Loading...
Logo TinLit
Read Story - Deep Sequence
MENU
About Us  

Tempe tepung goreng ditaruh sebagai penutup lauk pauk makan siang dalam kotak bekal, rantang tiga baris dibuat terpisah sebagai sarapan pagi ini. Kulit keriput itu mengusap-usap pegangan rantang yang terasa dingin, mirip sikap seseorang yang akan menerima semua sajian itu, tak lain ialah Nura.

Meski kerap tertangkap mengoceh sendirian, mengatakan hal-hal di luar perkiraan, balas memaki setiap kali dimarahi, atau bertingkah sok dewasa dengan setelan seragam putih abu-abu yang kebesaran. Semua itu terasa lebih baik dibandingkan sikap Nura dulu yang bahkan tak mengizinkan siapa pun masuk ke rumahnya. Bungkam atas semua pertanyaan, tertutup untuk segela jenis penyumbang kekhawatiran.

Mungkin kondisi psikologi generasi Z dikenal senang mempermainkan ketulusan orang tua seperti Nenek Sri, yang pernah dirundung gelisah acapkali mendapati pintu rumah Nura tak kunjung terbuka walau ketukan telah belasan kali dilakukan. Persis seperti saat ini, kala lampu depan kedapatan masih menyala di saat matahari baru saja menunjukkan tonggaknya, praduga terjadi sesuatu hal buruk mulai menggerayai pikiran kolot Nenek Sri hingga tepukan pelan di bahu berhasil melunturkan seluruh ketakutan wanita paruh baya itu.

Nura bersama kaos belel penuh keringat dipadukan celana olahraga sewaktu SMP, santai memamerkan deretan giginya yang tidak rapi.

“Hai, Nek! Ada apa? Pasti bawain makanan buat aku, ya?” Sambil mengintip isi rantang paling atas, perempuan itu menghirup aromanya penuh nikmat. “Wah, pas banget, nih, abis lari pagi langsung isi amunisi. Masuk, yuk, Nek. Aku mau mandi sama siap-siap dulu, takut telat.”

Nura berpesan agar mulai besok seluruh lauk-pauk dibuat rebusan saja, makanan berminyak sukses merangsang pertumbuhan jerawat juga menyisakan kulit kasar nan berlubang. Terlalu sulit mengatur jadwal tidur di bawah pukul sepuluh malam, setidaknya, Nura ingin menekan kualitas buruk tubuhnya dengan berolahraga pagi juga memakan makanan bergizi. Udara pengawal hari ini terasa lebih menyegarkan, Nura berlagak tak menyadari air muka gagal paham Nenek Sri ketika ia mengecup punggung tangan wanita paruh baya itu dilanjut pelukan singkat sebelum pamit berangkat.

Barisan alis menukik dan kening berkerut mengiringi setiap sapaan Nura kepada para tetangga yang tengah menyapu halaman atau menyirami jejeran tanaman, peci hitam miring Kang Iim sampai terjauh kala Nura lebih dulu menggoda pria itu yang tengah membenahi pemukul kayu dari teras masjid ke tepian penyangga beduk. Senyum cengengesan berkembang lebar tatkala Nura mendapati Pak Botak tengah bersedekap tangan sambil berdiri tegap, menunggu gerbang tertutup pada sisa-sisa waktu sebelum bel jam masuk berdering. Kumis caplangnya tak kuasa bergetar begitu Nura melayangkan satu kedipan penuh usilan.

Terhitung satu bulan sejak Nura terperangkap di dunia ini, berarti sekitar tiga minggu sudah Nura kembali menjalani masa-masa sekolah. Itu waktu yang sangat cukup bagi Nura untuk mendapatkan kembali kepercayaan teman-teman.

“Ternyata kamu asyik juga ya, Ori.”

“Iya, ih, aku heran kenapa ada rumor kamu orangnya nyebelin.”

“Setuju banget!”

Sorry to say, nih, dulu gue termasuk orang yang suka gibahin elu, hehehe.”

“Sama! Gua juga lagi.”

“Tapi otak kamu lumayan encer, ye. Kemarin pas UTS aja, meskipun mayoritas pas-pasan, nilai kamu nggak ada yang remedial, ‘kan?”

“Gokiiilll~”

Kehidupan Nura di sini sungguh-sungguh jauh dari kata menderita. Tampaknya, novel Nura yang semula bergenre tragedi, akan berubah menjadi cerita tentang kehidupan sehari-hari. Itulah perkiraan awal Nura hingga pada suatu momen, perempuan itu kembali menerka-nerka.

Bagaimana cara aku bisa keluar dari dunia ini, ya? 

“Dego, aku tahu kamu ada di sini sekarang. Cepat muncul.”

Jam istirahat pertama, Nura sengaja memisahkan diri dari teman-teman lain, mengendap-ngendap pergi ke toilet di ujung gedung yang pintunya tertera keterangan sedang diperbaiki.

“Udahan, dong, main petak umpetnya. Sampai kapan kamu mau ngambek kayak gini?”

Saat pertama kali sadar bahwa Dego menghilang, Nura pikir anak laki-laki itu hanya sedang merajuk, khas seperti seorang anak berusia enam belas tahun. Makanya, Nura tak ingin ambil pusing, lempeng meneruskan kehidupannya, yang tentu baik-baik saja.

“Dego …,” sebut Nura melirih. Sepasang manik kecokelatannya menyorot lurus pada cermin retak di dekat wastafel rusak, buku-buku jari tangan perempuan itu perlahan mengepal kuat.

Terasa.

Sangat bisa dirasakan.

Nura benar-benar mampu merasakan keberadaan Dego di dekatnya. Namun, tidak peduli berapa kali pun Nura mengedarkan pandangan ke sekitar, matanya tak kunjung mampu menemukan sosok anak laki-laki itu.

“Aish, dasar si Bego!” Nura kelepasan melontarkan rutukan. “Terserah kamu, deh, emangnya aku peduli? Kamu jangan uring-uringan kalau aku udah keluar dari dunia ini, ya. Bye!

**

Lagaknya saja demikian, baru ditambah sehari Dego tidak kelihatan pun, justru seisi kepala Nura yang sekarang awut-awutan. Tak jarang bahkan perempuan itu meneriakkan nama Dego di tengah lautan orang-orang. Nura tak ingin mengakui, tetapi ia benar-benar frustrasi.

Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego. Dego.

Buku catatannya penuh dengan satu nama anak laki-laki itu. Beberapa ada tambahan kalimat selayak: Kamu di mana? Serius mau gini terus? Argh, bodo amat! Sumpah, ya, Dego! Lihat aja kamu kalau kita ketemu nanti!

Astaga. Astaga. Astaga.

“WOY, BEGOOO!!!”

Nura sudah tidak tahan lagi. Urat-urat ketegangan telah menguasai seluruh muka bersama aliran darah seakan berlomba-lomba naik ke ubun-ubun Nura yang ingin meledak detik itu juga.

“AKU TAMPOL JUGA, YA, KAMU LAMA-LAMA!!!”

“A-LE-GO-RIII!!!”

Nura terlonjak hebat, kelopaknya lantas berkedip sekali, dua kali, tiga kali. Refleks menutup mulut yang ternganga tatkala sadar bahwa ia tengah menemani Nenek Sri belanja di pasar.

“KAMU BERANI NGATAIN NENEK BEGO?!”

Tubuh kurusnya gesit menghindar sesaat kepalan tangan berkekuatan kingkong ala Nenek Sri nyaris mengenai punggung perempuan itu. “B-bukan, Nek, aku bukannya mau ngatain Nenek!”

“Terus apa?!!”

“Aku tadi kepikiran hal yang ngeselin. Jadi ....”

“Jadi apa?!” Segenggam bayam sudah siap Nenek Sri layangkan. “Apa pun alasannya, bukan berarti kamu boleh ngomong kasar. Siapa yang ngajarin?!”

Alih-alih berupaya memberi pembelaan, kaki-kaki Nura sudah lebih dulu mengibrit di antara jalanan becek. Noda-noda kehitaman terciprat hampir ke seluruh celah putih sepanjang mata kaki, yang mana hal itu kian mendidihkan luapan emosi Nenek Sri bersama lengking suara cempreng nan memekakkan telinga.

**

Sungguh, pikiran Nura mengawang tanpa tujuan. Tentu tidak ada satu manusia pun akan suka saat diberikan kesulitan. Sebut saja Nura gila, ketidakberadaan Dego beberapa minggu terakhir ini membuatnya sering kali berpikir bahwa hidup tanpa masalah adalah sebuah masalah.

Manusia membutuhkan minimal satu konflik besar untuk ia tangani sehingga mampu merasakan bahwa ia benar-benar hidup. Ketentraman yang Nura alami selama berada di sini memberikannya pertanyaan genting tentang kapan momen paling tepat supaya cerita ini bisa berakhir?

“Oke, Dego. Aku nyerah.” Nura mengangkat kedua tangan, sedangkan kakinya baru saja melewati gerbang sekolah. Acuh tak acuh atas segala tatapan penuh selidik yang terarah kepadanya. “Kamu menang, aku bakal ngikutin alur cerita ini. Jadi, kamu bisa muncul sekarang.”

Nihil.

Masih saja kehampaan Nura terima, disertai desas-desus orang sekitar yang saling melempar tanda tanya atas dengan siapa gerangan perempuan itu berbicara. Beberapa teman sekelas kebetulan lewat dan memberanikan diri menegurnya, tetapi Nura sekadar menggeleng kecil seolah berkata ia baik-baik saja.

Menutup sejenak kelopak sembari menarik napas banyak-banyak, Nura menengadah di mana birunya cakrawala begitu cerah membentang bersama sapaan sinar mentari. Kilatan tekad seakan menyambar dari sorot tajam kedua mata perempuan itu.

Nura menghela napas berat. “Baiklah, mari kita percepat saja alur ceritanya.”

Terkadang, beberapa penulis bisa lupa atas hal-hal mendetail yang pernah dituangkan dalam tulisan. Ketika iseng membaca karyanya sendiri dari awal, barulah mereka tersadar bahwa mereka pernah menuliskan sesuatu seperti itu juga.

Jujur, Nura memang tidak bisa mengingat keseluruhan adegan dalam novel perdananya secara sempurna. Namun, tetap saja ada beberapa perkara penting yang tidak bisa dilewatkan. Nura seratus persen meyakini: momen di mana Mahda nyaris sekarat akibat alerginya kambuh setelah menerima minuman dari Dego akan mengembalikan kehadiran anak laki-laki itu.

“Mahda!” panggil Nura seraya masuk ke kelas, mendekat pada Mahda yang tengah piket, terbukti dari sapu serta serokan di tangan. “Nih, buat kamu, barusan aku beli.”

“Wah, tiba-tiba?”

“Iya, tadi aku sarapan di kantin. Pas bayar, nggak ada kembaliin. Yaudah, aku beliin ini aja.”

“Seriusan buat aku?”

“Iya, aku udah kenyang.”

“Oke, sebentar. Aku taruh ini dulu.”

Ujung mata Nura terus mengekori setiap pergerakan gadis manis yang repot membenahi alat-alat kebersihan. Sebagian hati Nura masih memendam keraguan, haruskah ia melakukan ini?

“Mana, sini susunya.”

Sengaja Nura lepas kemasan dari botol minumannya guna mengelabui Mahda bahwa minuman itu sebenarnya susu kedelai, bukan sapi. Mahda memiliki alergi berat terhadap kacang-kacangan. Terlalu parah hingga makan sedikit saja akan membuat nyawa gadis manis itu nyaris lewat.

“Nih, langsung diminum, ya.”

“Oke!”

Debaran tak nyaman perlahan menggerayangi benak Nura. Detik-detik di mana tangan mungil Mahda mulai terangkat demi menerima pemberiannya, sukses menghujani sekujur tubuh Nura dengan perasaan bersalah. Keringat dingin turut ambil peran, membasahi pelipisnya seraya susah payah ia menelan ludah.

Ah, sial.

Nggak bisa.

Nura tidak bisa melakukan tindak kejahatan seperti ini.

Niat hati ingin menarik kembali tangan yang masih menggenggam sebotol susu itu, Nura lebih dulu dikejutkan oleh sensasi familiar yang menyentuh kulitnya. Serpihan kelap-kelip asing perlahan berkumpul membentuk bayang-bayang tangan seseorang, bergulir sedikit lebih jelas hingga akhirnya berubah menjadi wujud nyata. Tangan itu terjulur dari belakang tubuh Nura di mana punggungnya terasa bersentuhan dengan dada seseorang.

“Jangan sakiti Mahda, Nona Penulis.”

Semua bulu kuduk Nura serempak berdiri, tangannya ditepis begitu keras hingga botol susu dalam genggamannya terlepas; tumpah berserakan. Serbuan kosakata seketika bermunculan memenuhi kepala. Namun, akal sehat Nura sudah lama hilang, membuat perempuan itu hanya bisa mengatakan sebaris ungkapan:

“Si Bego!”

**

Satu per satu nama murid disebutkan, disusul jawaban hadir dari hampir seluruh siswa XI SOSIAL 1. Manakala nama Alegori terucap, atmosfer seketika berubah lebih mencekam. Insiden penumpahan susu disertai makian sinonim kata bodoh antara Nura dengan Mahda sudah tersebar ke seisi kelas, tetapi tak ada barang seorang pun yang berani angkat bicara pagi itu.

Sang guru sempat mengeluh, “Kenapa lagi si Ori? Padahal dia udah nggak pernah macem-macem lagi sebulan terakhir ini.”

Lalu melanjutkan pembelajaran dimulai dari menanyakan tugas minggu kemarin. Ketika para siswa menggerutu sebab belum selesai mengerjakan, Mahda hanya bisa termangu; melirik kursi sebelah yang telah ditinggalkan pemiliknya.

Di sisi lain, tepatnya di tepian jalan raya dekat sekolah, Nura bersikeras meminta Dego agar mengikutinya. Coba saja anak laki-laki itu bisa Nura sentuh sesuka hati, sudah dipastikan Nura akan mendaratkan puluhan bogem mentah pada setiap sudut tubuh Dego saat ini.

“Kenapa kamu marah, Nona Penulis?” tanya Dego menghentikan pergerakan si perempuan. “Seharusnya aku yang marah di sini. Kamu, kan, tau tentang alergi Mahda, kenapa kamu tetap ngelakuin hal itu?”

Nura berbalik, dagunya sedikit naik bersama sorot yang tidak bersahabat. “Bukannya itu yang kamu mau?”

Dego menautkan kedua alis.

“Kan, kamu yang pengen aku hidup sesuai alur cerita,” terang Nura enteng.

“Tapi jangan begitu juga!”

“Jangan begitu, gimana?”

“Jangan nyakitin Mahda!”

“Mana bisa!” Semakin lama, suara mereka semakin meninggi. “Kalau kamu mau aku ngegantiin peran kamu di sini, kamu tau sendiri siapa tokoh yang paling tersakiti.”

Dego terbungkam, kesakitan yang pernah ia rasakan bisa jadi terlalu membuncah sampai ia enggan memperkirakan akibat-akibat lain dari keinginan dalam kemarahan. Siapa pun yang menakdirkan Dego nasib buruk ini, harus turut merasakannya. Tentang Mahda, anak laki-laki itu sama sekali tidak memperhitungkannya.

“Sesuka itu kamu sama Mahda?”

“Ya,” tanggap Dego penuh keyakinan. “Di antara segala derita yang kamu berikan, cuma dia satu-satunya yang bisa menjadi harapan.”

Keseriusan dalam nada bicara Dego mengurungkan niatan Nura yang nyaris berdecak lantaran tidak tahan dengan kata-kata klise sok manis selayak tadi.

“Tapi ...,” suara rendah Nura berhasil menarik atensi si anak laki-laki, “... bukankah ada yang aneh?”

Mereka berdiri berhadapan dengan jarak kira-kira tiga langkah kaki, tubuh tinggi Dego memaksa Nura agak mendongak supaya pandangan mereka saling bertautan. Lama mereka membiarkan hening berkuasa sampai bising lalu-lalang kendaraan seolah lenyap dari pendengaran.

Bibir Nura beberapa kali terbuka lalu tertutup, terus seperti itu sampai kesangsian sepenuhnya hilang dari benak.

“Pada dasarnya, tokoh utama di cerita ini adalah laki-laki, sedangkan aku perempuan. Bahkan tanpa aku berbuat apa pun, cerita di dunia ini udah berubah sejak awal.”

“….”

“Kalau aku jadi kamu, aku bakal buat kamu terjebak di tubuh aku tanpa bisa berbuat apa-apa, bahkan setiap ucapan dan perbuatan kamu cuma bisa mengikuti alur cerita yang sudah ada.” Dengusan gusar berembus panjang. “Kamu nggak berpikir sampai situ? Apa aku menciptakan kamu terlalu bodoh sampe hal penting kayak gini aja nggak kepikiran?”

Terjadi perubahan signifikan dalam air muka Dego, seperti terkejut namun memberi kesan ganjal. Alih-alih tersinggung atas pernyataan Nura, raut anak laki-laki itu lebih seperti baru saja diperdengarkan sesuatu yang telah membuka kotak pandoranya. Peluh di pelipis lantas mewakili kegelisahan Dego yang seketika mengalihkan pandangan, mencari-cari objek lain selain diri si Nona Penulis.

“Dego, apa tujuan kamu sebenarnya?”

“A-apa maksud k-kamu?” Anak laki-laki itu kentara gagal menyembunyikan gemetar dalam suaranya. “Tentu aja aku mau kamu ngerasain semua penderitaan aku dari awal sampai akhir!”

“Sampai akhir, katamu?” Menunduk sebentar, Nura mengambil satu langkah lebih dekat; mempersempit jarak dengan Dego sebelum lantas kembali menengadah, mempertemukan legam dengan manik kecokelatan miliknya. “Berarti ... aku harus mati?”

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Warisan Tak Ternilai
483      177     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Helling Dormitory
1249      824     3     
Mystery
Setelah kejadian kebakaran menewaskan ibu dan adik-adiknya, Isaura dikirim oleh ayahnya ke salah satu sekolah asrama di Bogor Di asrama barunya ia dan teman-teman yang lain dihadapkan dengan berbagai kejadian tak masuk akal.
Camelia
590      331     6     
Romance
Pertama kali bertemu denganmu, getaran cinta itu sudah ada. Aku ingin selalu bersamamu. Sampai maut memisahkan kita. ~Aulya Pradiga Aku suka dia. Tingkah lakunya, cerewetannya, dan senyumannya. Aku jatuh cinta padanya. Tapi aku tak ingin menyakitinya. ~Camelia Putri
Dream of Being a Villainess
1378      789     2     
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya. Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...
Our Tears
3004      1338     3     
Romance
Tidak semua yang kita harapkan akan berjalan seperti yang kita inginkan
Bimasakti dan Antariksa
214      166     0     
Romance
Romance Comedy Story Antariksa Aira Crysan Banyak yang bilang 'Witing Tresno Jalaran Soko Kulino'. Cinta tumbuh karena terbiasa. Boro terbiasa yang ada malah apes. Punya rekan kerja yang hobinya ngegombal dan enggak pernah serius. Ditambah orang itu adalah 'MANTAN PACAR PURA-PURANYA' pas kuliah dulu. "Kamu jauh-jauh dari saya!" Bimasakti Airlangga Raditya Banyak yang bila...
Langkah Pulang
376      275     7     
Inspirational
Karina terbiasa menyenangkan semua orangkecuali dirinya sendiri. Terkurung dalam ambisi keluarga dan bayang-bayang masa lalu, ia terjatuh dalam cinta yang salah dan kehilangan arah. Saat semuanya runtuh, ia memilih pergi bukan untuk lari, tapi untuk mencari. Di kota yang asing, dengan hati yang rapuh, Karina menemukan cahaya. Bukan dari orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri. Dan dari Tuh...
Nuraga Kika
32      29     0     
Inspirational
Seorang idola sekolah menembak fangirlnya. Tazkia awalnya tidak ingin melibatkan diri dengan kasus semacam itu. Namun, karena fangirl kali ini adalah Trika—sahabatnya, dan si idola adalah Harsa—orang dari masa lalunya, Tazkia merasa harus menyelamatkan Trika. Dalam usaha penyelamatan itu, Tazkia menemukan fakta tentang luka-luka yang ditelan Harsa, yang salah satunya adalah karena dia. Taz...
Harmonia
4303      1357     4     
Humor
Kumpulan cerpen yang akan membuat hidup Anda berubah 360 derajat (muter ke tempat semula). Berisi tentang kisah-kisah inspiratif yang memotivasi dengan kemasan humor versi bangsa Yunani. Jika diterbitkan dalam bentuk cetak, buku ini akan sangat serba guna (bisa untuk bungkus gorengan). Anda akan mengalami sedikit mual dan pusing ketika membacanya. Selamat membaca, selamat terinspirasi, dan jangan...
Evolution Zhurria
348      225     4     
Romance
A story about the evolution of Zhurria, where lives begin, yet never end.