Deretan sepatu berjejer di teras rumah berlambangkan bendera kuning di depan gerbangnya. Rumah itu milik neneknya Mahda, berseberangan dengan rumah bertingkat dua yang kini tampak seperti ditutupi bayangan besar. Begitu hitam, sangat legam, dipenuhi oleh sisa-sisa bau asap–menyeruak ke ujung pernapasan. Mereka, para penghuni XI SOSIAL 1, mengucap salam dan masuk satu per satu usai dipersilakan.
Mereka tidak saling bertukar kata, tetapi setiap pasang mata saling melempar pandang, menyiratkan sorot yang sama: hampa dan tidak percaya. Canda dan tawa yang bisa mengisi ruang kelas kini lenyap tak bersisa.
Isak tangis terdengar dari dalam, pecah hingga ruang paling depan. Sebagian menunduk, sebagian lagi merangkul pundak teman di sebelahnya, kepayahan membendung cairan bening yang sedari tadi menggantung sepanjang perjalanan.
“Aku ... ngebentak mereka pagi ini,” lirih Mahda, suaranya sangat serak lantaran terlalu lama menangis.
Ruang tamu diisi oleh banyak orang. Luas, tetapi terasa kosong. Bisikan, bahkan suara napas seseorang, seakan terlalu nyaring kala itu. Atmosfer terbentuk semakin berat.
“P-padahal–” Mahda merasakan kelu di ujung lidah; berkali-kali mengusap air mata yang turun deras di pipi. “ –padahal a-aku jarang berantem sama mereka, tapi kenapa?”
Tidak ada seorang pun dari para tamu, yang benar-benar tahu harus berkata apa. Sebatas duduk, terbungkam, menatap pada satu titik: Mahda. Memang ini bukan waktu yang tepat untuk mengungkapkannya, tetapi gadis itu tetap terlihat sangat cantik bahkan ketika mukanya sembap karena menangis.
“Kenapa?” Mahda kembali bertanya, pelan mendongak lalu tak sengaja bertemu mata dengan salah seorang di sana. “Kenapa, Ori ...?”
Yang disebut namanya sontak terpenjarat. Nura merasakan dingin menusuk kulit, merengkuh tubuhnya dengan tumpukan rasa bersalah. Terungkap sudah alasan di balik keterlambatan Mahda hari ini, yang seharusnya tidak pernah terjadi, lalu berlanjut dengan satu insiden di luar naskah, lagi.
Betul bahwa Nura pernah berkata Mahda ditakdirkan menjadi tokoh yang tersakiti, tetapi bukan seperti ini. Tidak pernah barang sekali pun, Nura menuliskan kisah di mana Mahda kehilangan kedua orang tuanya. Nura berani bersumpah, satu-satunya peristiwa kebakaran yang Nura tampilkan dalam novel, tak lain berada pada prolog. Itupun bukan tentang Mahda, tetapi tentang sesosok anak laki-laki yang berdiri di ambang pintu sambil membuang mukanya ke sembarang arah, tak kuasa menatap ketidakberdayaan Mahda di ruangan itu.
Benar, anak laki-laki itu Dego.
Sosok yang tidak bisa dilihat orang selain Nura.
**
Prasangka karya Alegori,
PROLOG, halaman 3.
Sepasang legam menyala-nyala selayak kobaran api yang melalap gubuk lima kali lima meter di hadapannya. Bunyi sirine bersautan menemani langkah-langkah tegas para petugas berseragam jingga, lampu-lampu perumahan yang biasanya sepi malam itu masih menyala, pintu-pintu rumah terbuka, dan sebagian pemiliknya berlarian menuju satu arah yang sama. Pekikan peringatan datang dari barisan pemuda yang saling berpangku tangan menghalangi keingintahuan warga sekitar, seorang anak laki-laki berseragam putih biru membeku dengan lembaran uang yang dipegang erat, dialog-dialog beberapa menit sebelum kebakaraan itu terjadi perlahan menyerang ingatan.
“Dego, kita boleh miskin materi, tapi jangan sampai miskin lainnya juga.”
“Apa maksud Ibu?”
“Uang itu … kamu ambil dari tempat Kang Iim, ‘kan?”
Kengerian terpancar bersama kaki yang kehilangan pijakan, tubuh anak laki-laki itu beringsut dalam pelukan pria berpeci miring yang menahan dobrakan langkah-langkahnya. Sebutan ibu dan bapak berulang kali diteriakan yang mana bendungan air mata tak lagi dapat terelakkan, kobaran api telah melahap seluruh bangunan disertai letupan-letupan kecil yang meledakan papan kayu bertuliskan Dijual Bensin Eceran. Sumber api diduga dari pemantik salah seorang pelanggan, yang secepat kilat menyambar begitu baru dinyalakan.
“Terus kenapa? Lebih dari delapan tahun aku ikut jualan, sepeser pun aku nggak pernah ngerasain hasilnya.”
“Soal itu … kamu tahu sendiri keadaan keluarga kit-----“
“Tapi aku bukan orang dewasa, Bu!” Anak laki-laki itu menyesali mengapa ia harus berteriak saat itu. “Kenapa Ibu nggak minta aja ke Bapak? Yang bisanya cuma sakit-sakitan ketimbang kerja, yang bahkan sekarang aja lagi-lagi cuma bisa tiduran dan bikin repot keluarg-----“
“Dego!” Bentakan itu berhasil membungkam keadaan. “Berhenti, jangan bicara apa-apa lagi.”
Pertentangan menyeruak ke sekujur tubuh anak laki-laki itu, urat tangannya tampak bermunculan seiring sinar kebencian memenuhi garis-garis wajah seseorang yang dipanggil Dego tadi. Satu pukulan kencang menghantam dinding triplek di dekat sana, yang mana anak itu berlalu dengan sebaris kalimat tanpa pemikiran. Bahunya tak sengaja menubruk pengendara motor yang celingukan menunggu sang empunya bensin eceran keluar dari rumah. Dego masih ingat tentang bagaimana seluruh badannya terasa mati ketika ledakan besar terdengar selagi kaki-kakinya terus menjauh, kelap-kelip oranye mewarnai langit malam yang seakan menayangkan ucapan terakhirnya sebelum hengkang tadi.
“Kalau miskin, nggak usah punya anak.”
“ARGH …!”
Kelopak itu terbuka lebar bersamaan dengan tubuh yang tersentak sesaat kesadaran telah menghampirinya. Cucuran peluh mengaliri pelipis Dego diiringi deru napas yang memburu. Sejenak, Dego kesusahan mengenali sekitar sampai setengah menit berlalu ia lantas merasa cukup familiar. Rerumputan tipis di pinggiran sungai beriak-riak pelan, tak jauh dari sana terdapat gorong-gorong bawah jembatan, tiga ekor kucing saling berkejaran begitu suara klasok dari jalan besar di atas mereka saling bersahutan.
Ah, ini tempat persembunyian aku di dalam novel.
Dego menghela napas. “Seenggaknya, si Nona Penulis masih baik ngasih tempat menenangkan semacam ini.”
Sejak berbelasungkawa di kediaman Mahda siang tadi, Dego berkenala mengikuti ke mana pun kakinya membawa pergi, tentu tanpa sepengetahuan Nona Penulis. Lagi pula, mana mungkin si Nona Penulis peduli akan ketidakhadirannya. Dego bisa membayangkan air muka santai si Nona Penulis yang berlagak mampu berbuat semena-mena di sini. Bagi Nona Penulis, dunia ini hanyalah ilusi, yang bebas ia ubah sesuka hati tanpa mengindahkan bahwa ada orang lain tersakiti.
“Karena aku kesepian saat kamu menghilang?”
Meskipun Nona Penulis pernah berucap demikian, Dego tidak akan terlena. Bukankah tanda tanya di akhir kalimat pertanda bahwa Nona Penulis hanya bermain-main saat mengatakannya? Dego bukan lagi tokoh di bawah kekuasan perempuan itu. Lebih-lebih setelah insiden yang menimpa Mahda. Kalau si Nona Penulis masih saja bertindak seenak jidatnya, Dego dipastikan akan mengambil tindakan ekstrem yang ia sendiri enggan membayangkannya.
Entah berapa lama ia terlelap di tempat itu, langit sudah benar-benar menggelap. Beberapa pemuda masih nongkrong di salah satu warung kopi, kendaraan sesekali lewat meski tak banyak, serta bunyi jangkrik saling bersinggungan sepanjang jalan. Kengerian sekilas menyusupi benak, jakun anak laki-laki itu bergerak naik turun bersama peluh mengalir di pelipis.
Benar bahwa Dego masih dongkol dengan si Nona Penulis. Namun, tampaknya, lebih baik ia pulang saja ketimbang sendirian di sini. Dalam sekejap, Dego berpindah tempat ke rumah Nona Penulis. Bukannya semakin tenang, manik legam anak laki-laki itu justru membesar tatkala menyaksikan keadaan di sana. Kata yang mampu mewakilkan pemandangan di hadapan Dego hanya satu: kacau.
“Nona Penulis?” Dego gesit memeriksa seluruh ruangan. Padahal rumah itu tidak lebih dari lima kali lima meter, tetapi ia tak kunjung menemukan keberadaan perempuan itu. “Nona Penulis, di mana kamu? Nona Penulis?!”
Tumpukan kertas berserakan memenuhi sudut-sudut lantai, bentuknya seperti diremas kuat-kuat kemudian dilemparkan secara asal. Dego beberapa kali nyaris terpeleset lantaran salah berpijak, ia berlarian ke sekeliling rumah namun Nona Penulis tak juga kelihatan di mana-mana. Prasangka buruk seketika memenuhi kepala, suara-suara aneh mulai menggerayangi ingatannya.
“SERIUSAN! SI DEGO MINTA DIBUNUH BAT INI.”
“SUMPAH YA, GUA NGGAK PERNAH SEBENCI INI SAMA KARAKTER FIKSI. OTAK SI DEGO UDAH NGGAK KETOLONG LAGI PARAH.”
“MATI AJA SANA LU, DEGO! MATI! HIDUP LU PENUH OVERTHINKING. NGGAK GUNA BANGET, B***SAT!!!”
Seluruh pandangan mengabur, sementara tangannya mencari-cari pegangan sesaat kaki seolah kehilangan tenaga. Dego tidak paham dari mana suara-suara itu berasal, tidak ada satu pun yang terdengar familier. Manalaka ia sudah di ambang batas kesadaran, pekikan seseorang segera memecahkan konsentrasi; memberinya kekuatan.
“WOY, BEGO!”
Entah sejak kapan pintu depan terbuka lebar-lebar, Nura masuk sambil mengentak-entakkan kakinya menuju Dego. Nyalang menatap anak laki-laki itu seakan ada percikan api dari kedua bola matanya.
“Kamu ke mana aja, woy?! Kenapa mendadak pergi? Kamu tau nggak aku nyariin? Semaleman! Kamu lupa yang aku bilang tadi pagi? Kamu nggak ngerti? Perlu aku perjelas lagi?”
Nura tiada henti mengomel, tetapi omelan-omelan tersebut sama sekali tidak mengusik anak laki-laki itu. Dego justru bersyukur sebab amarah si Nona Penulis telah mengembalikan keberadaan dirinya sebelum mulai menyimak kata demi kata yang perempuan itu lontarkan penuh penekanan, antara khawatir dan gusar.
“Jangan pergi tanpa bilang-bilang! Jangan menghilang!”
Dego ragu-ragu bertanya, “Emang kenapa kalau aku menghilang?”
“Nanti aku kesepian!”
Aneh, benar-benar aneh. Apa karena pengaruh ekspresi? Bisa jadi nada bicara yang terlampau tinggi? Padahal kalimat itu serupa dengan perkataan Nona Penulis pagi tadi, tetapi kenapa kali ini terdengar lebih meyakinkan? Dego sama sekali tidak mengerti. Satu hal yang pasti, penampilan perempuan itu berantakan sekali: hanya terbalut kaos belel bermotif logo partai, celananya ngatung nan kusam, serta sandal jepit kebesaran sebagai alas kaki yang terlihat kotor seakan habis berlarian di kubangan lumpur.
“Kamu ... jangan ke mana-mana lagi.” Nura mengacungkan telunjuknya tepat di depan batang hidung Dego. “Awas aja kalau berani.”
“Lho, suka-suka aku dong.” Namun, perlu Dego perjelas kembali, ia takkan sudi menuruti kehendak si Nona Penulis. “Baru juga sehari, lebay, ah. Waktu aku hilang pertama kali, kamu cuek aja tuh. Pas udah hampir sebulan, baru deh nyariin.”
“Beda! Itu beda!” bantah Nura. “Waktu itu aku masih bisa merasakan keberadaan kamu, tapi hari ini kamu bener-bener nggak ada di sekitar aku. Kamu ke mana sebenarnya? Jawab!”
Dego tertegun. Bukan karena enggan menanggapi, ia hanya sedikit bingung tentang bagaimana ia harus bereaksi. Anak laki-laki itu bahkan refleks memutus pandangan, tak berani balas menatap sorot tajam si Nona Penulis.
Kertas-kertas itu ….
Tak sengaja, manik legam Dego teralih pada bola-bola kertas yang berserakan, salah satunya berada tepat di bawah kaki anak laki-laki itu. Lama berpikir, Dego berupaya mengambil kertas itu, yang tentu saja tembus layaknya hantu.
Oh, benar juga.
Melirik jemari Nura yang menganggur, Dego alami memegang tangan si Nona Penulis sebelum lantas mengambil secarik kertas di sana.
Draf Novel Prasangka karya Alegori
Poin-Poin Penting: Prolog, BAB 1, BAB 2, BAB 3, konflik awal, puncak, dan penyelesaian.
“Aku berusaha nulis semua yang aku ingat,” terang Nura, sudut matanya sekilas mencuri lihat pegangan Dego di tangannya. “Tapi aku sama sekali nggak paham atas apa yang terjadi hari ini. Kenapa orang tua Mahda harus meninggal?”
“Kenapa kepikiran? Bukannya dari awal kamu nggak ada niat ngikutin alur ceritanya?” Dego memeriksa kertas-kertas lain, semua diisi oleh segala praduga Nona Penulis tentang dunia ini. Ada banyak sekali coretan, yang entah kenapa seperti menyalurkan rasa keputusasaan teramat dalam. “Ah~ kamu takut? Akan berakhir kayak mereka?”
“Heh, jaga mulut kamu. Ada orang meninggal, kenapa aku malah mikirin diri sendiri? Mereka nggak seharusnya pergi. Itu bukan takdirnya.”
“Terus kamu mau gimana, Nona Penulis? Seperti yang pernah kamu bilang, semuanya udah nggak sesuai dari awal.”
“Kenapa kamu malah nanya aku? Kan kamu yang bawa aku ke dunia ini.”
“Mana aku tau!” Dego tak sengaja menaikkan volume suaranya. “Tiba-tiba aja udah begini!”
“Tiba-tiba …?” tanggap Nura, menautkan kedua alisnya. “Apa maksud kamu tiba-tiba?”
Dego terdiam, sementara Nura membelalak tak percaya.
“Jangan bilang–“
“–apa?!”
"Kamu ...," selidik Nura menyipitkan kelopak.
Lagi dan lagi, Dego lama terbungkam. Jemarinya di sekitar tangan Nura meremas gelisah. Arah pandang anak laki-laki itu berpindah-pindah dari lantai, dinding, atau apa pun selain diri perempuan di sana. Kentara, ada keraguan yang bergelayut, bibirnya sempat terbuka, tetapi tak ada satu pun kata yang dilontarkan.
“Yaudahlah, lupain aja.” Nura menarik napas panjang. “Udah malem, aku ngantuk. Besok masih sekolah.”
“A-ah, b-bener banget! K-kamu harus istirahat, No-nona Penulis. Silakan bobo yang cantik. Pasti kamu capek banget hari ini.”
Tanpa sadar Dego melepaskan pegangannya dari pergelangan Nura, yang diam-diam cukup disayangkan oleh perempuan itu.
Sejujurnya, Nura bisa saja meneruskan percakapan mereka, menyudutkan Dego sampai anak laki-laki itu mengatakan yang sebenarnya. Namun, kebimbangan air muka Dego mengiring niatannya supaya cepat diurungkan. Kalau tidak, Dego bisa sekonyong-konyong melarikan diri dan menghilang, lagi.
Sulit bagi Nura mengakui bahwa Dego menjadi satu-satunya sosok yang memberinya kekuatan di dunia ini. Satu-satunya makhluk yang mengenali Nura bukan sebagai Ori. Hanya kepada anak laki-laki itu, Nura bisa bersikap sesuka hati. Kalau Dego pergi, entahlah, rasanya seperti Nura akan kehilangan jati diri.
**
Pada waktu bersamaan, pukul 00.25, di kediaman keluarga Fikar.
Usai melepas ikat kepala lalu mencuci muka, Fikar telentang di atas kasur berukuran satu orang. Kakinya sedikit menggantung di ujung tempat tidur lantaran tak sesuai dengan tinggi badan. Kedua tangan ia lipat ke belakang kepala, lalu termenung di mana tatapannya seakan menembus langit-langit kamar.
Terlalu banyak kejadian hari ini. Insiden yang dialami Mahda tentu salah satunya. Namun, ada hal lain yang seharian mengusik logika. Tepatnya saat ia berada di Lab. Bahasa, momen ketika seluruh pandangan terarah ke barisan paling belakang akibat sebuah bunyi benda jatuh yang sangat keras. Suara itu berasal dari headphone Ori, yang duduk bersebelahan dengannya.
“Gua yakin,” jeda sebentar, “headphone-nya … terbang.”
***