seperti itu kepada perempuan di depannya.
“Maka dari itu, aku putuskan untuk membuat tokoh utamanya pergi dari tempat kelahiran. Bukan ditinggalkan, justru dialah yang memilih meninggalkan orang-orang. Aku mau dia memulai awal yang baru. Untuk itu, dia harus berpindah. Dia–bukan, tapi aku–ingin hijrah. Aku mau berubah, Bu.”
Di luar, hujan turun perlahan, tetapi ruangan itu entah kenapa terasa hangat. Di balik senyumnya yang lembut, ada campuran rasa timbul berbarengan, mengisi benak sang guru. Murid yang dulu terjebak dalam ruang sunyi, kini bisa bangkit dan berdiri di atas kakinya sendiri. Ia tahu pasti, perubahan bukan sesuatu yang mudah. Lalu, Nura, telah berhasil menaklukannya.
“Oh iya, kamu nggak lagi buru-buru, ‘kan?” Bu Fitri bertanya ketika percakapan mereka tak terasa sudah berlangsung sangat lama. “Asisten saya ternyata salah satu penggemar kamu. Percaya atau tidak, katanya, dia pembaca pertama kamu sejak masih on-going. Sejak baru pertama kali diunggah, sejak jumlah pembacanya masih nol besar.”
Nura mengernyit, agak sulit mempercayai penyataan barusan.
“Seharusnya, dia datang sebentar lagi. Kasih aja tanda tangan, dia pasti bakal senang.”
Tak berapa lama, pintu ruangan itu terbuka. Tanpa ketukan–sangat tiba-tiba. Detik-detik Nura refleks menoleh, jantungnya seketika mencelus tatkala seseorang secepat kilat berhenti di dekatnya. Menyodorkan sebuah buku dengan kepalanya yang menunduk dalam-dalam. Aliran peluh di pelipis serta suara napas yang memburu telah menjadi bukti bahwa orang itu berlarian demi sampai ke sana.
Nura memang tidak menyangka asisten yang dimaksud Bu Fitri ternyata seorang laki-laki. Namun, perhatiannya juga teralih pada hal lain.
Potongan rambut itu ... gestur itu ... postur tubuh itu ....
“Dego ...?” gumamnya tanpa sadar.
Perlahan, orang itu mengangkat wajahnya, yang seratus persen menembakkan peluru kejut tepat di jantung si perempuan. Nura tak kuasa menahan pekik manakala mendapati orang itu benar-benar mirip dengan seseorang yang tadi ia gumamkan.
“Tolong tanda tangan!”
Astaga. Astaga. Astaga.
Bahkan suaranya pun sama.
Seakan enggan membiarkan keterkejutan itu sirna, kata-kata lain yang keluar dari mulut si laki-laki dewasa sungguh gila, tak masuk logika Nura.
“Ah, tolong tulis namaku juga, ya.”
Sekelebat, Nura terbungkam.
“Namaku Fikar,” jeda sebentar, “Zulfikar Alfareza.”
***