Loading...
Logo TinLit
Read Story - Deep Sequence
MENU
About Us  

“Mulai sekarang, coba kamu tumpahkan semua perasaan kamu yang selama ini kamu pendam. Silakan saja kalau kamu masih ingin mempertahankan sikap baik kamu di depan orang, tapi jangan pernah mengesampingkan perasaan negatif yang kamu rasakan.”

Setelah sesi konseling pertama saat membahas hasil psikotes Nura, guru BK itu beberapa kali memanggilnya lagi. Biasa saja, tidak ada yang istimewa. Bu Fitri sekadar mengajaknya berbincang ringan, kadang-kadang meminta pendapatnya akan satu atau beberapa hal.

“Saya membuatkan kamu jurnal, Nura. Setiap kali kamu punya pikiran buruk, segelap apa pun pemikiran itu, silakan tuliskan semuanya di sini. Jangan takut, jangan ragu. Saya juga tidak akan baca kalau kamu tidak mengizinkan. Cuma kamu yang tahu isi jurnal itu.”

Tanpa anggukan, tanpa ucapan terima kasih, Nura menerima jurnal tersebut lalu pamit keluar. Mirip buku tulis biasa, sampulnya hitam polos tanpa ilustrasi atau label apa pun. Lembaran di dalamnya pun putih bersih, tidak ada garis-garis pembantu, tiada pula instruksi. Sekadar halaman-halaman kosong, yang menunggu untuk diisi.

Malamnya, Nura membuka halaman pertama. Alat tulis sudah dalam genggaman, tetapi keraguan menahannya untuk bergerak. Alhasil, hanya dua kata yang ia tulis malam itu; terletak di tengah-tengah kertas, menggunakan spidol paling tebal, dan ditulis dengan huruf besar.

“THE EGO”

Sebuah judul yang ternyata akan mempertemukannya pada orang paling gila di masa mendatang.

**

Sebisa mungkin, Nura ingin menghabiskan seluruh harinya di luar, entah berkegiatan di sekolah atau keliling berjualan. Apa pun itu, yang dapat menghabiskan seluruh energi, sehingga ketika pulang ia hanya membutuhkan satu hal, yaitu tidur. Jurnal pemberian Bu Fitri ternyata mampu mengubah kebiasaan menahun tersebut.

Tidak banyak, tidak sampai berlembar-lembar, tidak jarang pula hanya sebaris kalimat, tetapi Nura tidak pernah sekali pun melewatkan jadwal menulis jurnal. Setiap hari, setiap malam, sebelum tidur.

Kira-kira sejak usia tiga belas, Nura sering mendengar pujian bahwa tulisannya bagus. Rangkaian kata yang ia susun, mereka bilang, memiliki rasa tersendiri. Beberapa kali ia diminta ikut ajang lomba kepenulisan. Jangankan menang, juara harapan pun tidak sampai. Namun, guru-guru terus saja mengatakan bahwa ia punya potensi, memintanya untuk terus mencoba dan jangan menyerah.

“Siap, Bu! Kalau ada lomba lagi, kabari aja, ya!” begitulah tanggapannya.

Namun, jujur, Nura lelah dan selalu bertanya-tanya:

[The Ego – Halaman 1]

Mengapa manusia tidak boleh putus asa?

.

.

“Ra! Aku baca cerpen kamu di mading. Gila, keren! Tokoh utamanya beban banget asli. Bikin versi panjangnya dong!”

Pujian itu ia dapatkan ketika semester genap kelas sebelas, reaksi Nura biasa saja, sebatas senyum sambil mengucapkan terima kasih. “Pasti ngeselin kalau punya teman kayak tokoh itu, ‘kan?” tambahnya.

“Bangetlah!” Siswi itu tertawa singkat. “Untung aja kamu nggak kayak gitu.”

Lagi dan lagi, respon Nura hanya tersenyum.

[The Ego –  Halaman 3]

Berisik, bawel, cerewet, banyak omong.

Tokoh utama cerpen itu adalah aku.

Bilang aja kalau aku beban, jangan sembunyi di balik pujian.

.

.

Nura dikenal aktif mengikuti kegiatan sekolah. Beberapa guru sukarela memberi tambahan nilai atas sikap baiknya–senyumannya. Meski begitu, ia bukan termasuk murid populer. Wajahnya tidak mendukung hal tersebut. Untunglah ia memiliki senyum khas yang menjadi magnet tersendiri agar orang-orang mau menjalin pertemanan. Nura mudah menyesuaikan diri. Namun, sebatas membaur, bukan melebur.

“Kamu cantik banget sih, pantes aja si doi kesemsem mulu.”

Bukan Nura, perkataan itu ditujukan untuk teman sekelas yang katanya baru saja meresmikan hubungan dengan kakak kelas. Dia cantik–sangat enak dipandang. Padahal seratus persen asli orang Sunda, tetapi wajahnya bak perpaduan keturunan Arab-Rusia. Cerdas pula, seperti tidak ada celah dalam dirinya.

“Nggak adil deh.” Nura santai melempar canda. “Minimal jangan pinter juga dong, bikin orang minder aja nih.”

“Ih, apa sih kalian.” Anak itu sekilas tersipu. “Kalian juga cantik kok. Apalagi Nura, kamu manis banget lho!”

Reaksi Nura? Seperti biasa: tersenyum. Sedikit lebih lebar, pun ditambah sebaris kelakar, “Kalau manis, kok nggak disemutin, ya~”

Yang kemudian mengundang lebih banyak gelak tawa.

[The Ego – Halaman 9]

Manis? Bullshit.

Kalau nggak bisa ngatain orang jelek, jangan berlagak bilang orang manis.

Minimal latihan dulu kalau mau bohong.

Menyebalkan.

.

.

Semakin hari, jurnal itu semakin bertambah. Satu buku habis, Nura akan meminta buku tambahan ke ruang BK. Sebagian benaknya enggan mengakui, tetapi kegiatan menulis jurnal itu ternyata memberikan kenyamanan tersembunyi. Bukan hanya peristiwa baru-baru ini, memori lama pun turut terpanggil, mengisi goresan demi goresan di setiap halaman.

“Ra, kamu senang ikut tinggal bareng Paman dan Bibi?”

Nura mengangguk.

“Kamu bahagia?” tanya Bibi.

“Banget!”

“Sama, Bibi juga bahagia. Mulai sekarang, anggap Bibi jadi ibu kamu sendiri, ya.

[The Ego 2 – Halaman 34]

Pembohong!

Pendusta!

Katanya, kita sama-sama bahagia. Faktanya, bahagia mereka nggak butuh aku.

.

.

“Kamu apik banget sih, Ra. Mbak beruntung kamu mau bantuin jual dagangan Mbak.”

Nura tersenyum. “Sama-sama, Mbak, santai aja.”

[The Ego 3 – Halaman 45]

Tapi aku enggak.

Aku nggak pernah ngerasa beruntung dalam hidup.

Langsung aja kasih aku uang tanpa harus capek-capek jualan.

Kenapa aku harus usaha keras buat sesuatu yang anak-anak lain bisa terima secara cuma-cuma?

.

.

“Nurani, bulan depan kamu bisa mulai sekolah. Berkas-berkas kamu berhasil lolos seleksi untuk dana BOS. Besok kita ke pasar dan beli seragam, ya. Kamu harus rajin belajar supaya bisa ngebanggain orang tua kamu di surga.”

Lagi, Nura mengulum senyum.

“Siap, Nek! Nura bakal jadi anak paling rajin yang bisa ngebanggain orang tua!”

[The Ego 5 – Halaman 89]

Males banget.

Kenapa selalu bawa-bawa orang tua?

Mereka aja ninggalin aku seenaknya, kenapa aku harus berusaha ngebanggain mereka?

Jangankan kenangan, wajah mereka saja Nura tidak ingat. Selembar foto keluarga yang ia pandangi setiap hari tidak cukup memancing memori saat masih usia dini. Haruskah ia tetap berbakti ketika mereka saja meninggalkannya sendiri di dunia ini?

.

.

Ajaib, siapa sangka tulisan-tulisan itu seakan menjadi terapi tersendiri; pemberi ketentraman dalam relung hati. Kali ini Nura takkan menyangkal, benaknya kontan terperanjat kala menyadari ada dua tumpukan jurnal di meja belajar. Kegiatan menulis itu secara alami telah menjadi bagian rutinitasnya sehari-hari.

Berkat masukan sang guru BK, Nura memberanikan diri daftar ke beberapa universitas. Pilihan pertama gagal, tetapi pilihan kedua mendapatkan lampu hijau. Soal biaya? Nura terbilang sangat berpengalaman mengurusi beasiswa–bukan prestasi, melainkan tidak mampu.

Tiba di hari kelulusan, Nura tidak menemukan figur sang guru BK di jajaran kursi para guru. Dengar-dengar, Bu Fitri mengundurkan diri. Seharusnya dari semester ganjil lalu, tetapi sengaja guru itu undur sebab merasa perlu menuntaskan tanggung jawab setidaknya sampai angkatan Nura dipastikan lulus.

Padahal, kalau Nura boleh jujur, sekali saja ia ingin menemui guru tersebut untuk sekadar mengucapkan, “Bu, terima kasih.”

Apakah ia ditinggalkan?

Tanpa ucapan perpisahan?

Lagi?

“Permisi, pakeeettt!!!”

Seumur-umur, jangankan membeli barang online, ponsel saja baru Nura dapatkan saat duduk di bangku kelas dua belas semester dua: masih tipe jadul tanpa layar sentuh. Wajar saja praduga bahwa ia sedang ditipu sekilas muncul. Namun, ternyata itu kiriman seseorang dan sudah dibayar, tak lain sebuah buku bersampul hitam polos yang terlihat sangat familiar. Tertera nama Fitri sebagai pelaku pengiriman.

Ini jurnal terakhir yang Ibu kasih ke kamu. Untuk selanjutnya, Ibu harap kamu berhenti. Cobalah hidup dengan menerima setiap perasaan yang datang ke diri kamu, tanpa terpaku lagi dengan jurnal.

Catatan:

Jangan berpikir Ibu ninggalin kamu.

Ibu emang sengaja nggak pamit.

Bukan sekarang, bukan juga dalam waktu dekat, tapi ayo kita bertemu lagi di tempat dan suasana yang berbeda.

Sesuai permintaan, Nura benar-benar berhenti menulis. Bukan hanya jurnal, tetapi semua jenis tulisan yang akan mewakili perasaannya. Bahkan jurnal terakhir yang dikirim guru tersebut ia biarkan kosong, tak tersentuh.

Lagi pula, kehidupan mahasiswa ternyata tidak semanis tayangan televisi. Kampus bukan tempat mencari cinta seperti di drama. Serangan tugas terjun secara bertubi-tubi, jadwal bisa seenak jidat dibatalkan lalu diganti, kuis dadakan, bobot tugas yang berat dengan tenggat pengumpulan hanya sebentar, serta antrean tempat print dan fotokopi yang lebih panjang daripada relasi pertemanan.

Tentu Nura takkan bisa menjadi mahasiswa kupu-kupu: kuliah-pulang-kuliah-pulang. Tidak juga mengikuti kegiatan organisasi yang akan merenggut jam tidurnya. Sebut saja ia gagal bersosialisasi, sebab kini ia menjadi spesies kuma-kuma: kuliah-magang-kuliah-magang. Tidak masalah jika nilainya pas-pasan, yang penting ia mendapatkan koneksi juga pengalaman.

Lantas, benar saja, tidak sampai sebulan sejak wisuda, ia mendapatkan beberapa panggilan wawancara kerja. Dalam jangka lima tahun, ia sudah berganti kira-kira empat jenis pekerjaan. Rata-rata pekerja kantoran, yang mesti datang pagi serta pulang malam. Posisi yang paling lama bertahan ialah pekerjaan sekarang, ini tahun ketiga bagi Nura menjadi seorang editor buku, tepatnya buku fiksi.

Ingat, Nura hanya berhenti menulis, bukan berarti ia harus berhenti membaca, ‘kan?

**

Genap usia ke-28, kehidupan Nura bisa dikatakan berjalan stabil. Meja masih disesaki draf naskah yang belum selesai dibaca, para penikmat buku berlomba-lomba menanyakan kapan pre-order buku penulis favorit mereka dibuka, admin toko online tiada henti meminta masukan perihal konsep promosi. Semuanya menuntut jawaban, meminta kepastian. Namun, Nura abai saja, cukup mengerjakan bagiannya dan membiarkan hal lainya diambil alih divisi yang bersangkutan.

Di grup pesan alumni–SD, SMP, SMA, sesekali muncul notifikasi berupa undangan pernikahan. Beberapa memasang foto-foto kelahiran anak pertama di status mereka, ada pula yang menangis hingga terisak-isak sebab harus ikut bersama suami dan berpisah dengan orang tua.

Nura, sejauh ini, berperan sebagai penonton belaka. Kadang tersenyum, menekan tanda suka, lalu mematikan layar.

Ia termenung.

Selanjutnya, aku harus apa?

Percapaian orang-orang secara tidak sadar memengaruhi keadaan batinnya. Seolah seluruh dunia melemparkan kail pancing untuk ia santap agar cepat menyusul mereka: yang sudah menikah, yang sudah memiliki anak, yang asyik jalan-jalan ke berbagai belahan dunia, yang membeli rumah baru, yang kehidupannya seakan telah “menjadi manusia” sungguhan.

Sementara itu, Nura masih biasa-biasa saja, masih senang makan di warung pinggir jalan, masih berkutat dengan rutinitas sunting-menyunting tulisan orang, masih merasa sangat asing acapkali menerima ucapan, “Kamu sukses ya sekarang.”

Satu hal paling aneh yang ia rasakan: semua pencapaian itu justru tidak mengisi apa pun dalam dirinya. Ia masih merasa bukan siapa-siapa, masih bertanya-tanya hal apa lagi yang mesti ia lakukan berikutnya.

**

Maret 2020, desas-desus penyebaran Covid-19 memenuhi sederet berita utama. Baik televisi, koran, atau media sosial, serempak mengabarkan bahwa virus tersebut sudah mencapai Indonesia. Kantor penerbitan lantas memberikan putusan, semua pegawai tidak diperkenankan masuk dan mulai bekerja dari rumah.

“Hingga pagi ini, tercatat 158 pasien meninggal dunia akibat Covid-19, sementara jumlah kasus positif mencapai 1.290 orang."

“Pemerintah menghimbau masyarakat agar tetap berada di rumah dan membatasi kegiatan sosial.”

“Beberapa rumah sakit tidak mampu menerima pasien baru ....”

“Kurangnya tenaga medis ....”

Mula-mula dua minggu, lalu sebulan, dan berakhir sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Pernah Nura katakan sebelumnya, ia memang banyak diam, tetapi ia sangat menyukai keramaian; benci kesunyian. Meskipun properti dan penataan rumah telah banyak berubah, renovasi yang ia lakukan sedikit demi sedikit selama lima tahun terakhir menjadikan rumah itu benar-benar berbeda.

Akan tetapi, terpenjara berbulan-bulan tanpa boleh keluar, perlahan mengembalikan perasaan-perasaan yang sudah lama ia lupakan. Nura berupaya menyibukkan diri sampai seluruh penyuntingan tandas ia tuntaskan. Sayanganya, beberapa buku terpaksa tunda terbit lantaran tempat percetakan belum diperbolehkan beroperasi kembali.

Alhasil, ia hanya bisa larut dalam benda kecil bernama ponsel. Tentang aksi penimbunan masker dan makanan instans. Tentang grup kantor yang terus memperbaharui sistem work from home. Tentang kenaikan angka kematian serta teori konspirasi yang bertebaran. Pun tentang seorang pasien yang telah tiada namun tidak bisa diantar oleh keluarganya.

Sepercik ketakutan mulai timbul di sudut hati. Daripada khawatir terinfeksi, Nura jauh lebih ngeri kalau dunia ini benar-benar berhenti namun tidak ada satu pun orang mencarinya, menyadari keberadaannya, menangisi kepergiannya.

“Gawat, nggak bisa begini,” gumam perempuan itu sembari melihat ke luar jendela.

Ia mulai berkeliling; dapur, kamar mandi, kamar tidur, dan ruang tamu. Baru sekarang ia menyesali mengapa ukuran rumahnya sekecil ini. Cukup lama ia termenung hingga manik sewarna cokelat itu terpaku pada rak buku, deretan paling bawah, yang mana buku-buku bersampul hitam polos memenuhi dua baris terakhir tanpa celah.

Sejenak, Nura berpikir:

Haruskah ... ia mulai menulis lagi?

Santai mengambil jurnal lama itu, membacanya satu per satu, lalu menyimpanya kembali ke tempat semula. Nura ragu-ragu membuka laptop, membuat sebaris premis cerita, lalu terdiam cukup lama.

“Siapa nama tokohnya?” tanya perempuan itu lebih kepada diri sendiri.

Sekali lagi, Nura mengambil salah satu jurnal, membuka halaman pertama, lalu memandanginya kembali–lebih dalam.

“The Ego,” ucapnya melantangkan judul. “Dә ee-go.”

Lalu termenung, sepintas terpikirkan sesuatu.

Ah–

“–Dego.”

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Savior
4374      1568     10     
Fantasy
Kisah seorang yang bangkit dari kematiannya dan seorang yang berbagi kehidupan dengan roh yang ditampungnya. Kemudian terlibat kisah percintaan yang rumit dengan para roh. Roh mana yang akan memenangkan cerita roman ini?
SONGS OF YESTERDAY
128      106     0     
Fantasy
BUKU DUA SERI KERAJAAN MUSIM SEMI "Hanya aku yang boleh memutuskan nasib Rolan, bukan kau!" Rasa kecewa membutakan Molly hingga memulai perburuan demi menemukan si penyair. Namun, yang dia temui hanyalah jalan buntu: tak ada satu pun yang mengingat Rolan. Saat harapan hampir sirna, Moko muncul membawa kabar mengejutkan-Rolan ditawan Baba Randa, penguasa kejam di Hutan Kematian. Bers...
Langit Jingga
2768      976     4     
Romance
"Aku benci senja. Ia menyadarkanku akan kebohongan yang mengakar dalam yakin, rusak semua. Kini bagiku, cinta hanyalah bualan semata." - Nurlyra Annisa -
Si Mungil I Love You
616      369     2     
Humor
Decha gadis mungil yang terlahir sebagai anak tunggal. Ia selalu bermain dengan kakak beradik, tetangganya-Kak Chaka dan Choki-yang memiliki dua perbedaan, pertama, usia Kak Chaka terpaut tujuh tahun dengan Decha, sementara Choki sebayanya; kedua, dari cara memperlakukan Decha, Kak Chaka sangat baik, sementara Choki, entah kenapa lelaki itu selalu menyebalkan. "Impianku sangat sederhana, ...
Je te Vois
619      411     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
Glitch Mind
45      42     0     
Inspirational
Apa reaksi kamu ketika tahu bahwa orang-orang disekitar mu memiliki penyakit mental? Memakinya? Mengatakan bahwa dia gila? Atau berempati kepadanya? Itulah yang dialami oleh Askala Chandhi, seorang chef muda pemilik restoran rumahan Aroma Chandhi yang menderita Anxiety Disorder......
The Presidents Savior
9650      2111     16     
Action
Semua remaja berbahaya! Namun bahaya yang sering mereka hadapi berputar di masalah membuat onar di sekolah, masuk perkumpulan tidak jelas yang sok keren atau berkelahi dengan sesama remaja lainnya demi merebutkan cinta monyet. Bahaya yang Diana hadapi tentu berbeda karena ia bukan sembarang remaja. Karena ia adalah putri tunggal presiden dan Diana akan menjaga nama baik ayahnya, meskipun seten...
Negasi
155      117     2     
Fantasy
"Manusia nggak bisa lihat jin?" Zoya terkekeh. "Periksa mata, sih. Buta kali." Dahi Rayna tampak berkerut. Dunia macam apa ini? Manusia di depannya ini waras atau tidak, sih? Sejak kesadarannya kembali, Rayna merasa seperti terbangun di dunia yang asing. Dunia aneh di mana jin terlihat berseliweran bebas tanpa bisa melihat manusia, justru dianggap normal. Terdampar di dunia asing tanpa ...
The Eternal Love
21222      3193     18     
Romance
Hazel Star, perempuan pilihan yang pergi ke masa depan lewat perantara novel fiksi "The Eternal Love". Dia terkejut setelah tiba-tiba bangun disebuat tempat asing dan juga mendapatkan suprise anniversary dari tokoh novel yang dibacanya didunia nyata, Zaidan Abriana. Hazel juga terkejut setelah tahu bahwa saat itu dia tengah berada ditahun 2022. Tak hanya itu, disana juga Hazel memili...
Tanpo Arang
38      32     1     
Fantasy
Roni mengira liburannya di desa Tanpo Arang bakal penuh dengan suara jangkrik, sinyal HP yang lemot, dan makanan santan yang bikin perut “melayang”. Tapi ternyata, yang lebih lemot justru dia sendiri — terutama dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitar villa keluarga yang sudah mereka tinggali sejak kecil. Di desa yang terkenal dengan cahaya misterius dari sebuah tebing sunyi, ...