Loading...
Logo TinLit
Read Story - Deep Sequence
MENU
About Us  

Catatan:

Chapter ini mungkin akan menimbulkan trigger dan membuat sebagian orang tidak nyaman. Mohon bijak saat membacanya.

***

“Apa maksud kamu, Nona Penulis? Kenapa kamu harus mati?”

“Kamu tanya kenapa? Kamu bercanda?”

“Siapa juga yang bercanda? Aku beneran nggak ngerti kenapa kamu harus mati.”

Ada sesuatu yang salah di sini. Sesuatu yang terasa janggal. Nura masih ingat betapa ia kepayahan mencari referensi tentang langkah paling tepat untuk mengakhiri kehidupan Dego. Ragam jenis hukuman mati dari berbagai negara menjadi modal paling utama. Suntikan mati, gantung diri, pemancungan, kursi listrik, ruang gas beracun, rajam, atau penembakan.

Usai menerka segala kemungkinan, menimang apa-apa yang mesti dirasakan sang tokoh utama di antara portal pembatas hidup seseorang, mempertimbangkan bermacam penyampaian pesan tersirat tanpa menimbulkan pengaruh negatif bagi para pembacanya, Nura lantas menjadikan kabel bekas kusut sebagai alat perenggut nyawa.

Tercetak segar dalam ingatannya, gambaran tentang bagaimana Dego berdiri di atas kursi reot dengan kabel bekas tergantung pada balok kayu tua di celah-celah atas pintu kamar. Listrik rumahnya padam lantaran telat membayar hingga berbulan-bulan. Sepercik sinar lolos dari kisi-kisi ventilasi, menembus kegelapan, menyorot tepat pada kepalan tangan Dego yang gemetaran.

Bukan, anak laki-laki itu tidak takut mati. Hanya saja, memori wajah-wajah terluka dari orang baik di sekitarnya sontak menggerayangi ruang kecil dalam kepala. Harap-harap mendapatkan pengampuan dari mereka yang telah ia kecewakan.

Kabut seakan muncul, bergumul pekat dalam batin bersama pedih atas penyesalan, juga kedukaan sang dendam yang tak pernah tahu kepada siapa itu tertuju.

Tatkala kaki menendang pertahanan kursi, tubuh si anak laki-laki meluncur; kehilangan pijakan. Sensasi panas segera menyambutnya, disusul perih teramat hebat yang mencekik leher. Pasokan oksigen terputus, mengundang ledakan bintang-bintang hitam, mengaburkan penglihatan.

Tubuh ringkihnya menggeliat di udara. Sebagian saraf mungkin menolak mati begitu saja, tetapi anak laki-laki itu tidak sedikit pun berupaya untuk hidup kembali. Sesak mendobrak sekujur dada, menggemakan denging yang begitu memekakkan telinga. Sepersikan detik sebelum gelap total, untuk pertama kalinya, Dego melangitkan doa. Semoga kita tidak bertemu di neraka, Ayah ... Ibu.

“Aku nggak mati, Nona Penulis.”

Nura masih gagal mengerti atas segala yang terjadi. “Kalau gitu, apa yang kamu tau tentang akhir cerita kamu?”

Dego terpaksa menggali memori terakhirnya walau ingin sekali ia hapuskan. Setitik cairan menggenang di ujung kelopak, yang sontak lenyap kala anak laki-laki itu membuang muka. “Aku sadar tentang kesalahan aku. Aku menyesal karena udah mengabaikan semua kebaikan orang-orang. Aku berusaha memperbaiki keadaan, tapi terlambat. Mereka telanjur lelah dan memutuskan buat nggak peduli lagi sama aku. Semua prasangka burukku menjadi nyata. Pada akhirnya, aku ditinggalkan.”

Apakah ini sebuah anomali? Bagaimana bisa, ingatan Nura dengan Dego berbeda? Ya ampun, astaga, apa-apaan ini? Semakin lama, semuanya hanya membingungkan kepala Nura.

Lantaran terlalu pusing, Nura menghempaskan bokong di pinggir trotoar, sementara Dego masih menjulang di hadapannya.

“Kamu nggak lagi berusaha bohong supaya aku terus-terusan terjebak di dunia ini, ‘kan?”

Dego mengangguk. “Tapi, Nona Penulis ….”

“Ya?”

“Kamu … beneran bikin aku mati?”

Bukannya menjawab, Nura justru berdeham cukup keras. Lalu beranjak sembari meregangkan badan, senandung sumbang mengudara selagi kaki-kaki rampingnya berjalan menjauh dari sana. Mana bisa Nura mengaku sekarang, lebih-lebih setelah menyaksikan manik legam anak laki-laki itu sekilas berkaca-kaca. Pun entah kenapa, Nura merasa seperti pelaku pembunuhan berencana yang tertangkap basah oleh korban.

“Nona Penulis!” Dego mudah menyusul perempuan itu dengan langkah-langkah besarnya. “Kenapa kamu diem aja? Kamu nggak beneran bikin aku mati, ‘kan?”

Mengulas senyum formalitas, Nura berkedik singkat. “Minggir, Bego,” titahnya.

“Nona Penulis!!!”

“Apaan?!” Suara perempuan itu refleks naik beberapa oktaf. “Aku nggak mau jawab! Jangan maksa.”

“Bukan itu ...!”

“Terus apa?!!”

Bibir bawah Dego maju sekian senti, kedua tangannya dilipat sengak. Bersama dengusan yang berembus cukup panjang, anak laki-laki itu lantas bernyata:

“Namaku Dego, bukan Bego!”

**

Mahda: Ori …

Mahda: Maaf ya, tadi pagi aku nggak fokus

Mahda: Kamu pasti ngira aku udah pegang botolnya ya, makanya kamu lepas

Mahda: Jadi tumpah deh, maaf banget…

Sesuai perjanjian, Kang Iim merelakan satu ponsel dari konter semisal Nura berhasil menaikkan nilai. Memang bukan tipe mahal, tetapi itu cukup bagi Nura dapat berkomunikasi dengan teman-teman di sekolah.

Walau perihal kuota, ia tentu masih kesulitan, uang jajan dari Nenek Sri serta upah hasil jaga konter masih terlampau kurang. Wi-Fi di rumah Nenek Sri hanya menjangkau depan teras tempat tinggal Nura. Kalau ketahuan masih main ponsel malam-malam, sudah pasti ia habis dimaki-maki. Nura cukup beruntung sebab khusus bulan ini, Kang Iim berbaik hati membelikannya kuota meskipun masa berlakunya akan habis minggu depan.

“Nona Penulis, ada chat dari Mahda.”

“Iya, tau.”

“Kenapa nggak kamu bales?”

“Entar dulu, ah, males.”

“Bales, Nona Penulis. Dia kayaknya ngerasa bersalah banget, padahal, kan, kamu yang salah!”

“Ya, ya, ya.”

“Nona Penulis!”

“Argh, berisik!”

Siang menjelang sore, Nura akhirnya bisa sedikit santai menenggelamkan wajah di atas lipatan tangan pada meja kaca konter Kang Iim. Lebih dari empat jam perempuan itu dipaksa duduk bersimpuh lantaran ketahuan membolos oleh Nenek Sri. Tamparan kejam belasan kali diterima punggungnya diiringi omelan bernada tinggi yang seakan menulikan telinga.

Tolong, Nura hanya ingin istirahat sebentar. Ia bahkan tiada memiliki kekuatan berdebat dengan Dego sekarang.

“Nona Penulis, kamu tidur?”

Menyentuh-nyentuh pelan ujung jari telunjuk perempuan itu, Dego tiada mendapatkan reaksi barang sedikit. Atensi Dego kini sejajar dengan puncak kepala Nura yang masih tertunduk sunyi. Sama sekali tidak bergerak, bahkan untuk sekadar bahu yang biasanya naik turun pertanda kehidupan seseorang.

“Nona Penulis ...?” panggil Dego entah kali keberapa. “Kamu nggak mati, ‘kan?”

“Aish ....” Desisan gusar itu melegakan benak Dego meski tidak dengan pemilik suaranya. “... bisa diem dulu, nggak? Kalau nggak tega cuekin si Mahda, yaudah, kamu bales aja sendiri sana!”

“Oke!” Tanpa pikir panjang, Dego menggenggam pergelangan tangan Nura, sementara sebelah tangannya yang lain meraih ponsel yang tergeletak di sisi perempuan itu.

Nura berdecak, setengah niat mengangkat kepala lalu melirik sengit anak laki-laki di hadapannya. “Heh, aku bilang balas chat-nya.”

“Iya, ini lagi ngebalas kok,” terang Dego sembari mengetik dengan satu tangan.

“Terus ngapain pegang-pegang tangan aku segala?”

“Ya, karena harus.”

Susah payah, Nura menahan gondok. “Kenapa harus?!”

“Aku juga nggak tau,” tanggap Dego acuh tak acuh, terlalu fokus memainkan ponsel yang tak pernah ia miliki selama ini. “Tapi aku baru bisa megang benda-benda di dunia ini selama aku lagi bersentuhan sama kamu.”

Nura mengerjap, kesadarannya lantas kembali penuh sesaat mendengar sebaris pernyataan tadi. “Hah, gimana, gimana? Maksudnya?”

Dego bercerita bahwa selama menghilang beberapa minggu terakhir kemarin, ia pernah sesekali kali ingin menakuti-nakuti Nura, selayak menggerakkan atau menjatuhkan barang tanpa menampakkan wujudnya. Namun, serupa hantu dalam film-film, tak peduli berapa kali Dego mencoba, setiap benda yang ia pegang selalu menembus tubuhnya.

Sampai pada suatu malam, Dego iseng menjitak kening Nura yang bisa-bisanya asyik terlelap seolah tak terganggu atas ketiadaan dirinya. Tepat ketika tangan Dego mendarat di jidat perempuan itu, tiba-tiba saja seekor kecoak terbang melaju ke arahnya, yang refleks Dego tepis hingga binatang laknat itu terpental ke ujung ruangan.

“Dih, pantesan aja, aku ngerasa kayak kamu tuh ada di dekat aku meskipun kamu nggak keliatan.” Nura mendelik. “Ternyata selama ini kamu berusaha ngapa-ngapain aku, ya.”

“Heh!” Dego memberengut. “Kamu ngomongnya, kok, kayak aku seakan orang mesum aja!”

“Lah, emang.”

“Nona Penulis!?”

Walaupun merajuk, Dego tetap mempertahankan pegangannya pada pergelangan Nura. Mungkin karena anak laki-laki itu asyik berbincang via teks dengan Mahda, mungkin juga karena Dego baru pertama kali merasakan kemewahan barang elektronik yang bisa ia sentuh-sentuh layarnya.

Terlepas dari hal-hal itu, pikiran Nura justru dihadiahi satu kemungkinan yang ingin sekali ia coba. Lekat manik cokelatnya menatap paras menawan Dego yang kini agak menyamping, ragu-ragu sebelah tangan Nura terangkat ke udara hingga–

PLAK

–satu tamparan sangat keras mendarat persis di pipi kanan Dego.

Selagi anak laki-laki itu nyaris terjungkal, sebuah cengiran kelewat lebar kontan Nura pamerkan.

“Wow! Berhasil!” Gelak tawa penuh kemenangan seketika terlepas begitu membahana. “Akhirnya! Aku bisa nyentuh kamu!”

**

Pukul 17.00, sif Nura menjaga konter lantas selesai walau Kang Iim tidak sedikit pun menunjukkan batang hidungnya. Usut punya usut, motor kesayangan pria berpeci miring itu sedang rewel sehingga perlu mendapatkan perawatan di bengkel.

“Ah, mager banget,” keluh Nura. Sebenarnya, jarak tempat Kang Iim ke rumahnya tak sampai menghabiskan lebih dari lima menit jalan kaki, tetapi energi perempuan itu seakan telah terserap habis oleh kejadian seharian ini.

Baru saja kakinya akan melangkah pergi sebelum bising deru kendaraan terdengar semakin dekat, yang kemudian sukses mengembangkan senyum semringah Nura tatkala mendapati sebuah motor terhenti di halaman rumah Kang Iim. Tampaknya, motor Kang Iim sudah selesai diperbaiki. Baguslah, ternyata nasib baik masih sudi menyapa Nura.

“Kang! Jangan turun dulu,” pekik Nura sambil berhamburan menghampiri pria yang kali ini kepalanya terhalang helm dengan kaca menutupi seluruh wajah. Perempuan itu santai menghempaskan diri ke jok belakang sambil berujar, “Anterin aku pulang, dong. Males banget jalan, nih, hehe.”

Nihil penolakan walau ada jeda panjang sebelum mesin motor kembali dinyalakan. Nura bersenandung kecil sembari manik cokelat kayunya menelusuri lingkungan sekitar, terlihat gerombolan anak kecil berlarian kala teriakan sang ibunda telah memanggil-manggil nama mereka. Ada juga pemuda-pemudi beriringan di sisi jalan dengan setelan sarung juga kopiah yang melekat di tubuh, sebagian lagi menyampirkan mukena pada salah satu tangan mereka. Nura selalu merindukan suasana ini; detik-detik sebelum azan magrib di mana warga berbondong-bondong bertandang ke rumah sang ilahi.

Bahkan di teras masjid, Nura turut menangkap sosok Kang Iim tengah bersiap mengambil pemukul bedug yang selalu dilakukan tepat sebelum azan berkumandang.

Ah, tunggu sebentar ….

Ada sesuatu yang tidak benar di sini. Bagaimana bisa Kang Iim berdiri di ujung sana selagi seharusnya pria itu tengah mengendarai motor yang tengah ditumpangi Nura?!

“STOP …!” Teriakan nyaring Nura membuahkan laju kendaraan berhenti seketika itu juga, rintihan pelan lepas dari bibir Nura kala tangannya berhimpitan dengan punggung si pengendara. Perempuan itu tergegas turun ditemani banyak praduga yang memenuhi kepalanya. Siapa dia? Siapa orang yang tertutup kaca helm ini? Kenapa mau-maunya mengantarkan Nura di saat perempuan itu jelas-jelas salah mengira orang itu sebagai Kang Iim.

“Wah, kayaknya lu udah sadar, ya.”

Astaga. Astaga. Astaga.

Suaranya sexy banget! Sangat sopan di telinga, jerit batin Nura agak berlebihan.

Ini mungkin sudah kesekian puluh kali Nura diherankan oleh orang-orang yang berlagak akrab dengannya sepanjang ia berada di dunia ini. Tolong jangan salahkan rasa penasaran perempuan itu yang seketika menajamkan pandangan sesaat kaca helm cowok di hadapannya perlahan dinaikkan.

“Tapi gua sakit hati, wey! Bisa-bisanya lu keliru ngeliat tubuh atletis macem gua dan malah disama-samain sama badan bundar si Kang Iim!?”

Nura diam. Bukan karena kalimat protes barusan atau air muka kecut cowok yang masih terduduk di motor itu, Nura benar-benar bungkam lantaran sibuk menerka-nerka siapakah orang itu gerangan? Mengapa terlihat santai sekali berbicara dengannya? Apa hubungan cowok itu dengan Dego di dalam novel buatannya? Lalu kenapa pula ia bisa mengendarai motor Kang Iim? Seratus persen Nura yakini, motor itu benar-benar kepunyaan si pria berpeci miring.

“Dia itu Fikar, Nona Penulis.”

Bagai sambaran petir di kala langit masih sangat terik, sekujur tubuh perempuan itu dibikin merinding oleh bisikan yang tiba-tiba menyapu gendang telinganya. Pekikan kencang kontan Nura dendangkan di mana detik selanjutnya buru-buru perempuan itu hentikan. Dasar, si Bego satu itu! Gemar sekali muncul tanpa peringatan dan berbisik-bisik seenaknya.

Sementara itu, Fikar yang terkejut atas teriakan Nura barusan, hanya bisa memasang tampang melongo yang seolah berkata: situ waras?

Zulfikar Alfareza, murid dengan jumlah nilai kedua paling rendah satu angkatan, tetapi memiliki segudang prestasi. Nyaris tak pernah masuk kelas lantaran selalu mengikuti banyak kegiatan, bahkan kerap dicari oleh sekian perusahaan pencari bakat, terutama di bidang kesenian. Jarang pula kena omel guru sebab jago berkelit setiap kali akan disidang di ruang bimbingan konseling. Karakter cowok itu terbilang paling tulus berteman dengan Dego, tak peduli meski Dego ribuan kali mendepak keberadaannya.

Sungguh, sejak awal berada di dunia ini, Nura tak sampai hati membayangkan akan seperti apa wujud cowok bernama Fikar itu. Sebab jujur saja, Nura menciptakan Fikar berdasarkan tipe ideal pria idamannya. Cowok berlesung pipi dengan kulit sedikit gelap namun masih tergolong putih, si pemilik mata tajam, berbadan bugar, dan gemar mengenakan ikat kepala khas suku Baduy. Juga seorang ketua teater SMA Reka Citra, yang telah diakui kemampuannya oleh komunitas-komunitas teater ternama.

Begitu Nura diperlihatkan secara langsung tentang bagaimana penampakan cowok itu sekarang, kalimat pertama yang terlintas di kepalanya tak lain dan tak bukan, “Yah, kok, nggak sesuai ekspetasi, sih? Kecewa, nih, pembaca kecewa.”

Fikar melongo, begitu juga dengan Dego. Kedua anak laki-laki itu semakin ternganga sesaat Nura berusaha melepaskan helm dari kepala Fikar, yang sayangnya berakhir gagal.

“Apa yang salah, ya? Padahal kalau diperhatiin, udah sesuai ciri-ciri kok,” gumam Nura sambil fokus menilik setiap sudut pahatan wajah tegas Fikar, tak mengindahkan bahwa cowok itu kontan menahan napas. “Apa karena aku aslinya udah tua, ya? Muka kamu jadi terlalu muda buat bisa bikin aku jatuh cinta,” lanjutnya tanpa dosa.

Hal itu tentu saja sukses membuat Fikar terbatuk-batuk sembari berupaya mengatur ekspresinya agar tetap tenang. “Ng-ngomong apaan, sih, lu,” kenapa tiba-tiba sekali? Fikar bahkan belum mempersiapkan diri untuk berhadapan dengan hal-hal semacam ini.

Sementara Nura malah kalem memandangi cowok itu semakin lekat. “Emang, sih, zaman sekarang om-om lebih meresahkan ketimbang berondong,” tuturnya lalu terkekeh geli sendiri.

Masih kesulitan mencerna keadaan, Fikar tak sampai hati melontarkan barang satu kata ketika Nura pamit berlari seraya melambai-lambaikan tangan ke arahnya. Cowok itu bahkan tak menyadari pekikan Kang Iim dari teras masjid beberapa meter di sisi kanan, yang kegirangan mendapati motornya telah selesai diperbaiki di bengkel milik keluarga Fikar. Sedangkan Dego yang masih bertahan di sana tanpa mengekori Nura, diam-diam mengamati perubahan air muka Fikar yang perlahan menemukan kembali suaranya:

“S-sejak kapan dia jadi seberani itu?”

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Negasi
155      117     2     
Fantasy
"Manusia nggak bisa lihat jin?" Zoya terkekeh. "Periksa mata, sih. Buta kali." Dahi Rayna tampak berkerut. Dunia macam apa ini? Manusia di depannya ini waras atau tidak, sih? Sejak kesadarannya kembali, Rayna merasa seperti terbangun di dunia yang asing. Dunia aneh di mana jin terlihat berseliweran bebas tanpa bisa melihat manusia, justru dianggap normal. Terdampar di dunia asing tanpa ...
Diary of Rana
184      156     1     
Fan Fiction
“Broken home isn’t broken kids.” Kalimat itulah yang akhirnya mengubah hidup Nara, seorang remaja SMA yang tumbuh di tengah kehancuran rumah tangga orang tuanya. Tiap malam, ia harus mendengar teriakan dan pecahan benda-benda di dalam rumah yang dulu terasa hangat. Tak ada tempat aman selain sebuah buku diary yang ia jadikan tempat untuk melarikan segala rasa: kecewa, takut, marah. Hidu...
Melankolis
3035      1116     3     
Romance
"Aku lelah, aku menyerah. Biarkan semua berjalan seperti seharusnya, tanpa hembusan angin pengharapan." Faradillah. "Jalan ini masih terasa berat, terasa panjang. Tenangkan nafsu. Masalah akan berlalu, jalan perjuangan ini tak henti hentinya melelahkan, Percayalah, kan selalu ada kesejukan di saat gemuruh air hujan Jangan menyerah. Tekadmu kan mengubah kekhawatiranmu." ...
Gino The Magic Box
4212      1303     1     
Fantasy
Ayu Extreme, seorang mahasiswi tingkat akhir di Kampus Extreme, yang mendapat predikat sebagai penyihir terendah. Karena setiap kali menggunakan sihir ia tidak bisa mengontrolnya. Hingga ia hampir lulus, ia juga tidak bisa menggunakan senjata sihir. Suatu ketika, pulang dari kampus, ia bertemu sosok pemuda tampan misterius yang memberikan sesuatu padanya berupa kotak kusam. Tidak disangka, bahwa ...
Smitten Ghost
186      149     3     
Romance
Revel benci dirinya sendiri. Dia dikutuk sepanjang hidupnya karena memiliki penglihatan yang membuatnya bisa melihat hal-hal tak kasatmata. Hal itu membuatnya lebih sering menyindiri dan menjadi pribadi yang anti-sosial. Satu hari, Revel bertemu dengan arwah cewek yang centil, berisik, dan cerewet bernama Joy yang membuat hidup Revel jungkir-balik.
For Cello
3059      1037     3     
Romance
Adiba jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu ia gapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang ia sanggup menikmati bayangan dan tidak pernah bisa ia miliki. Seseorang yang hadir bagai bintang jatuh, sekelebat kemudian menghilang, sebelum tangannya sanggup untuk menggapainya. "Cello, nggak usah bimbang. Cukup kamu terus bersama dia, dan biarkan aku tetap seperti ini. Di sampingmu!&qu...
Catatan Takdirku
1025      660     6     
Humor
Seorang pemuda yang menjaladi hidupnya dengan santai, terlalu santai. Mengira semuanya akan baik-baik saja, ia mengambil keputusan sembarangan, tanpa pertimbangan dan rencana. sampai suatu hari dirinya terbangun di masa depan ketika dia sudah dewasa. Ternyata masa depan yang ia kira akan baik-baik saja hanya dengan menjalaninya berbeda jauh dari dugaannya. Ia terbangun sebegai pengamen. Dan i...
Ansos and Kokuhaku
3464      1123     9     
Romance
Kehidupan ansos, ketika seorang ditanyai bagaimana kehidupan seorang ansos, pasti akan menjawab; Suram, tak memiliki teman, sangat menyedihkan, dan lain-lain. Tentu saja kata-kata itu sering kali di dengar dari mulut masyarakat, ya kan. Bukankah itu sangat membosankan. Kalau begitu, pernah kah kalian mendengar kehidupan ansos yang satu ini... Kiki yang seorang remaja laki-laki, yang belu...
Love Warning
1336      620     3     
Romance
Pacar1/pa·car/ n teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih; kekasih. Meskipun tercantum dalam KBBI, nyatanya kata itu tidak pernah tertulis di Kamus Besar Bahasa Tasha. Dia tidak tahu kenapa hal itu seperti wajib dimiliki oleh para remaja. But, the more she looks at him, the more she's annoyed every time. Untungnya, dia bukan tipe cewek yang mudah baper alias...
Gareng si Kucing Jalanan
10451      3392     0     
Fantasy
Bagaimana perasaanmu ketika kalian melihat banyak kucing jalanan yang sedang tertidur sembarangan berharap ketika bangun nanti akan menemukan makanan Kisah perjalanan hidup tentang kucing jalanan yang tidak banyak orang yang mau peduli Itulah yang terjadi pada Gareng seekor kucing loreng yang sejak kecil sudah bernasib menjadi kucing jalanan Perjuangan untuk tetap hidup demi anakanaknya di tengah...