“Lah, lu ngapain pake masker?”
“Corona.”
“Coro–hah …?”
Nura menghela napas. “Flu biasa aja kok,” katanya berdusta.
Seminggu berlalu sejak insiden kebakaran yang merenggut kedua orang tua Mahda, gadis manis itu belum juga kelihatan batang hidungnya. Nura mencoba sesekali menelepon atau mengirim pesan, tetapi nihil jawaban. Dengar-dengar, Mahda turut pergi bersama neneknya ke luar kota, mengadakan pemakaman di kampung halaman sang ibunda.
Rentetan kejadian ini sungguh menguras habis pikiran, Nura bahkan tak ingat kapan terakhir kali ia bisa tertidur nyenyak usai cuci muka dan skincare-an. Kulit kusam bukanlah perkara utama, jerawat di pipi serta dagu sukses merenggut kepercayaan dirinya: cukup besar, merah matang, dan sangat membengkak. Masker, menjadi satu-satunya penyelamat yang mampu memberikan rasa nyaman.
Lebih-lebih teman sebangkunya adalah Fikar. Entah ada kelainan apa di mata Nura, rasa-rasanya, semakin hari cowok itu semakin menawan saja. Jangan salah paham, Nura bukan berarti tertarik dengan cowok itu. Hanya saja, perbandingan wajah mereka terlalu kentara, seolah mewakilkan karakter dari dongeng Si Tampan dan Buruk Rupa.
Kali ini Fikar mencepol sebagian surai sebahunya, beberapa anak rambut dibiarkan berjatuhan, ikat kepala suku Badui tetap setia melingkari kepala. Alasan terkuat mengapa Fikar kerap lolos razia rambut dari Pak Botak selaku guru bidang kedisiplinan, tak lain karena cowok itu dituntut memanjangkan rambut guna memenuhi kepentingan pementasan. Fikar bahkan berkeliling hampir ke semua provinsi di Indonesia bersama komunitas teater yang ia ikuti. Seharusnya, pementasan terakhir sudah terlaksana sejak Fikar kembali bersekolah. Lihat saja nanti, entah sampai kapan cowok itu bisa terus mengelabui Pak Botak.
“Kamu jelek banget, Nona Penulis.” Dego berkata tanpa filter. “Lebih jelek dari gambaran diri aku yang kamu tulis.”
Nura mengeraskan rahang, tetapi masih lurus memperhatikan papan tulis di mana sang guru tengah menjelaskan. Tangannya perlahan mengepal ketika Dego, yang berlutut sambil menopang wajah di pinggiran meja Nura, terus saja melontarkan ejekan demi ejekan.
“Kayaknya dulu aku cuma bekas-bekas hitam aja deh, nggak separah kamu yang jerawatnya tuh jerawat batu! Ugh, pasti sakit banget ya, Nona Penulis?”
Pake nanya! gerutu Nura dalam hati.
Jemarinya tak lagi fokus mencatat pembelajaran, berganti menjadi dua kata yang ditulis secara berulang-ulang; Dego bego. Dego bego. Dego bego. Dego bego. Dego bego. Dego bego. Dego bego. Dego bego. Dego bego. Dego bego. Dego bego. Dego bego. Dego bego. Dego bego.
Beberapa hari lalu, Dego dipastikan sewot kalau-kalau si Nona Penulis menyebutkan atau menyandingkan namanya dengan kata bego. Khusus kali ini, ia justru mesem-mesem sendiri sambil berucap, “Namaku Dego, bukan Bego~” dengan nada akhir yang sengaja diayunkan. Anak laki-laki itu terlampau senang sebab kali ini nasib si Nona Penulis tidak lebih baik darinya. Bagi si Nona Penulis, wajah adalah salah satu aspek yang perlu diinvestasikan.
“Bu, saya izin ke toilet,” terang Nura sembari menggeser kursinya gusar.
“Ya, jangan lama-lama.”
Agak mengentakkan langkah, Nura lunglai keluar ruangan disusul Dego yang tiada henti melancarkan godaan. Tanpa menyadari bahwa ada sepasang legam yang terus mengawasi setiap pergerakannya. Benar, itu Fikar, yang masih melekatkan pandangan pada Nura di luar jendela. Kerutan tipis hadir kala gelagat perempuan itu tertangkap geram, mengangkat sebelah tangan seolah ingin memukul seseorang, entah siapa.
“....”
Memutus tatap, atensi Fikar bergulir pada buku catatan Nura yang dibiarkan terbuka di mana ungkapan Dego bego terpampang nyata di sana.
Fikar terpekur.
Dego ...?
**
Berbanding lurus dengan tampang, percaya tidak percaya, belakangan ini Nura coba-coba berlagak seperti Dego dalam novel buatannya. Gaya bicara sengak dapat dilakukan secara cuma-cuma, tinggal menentukan kata-kata nyelekit saja. Berdasarkan karakter, Dego meragukan semua kebaikan yang datang kepadanya, membuat anak laki-laki itu acapkali melontarkan praduga-praduga buruk nan menyakitkan.
Sayang beribu-ribu sayang, lain rencana lain cerita, mau berapa kali pun Nura berusaha, hasil yang didapatkan jauh dari harapan. Sebagai orang dewasa yang malas cari perkara, mula-mula Nura kesulitan mengucapkan kata celaan kepada orang lain. Bukan berarti tidak bisa, Nura merasa sengaja memancing gara-gara bukanlah gayanya. Ah, dalam kasus ini, Dego tentu tidak termasuk hitungan orang bagi perempuan itu.
Percobaan pertama, Nura tak sengaja berpapasan dengan salah seorang siswa laki-laki yang jatuh persis di dekatnya. Ingin hati lewat begitu saja, rasa penasaran Nura lebih besar sampai menggiring kepalanya agak menoleh dengan tangan yang tanpa sadar terjulur.
“Oh, makasih,” tutur siswa itu sambil menyambut uluran tangan Nura.
Tersadar, Nura kontan menarik kembali tangannya sampai siswa itu terjatuh untuk kali kedua. “Ah, aku nggak mau nolong kamu. Jangan geer! Sumpah, mana sudi aku bantuin kamu.”
Jelas sekali Nura kelepasan berucap demikian, tetapi seharusnya itu cukup untuk sekadar menyinggung perasaan seseorang, kalau saja tidak mendadak muncul siswa perempuan seraya berkata, “Bubub~ kamu kenapa?” ke tengah-tengah mereka.
“Aku jatuh, huhuhu.”
“Ya ampun, kasihan banget, bububnya aku.”
“Hiks, bantuin aku berdiri dong, Ay~”
“Ututu, sini sini, kamu pegangan sama aku~” Percakapan menjijikan itu terus berlangsung sampai si cewek bertemu pandang dengan manik kecokelatan Nura. “Bub, dia siapa?” tanyanya.
Si cowok kentara panik lalu sekonyong-konyong berkata, “Dia yang nabrak aku sampai jatuh, Ay~!”
Nura terbelalak, tetapi si cewek bubub malah melotot lebih besar seakan matanya akan keluar. Kejadiannya begitu cepat, tentang Nura yang ditubruk keras oleh pundak cewek itu, tentang si cowok yang ditarik pergi, tentang Nura yang akhirnya tahu setelah beberapa hari berlalu: siswa cewek itu dikenal pecemburu.
Kalau Nura sungguh-sungguh memegang tangan si cowok saat itu, seratus persen mereka akan ribut lalu putus. Si cowok bahkan sangat berterima kasih karena Nura tidak membantunya berdiri.
Pada akhirnya, percobaan pertama dinyatakan gagal.
Selanjutnya, Nura menargetkan murid paling rajin di kelas; suka menolong guru dan dikenal tidak pernah lupa mengerjakan tugas. Tipikal murid yang gemar mengajukan pertanyaan pada menit-menit terakhir kegiatan belajar mengajar.
Padahal sudah terang-benderang Nura berkata, “Dih, caper. Nggak berat tuh tiap hari harus bawa-bawa dua muka?”
Siapa sangka si murid rajin justru terbahak sembari meriah bertepuk tangan. “Lah, baru tau? Wajib caperlah sama guru. Kalau udah dicap baik, nilai pasti aman, Bos. Ck, ck, ck, Anda harus belajar dari saya nih.”
Bukan, tidak semestisnya begini. Tak terhitung lagi jumlah percobaan yang Nura lakukan, boro-boro dilabeli sebagai pribadi menjengkelkan, Nura kini mendapatkan julukan sebagai orang paling pengertian; peka terhadap sekitar; gemar memberikan bantuan.
Saking frustrasinya Nura ingin menjadi tokoh jahat, Nura nekat mengambil uang kas dari tas bendahara ketika kelas kosong pada jam olahraga. Tidak sampai di situ, Nura juga memasukkan uang tadi ke salah satu tas terdekat dan menciptakan gaduh ketika para murid kembali.
“Periksa aja semua tas yang ada di sini. Gampang, ‘kan?” saran Nura seenak jidat.
Perempuan itu segenap hati bertekad akan mencurahkan seluruh semangat untuk menyudutkan murid yang ia sasar kali ini. Atmosfer sontak bergulir lebih mencekam kala sang bendahara menemukan dompet kecil, tempat ia biasa menyimpan uang kas, dari salah satu tas di sana.
Baru saja Nura ingin maju untuk menghina, “Dasar pencu–“
“Lah, sama kamu ternyata.”
“Lho, emang belum aku kasih, ya?”
Nura melongo, begitu pula sang bendahara dan si korban sasaran. Lagi dan lagi, keadaan tidak bergerak mengikuti keinginannya. Kenapa pula Nura baru ingat? Bahwa ia pernah menghadirkan tokoh kembar nonidentik yang sama-sama menjadi bendahara. Alih-alih timbul ketegangan, seisi kelas malah tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Bikin panik aja lu,” celetuk Fikar.
Sedangkan Nura, untuk kali kesekian, menghela napas seraya membatin: situasi damai macam apa ini?!
“Kamu keliru, Nona Penulis.” Dego bersedekap tangan, bersandar pada pilar depan kelas, bersebelah dengan Nura yang masih terbengong-bengong. “Daripada nyindir, karakter aku itu lebih ke nuduh atau nyalahin orang lain.”
Nura menautkan alis.
“Contohnya nih, ada orang lagi diem, terus nggak sengaja tatapan sama aku. Eh, aku langsung sewot dan nuduh orang itu lagi ngomongin aku.”
“Dih,” celetuk Nura mendelik sengit. “Freak banget.”
“Kan! Aku aneh banget, ‘kan?!” Dego memayunnkan bibir bawahnya hingga nyaris luber. “Dan kamu malah bikin aku, si tokoh utama, punya karakter kayak gitu.”
Tawa kikuk mengudara, ketidaknyamanan membawa manik cokelat Nura beralih pada hal-hal selain potret anak laki-laki itu. Kebetulan kelas kosong pada jam pelajaran kelima, usut punya usut, semua guru sedang rapat pembinaan bersama orang-orang kedinasan. Biar kata Nura kembali ke tubuh anak SMA, jiwa rentanya di dunia nyata tak sanggup berlama-lama membaur dengan anak-anak remaja, yang terlalu bising di kelas seakan takkan kehabisan tenaga.
“Tapi, Nona Penulis, dari dulu aku selalu penasaran.”
Suaranya sedikit berubah, Nura bisa mendengar keseriusan dalam pernyataan tadi, membuat perempuan itu diam-diam menajamkan pendengaran.
“Kalau keberadaanku cuma untuk jadi beban … kenapa aku, kamu ciptakan?”
Ada jeda yang membekukan waktu, menabrak ruang kecil dalam ingatan, menayangkan sekelebat momen–menjejalkannya ke sudut hati, tanpa permisi. Pertanyaan tadi seperti kilat yang menyambar pintu lama dalam benak, mencungkil lubang kunci, merampas seluruh isi. Sekelumit nyeri mengimpit dada, menyisakan ceceran momen dari waktu-waktu lalu.
Pada batas-batas keraguan, Nura sibuk menafsirkan duka yang baru saja disentuh, tanpa sengaja.
“Hayooo …!”
DEG
“Ngapain bengong sendirian di sini?”
Selayak percikan kembang api di malam hari, suara itu tiba-tiba hadir dan merebut paksa keheningan. Wajah rupawan Fikar sewenang-wenang hadir nyaris tanpa jarak, terlalu dekat sampai otak Nura kesulitan memproses situasi. Lebih dari lima detik mereka berbalas pandang, kesadaran Nura lantas kembali tatkala telapak tangan Dego mendarat di keningnya; mendorong kepala Nura sedikit ke belakang.
Belum melepas jalinan tatap dari manik legam cowok itu, seketika Nura terpikirkan sesuatu.
“Apa lihat-lihat?” tanya Nura sengit.
Daripada nyindir, karakter aku itu lebih ke nuduh atau nyalahin orang lain.
“Kamu pasti berpikir muka aku ini menjijikkan, ‘kan?” tuduh perempuan itu yang entah sejak kapan menurunkan masker. “Kalau mau ngatain, langsung bilang. Nggak usah sok ramah jadi orang."
Fikar mengerjap sekali, dua kali, berkali-kali.
“Tadi pagi juga, berlagak nanya ngapain aku pake masker.” Decakan gusar Nura lakukan seiring ia mendengus panjang. “Pasti kamu sengaja kayak gitu cuma buat mempermalukan aku di depan teman-teman lain, ‘kan? Aish, dasar munafik.”
Mungkin karena Nura sudah berupaya cukup banyak, kali ini ia tak begitu kesulitan saat mengucapkan kalimat celaan tadi. Seperti sengaja menancapkan mata pisau ke tubuh cowok itu, lalu memutarkannya sedikit agar melesak lebih dalam; tajam, kejam, tak berperasaan. Nura yakin sebentar lagi ia akan mendengar nada suara Fikar yang meninggi, atau paling tidak, bunyi decak lidah pertanda amarah.
Namun, cowok itu hanya diam, benar-benar terbungkam. Tidak ada alis yang bertautan, tidak ada pula gerak-gerik menahan kekesalan, yang ada hanyalah tatapan cowok itu yang anehnya semakin tenang, menunjukkan kelembutan, seolah-olah perkataan Nura tadi bukanlah serangan, tetapi sebuah sentuhan.
Sepersekian detik, Fikar mengembangkan cengiran: sangat lebar, menebarkan aura kegembiraan.
“Ini dia Ori yang gua kenal.”
Nura gagal mengerti, tetapi cara Fikar bereaksi saat ini sungguh menampilkan kelegaan yang teramat dalam.
“Asli, dari awal gua balik ke sini dan ngebonceng lu dari konter Kang Iim waktu itu, gua ngerasa lu banyak berubah. Terlalu banyak sampe gua mikir, ‘Ini siape? Kok kayak beda orang?’. Rasanya tuh … lu bukan seseorang yang seharusnya gua kenal.”
Susah payah, Nura menelan ludah.
“Dan lu sadar kagak kalau belakangan ini sikap lu aneh banget?”
“A-aku? Aneh ...?”
Fikar mengangguk kuat-kuat. “Kenapa sekarang lu sering bet dah ngomong sendiri? Kalau stres, jangan dipendamlah, sini curcol aja ke gua. Kayak kagak punya temen aja lu, kasian amat.”
Gagal.
Gagal sudah.
Gagal lagi.
Gagal mulu elaaahhh!!!
Bukan, seharusnya bukan reaksi seperti ini yang Nura dapatkan. Bagaimana bisa? Mau separah apa pun Nura bertingkah laku buruk, ujung-ujungnya semua orang tetap menganggapnya orang baik.
Astaga. Astaga. Astaga.
“Argh! Ngeselin!!!” pekik Nura mengacak surai lepeknya sendiri. “Aku tuh jahat. Aku orang jahat! Aku mau–harus jadi jahat! Kenapa sih kamu … mereka … dan semuanya nggak ada yang mau dukung?!”
Geli atas racauan tidak jelas perempuan itu, tawa Fikar pecah begitu keras, lepas tanpa penahan selayak air terjun yang melewati jeram lalu jatuh bebas ke dasar sungai.
“Jangan ketawa!” titah si perempuan. “Nggak ada yang lucu. Aku beneran kesel tau!”
Mingkem sebentar, cowok itu memberi gerakan seolah tengah mengunci mulutnya. Tak lewat sedetik, kunci kembali terbuka sebelum lantas meloloskan gema tawa yang semakin kencang. Sementara itu, Nura memberengut, ingin cepat-cepat enyah saja dari sana. Belum ada tiga langkah Nura berpijak, suara Fikar lebih dulu memblokir pergerakannya.
“Oh iya ….”
Nura menengok tipis.
“… gua kagak berpikir kalau lu menjijikkan kok.” Sebaris lengkung terukir tulus menghiasi rupa tampan cowok itu. “Betul, sebagian orang berpikir jerawat bisa muncul karena pola hidup yang jorok, tapi gua tau kok ada orang setengah mati atur makanan, rajin olahraga, tidur yang cukup, nggak skip skincare pagi-malam, dan masih tetep jerawatan.”
“Karena ya … emang hormonnya kayak gitu.”
“Jadi, tolong jangan minder. Wajah seseorang bukan penentu kepribadian.”
Sulit mengakui, tetapi sedikit banyak, ucapan cowok itu berhasil menghibur hati walau tidak sepenuhnya dapat memulihkan kepercayaan diri Nura.
“Kamu bisa ngomong begitu karena muka kamu mulus kayak jalan tol. Coba kalau jerawatan, aku nggak yakin tuh kamu nggak bakal minder.”
Tak langsung membalas, Fikar menaruh kedua ujung telunjuknya ke masing-masing sudut bibir. “Coba dah lu senyum,” pintanya.
“Dih, orang lagi bete, malah disuruh senyum. Males banget.”
“Sebentar aja,” cowok itu berupaya membujuk, “satu detik deh, tipis juga boleh.”
Benar-benar hanya sekejap, Nura menarik bibirnya sedikit ke atas sebelum lantas berubah datar. Itu cukup, kata Fikar. Kerutan timbul sesaat Nura menerima acungan jempol dari cowok itu seraya mengangguk bangga.
“Tuh kan.” Agak menunduk demi menyejajarkan kepala dengan Nura, perkataan cowok itu selanjutnya seratus persen sukses meledakkan jutaan rasa. “Udah gua duga, pesona lu itu ada di senyuman.”
**
Pintu kamar dibuka tanpa minat, asal melempar tas ke lantai, lalu menjatuhkan diri ke tempat tidur. Tarikan napas memutar ulang kejadian demi kejadian sepanjang hari ini. Tiada guling, satu-satunya bantal yang Nura miliki lantas diraih guna menutup sebagian wajah–matanya. Bibir perempuan itu meringis kecil, membendung senyum yang terasa ingin bocor melalui ekspresinya.
“Hah, si Fikar itu, sejak kapan dia jago gombal?” Dego mendesis, pandangannya terarah pada seseorang di atas kasur. “Kamu setuju kan, Nona Penulis? Kata-kata si Fikar tadi itu beneran bikin geli. Ugh, sampe merinding aku.”
Ada jeda singkat yang sengaja Nura buat sebelum membalas, “Ah … i-iya?”
Dego membelalak, bergegas merapatkan dengkulnya pada ujung kaki perempuan itu yang menggantung di tepian kasur. Dalam sekejap, bantal yang semula menutupi wajah Nura, kini ditarik paksa sebelum pelakunya lempar ke sembarangan arah.
“Woy, bantal ak–“
“NONA PENULIS!”
Nura terlonjak hebat, tanpa sadar terduduk tegap seolah tengah berhadapan dengan preman.
“Wajah kamu–“
“A-apa? Muka aku ke-kenapa?” Nura ingin menyentuh parasnya, tetapi terhenti kala sadar ia belum mencuci tangan. “Jerawatnya nambah lagi, ya? Jangan-jangan pecah?! Aish, ngeselin. Parah, nggak?”
Mulut Dego terbuka lebar-lebar, tetapi tak ada satu pun kata yang keluar. Pemandangan di hadapannya saat ini sangat di luar nalar, membuat tenggorokan seakan dijejalkan sebuah gumpalan, mengundang kelu agar bertamu ke ujung lidah.
Bak menyaksikan adegan sulap, wajah kusam si Nona Penulis seolah disapu bersih oleh serbuk-serbuk gaib, pori-pori besarnya mulai menyusut hingga tak tertangkap mata, jerawat yang semula meradang perlahan membaik; menipis; menghilang tanpa sisa. Lingkaran hitam di seputar mata pun terhapus, berganti lebih jernih, lebih hidup. Rambut lepeknya bahkan mengembang sehat.
“Nona Penulis, kamu–“
“Apa? Kenapa?!”
“–cantik jelita!”
***