Loading...
Logo TinLit
Read Story - Deep Sequence
MENU
About Us  

Tidak tahu kapan tepatnya, memori paling usang yang dapat Nura temukan mungkin ketika ia menginjak usia empat tahun. Terlalu samar, ia sekilas teringat kala ia duduk sendirian di tengah ruang tamu. Orang-orang datang dan pergi mengucap belasungkawa, satu-satunya yang tetap bertahan hanya seorang nenek tua dengan keriput di seluruh kulitnya. Nenek itu tinggal persis di depan rumah.

Aneh sekali. Biasanya, nenek tua itu selalu mengomel atas apa pun yang ia lakukan, tetapi hari itu si Nenek banyak diam. Lekat memandanginya dengan sorot penuh kesenduan, sesekali mengusap lembut pipinya lalu memberikan pelukan hangat–sangat erat. Nenek itu bilang bahwa kedua orang Nura telah pergi jauh ke surga. Ada kecelakaan beruntun di jalan besar dekat alun-alun kota, kios dagangan orang tuanya tertabrak hingga terimpit dua mobil, termasuk pemiliknya.

Sejujurnya, ia tidak begitu mengerti, yang ia tahu bahwa setelah hari itu mereka tidak pernah pulang. Orang tuanya tidak lagi kelihatan. Sepasang manusia itu lambat laun semakin mengabur dari ingatan, hanya selembar foto berukuran A5 yang dapat membuktikan bahwa mereka benar-benar pernah ada. Seorang wanita dewasa tampak duduk sambil menggendong sesosok bayi mungil, sementara seorang laki-laki berdiri di belakang; merangkul pundaknya. Mungkin karena kekurangan biaya, mereka hanya mampu mencetak momen terpenting dalam hidup–hari kelahiran Nura.

Nurani.

Sebaris nama yang diharapkan akan membawakan mereka secercah cahaya. Sayangnya, cercahan sinar itu telah sirna, ikut pergi bersama mereka berdua, meninggalkan jutaan sunyi untuk sisa-sisa kehidupannya. Memaksa anak kecil itu terbiasa dengan sepi yang menggerogoti jiwa.

Lewat seminggu kerap termangu di ruang tamu, sepasang suami istri lain hadir, memperkenalkan diri sebagai paman dan bibi dari pihak ayah. Datang menjemput anak kecil itu dari rumah tua peninggalan kedua orang tuanya. Terhitung dua tahun Nura menumpang hidup bersama mereka, lebih dari cukup untuk mengenalkannya pada perubahan cita rasa masakan Bibi yang pelan-pelan membaik, cukup untuk membuatnya tahu bahwa Paman lebih menyukai teh tawar daripada kopi. Namun, kebersamaan itu ternyata tidak cukup membebaskannya dari rasa cemburu ketika kasih sayang itu–secara terpaksa–harus terbagi.

Bibi hamil, setelah penantian lebih dari lima tahun pernikahan, Bibi dikaruniai seorang anak laki-laki. Dunia Nura seketika runtuh kembali. Anak laki-laki itu sangat tampan, benar-benar mencerminkan perpaduan wajah mereka berdua, berkali-kali lipat berbeda dengan paras Nura.

Nura gagal mengendalikan rasa iri yang menyulut relung hati. Ia mulai membentak, membanting mainan, bahkan menolak makan. Puncaknya terjadi ketika Paman dan Bibi pergi sebentar guna membeli susu juga popok. Nura diminta menjaga bayi mungil itu. Tidak lama, hanya sekitar lima belas menit, tetapi cukup untuk mengumpulkan keping-keping kebencian yang mendorongnya nekat mengambil sandal karet dari luar dan melemparkannya ke muka mungil bayi itu.

Tidak keras, bahkan nyaris meleset. Namun, tindakan itu tertangkap basah oleh Paman dan Bibi yang sudah pulang entah sejak kapan. Bibi marah besar, berdebat hebat dengan Paman yang masih berusaha memaklumi perbuatan Nura.

“Nura cuma perlu kita arahkan, Sayang, tolong redain amarah kamu.”

“Nggak bisa, Mas!” Suara Bibi menggelegar ke seluruh penjuru rumah, menciutkan nyali Nura yang mulai menangis tanpa suara. “Lebih dari lima tahun kita menunggu, berjuang bersama supaya bisa bertemu anak pertama kita. Aku nggak bisa ngambil resiko sedikit pun. Aku nggak mau, Mas! Aku benar-benar nggak bisa! Tolong pahami perasaan aku.”

Paginya, dua koper besar sudah teronggok di ruang tengah. Paman lembut membangunkan Nura dan memintanya agar bersiap-siap. Pertanyaan akan ke mana dibiarkan menguap begitu saja. Firasat buruk kontan menyusup ke benaknya, diam-diam Nura menguping perbincangan Paman dan Bibi kala dirinya baru selesai mandi. Nura enggan mempercayai apa yang baru saja masuk ke telinga, yakni tentang Bibi yang meminta Paman supaya mengembalikan Nura ke rumah lamanya.

“Aku nggak mau!” Nura keras memberontak, tangisannya pecah, meraung-raung penuh permohonan. “Aku nggak mau balik ke sana! Aku janji nggak akan marah-marah lagi. Aku janji bakal jadi anak baik di sini ....”

Bibi bungkam, sementara Paman menahan napas; memalingkan wajah.

“Maaf, Nura, Bibi nggak bisa percaya lagi sama kamu,” ujar wanita itu dingin, seolah kehangatan tahun-tahun sebelumnya tidak pernah ada. “Kami juga punya anak kecil sekarang. Bibi harap kamu ngerti–ah, bukan, tapi kamu harus ngerti.”

“Tapi aku juga anak kecil, Bibi! Aku juga … butuh kalian …!”

Tiada lagi balasan, isak tangis yang dulu pernah diusap penuh kasih sayang, berganti oleh suara mesin mobil juga teriakannya kala meronta-ronta menolak pergi. Paman menggendong paksa tubuh rapuh anak kecil itu lalu mengantarkannya kembali ke rumah lama. Ada setitik air mata di ujung pelupuk Paman sepersekian detik sebelum pergi, sebelum benar-benar meninggalkan Nura di sana, sendirian.

Mula-mula, derai air mata mengisi malam-malam Nura hingga lewat sebulan, melangitkan harapan supaya seseorang segera datang, mengulurkan tangannya dan memberikan bantuan. Akan tetapi, permohonan itu tak pernah menemukan arah, hanya bergema di antara dinding-dinding lapuk yang mengukung Nura di dalamnya. Pada titik itulah, Nura belajar akan satu hal:

Jika tidak ingin ditinggalkan, jangan pernah sekali pun merepotkan orang.

Hari-hari Nura setelahnya pun masih diliputi kesunyian. Namun, para tetangga satu per satu mulai sering berkunjung. Mungkin ia perlu berterima kasih kepada kedua orang tuanya. Meskipun mereka semena-mena meninggalkannya di dunia kejam ini, kebaikan mereka yang dulu kerap menyapa ramah para tetangga, sekadar mengingatkan mereka supaya angkat jemuran ketika hujan, atau membagikan makanan jika kebetulan punya rezeki lebih.

Kebaikan-kebaikan kecil tersebut perlahan berbalas dan diterima baik oleh Nura. Sudut hati Nura masih meragukan ketulusan para tetangga, takut-takut bahwa suatu saat mereka lelah dan sedikit demi sedikit melupakan keberadaannya, seperti Paman dan Bibi. Maka dari itu, selagi mereka masih melukiskan senyum untuknya, Nura akan membalas senyuman itu lebih lebar. Satu hal lain yang lantas ia sadari, yakni tentang senyum akan membuat orang tetap tinggal.

Berkat bantuan nenek tua depan rumah, Nura dapat bersekolah secara gratis di salah satu sekolah negeri. Ada kebiasaan baru yang ia lakukan saat baru bangun atau berniat ingin tidur, yaitu melihat cermin, memandangi potret dirinya sendiri, dan mengembangkan senyum terbaik yang ia bisa. Ia harus melatihnya, senyuman itu, sampai orang-orang percaya bahwa ia benar-benar bahagia.

Bahkan saat ia tak sengaja tertimpuk bola, tersandung anak tangga lalu terjatuh di sekolah, atau terluka hingga lututnya berdarah, Nura bisa begitu mudah melepaskan tawa sembari berkata, “Nggak papa, Bu! Nggak sakit kok, hehe.”

Entah sejak kapan, senyum telah menjadi topeng alami bak perisai yang menutupi perasaan Nura. Menyembunyikan pertanyaan-pertanyaan yang berulang kali timbul dalam kepala. Bagaimana jika suatu hari para tetangga itu pergi? Bagaimana jika nanti para guru mulai tidak peduli? Bagaimana jika teman-teman di sekolah tidak lagi tertarik bermain dengannya?

Senyum.

Nura harus banyak-banyak tersenyum.

Itulah satu-satunya senjata yang ia punya agar mereka tidak menjauh, tidak menghilang, tidak meninggalkannya.

“Ra, kamu pernah marah nggak sih? Nangis? Atau sekedar kesel gitu? Kok kayaknya hidup kamu santai-santai aja, nggak pernah keliatan sedih juga lagi,” tanya salah seorang teman ketika ia baru menginjak bangku kelas 2 SMP.

Nura hanya mengangkat bahu, mengulas senyum, lagi. “Yah, karena nggak ada yang perlu disedihin juga sih.”

“Masa? Kalau overthinking? Pasti pernah dong! Iya, ‘kan?!”

Lebih dari sekadar pernah.

Setiap baru pulang dari sekolah, Nura selalu memikirkan setiap detail perkataan atau perbuatan yang telah ia lakukan sepanjang hari, memastikan bahwa tindakannya tidak ada yang menyinggung pihak mana pun walau hanya sebesar biji apel.

“Seriusan kamu nggak pernah overthinking?!” desak siswi itu tatkala menerima sebuah gelengan atas pertanyaan tadi. “Wah, keren banget! Kalau aku sih, dikit-dikit masih kepikiran respon orang lain. Kapan, ya, aku bisa sesantai kamu? Ajarin dong!!!”

Sekali lagi, Nura tersenyum, entah untuk alasan apa.

Sejujurnya, Nura tahu ia memiliki hidup yang jauh lebih beruntung dari sekian anak di luar sana. Meskipun rumah peninggalan orang tuanya bahkan tidak mencapai lima petak, itu masih terlalu besar untuk ia hidupi sendirian. Bangunan tetap berdiri kokoh walau tanpa perbaikan. Ia juga baru tahu setelah belasan tahun berlalu, ternyata Paman diam-diam mengirimkan sejumlah uang ke nenek depan rumah, guna membayar tagihan air serta listrik. Tanpa sepengetahuan Bibi, katanya.

Perihal makan, Nura dianugerahi keberkahan dari warung tegal pinggir jalan, yang tiada luput sehari pun berbagi makanan, terkhusus untuk anak-anak yatim. Semisal butuh uang tambahan, Nura tentu mesti berusaha lebih keras. Kadang ia dititipkan beberapa dagangan tetangga; kerupuk seblak, aneka makaroni, es susu, dan ragam jenis makanan ringan lain yang kemudian ia jual pada teman-teman di sekolah. Jika tidak habis tuntas, Nura akan langsung berkelilingi tepat ketika bel pulang berbunyi sampai sore bahkan malam hari. Upahnya jelas tidak banyak, tetapi cukup memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain yang memang memelurkan biaya; alat mandi, tugas sekolah, atau sebatas ingin jajan.

Pernah sekali ia jatuh sakit dan absen dari kelas, padahal baru satu hari, tetapi sudah banyak yang datang membesuk; tetangga, guru, serta teman-teman. Sekali lagi, Nura seratus persen sadar bahwa ia perlu banyak melantunkan rasa syukur. Sayangnya, masih terlalu sulit baginya melepas kecemburuan terhadap kehidupan orang lain; terhadap hubungan mereka dengan keluarga. Nura memang lebih sering diam, tetapi ia sangat menyukai keramaian. Ketika ada teman yang mengeluh lantaran berkali-kali diomeli oleh ibunya karena pulang telat, ia harap ia juga dapat merasakannya. Bukan karena Nura ingin dimarahi, ia hanya ingin dianggap cukup penting untuk dicari.

“Ah, si Bunda! Aku kan udah bilang jangan dibawain bekal, kenapa sampe dianterin ke sekolah segala?” keluh salah seorang murid kala satpam mencari-cari namanya lalu memberikan sekotak makanan yang dititipkan di depan gerbang.

Anak itu terus saja menggerutu, mau tak mau menerima bekal tersebut walau tidak disentuh barang secicip. Sementara itu, Nura lagi-lagi hanya tersenyum di depan kelas, menyaksikan kejadian tersebut sambil membuka kotak kecil transparan berisikan nasi putih dan telur dadar, yang ia masak sendiri pukul lima pagi tadi. Tanpa sayur, tanpa lauk tambahan lainnya, tetapi ia masukkan hati-hati supaya tidak berantakan.

Namun, di antara semua momen, yang paling ingin Nura hindari adalah saat pembagian rapor. Kala ruang-ruang kelas dipenuhi para orang tua, sementara sang guru duduk di kursi paling depan; membagikan hasil belajar siswa, memberikan nasihat, pujian, atau teguran. Lalu meminta kerja saja para orang tua agar turut mendidik anak-anak mereka di rumah, bukan hanya mengandalkan sekolah.

Seharusnya, pemandangan itu terasa hangat. Ketika seorang murid kedapatan takut-takut kena omel lantaran nilainya jeblok, tetapi sang ayah justru menepuk lembut punggung murid itu sambil bangga berkata, “Nggak papa, Kak! Nilai bukanlah segalanya.”

Ada pula yang tertunduk malu sebab terang-terangan dimarahi oleh sang ibu, “Kamu sih! Tiap hari game terus! HP terus! Begadang terus!”

Pun ada yang menangis haru ketika tahu anaknya menempati peringkat tertinggi.

“Nura, kamu ambil sendiri?” tanya wali kelas.

Ia mengangguk, lalu tersenyum. Senyum yang mampu meyakinkan orang lain agar menghentikan pertanyaan-pertanyaan lanjutan. Sejujurnya, rapor di sekolah ini tidak boleh diambil langsung oleh murid. Harus orang tua atau wali. Namun, untuk kasus Nura, pihak sekolah selalu bisa memaklumi. Mudah saja apabila Nura ingin meminta bantuan para tetangga, tetapi itu hanya akan memperjelas bahwa Nura tidak memiliki orang tua.

Kira-kira saat usia keenam belas, ketika Nura menduduki kelas IX SMA, sekolah mengadakan psikotes. Bukan yang pertama, ia beberapa kali pernah melakukannya. Tes itu semacam program rutin sekolah setiap awal tahun, sekadar formalitas. Makanya, Nura hanya membaca sekilas lalu ia isi dengan cepat.

“Apakah kamu merasa sedih berkepanjangan?”

Tidak.

“Apakah kamu punya masalah tidur?”

Tidak.

“Apakah kamu merasa kesepian?”

Tidak.

“Apakah kamu punya keinginan menyakiti diri sendiri?”

Tidak.

“Apakah kamu merasa tidak berharga?”

Tidak.

“Apakah kamu selalu tersenyum di depan orang lain?”

Ya.

Senyum tipis terukir di sudut bibirnya, Nura rasa pertanyaan itu sedikit aneh, pertanyaan yang tidak ia temukan dalam tes-tes sebelumnya. Lantas, ia lanjut mengisi lembaran itu, yang rata-rata memberikan pertanyaan kurang relevan. Rutinitasnya setiap hari biasa saja: bangun pagi, sarapan seadanya, mengambil dagangan tetangga, berangkat ke sekolah, berjualan sambil bercanda tawa dengan teman-teman, mengerjakan tugas, sesekali berbincang santai dengan para guru, bahkan sibuk berkegiatan sebagai anggota organisasi siswa intra sekolah.

Nura merasa dirinya baik-baik saja. Ia juga senang tersenyum. Bukan karena segala hal terasa menyenangkan, hanya saja, senyum membuat semuanya menjadi lebih ringan. Makanya, sesaat guru BK tiba-tiba memanggilnya ke ruangan, ia sontak berpikir: mungkinkah ia melakukan kesalahan? Apa ia lupa mengisi kolom nama sebelum kertas psikotes minggu lalu dikumpulkan?

Ruang BK ternyata tidak semenakutkan omongan teman-teman: rapi, sunyi, dan wangi. Bu Fitri, guru pengampu bimbingan konseling, duduk di balik meja dan mempersilakan Nura duduk.

Nura tersenyum, tetapi senyumannya kali ini tidak mendapatkan sambutan hangat. Bu Fitri hanya diam, mengangguk tipis, lalu menatapnya begitu dalam. Terlalu lekat sampai Nura tanpa sadar mengalihkan pandangan.

“Ada apa ya, Bu?” tanya Nura memberanikan diri.

Bu Fitri mengklik sesuatu dalam layar laptopnya, membiarkan jeda berlangsung lebih lama dari biasanya. “Nurani, ya? Biasa dipanggil Nura?”

Yang ditanya mengangguk.

“Kamu tahu kalau hasil psikotes minggu lalu sudah keluar?”

Kali ini Nura menggeleng. Perlahan, irama jantungnya berdetak lebih keras. Bisa jadi karena ruangan itu hanya diisi oleh mereka, setiap suara yang ada di sana terdengar lebih jelas, lebih nyaring.

“Kamu mengisi pertanyaan-pertanyaan itu ... sepenuhnya sadar atau asal-asalan?”

“Saya isi dengan serius kok, Bu.” Walau jumlah pertanyaannya mencapai ratusan, Nura berani bertaruh ia membaca semua pertanyaan sebelum mengisi jawaban. “Emang kenapa ya, Bu?”

Lagi, Bu Fitri menatapnya cukup lama. Ada sesuatu dari sorot mata guru itu. Nura tidak tahu apa, tetapi ia merasa tidak nyaman–tatapan itu seperti ingin menguliti dirinya sampai bagian terdalam.

“Nura, Ibu sudah membaca hasil psikotesmu dan Ibu menemukan sesuatu yang cukup mengkhawatirkan.

Nura tanpa sadar tertawa, pelan namun sarat akan keraguan. ”Mengkhawatirkan? Maksudnya apa, Bu? Saya merasa saya baik-baik saja kok, tidak ada yang salah.”

“Perlu kamu ketahui, Nura, tidak semua bentuk depresi itu bisa dilihat.” Bu Fitri memeriksa layar laptopnya lagi. “Dari hasil yang Ibu terima, kamu memiliki kecenderungan menyembunyikan emosi buruk dengan ekspresi positif. Seolah-olah ... kamu sendiri tidak sadar bahwa kamu sedang sakit.”

Nura terdiam.

Depresi?

Kata itu terdengar asing di telinganya. Sulit dicerna untuk ia pahami makna di baliknya.

Aku? Depresi?

Tidak mungkin, hasil tes tersebut pasti keliru. Kalau diingat-ingat kembali, Nura tidak membaca setiap pertanyaan dengan saksama, wajar saja jika hasilnya tidak valid.

“Boleh Ibu tanya satu hal?” pinta Bu Fitri, lagi-lagi menatap lurus: lebih dalam, lebih tajam.

Pelan, Nura mengangguk.

“Kapan terakhir kali kamu menangis?”

Nura mengerjap cepat. Sekali, dua kali, berkali-kali. Otaknya seketika bekerja lebih berat, sekuat tenaga mengingat. Namun, tidak peduli seberapa jauh ia menggali, tetap tidak ada yang ditemukan, tidak ada kejadian, tidak ada ingatan dalam dirinya yang melibatkan air mata.

Nura ingin berkata, “Kayaknya, waktu aku kecil, Bu,” tetapi ia sendiri tidak yakin.

Nura ingin menjawab, “Kayaknya, belum lama ini,” tetapi jelas ia berdusta.

Lalu kapan sebenarnya kali terakhir ia menangis? Tidak mungkin ia menjawab, "Saat lahir."

Lantas, Nura menunduk dengan kedua tangan mengepal di atas lutut. Segalanya terasa hampa secara tiba-tiba. Seperti habis menangis padahal tidak, seperti habis kehilangan padahal tidak. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun:

Senyum anak perempuan itu tidak lagi muncul.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Mengejarmu lewat mimpi
2151      861     2     
Fantasy
Saat aku jatuh cinta padamu di mimpiku. Ya,hanya di mimpiku.
The Skylarked Fate
6935      2076     0     
Fantasy
Gilbert tidak pernah menerima takdir yang diberikan Eros padanya. Bagaimanapun usaha Patricia, Gilbert tidak pernah bisa membalas perasaannya. Seperti itu terus pada reinkarnasi ketujuh. Namun, sebuah fakta meluluhlantakkan perasaan Gilbert. Pada akhirnya, ia diberi kesempatan baru untuk berusaha memperbaiki hubungannya dengan Patricia.
Anything For You
3322      1335     4     
Humor
Pacar boleh cantik! Tapi kalau nyebelin, suka bikin susah, terus seenaknya! Mana betah coba? Tapi, semua ini Gue lakukan demi dia. Demi gadis yang sangat manis. Gue tahu bersamanya sulit dan mengesalkan, tapi akan lebih menderita lagi jika tidak bersamanya. "Edgar!!! Beliin susu." "Susu apa?' "Susu beruang!" "Tapi, kan kamu alergi susu sayang." &...
Menanti Kepulangan
40      36     1     
Fantasy
Mori selalu bertanya-tanya, kapan tiba giliran ia pulang ke bulan. Ibu dan ayahnya sudah lebih dulu pulang. Sang Nenek bilang, suatu hari ia dan Nenek pasti akan kembali ke bulan. Mereka semua akan berkumpul dan berbahagia bersama di sana. Namun, suatu hari, Mori tanpa sengaja bertemu peri kunang-kunang di sebuah taman kota. Sang peri pun memberitahu Mori cara menuju bulan dengan mudah. Tentu ada...
Metanoia
3194      1159     2     
True Story
❝You, the one who always have a special place in my heart.❞
40 Hari Terakhir
577      446     1     
Fantasy
Randy tidak pernah menyangka kalau hidupnya akan berakhir secepat ini. Setelah pertunangannya dengan Joana Dane gagal, dia dihadapkan pada kecelakaan yang mengancam nyawa. Pria itu sekarat, di tengah koma seorang malaikat maut datang dan memberinya kesempatan kedua. Randy akan dihidupkan kembali dengan catatan harus mengumpulkan permintaan maaf dari orang-orang yang telah dia sakiti selama hidup...
Black Roses
32515      4654     3     
Fan Fiction
Jika kau berani untuk mencintai seseorang, maka kau juga harus siap untuk membencinya. Cinta yang terlalu berlebihan, akan berujung pada kebencian. Karena bagaimanapun, cinta dan benci memang hanya dipisahkan oleh selembar tabir tipis.
Behind the Camera
1856      712     3     
Romance
Aritha Ravenza, siswi baru yang tertarik dunia fotografi. Di sekolah barunya, ia ingin sekali bergabung dengan FORSA, namun ternyata ekskul tersebut menyimpan sejumlah fakta yang tak terduga. Ia ingin menghindar, namun ternyata orang yang ia kagumi secara diam-diam menjadi bagian dari mereka.
Orkanois
2642      1025     1     
Fantasy
Ini adalah kisah yang ‘gila’. Bagaimana tidak? Kisah ini bercerita tentang seorang siswa SMA bernama Maraby, atau kerap dipanggil Mar yang dengan lantang menginginkan kiamat dipercepat. Permintaannya itu terwujud dengan kehadiran Orkanois, monster bertubuh tegap, berkepala naga, dengan tinggi 3 meter, dan ia berasal dari planet Orka, planet yang membeku. Orkanois mempunyai misi berburu tubuh ...
Ameteur
82      75     1     
Inspirational
Untuk yang pernah merasa kalah. Untuk yang sering salah langkah. Untuk yang belum tahu arah, tapi tetap memilih berjalan. Amateur adalah kumpulan cerita pendek tentang fase hidup yang ganjil. Saat kita belum sepenuhnya tahu siapa diri kita, tapi tetap harus menjalani hari demi hari. Tentang jatuh cinta yang canggung, persahabatan yang retak perlahan, impian yang berubah bentuk, dan kegagalan...